Rabu, 19 Oktober 2022

BAB VII. BELAJAR MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH SWT



KAPAN dan di umur berapa aku mulai mengenal Allah? Rasanya dimulai ketika sudah duduk di SMP sekitar 12 tahun, saat mengikuti pelajaran Agama Islam. Di sekolah aku mulai belajar agama Islam dan mulai mempraktekkannya dengan benar, rajin sholat dan puasa, berharap kelak masuk surga.

Guru agamaku Pak Mahfud yang mengajarkan pelajaran agama dengan menyenangkan. Saat remaja hingga dewasa, rasanya tidak ada kesulitan dalam melaksanakan kewajiban agama, walaupun di Rumah Sorogenen hanya aku sendiri yang melaksanakan sholat dan puasa. Saat sahur di bulan Ramadhan, Ibu membangunkaan aku dan menyediakan makan dan minum hangat.

Aku baru merasa prihatin ketika sudah tidak kuliah di Semarang dan belum mendapat pekerjaan. Mbak Sam sudah punya pacar Mas Warno, dan Dik Gun sudah punya pacar Dik San. Jika malam minggu, Rumah Sorogenen lebih ramai. 

Aku sih bukan ingin punya pacar, aku ingin punya pekerjaan. Saat itulah aku benar-benar berusaha mendekatkan diri kepadaNya, memohon kehidupan ke depan yang lebih baik. Yang aku kerjakan adalah berdoa lebih khusyuk, kiranya Allah mengabulkan permohonanku.

Ketika itu belum paham bagaimana caranya shalat tahajud, aku shalat tengah malam setelah tepat teng jam 12, dengan didahului mandi keramas. Aku berpikir, agar khusyuk menghadap kepadaNya, jiwa dan raga harus bersih. Setelah mandi keramas kemudian sholat 4 rakaat dan berdoa. Intinya ada 2 permohonanku, pertama memohon pekerjaan yang baik dan kedua memohon dikaruniai jodoh yang baik.

Di awal memang terasa berat, kadang gigi gemeletuk menahan dingin. Saking prihatinnya, aku juga mencoba puasa mutih, tidak makan apa-apa kecuali nasi putih. Wah, baru 3 hari aku hentikan, badan terasa enteng seperti melayang.

Bagaimanapun aku ingin selalu melakukan hal yang benar menurut ketentuan agama. Setiap apa yang aku kerjakan, baik sesuatu yang kecil apalagi yang besar, lebih dahulu aku berpikir panjang. Benarkah apa yang aku lakukan ini? Sesuaikan dengan tuntunan agama? Apa nanti akibatnya? Adakah yang dirugikan atau tersakiti hati karenanya? Jika sudah dipikirkan, aku akan melangkah dengan hati ringan.

Ketika akhirnya aku mendapat pekerjaan di Jakarta, yang sudah aku ceritakan di Bab terdahulu, Allah SWT telah menunjukkan jalan untuk bisa terlepas dari situasi yang membahayakan dan malahan mempertemukan dengan jodohku.

Aku yakin Allah Yang Maha Pengasih telah mendengarkan doa-doaku. Dan itu menjadikan aku merasa lebih dekat, sehingga di manapun aku mendapat kesulitan, selalu berbaik sangka bahwa akan datang pertolonganNya. Dan memang demikian, tidak ada sesuatu yang instan. Semua harus dilalui dengan keprihatinan. Rupanya ini semua sudah menjadi kehendakNya. Allah Ridha. Pada akhirnya kedua permohonanku itu telah Allah kabulkan.

Di perjalanan kehidupanku selanjutnya, walaupun tertatih-tatih aku tetap belajar agama Islam. Belajar bukan dalam arti meluangkan waktu khusus  berguru kepada seorang kiai. Belajar sesuai kemampuanku dan seluangnya waktuku.

Guru pertamaku adalah Pak Kiai Kosim Nurseha, yang setiap pagi di sekitar tahun 1975-an memberikan tausiyah dari Radio Kayu Manis. Kemudian Pak Zainudin MZ, aku mendengar dari kumpulan kaset-kasetnya dengan berbagai judul.

Di tahun 2011 setiap pagi aku sudah nongkrong di depan televisi menunggu acara Hikmah Fajar RCTI yang menampilkan Cendekiawan Muslim ITB Bang Imad  (Muhammad Imaduddin Abdulrahim) membahas seputar Tauhid.

Baru setelah tidak lagi bekerja di BKKBN, aku punya waktu untuk belajar mengaji. Guruku saat itu Ibu Lubis, yang mengadakan pengajian di Komplek Bappenas dekat rumah. Dan setelah bekerja sebagai Notaris dan PPAT di Jakarta, aku dapat mengatur waktu sesuai jadwal kerjaku, dan belajar mengaji dilanjutkan. Kali ini aku belajar privat dengan Mbak Rogayah. Kemudian ketika Mbak Rogayah menikah dan tinggal di Tangerang, dilanjutkan oleh Mbak Aida adiknya Mbak Rogayah.

Pada akhirnya, baru di masa pensiun inilah aku bisa membaca Al Quran lebih lancar dari sebelumnya, berkat belajar bersama Bu Nasan dibimbing Bu Mar, keduanya teman lama ketika di Komplek Pertambangan Duren Tiga. Alhamdulillah…

Bisa membaca saja kurang afdol. Akan lebih baik lagi jika bisa memahami isi Al Quran dan mengamalkannya. Dai idolaku selanjutnya adalah Cak Nur, seorang Dai Nasionalis. Beliau setiap Kamis pagi berada di layar kaca TVRI, di acara Serambi Islami. Bukan hanya melihat dan mendengarkan, aku juga mencatat paparannya dan mencocokkan apa yang dibahasnya itu dengan Al Qur an. Itu terjadi di sekitar tahun 2016.

Dan sekarang ini, tepatnya sejak tahun 2019 aku tak bisa lepas dari Dai Pak Agus Mustofa. Beliau seorang ilmuwan, alumni Teknik Nuklir UGM, Yogyakarta dan Mantan Wartawan. Setiap hari aku mendengarkan kajiannya dari Youtube. Ada 3 seri, yaitu Cangkir Tasawuf Modern, Islam Futuristik dan Jejak Langkah. Dengan mengikuti pemikiran beliau, wawasanku menjadi terbuka, semakin sadar akan kebenaran Al Quran sesuai dengan perkembangan science yang telah dicapai manusia zaman now.

Kajiannya sangat beragam dan semuanya menarik. Mengenai kehidupan manusia dari lahir hingga kematiannya, mengenai Jagat Raya yang terus mengembang sesuai teori Big Bang, mengenai makhluk-makhluk ciptaan Allah di luar manusia seperti Jin dan Malaikat.

Tak berhenti sampai di situ. Ada  juga kajian mengenai Sejarah Peradaban manusia modern dimulai pada zaman Nabi Adam yang diperkirakan lahir di sekitar 200 ribu tahun lalu, dan hubungannya dengan teori Out Of Africa. Lalu mengenai Sejarah para Firaun di zaman Mesir Kuno 5.000 tahun yang lalu yang banyak diceriterakan dalam Kitab Suci Al Quran, dan masih banyak lagi ragam kajiannya.

Sedikit demi sedikit aku menjadi melek istilah-istilah science seperti DNA, Mitochondria, Kuantum dan sebagainya. Walaupun itu sebenarnya adalah pengetahuan umum, tetapi jika tidak karena mendengarkan dari tausiyah beliau, aku belum tahu...... Itulah caraku belajar mendekatkan diri kepadaNya.

Yuk, kita beranjak ke cerita pengalamanku berhaji dan berumroh.

Di tahun 1990, pelaksanaan ibadah haji ditiadakan lantaran adanya Perang Teluk. Perang ini dipicu karena Irak menginvasi Kuwait, menjadikannya provinsi yang ke-19.  Baru di tahun 1991 pendaftaran untuk melaksanakan ibadah haji kembali dibuka.

Aku masih ingat, saat itu sedang dinas sebagai Notaris dan PPAT di Cikampek, Karawang. Begitu mendengar berita telah dibukanya pendaftaran haji, aku segera menelepon Kak Ros sahabatku, seorang teman Notaris yang dinasnya di Tangerang, untuk memberitahukan hal tersebut. Kami berdua sudah janjian untuk pergi haji bareng. Setelah Kak Ros setuju, baru aku memberitahu Mas Suami, meminta izinnya. Aku pikir jika mengajak Mas Suami belum tentu dia bisa meninggalkan tugas kantornya selama 40 hari.

Syukur Alhamdulillah, ternyata malah Mas Suami mendapat izin dari kantor untuk berangkat haji. Jadi aku mendaftar untuk kami bertiga melalui Grup Al Huriyah yang dipimpin Ibu Tuty Alawiyah. Al Huriyah bekerja sama dengan travel Tiga Utama, yang memberangkatkan Haji ONH Plus. Kami tetap merupakan Haji Reguler yang berhaji selama 40 hari, tetapi untuk makanan disediakan oleh kateringnya Tiga Utama.

Pelaksanaan ibadah haji di tahun 1991 (31 tahun yang lalu) sangat berbeda kondisinya dengan saat ini. Jangan bayangkan pelayanan yang nyaman seperti yang sekarang kita rasakan jika pergi umroh.

Kami naik pesawat Garuda Boeing 747-400 yang bertingkat. Di Mekah kami menginap di hotel Dar Es Salam, berlokasi tidak jauh dari Masjidil Haram. Rombongan Al Huriyah dibagi dalam beberapa kelompok.

Pada saat pembagian kamar, Mas Suami menjadi Ketua di kamar kami, dengan 8 orang anggota. Mereka adalah Bapak dan Ibu Andy yang sudah sepuh dari Ujungpandang (Makassar), kami bertiga Kak Ros, Bu Nuralis dan masih ada 2 ibu yang aku lupa namanya.

Hotel Dar Es Salam adalah hotel berlantai 7, dimana kami berada di lantai 4. Kadang lift penuh, lumayan juga jika harus naik tangga. Setiap kamar diisi 8 orang jemaah, yang tidur di 4 tempat tidur susun. Mereka yang usianya masih muda, tidur di bagian atas, sedangkan yang sudah sepuh di bawah. 

Di lantai 4 itu terdapat beberapa toilet untuk digunakan bersama-sama, jadi ya harus sabar. Ada pengalaman yang tak terlupakan. Di masa itu Pemerintah Saudi belum membuat pipa bawah tanah untuk jalan air. Air untuk mandi dan mencuci berasal dari pusat penyulingan air laut menjadi air tawar di Jeddah, yang dibawa oleh mobil tangki. Jika mobil tangki terlambat datang, maka ke toilet harus membawa air sendiri. Karena itu, kita biasa mengisi air di botol bekas minum, untuk berjaga-jaga kalau mobil tangki terlambat datang.

Suatu hari aku ke toilet sebelum ke masjid. Wah, ternyata di kloset banyak ”pisang goreng”....... Sejak itu, setiap pagi aku mandi dan lain-lain ke pemandian umum yang berada di bagian depan, bawah Masjidil Haram, yang airnya berlimpah ruah.

Rombongan Al Huriyah tiba di Tanah Suci di awal waktu, sehingga termasuk Haji Tamattu, yang artinya melaksanakan ibadah umroh dahulu baru melaksanakan ibadah haji. Apa saja kegiatan kami sebelum Hari Arafah yang lumayan panjang itu? Kegiatan utama pasti ibadah.

Setiap waktu sholat, kami sholat berjamaah di Masjidil Haram. Selebihnya adalah mengikuti tausiyahnya Bu Tuty Alawiyah seminggu tiga kali. Biasanya diadakan setelah sholat Ashar sebelum sholat Magrib di lantai atas hotel. Selain mendengarkan siraman rohani, juga sering diselingi dengan nyanyian lagu-lagu seperti di pesantren. Kegiatan lainnya adalah umroh dan ziarah.

Dengan umroh bersama Al Hurriyah, jemaah mendapat bimbingan dalam melaksanakan ibadah, sehingga lebih memahami rukun dan wajib haji. Jemaah juga didampingi oleh beberapa orang Muthawif, yaitu pendamping jemaah.

Di saat-saat senggang, kadang Muthawif mengajak jemaah ke tempat-tempat yang khusus. Saat itu kami ditawari untuk melihat dari dekat sambil memberikan sumbangan ke perkampungan tempat tinggal anak-anak Indonesia-Arab. Mereka itu lahir dari ibu yang semula bekerja sebagai TKW yang menjadi korban kejahatan sex dari para majikannya. Banyak jemaah yang ikut ke sana, tapi aku nggak ikut, hanya mendengar cerita dari teman-teman saja. Entah sekarang bagaimana kabar mereka ya........

Untuk membantu para jemaah, saat itu Tiga Utama menyediakan 2 orang petugas yang siap di posko, yaitu artis Jaja Miharja dan Dorce Gamalama. Aku ingat Dorce masih muda dan langsing. Mas Suami kenal baik dengan Jaja Miharja, malahan ditawari kamar untuk "Tahalul" bagi pasangan suami isteri yang berminat........

Dari katering Tiga Utama, kami mendapat jatah 3 kali makan, berupa nasi box masakan Indonesia, lengkap dengan buah dan air mineral. Kadang aku juga kepengin merasakan seperti apa kuliner Timur Tengah itu. Sesekali kami beli kebab yang dibakar dengan api berputar, baunya harum sekali. Kadang beli nasi biryani, kadang beli roti maryam yang lebar itu. Orang juga menyebutnya roti prata atau canai/cane, dimakan dengan kari kambing.

Banyak orang mengatakan bahwa hal-hal yang terjadi ketika kita berada di Tanah Suci adalah cerminan sikap dan tingkah laku keseharian kita. Ini aku alami sendiri. 

Suatu hari, tas kecil yang biasanya selalu aku bawa dengan dikalungkan di leher, ketinggalan dan hilang di masjid. Padahal dalam tas itu ada dompetku yang berisi uang, KTP dan kartu kredit Visa. Sudah aku laporkan ke posko, namun hingga beberapa hari belum ada beritanya. 

Akhirnya ada berita bahwa sudah ditemukan oleh orang Indonesia yang  tinggal menetap di Saudi. Aku dan Mas Suami diantar petugas Al Huriyah mencari ke rumahnya yang cukup jauh, dengan menyusuri jalan berbatu dan menanjak di daerah  pinggiran Mekah. Diketemukan karena dalam dompetku terselip stiker Al Huriyah. Syukurlah bisa ketemu. Aku memang sering teledor, sembrono dalam menjaga sesuatu yang berharga.

Di hari yang telah ditunggu-tunggu, yaitu tanggal 9 Dzulhijah, jemaah berangkat ke Arafah dengan naik bus. Saat itu suasana sangat ramai, di mana-mana macet. Kendaraan bus, mobil dan manusia yang berjalan kaki memenuhi jalan menuju satu tujuan, yaitu Arafah. 

Ada bapak-bapak menggendong anak kecil di atas lehernya, dan ibu-ibu menggendong bayinya. Barangkali mereka jemaah haji dari sekitar Saudi saja, bukan yang datang dari negeri jauh seperti kami.

Saat itu semua orang sudah mengenakan kain Ihram. Bus kami hanya bisa berjalan beberapa meter kemudian berhenti, demikian seterusnya. Sampai di Arafah hampir waktu Ashar.

Di Arafah kami sholat Ashar dijamak dengan Zuhur, kemudian berdoa dan berzikir. Berdoa dengan khusyuk, mohon ampun atas segala dosa kami dan mohon kebaikan untuk kehidupan kami selanjutnya.

Setelah Isya rombongan menuju Musdalifah, mengambil batu kerikil untuk melontar jumroh. Di sana kami mabit, yang artinya bermalam, dan setelah lewat tengah malam meninggalkan Musdalifah menuju Mina.

Bus parkir di suatu tempat yang ditentukan dan kami bersama-sama rombongan berjalan kaki melontar jumroh Aqobah dengan 7 buah batu kerikil.  Kembali ke bus, kemudian menuju Mekah untuk Tawaf dan Sai di Masjidil Haram.

Begitu padat manusia di Masjidil Haram sehingga untuk tawaf memerlukan waktu yang lama. Ketika Sai putaran ke tujuh selesai, kami memanjatkan doa bersama-sama dipimpin Muthawif. Ibadah haji kita telah selesai ditandai dengan tahalul, yaitu pemotongan sedikit rambut di kepala. Ada juga yang langsung mencukur seluruh rambut hingga botak plontos.

Esok harinya rombongan berangkat dari hotel di Mekah menuju Mina lagi untuk melontar jumroh yang kedua dan ketiga, yaitu jumroh Wustho dan Ula. Setelah ritual Haji selesai, maka jemaah ke Madinah untuk tinggal selama beberapa hari. Kalau tidak salah 40 waktu sholat atau sekitar 8 hari.

Tak terasa 40 hari berlalu, sudah rindu pada anak-anak di rumah. Saat itu belum ada handphone, kalau mau menelepon harus ke tempat telepon umum, dan menyesuaikan perbedaan waktu dengan Tanah Air. Kami pulang ke Tanah Air melalui Bandara King Abdul Aziz di Jeddah.

Di bulan November tahun 2003, aku kembali ke Tanah Suci untuk berhaji bersama Ibu. Aku ingin mendampingi Ibu yang saat itu sudah cukup sepuh, berusia 73 tahun.

Kali ini kami menggunakan fasilitas ONH plus selama 14 hari melalui Travel Patuna. Agar dapat beribadah dengan khusyuk, jangan sampai ada hal-hal yang kulakukan yang Ibu tidak berkenan, maka aku memilih sekamar bertiga dengan jemaah lain. Teman sekamar kami itu dari Bandung namanya Bu Rita,  yang kemudian menjadi sahabatku dan sudah seperti adik sendiri.




Kami menginap di Hotel Mekah, sebuah hotel kecil sederhana yang berada persis di depan Masjidil Haram. Walaupun kecil, tapi harganya paling mahal karena begitu dekat dengan masjid. Jika sudah terdengar suara azan tapi kita terlambat, maka sholat di halaman hotel sudah sama dengan halaman Masjid.

Ada pengalaman yang sempat mengkhawatirkanku. Suatu pagi pulang dari sholat subuh, Ibu bilang mau jalan-jalan. Aku mau mengantar, tapi Ibu mau sendiri saja. Mungkin ibu mau beli sesuatu, atau oleh-oleh dan tidak ingin aku ikuti. Setelah 2 jam berlalu, kok Ibu belum sampai hotel lagi ya?

Bersama Bu Rita aku mencari ke toko-toko sekitar hotel. Mungkin Ibu bingung mencari jalan pulang. Wah, aku sudah khawatir, jangan-jangan Ibu hilang atau tersesat. Belum sampai aku lapor ke posko, ternyata Ibu sudah kembali. Alhamdulillah.

Saat sekarang ini semakin banyak antrian jemaah haji yang belum mendapat giliran untuk diberangkatkan. Kesempatan ke Tanah Suci yang memungkinkan adalah umroh. Umroh pertamaku terjadi di akhir tahun 1995,  yaitu umroh sekeluarga berempat bersama anak-anak, dilanjutkan ziarah ke Masjidil Aqsho di Palestina. Pengalaman ini sudah aku tulis di Blogku : https://www.wenidarmono.com/2017/12/kenangan-perjalanan-umroh-dan-tour-ke.html

Di saat-saat tertentu aku menyempatkan diri untuk berdoa di Tanah Suci, seperti ketika anak-anak mulai dewasa dan sudah mempunyai teman dekat. Aku doakan kiranya Allah memilihkan jodoh yang baik buat mereka. Demikian pula ketika anak-anak memulai suatu usaha buat masa depan mereka. Sebagai orang tua, yang bisa aku lakukan hanya mendoakan saja.





Melaksanakan umroh juga merupakan ungkapan syukurku atas pertolonganNya, sebagaimana yang pernah aku lakukan di tahun 2016, kutulis di blogku : https://www.wenidarmono.com/2016/06/umroh-ke-tanah-suci-tahun-2016.html

Hal-hal yang tidak diperbolehkan di saat melaksanakan ibadah haji juga berlaku di saat melaksanakan ibadah umroh. Kita tidak boleh bertingkah laku, berpikiran atau mengucapkan kata-kata yang tidak selayaknya. Itu akan berpengaruh pada diri kita.

Aku pernah jatuh sakit ketika sedang umroh. Aku ingat-ingat, apa yang telah aku lakukan di Tanah Suci ini? Mas Suami mengingatkan peristiwa di bandara, dimana aku baru sampai sudah menggerutu kesal.

Ketika itu kami baru saja mendarat di Bandara King Abdul Azis. Tak lama kemudian terdengar azan Magrib berkumandang. Jemaah mulai mengambil wudhu dan akupun ikut ke toilet. Masya Allah…..... lantainya penuh genangan air. Tisu-tisu di tempat sampah penuh dan tumpah berserakan di lantai yang tergenang air. Pasti ini yang menyumbat saluran pembuangan. Dan celakanya tidak ada seorang petugas pun yang bisa dimintai tolong.

Bagaimana kami bisa berwudhu, setelah berwudhu terkena air kotor lagi. Aku bilang ke Mas Suami, mengapa negara sekaya Arab Saudi tidak mau menempatkan seorang Petugas Kebersihan di toilet? Itu satu kenangan yang tidak manis, tapi lebih banyak kenangan yang menyenangkan lho….... 

Aku melaksanakan ibadah umroh yang terakhir di bulan Desember tahun 2017. Ketika itu kita pergi bersama dalam satu rombongan umroh menggunakan Travel Tazkia yang sudah berpengalaman dalam memberangkatkan haji dan umroh.

Disamping jemaah lain, rombongan kami 10 orang yang terdiri dari aku berdua Mas Suami, Anakku Hesty, suaminya Boby dan 2 Cucu kami Lila dan Lura serta 4 orang Staf Kantor Notaris. Umroh 2017 ini menandai berakhirnya tugasku sebagai Notaris dan PPAT karena pensiun.  Apakah ini benar-benar umroh yang terakhir? Semoga tidak. Jika Allah SWT berkenan, pasti aku bisa berangkat lagi kelak. Insya Allah….....







 




 

 

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar