Lanjutan dari : Bali setelah Pandemi (1)
Hari Ketiga : Pantai-pantai di Bali.
Matahari yang biasanya bersembunyi di bulan Desember, hari ini tampak cerah bersinar. Kami bersemangat untuk mengunjungi pantai-pantai indah di Bali. Kata Pak Komang, Pantai Melasti yang baru selesai dibangun adalah pantai terbaru dan terbagus yang harus dikunjungi. Pantai berpasir putih ini berlokasi di daerah Ungasan yang bisa ditempuh dalam 40 menit dari Kuta, lokasi kami menginap. Aku coba melihat di peta, pantai ini terletak di ujung selatan Pulau Bali.
Menuju ke sini, dari Denpasar jalanan terus naik
kearah selatan, walaupun suasana masih terasa berada di perkotaan. Jalan begitu
mulus hingga masuk kearah pantai. Menurut penglihatanku, pantai ini berada
dibalik gunung batu. Di belokan terakhir dari jalan yang memasuki pantai
dimana air laut yang membiru tampak didepan mata, Patung 5 Penari Bali berjajar
manis menyambut pengunjung.
Selain Patung, Gapura masuk sudah bernuansa khas
Bali. Di sebelah kananku, tembok tebing disulap menjadi taman cantik untuk
spot-spot foto dan anak-anak bermain. Tempat parkir juga tersedia luas, bisa
memuat banyak mobil. Mungkin karena masih baru, dan mungkin juga karena suasana
Pandemi tidak banyak pengunjung, keseluruhan Pantai Melasti kelihatan bersih.
Ketika kami tiba, hari masih pagi, seorang bapak sedang menata kursi dan payung dipinggir pantai. Langsung saya menanyakan, apakah kursi dan payung ini disewakan? Ternyata benar, ini adalah properti milik hotel yang ada diatas bukit itu. Aku melihat keatas, tampak sebuah bangunan dengan kaca-kaca bertengger diatas bukit. Hotel apa itu ya? 2 buah kursi pantai panjang dengan payung disewakan Rp. 100 ribu. Aku sepakat untuk menyewanya. Di dekat kami duduk santai, terdapat taman kecil dengan pohon Pandan Bali. Pasir putih dengan ombak bergulung kecil membuat nyaman berjalan-jalan dipinggirannya. Aku jadi teringat dengan ketiga gadis-gadis tanggung yang tertinggal di Jakarta. Alangkah bahagianya jika ke Pantai Melasti bersama mereka.....
Ketika matahari semakin naik, suasana cerah
berubah mendung dengan hujan rintik-rintik. Jika kami bertahan dibawah payung
ini, lama kelamaan pasti akan basah juga. Kamipun berkemas untuk meninggalkan
Melasti menuju pantai lainnya. Menuruni jalan keluar dari Melasti, kemudian
belok kekanan, kami menuju Pantai Pandawa. Suasana hujan yang semakin deras
mengaburkan pandangan mata. Pantai Pandawa sangat sepi. Pantai ini sebenarnya
satu deretan dengan Pantai Melasti, juga tersembunyi berada dibalik gunung atau
tebing batu. Mengapa disebut Pantai Pandawa? Yah, karena di salah satu sisi
tebingnya terdapat Patung Pandawa yang ditempatkan pada lubang-lubang
tebing. Ditepi jalan yang kami lalui, terdapat bangunan-bangunan tinggi yang
mangkrak tidak dilanjutkan. Barangkali direncanakan untuk Hotel, tetapi karena
Pandemi terpaksa terhenti. Hujan deras menjadikan kami tidak melanjutkan
eksplorasi di pantai ini. Sepintas memang jauh lebih bagus Pantai Melasti dari
pada Pantai Pandawa.
Dimana kita akan makan siang hari ini? Pak
Komang mengusulkan ke sebuah restoran di sekitar pantai juga, yang
menghidangkan masakan ikan segar. Aku lupa nama restorannya. Masakan Sop Ikan
yang dikemas dalam menu per paket. Rasa masakannya seperti Sop Ikan Batam yang
ada di Jakarta. Alhamdulillah……
Pantai terakhir yang kami kunjungi hari ini adalah Pantai Kuta, pantai penuh kenangan. Ke pantai inilah saat pertama kali aku mengenal Bali, mengajak kedua putra-putriku Dandy dan Hesty. Dandy masih berusia sekitar 10 tahun dan adiknya 5 tahun. Wouw…. 35 tahun yang lalu ….. Suasana maupun foto-fotonya masih tersimpan di ingatanku, begitu indahnya siluet senja di Pantai Kuta yang saat masih sepi.
Di pantai ini juga kami bersama Aisha kecil, cucu kami dari Dandy, makan di Restoran belakang Mall Discovery. Masih adakah Mall dan Restonya itu setelah sekian tahun berlalu? Sayang tidak sempat mengunjunginya lagi.
Ke pantai ini juga kami bersama Lila dan Lura, cucu kami dari Hesty. Lila waktu itu masih kecil, belum sekolah dan Lura masih baby. Kami berlibur bersama keluarga putriku, menginap di Hotel Haris, yang berada di seberang pantai ini. Sekarang sepertinya Hotel Haris sudah tidak ada di Kuta. Waktu itu bundanya Lila khusus membawakan mainan cetakan untuk bermain pasir di pantai. Kami menunggu Lila main pasir di pantai sampai puas.
Hari ini kami hanya berdua, menapaki bibir
Pantai Kuta yang deburan ombaknya tak seberapa besar. Sepanjang garis pantainya dipenuhi manusia. Kebanyakan penjual makanan yang
menawarkan jajanan dan minuman, ibu-ibu penjual gelang-gelang mote dan ibu-ibu
pemijat yang mengikuti kemana kami pergi. Pantai ini menjadi tak indah lagi sebagaimana yang ada dalam memori kenanganku..........
Hari keempat : Jatiluwih dan Bedugul
Mas Suami masih belum
puas melihat indahnya deretan sawah di Tegalalang. Hari ini ingin ke lokasi
serupa yaitu di Desa Jatiluwih, yang
berada di Kecamatan Penebel, termasuk
dalam wilayah Kabupaten Tabanan. Karena keindahannya, Mantan Presiden Barack
Obama dalam liburannya ke Bali di tahun 2017 menyempatkan untuk mengunjunginya.
Jatiluwih juga telah ditetapkan oleh Unesco sebagai salah satu World Heritage atau Warisan Budaya Dunia di
tahun 2012.
Tujuan wisata ini
berjarak 55 Km dari Kuta, dan dapat ditempuh dalam waktu 1,5 hingga 2 jam. Keluar
dari Denpasar, aku memasang aplikasi "waze" untuk memudahkan
pencarian alamat. Berada di lereng Gunung
Batukaru dengan ketinggian 700 m diatas permukaan laut wilayah ini sangat
subur. Gunung Batukaru adalah gunung tertinggi kedua setelah Gunung Agung,
tingginya 2.776 meter diatas permukan laut. Dimana-mana tampak sawah
terbentang, Jalanan semakin naik, udara mulai dingin. Jalur yang kami
lewati sangat sepi, bahkan seperti memasuki hutan karena sepanjang jalan rimbun
dengan pepohonan yang tidak biasa. Aku sempat khawatir, jangan-jangan tersesat.
Bagaimana jika terjadi sesuatu dengan kendaraan kami, siapa yang menolong,
sedangkan jauh dari perkampungan. Apalagi hujan turun rintik-rintik diselingi
bunyi suara-suara denging serangga hutan, membuat suasana semakin sunyi.
Rupanya si
"waze" mencari jalur alternatif yang lebih pendek. Dibelakang kami juga
ada kendaraan yang mengikuti mobil kami. Bernafas lega rasanya ketika melihat
petunjuk jalan, Jatiluwih tinggal beberapa kilometer lagi.
Nah, inilah pemandangan
sawah terasering yang cantik dengan menggunakan sistem pengairan tradisional Bali
yang disebut Subak. Disini air berlimpah, lancar mengalir di selokan-selokan
dipinggir jalan. Tampak di seberang sana persawahan berundak-undak dengan
pembatas (bahasa Jawa : galengan) yang rapi. Sayang hujan dan kabut menjadikan
foto yang kami ambil tidak bagus. Foto yang bagus ini aku ambilkan dari Google.
Meninggalkan Jatiluwih, hujan masih bertahan rintik-rintik. Kata Pak Komang, jarak dari Jatiluwih ke Bedugul hanya 25 km. Jika lancar, tidak memerlukan waktu lama. Jalanan lebih bagus dari ketika berangkat tadi sehingga dalam setengah jam sudah memasuki Bedugul.
Kami menuju Kebun Raya Bedugul, tetapi karena hujan
semakin deras, rasanya nggak mungkin turun dari mobil. Kemudian balik kearah Danau Beratan untuk mencari tempat
makan.
Rupanya Bedugul sudah
sangat berubah. Aku tak lagi mengenalinya. Ingatanku tentang Danau Beratan di
Bedugul itu airnya berlimpah hingga tampak seperti penuh hampir meluap. Kini
tidak seperti itu. Demikian pula aku tidak melihat Pura Ulun Danu karena
derasnya hujan. Karena hujan semakin
deras dan kami tidak menemukan tempat untuk istirahat sekaligus makan siang,
maka kami putuskan untuk putar-putar dan akhirnya balik lagi ke Kebun Raya
ketika hujan sudah reda. Kami membeli tiket untuk naik Shuttle Bus berkeliling.
di Kebun Raya. Driver sekaligus Guide akan memberi penjelasan jika pengunjung
bertanya.
Kebun
Raya Bedugul resminya bernama Kebun
Raya Eka Karya Tabanan Bali, berada di ketinggian 1.240 m diatas permukaan laut.
Udaranya sangat sejuk dan sering berkabut. Kebun Raya dengan luas 157,5 ha ini
juga merupakan salah satu hutan lindung di Bali.
Shuttle bus berisi 2 keluarga, aku berdua suami dan pengunjung warga Bali bertiga dengan isteri dan anaknya. Ada beberapa shuttle bus yang tampak di jalan berpapasan. Di satu titik, kami diberi kesempatan untuk berfoto dengan background pemandangan Danau Beratan nun jauh disana. Dengan shutle bus, rasanya cepat sekali mengelilingi Keun Raya. Memang selama Pandemi beberapa ruas jalan ditutup dan yang membuat aku kecewa adalah Koleksi Anggrek tidak dibuka. Padahal disitulah keberadaan beberapa jenis anggrek langka yang ingin aku lihat. Dari informasi yang aku dapatkan, di Kebun Raya ini juga ditanam lengkap semua tumbuhan yang digunakan untuk upacara Umat Hindu Bali. Sesuatu yang sangat berharga untuk dilewatkan. Sayang sekali tidak ada kesempatan untuk melihatnya.
Demikianlah kunjungan ke
Kebun Raya Bedugul, yang menurutku kurang memuaskan. Deretan pepohonan yang
sebenarnya indah untuk dinikmati, hanya seperti sekelebatan saja. Jika bukan
musim hujan, pasti bisa leluasa mendekatinya. Rasanya kepengin menjelajahi suatu ketika nanti jika masih ada kesempatan.
Kami meninggalkan
Bedugul menuju Denpasar, untuk melakukan Tes Antigen sebagai syarat untuk
terbang esok pagi. Selamat tinggal Bali yang tetap cantik. InshaAllah kenangan
indah bersamamu akan tetap tersimpan dihatiku.
Jakarta, 12 Desember
2021.
Asyiiikk.b.joko...
BalasHapusSeneng lihat nya...ikut terhanyut..
Dgn pemandanganndan suasana alam dsna..bravo bu...
Terima kasih..... Mohon maaf dengan siapa ya?
HapusYang panggil aku bu Djoko, pasti teman-teman ex DW ....
Benerkah?
Terima kasih apresiasinya.
BalasHapusMohon maaf dengan siapaini ya?
Assalamualikum
BalasHapusSemoga ibu dan suami selalu sehat dan bahagia, aamiin
Terima kasih telah membaca tulisanku. Mohon maaf, dengan siapa ya?
Hapus