Assalamualaikum ww
Secara tak
direncanakan, ternyata aku akan mengunjungi Bali lagi. Mas Suami dan anakku
Dandy sedang berada di Bali untuk suatu urusan yang akan selesai dalam waktu
3 hari. Dandy akan balik ke Jakarta, ganti aku kesana menemani mas Suami
sekaligus refreshing setelah berkutat “dirumah saja” selama 2 tahun Pandemi.
Inilah untuk pertama kalinya aku terbang dengan pesawat setelah lama tidak
menginjakkan kaki di Bandara. Hari ini Kamis
tanggal 25 Nopember 2021 aku sudah di Bandara Soekarno Hatta Terminal 3.
Begitu panjangnya jarak dari counter cek-in hingga Gate 21, aku berjalan
sambil ngos-ngosan. Tiba di Bandara Ngurah Rai disambut dengan hujan
deras.Yah, ini sudah bulan ber-ber, seluruh wilayah Indonesia sudah berada di
musim hujan. Mas Suami menjemput bersama temannya dan kami menuju hotel yang
sudah ditempati semula di Kuta. Bali sedang
menggeliat. Didepan hotel terlihat 2 bus besar dari kota Malang menurunkan
Bapak-ibu dan anak-anak sekampung yang ceria telah berada di Bali. Wisatawan
domestik sudah mulai berdatangan seiring dengan menurunnya jumlah penderita
Covid 19 di seluruh tanah air. Semoga Pandemi benar-benar berakhir dan
pariwisata kembali bergairah. Hari Pertama: Karangasem Pagi yang cerah,
matahari sudah naik ketika kami keluar hotel menuju Karangasem, sebuah kota
yang berjarak 86 km arah timur dari Denpasar yang ditempuh kira-kira dalam
2,5 jam santai. Mobil dikomandani oleh Pak Komang, teman dari temannya mas
Suami. Sehari-hari Pak Komang bukan seorang Driver kendaraan wisata, hanya
selama 4 hari kedepan ini saja menemani kami keluar kota. Memasuki kota
Karangasem, sekitar jam 10 an. Suasana kota bersih, tampak biasa-biasa saja
sebagaimana kota-kota kecil di Pulau Jawa. Kami mulai mencari-cari tempat
sarapan dan ngopi disepanjang jalan karena tadi pagi di hotel belum sempat
sarapan. Di daerah Candidasa, Pak Komang meminggirkan mobilnya disebuah
tempat makan, namanya ACK yang menjual ayam goreng semacam KFC. Tempat
makan yang kelihatannya cukup bersih. Sebelum kami sarapan, pak Komang membelikan
secangkir kopi untuk Mas Suami di Indomaret dekatnya. Beberapa tahun
terakhir, setelah mas Suami pensiun, kopi merupakan menu wajib sehari 2 kali.
Jika terlewat, tubuhnya akan bereaksi seperti ketagihan, lemah lesu tak
bersemangat. Dan setelah minum kopi, jadi segar. Aakkkhhhh .....mantap... Tujuan pertamaku
adalah Taman Air Tirta Gangga, masih sekitar 20 menit dari tempat kami
sarapan ini. Karena jalanan sepi tak banyak kendaraan di dalam kota, mobil
lancar menuju Tirta Gangga. Di pintu masuk, kami membeli tiket seharga Rp 25
ribu per orang. Disekitarnya tampak banyak warung kecil berjualan
pakan ikan dalam plastik seharga Rp. 5 ribu, aku membeli 2 kantong buat
persediaan. Wouw........
tampak didepan mataku Taman Air yang cantik dengan ikan-ikan Koi besar
berwarna kuning berenang-renang dengan indahnya. Di kolam itu kita bisa
berjalan tanpa menyentuh air, melewati pijakan-pijakan yang tertata manis
diselingi dengan patung-patung yang berdiri di dekat pijakan. Aku
tak sabar lagi mau melihat ikan-ikan itu lebih dekat. Segera aku sebarkan
pakan dan berkecipaklah Koi-koi yang besar-besar berwarna kuning mulus
mendekatiku hingga persis dipinggir pijakan. Momen yang bagus untuk tidak
dilewatkan begitu saja. Bukan hanya aku yang histeris dengan suasana ini,
disebelah sana ada rombongan ibu-ibu sedang berganti pakaian mengenakan
seragam baju terusan warna putih melambai-lambai, siap untuk bergaya berfoto
ria. Asyiik...... pasti sudah berniat bulat ke Taman Tirta Gangga untuk
berfoto dengan berbagai gaya. Aku memperhatikan
taman ini lebih saksama. Taman dengan luas 1,2 hektar ini terbagi
menjadi 2 buah kolam yang airnya jernih dan sejuk, dengan beberapa
pancuran berupa Patung berukir yang mengeluarkan air dari mulutnya. Air dalam
kolam berasal dari mata air, dan merupakan air suci yang digunakan untuk
sembahyang umat Hindu di Bali. Disekeliling kolam
terdapat rumput hijau dengan tanaman-tanaman tertata manis. Beberapa pohon
kamboja dibelakang sana juga tampak cantik berbunga kuning dengan gelantungan
tanaman Tanduk Rusa jenis Platycerium. Di kolam sebelah kiri, tidak terdapat
pijakan seperti yang ada dikolam sebelah kanan. Ikan-ikannya juga belum
besar. Dipinggirnya ini tertambat 2 buah perahu berwarna merah
putih, yang bisa disewa mengelilingi kolam. Kemudian diujung utara terdapat
jembatan dengan undakan tangga, semuanya dibuat dari batu dengan
ukir-ukiran cantik. Jembatan batu ini juga merupakan spot foto bagus bagi
pengunjung. Taman Tirta Gangga
merupakan peninggalan Kerajaan Karangasem, sebuah Kerajaan di Bali bagian
timur yang berdiri di abad ke 17. Kerajaan Karangasem dimasa jayanya meliputi
wilayah Pulau Lombok. Pengunjung lain mulai berdatangan dan sama dengan yang
aku rasakan, gembira dan ceria melihat ikan-ikan berseliweran dikolam. Kami meninggalkan
Taman Tirta Gangga menuju Pura Penataran Agung Lempuyang. Pura
ini terletak di ketinggian Gunung Lempuyang, 1.175 meter diatas permukaan
laut. Tiba di lapangan parkir, sudah menunggu beberapa Shuttle Bus yang akan
mengantar para pengunjung naik ke Pura. Saat itu Shuttle Bus hanya berisi
kami berdua dan sepasang turis mancanegara. Harga tiket untuk naik bus ini
adalah Rp. 50 ribu. Pemandangan sekitar jalan diwarnai kehijauan kebun-kebun
penduduk disekitarnya. Bus terus bergerak
di jalanan yang berkelok-kelok dan menanjak, rasanya sekitar 45 derajat.
Tibalah di suatu lokasi, penumpang turun. Kami diminta mengenakan Sarung Bali
yang telah disediakan dengan membayar Rp. 10.000. Juga ditawarkan bagi yang
berminat, menyewa Kain dan Baju Kebaya Bali berwarna putih untuk Ibu, dan
untuk Bapak Kain dan Baju Hem warna putih. Dari sini untuk
mencapai tujuan ternyata masih harus berjalan kaki di jalanan yang menanjak.
Untunglah banyak Ojek Motor yang menawarkan diri mengantar sampai ke Pura.
Aku memilih untuk membonceng salah satu Ojek yang pengemudinya wanita dengan
membayar Rp. 10 ribu pulang pergi. Tak berapa lama, sampailah di suatu tempat
luas seperti lapangan. Menoleh ke sebelah kanan, tampak Bangunan dari batu yang didominasi undakan tangga menuju puncak, dimana Pura Penataran Agung Lempuyang berada. Ada 3 undakan tangga yang pada akhirnya sampai pada 3 pintu. Dari bawah tampak pintu yang tengah lebih besar dari 2 di pinggir. Apabila kita akan memasuki Pura, maka harus naik tangga yang cukup panjang dan tinggi itu. Rasanya aku tidak mampu naik sampai keatas. Aku masih sayang dengan lututku. Dokter melarang untuk aktifitas naik tangga dan bersepatu hak.
Menurut informasi,
Pura Penataran Agung Lempuyang merupakan bagian dari Kompleks Pura di Gunung
Lempuyang, dimana dipuncak Gunung Lempuyang terdapat sebuah Pura tertua yang
sangat dihormati. Itulah Pura Lempuyang Luhur, salah satu
dari 6 Tempat Sembahyang paling suci di Bali. Setiap orang Bali
setidaknya sekali dalam hidupnya
bersembahyang disana. Setelah puas
berkeliling dan mengambil foto-foto, akhirnya aku kembali kebawah dengan
membonceng Ojek yang aku naiki sebelumnya. Sambil duduk diboncengan motor,
aku sempat sedikit mewawancarai Mbak Ojek. Dimasa Pandemi ini, sehari dia
bisa menarik 3 atau 4 kali, artinya mendapat penghasilan Rp.30 ribu atau
Rp.40 ribu. Lanjut naik Shuttle Bus hingga tiba di pelataran parkir mobil, aku melihat Pak Komang sedang ngopi di sebuah Warung yang cukup bagus, namanya Warung Ibu Ketut. Mas Suami segera menyusul dan memesan secangkir Kopi Bali. Sambil ngopi kami juga pesan Nasi Goreng, cukup 1 porsi buat berdua. Kami sempat ngobrol sebentar dengan ibu Ketut yang berbicara dengan dialek Bali yang medok. Katanya : "Saya juga
ingin seperti Bapak Ibu, pergi jalan-jalan berdua." "Iya bu, ibu
enak, nggak usah jauh-jauh, sudah tinggal di Bali” "Kalau saya
pergi jalan-jalan, siapa yang ngurus Warung? “Warung ini
satu-satunya penghidupan saya" Begitulah. Mbak Ojek
dan Ibu Ketut mengingatkan aku, untuk selalu bersyukur atas segala karuniaNya
........ Matahari sudah mulai
bergerak kearah barat. Tujuan ketiga di Karangasem hari ini adalah
mengunjungi Taman Ujung Soekasada. Taman ini juga merupakan
Taman Air peninggalan Kerajaan Karangasem, yang memiliki arsitektur
indah dan memiliki karakter tersendiri. Menuju lokasi ini,
kami melewati jalan-jalan kecil yang akhirnya sampai di tepi
pantai. Di gerbang masuk membeli tiket seharga Rp.15 ribu. Menuju
Taman Air, kami melewati jalan masuk yang dinaungi bunga
bougenville warna merah pink. Beberapa saat kemudian, tampaklah
kolam air luas, ditengahnya terdapat bangunan yang dahulu digunakan sebagai
Tempat Peristirahatan Raja. Dari pinggir kolam, untuk menuju Bangunan
ditengah, dihubungkan oleh 2 jembatan batu berukir yang panjang. Bangunan cantik ini
dibuat oleh Arsitek Belanda, China dan Bali di tahun 1901 atau 120 tahun yang
lalu. Walau sudah berusia tua, namun tetap terawat baik. Dibangun pada
masa pemerintahan Raja Karangasem I Gusti Gde Jelantik,
dilanjutkan putranya yaitu I Gusti Bagus Jelantik yang bergelar
Anak Agung Agung Anglurah Ktut Karangasem, yang dikenal sangat
mencintai budayanya. Di Bangunan tengah atau Tempat
Peristirahatan Raja tersebut terdapat foto beliau berdua.
Hari kedua : Ubud. Di
Tahun 2021 ini, Ubud dinisbahkan sebagai Kota Wisata
Terbaik nomor 4 di dunia oleh sebuah Situs Wisata Travel
and Leisure, yang ditetapkan berdasarkan jajak pendapat terhadap
Pembaca Situs yang pernah melakukan perjalanan ke berbagai kota di dunia.
Nah, kita patut bangga dong. Jarak
tempuh dari Kuta, dimana aku menginap menuju Ubud adalah 35 km, yang ditempuh
dalam waktu sejam. Ubud merupakan kota internasional, penduduknya berasal
dari berbagai negara didunia. Kota ini memiliki sejarah panjang dibidang seni
dan budaya karena disinilah tinggal dan berkarya para Maestro Seni Lukis. Di
Ubud juga bertebaran Musium Lukisan yang untuk mengunjunginya tak akan cukup
waktu sehari Kali
ini aku menuju Tegalalang, yang memiliki pemandangan sawah
terasering, bertingkat-tingkat, cantik dipandang dari atas. Sebelum Pandemi
aku telah mengunjungi tempat ini, namun karena begitu banyaknya pengunjung
pada saat itu, mobil tidak bisa parkir. Memang tidak ada tempat parkir
khusus, mobil-mobil hanya berderet disisi jalan. Hari ini berbeda.
Pandemi telah merubah Tegalalang menjadi sepi, padahal hari ini adalah
hari week end. Aku, mas Suami dan pak Komang bisa dengan leluasa duduk
manis ngopi di sebuah Cafe sambil menikmati indahnya deretan persawahan
yang bertingkat dengan ditemani camilan Spring roll dan Pisang Keju.
Bahkan ngobrol santai dengan Bli Pramusaji di Cafe ini tentang kondisi selama
Pandemi. Menurut ceritanya, sebelum Pandemi, omset Cafe di hari Sabtu atau
Minggu mencapai Rp. 15 juta per hari. "Pasti
sewa tempatnya mahal ya" kataku. "Lumayan
bu. Rp. 750 juta utk 5 tahun. Itu hanya tempat saja. Bude saya merenovasi
sendiri dan menambah satu tingkat keatas" “Dari
5 tahun sewa, yang 2 tahun tidak menghasilkan, bahkan merumahkan banyak
karyawan” “Semoga
mulai hari ini Pandemi secara berangsur-angsur menghilang dan
Bali ramai kembali seperti biasa” kataku sebelum
meninggalkan Café. Tujuan selanjutnya adalah Campuhan Ridge
Walk, sebuah lokasi untuk jalan-jalan sehat yang berada di sepanjang
puncak perbukitan Campuhan, dimana sekelilingnya hijau indah. Tempat ini
sangat cocok untuk melihat Sunrise atau Sunset. Lokasi Campuhan terkenal
setelah digunakan untuk shooting filmnya Julia Roberts “Eat, Pray,
Love” Dimanakah tempat itu? Mobil
berputar-putar mencari lokasi sebagaimana ditunjukkan oleh "waze",
aplikasi penunjuk jalan yang aku buka dari hp. Pak Komang bukan Driver
Wisata, jadi masih belum paham daerah Ubud. Sampai 3 kali kami melalui jalan
yang sama nggak ketemu juga. Akhirnya baru ketemu setelah mendapat informasi
lokasi jalan masuknya. Mobil harus parkir disebuah sekolah, dari situ
menuruni jalan terjal yang tidak kelihatan belokannya. Melihat situasi jalan
yang harus ditempuh dan hujan yang semula rintik-rintik mulai bertambah
deras, aku batalkan mengunjungi Campuhan Ridge Walk. Barangkali lain waktu
bisa diagendakan lagi. Mobil
menuju ke arah Musium Antonio Blanco. Aku juga sudah kesini
pada kunjungan ke Ubud sebelumnya, tapi waktu itu terlambat karena sudah
kesorean, musium sudah mau tutup. Sebenarnya Musium ini bagus sekali. Mungkin
selama Pandemi tidak ada pemasukan sehingga tampak kurang terawat. Harga
tiket masuknya Rp. 35 ribu. Pada saat membeli tiket, hujan bertambah deras,
dan kami diberi pinjam payung. Memasuki
bangunan utama, aku hanya berdua mas Suami. Lampu didalam remang-remang,
suasananya menjadi serem. Setelah berfoto segera aku keluar, berteduh di
teras. Diluar masih hujan. Sambil berteduh aku melihat pemandangan dihalaman,
tampak taman yang tertata indah. Ditengah taman ada pancuran dengan halaman
rumput yang diberi aksen batu-batu pijakan. Inspirasi buat yang
punya halaman rumput. Meninggalkan Musium, kami akan makan siang di Restoran Bebek Tepi Sawah. Siang itu banyak sekali tamunya. Parkiran depan sudah nggak muat mobil, hingga diarahkan ke tempat parkir di belakang lewat sebuah gang yang berjarak beberapa meter setelah pintu utama. Restorannya sangat luas. Ditengahnya terdapat sawah kira-kira 1.500 m yang menjadi ikonnya, dimana padi sudah mulai menguning. Saung-saung tempat makan didesain berada disekeliling sawah. Menarik perhatianku, di pohon-pohon yang tumbuh dekat setiap saung menggelantung bunga Anggrek Bulan atau Anggrek Dendrobium, mempercantik dan membuat nyaman suasana hati pengunjung.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar