Assalamu'alaikum ww.
Hari pertama, Jum at 7 April 2017.
Hari ini akan menjadi hari kenangan bagi kami, Keluarga Besar (tapi kecil) Kantor
Notaris WENI DARMONO, SH. Menjelang pensiun dan penutupan kantor di akhir Desember
2017 nanti, kami telah merencanakan Wisata Perpisahan bersama Karyawan dan
Keluarganya (isteri/suami dan anak-anak), yang seluruhnya berjumlah 14 orang,
diantaranya ada 2 anak-anak. Pagi-pagi jam 5 kami berangkat dari rumah
masing-masing menuju Bandara Halim Perdana Kusuma. Ternyata kami tidak
menyadari bahwa dalam pemberitahuan perubahan dari Citilink yang kami terima,
bukan hanya jam berangkat yang berubah, tetapi
juga perubahan Bandara dari Halim Perdanakusuma ke Bandara Soekarno
Hatta di Cengkareng. Jadilah pagi-pagi yang seharusnya fresh, kami sudah
berpacu dengan waktu. Dengan penuh
perjuangan karena khawatir ketinggalan, akhirnya semua peserta tiba di tempat
dan segera cek in, siap take off.
Mendarat di Bandara Adisucipto Yogyakarta, kami dijemput Kendaraan
dari Travel Wira Tour Jogya dengan 2
mobil Innova, Driver mobil kami namanya
mas Nur, dan mobil satunya mas Edy akan
menemani kami selama 4 hari kedepan.
Kendaraan langsung menuju Hotel kami di Jalan Sosrowijayan, dekat sekali
dengan Malioboro, untuk menitipkan koper. Selanjutnya menuju arah Gunung Merapi
untuk mengikuti Merapi Lava Tour.
Tour ini merupakan sesuatu yang baru, baru ada setelah meletusnya
Gunung Merapi di tahun 2010. Aku dan
suami tidak ikut, karena dulu beberapa bulan setelah meletusnya Gunung Merapi,
kami berdua sudah kesana, bahkan naik ojek untuk bisa sampai ke tempat Mbah Marijan, seorang Juru Kunci Gunung
Merapi yang sangat setia, tidak mau
meninggalkan tugasnya hingga beliau tewas terkena awan panas. Saat kami kesana,
daerah ini benar-benar gersang, tak ada
tumbuhan yang hidup, kalaupun ada meranggas hitam gosong. Sekarang kondisi
sekitar Merapi telah pulih kembali. Saatnya bagi yang masih muda menikmati
petualangan sambil belajar tentang alam yang mengasyikkan di sekitar Merapi.
Diawali dari Base Camp di Kaliurang, satu kendaraan Jeep maksimum
dapat dinaiki 4 orang. Satu orang duduk disamping sopir, dan dibelakang bisa 3
orang. Lama tour terpendek sekitar 1,5 jam, dan di sepanjang perjalanan tour
berhenti di beberapa lokasi antara lain: Musium Sisa Harta, Batu Alien dan
Bunker Kali Adem. Juga melihat Kali Gendol dari atas, dimana aliran lahar
dingin melalui kali ini. Para operator Penyelenggara Lava Tour menggunakan Jeep
Willys dengan ban lebar radial untuk
dapat menjelajahi medan yang berbatu-batu dan bergelombang bekas lava
yang dimuntahkan oleh Merapi. Di Musium Sisa Harta, dapat dilihat sisa-sisa
dari benda-benda yang meleleh akibat
awan panas Merapi. Bagaimana dengan manusia? Mereka diketemukan mengering
ketika berlindung di Bunker Kali Adem. Area ini sangat dekat dengan Puncak
Merapi. Pastilah Tour ini hanya bisa dilakukan ketika Merapi sedang tenang.
Setelah tour berakhir, salah seorang dari Petugas memajang foto-foto yang sudah selesai dicetak. Peserta
tinggal memilih foto yang diminati dan
membayar Rp. 10 ribu rupiah per lembar. Demikianlah, dengan biaya Rp. 350.000
per kendaraan, Tour ini cukup memuaskan, terbukti teman-teman menikmatinya.
Meninggalkan home base Lava Tour, kami menuju arah Candi
Borobudur. Di perjalanan, ketika sampai Kota Muntilan kami mampir makan siang
di sebuah tempat makan Warung Cinde Laras, yang merupakan tempat makan favorit
suamiku. Disini masakan khas yang dihidangkan adalah masakan mangut ikan nila
dan ikan lele. Ada juga masakan yang lain, seperti ayam goreng kampung. Setelah
shalat dan makan siang kemudian menuju
Candi Borobudur.
Kira-kira 10 tahun lalu,
kami pernah mengunjungi Candi Borobudur
bersama rombongan keluarga dengan bus dari Jakarta. Sekarang ini kondisi di
sekitar Candi Borobudur sudah jauh lebih bagus. Taman-tamannya bersih dengan
pohon-pohon rindang di setiap sudutnya. Keindahan taman-taman ini sangat
diperhatikan, mengingat Borobudur adalah pusat kegiatan agama Buddha, yang
selalu menjadi lokasi diselenggarakannya Upacara di hari Raya Waisak. Saat tersebut, disini hadir tamu-tamu dari
manca negara untuk mengikuti upacara besar. Kondisi Candi yang dibangun pada
abad ke 8 di masa pemerintahan Raja
Samaratungga dan kemudian dilanjutkan putrinya Pramudhawardhani ini, masih sangat cantik jika dibandingkan dengan
Angkor Watt di Kamboja yang didirikan di abad yang sama. Ini disebabkan karena
Candi Borobudur baru diketemukan kembali dan digali di tahun 1814 pada masa penjajahan Inggris
oleh Gubernur Jenderal Raffles, setelah beberapa abad tertimbun tanah.
Arsitektur, patung-patung dan relief Candi menunjukkan keindahan estetika yang tinggi, sebagai bukti keagungan budaya Nusantara di masa lampau. Jika dilihat sepintas, semua arca Buddha di Candi Borobudur sama, tetapi ternyata terdapat 6 macam bentuk dan sikap duduk serta posisi tangannya. Yang demikian itu memiliki filosofi tersendiri menurut ajaran agama Buddha. Demikian pula relief yang ada pada dinding-dinding candi, dibuat dengan sangat teliti, indah dan anggun. Posisi tubuh berlekuk tiga pada leher, panggul dan kaki, seperti sedang menari. Hingga saat ini, Candi Borobudur diakui sebagai monumen masa lalu yang tetap mendapat perhatian dunia, dan Unesco di tahun 1991 telah menetapkannya sebagai Warisan Dunia.
Arsitektur, patung-patung dan relief Candi menunjukkan keindahan estetika yang tinggi, sebagai bukti keagungan budaya Nusantara di masa lampau. Jika dilihat sepintas, semua arca Buddha di Candi Borobudur sama, tetapi ternyata terdapat 6 macam bentuk dan sikap duduk serta posisi tangannya. Yang demikian itu memiliki filosofi tersendiri menurut ajaran agama Buddha. Demikian pula relief yang ada pada dinding-dinding candi, dibuat dengan sangat teliti, indah dan anggun. Posisi tubuh berlekuk tiga pada leher, panggul dan kaki, seperti sedang menari. Hingga saat ini, Candi Borobudur diakui sebagai monumen masa lalu yang tetap mendapat perhatian dunia, dan Unesco di tahun 1991 telah menetapkannya sebagai Warisan Dunia.
Lokasi foto terbaik dengan background Candi berada di sebuah
lapangan di sebelah kiri jalan masuk ke Candi. Kamipun berfoto bersama.
Kenikmatan berjalan-jalan disekitar Candi sayang sekali, terganggu dengan
Pedagang Asongan yang begitu gigih menjajakan dagangannya.
Kembali ke Jogya, setelah memperoleh kunci kamar, kami segera
mandi dan keluar hotel lagi untuk menikmati Malioboro di malam hari. Apa yang membuat sepotong jalan ini begitu
ramai dikunjungi Wisatawan ya? Malioboro sudah seperti Orchard Road di
Singapura. Tidak ke Yogya jika belum ke Malioboro. Sekalipun hanya sekedar
berjalan-jalan saja, tidak membeli apapun, cukuplah puas. Trotoarnya telah
dibuat nyaman untuk pejalan kaki, dilengkapi dengan kursi-kursi panjang dan
tempat duduk berbentuk bulatan-bulatan seperti bola.
Di sepanjang jalan itu, aku melihat 3 grup musik yang menjadikan Malioboro sebagai panggungnya. Mereka bukan grup musik sembarangan, karena dari penampilan dan lagu-lagu yang dibawakan menunjukkan tingkat ketrampilan yang tinggi. Musiknya perkusi, angklung dan kulintang. Penonton berderet membuat formasi setengah lingkaran menikmati hiburan gratis ini. Beberapa wisatawan mengambil foto dan membuat video. Ketika aku berada disana,Grup Musik ini sedang memibawakan lagu Kopi Dangdut. Segera saja beberapa penonton maju ke depan berjoget. Bagi wisatawan yang puas dengan hiburan ini, mereka meninggalkan uang di kotak yang disediakan. Hingga kami pulang ke hotel, keramaian disana belum berkurang.
Di sepanjang jalan itu, aku melihat 3 grup musik yang menjadikan Malioboro sebagai panggungnya. Mereka bukan grup musik sembarangan, karena dari penampilan dan lagu-lagu yang dibawakan menunjukkan tingkat ketrampilan yang tinggi. Musiknya perkusi, angklung dan kulintang. Penonton berderet membuat formasi setengah lingkaran menikmati hiburan gratis ini. Beberapa wisatawan mengambil foto dan membuat video. Ketika aku berada disana,Grup Musik ini sedang memibawakan lagu Kopi Dangdut. Segera saja beberapa penonton maju ke depan berjoget. Bagi wisatawan yang puas dengan hiburan ini, mereka meninggalkan uang di kotak yang disediakan. Hingga kami pulang ke hotel, keramaian disana belum berkurang.
Hari Kedua, Sabtu 8
April 2017.
Setelah breakfast di hotel, kami menuju Kebun buah Mangunan, yang berada di Desa Mangunan, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul yang berjarak
sekitar 35 km dari pusat kota Jogyakarta. Jalan menuju lokasi terus menanjak
menuju perbukitan yang termasuk Pegunungan Sewu. Bukit-bukit dengan pohon-pohon
hijau masih tampak terjaga dan terawat. Jam 9.30 kami sudah sampai. Seharusnya
kami berangkat jam 5 setelah subuh, supaya dapat melihat kabut yang melayang
memenuhi lembah hingga dibawah sana, menjadikan kita bagaikan sedang berada di Negeri Diatas Awan. Kebun buahnya
sendiri tidak tampak ada buahnya karena memang tidak sedang musim. Yang kita
nikmati adalah pemandangan dari ketinggian, melihat kebawah hutan yang
hijau dan Kali Oyo yang berliku mengalir tenang.
Bagi yang suka berfoto, disediakan spot-spot foto yang menantang,
untuk sampai ketempat foto itu, harus naik tangga. Jika berfoto disitu, diambil
dari sisi jalan, akan tampak seperti berfoto ditempat yang sangat tinggi. Spot
foto lainnya berupa Tembok dengan tulisan besar-besar Kebun Buah Mangunan, dimana kita bisa berfoto
bersama-sama. Kita juga bisa menuruni undakan di jalan menurun yang telah
disediakan, dimana di sepanjang jalannya telah dibangun beberapa Gardu Pandang
berupa saung-saung kayu menghadap ke lembah, tempat kita bisa duduk-duduk
memandang perbukitan dan melepas lelah disaat naik kembali keatas.
Waktu menunjukkan pukul 10.30 ketika kami sampai ke Hutan Pinus Mangunan. Lokasi ini masih
berada di desa Mangunan, hanya berjarak tempuh beberapa menit setelah lokasi
Kebun Buah. Karena hari ini week-end, banyak sekali pengunjung, hingga bus-bus
dan mobil-mobil kehabisan tempat parkir. Kami tidak lama berada disini, setelah
berfoto-foto kemudian kembali ke mobil untuk meneruskan perjalanan.
Kami
menuju ke Gumuk Pasir Parang Kusumo,
sebuah lapangan pasir yang luas yang
berada disebelah kanan jalan menuju Parangtritis. Tadinya aku kira Gumuk Pasir ini akan berakhir di pinggir
laut, namun ternyata tidak. Laut berada di sebelah kiri jalan dan Gumuk Pasir
berada di sebelah kanan jalan. Apa
sebenarnya Gumuk Pasir itu? Menurut para Ahli Geologi, Gumuk pasir adalah salah satu bentang alam yang proses
pembentukannya dipengaruhi angin, terbentuk karena pasir yang menumpuk dalam
jumlah besar. Gundukan pasir ini
berasal dari hasil letusan Gunung Merapi yang endapannya dibawa oleh
sungai-sungai yang bermuara di Pantai Selatan, antara lain Kali Opak dan Kali Progo. Setelah terendap di
pinggir pantai, barulah angin dari Samudra Hindia mengukir tumpukan pasir ini,
menjadi bentang alam yang unik, naik turun dan bergelombang indah. Bentuk
keindahannya berganti-ganti, tergantung hembusan angin, Dengan ketinggian 5-15
meter ini, Gumuk Pasir Parangkusumo
termasuk tipe Barchan,
sehingga Gumuk Pasir disini disebut Gumuk Pasir Barchan. Ini cocok menjadi
lokasi permainan selancar pasir
atau sandboarding.
Ketika kami berada disana,
sinar matahari menyengat, pasirnya panas sehingga kami tidak dapat berlama-lama
berada disana. Memang ada pohon-pohon cemara angin yang tumbuh dipinggir
lapangan, pasir tapi tidak cukup untuk mengurangi teriknya matahari. Saat itu
kebetulan ketemu dengan beberapa anak muda, rupanya mahasiswa yang sedang
mempersiapkan materi untuk melaksanakan tugas akhir, membuat sebuah film. Memang di Gumuk Pasir ini sering digunakan
untuk shooting film, yang terakhir adalah Film Ada Apa Dengan Cinta II, yang
dibintangi oleh Dian Sastrowardoyo
dan Nicholas Saputra sebagai Cinta dan Rangga. Dalam film itu, Cinta dan teman-temannya bercengkerama di lembutnya
pasir disini. Tak salah jika tempat ini biasa digunakan untuk shooting film,
pembuatan video clip dan pre wedding. Foto-foto yang dibuat teman-temanpun
tampak indah…….
Setelah berpanas-panas ria di
Gumuk Pasir Parang Kusumo, jam makan siang tiba. Kami diarahkan ke Pantai Depok, tempat banyak orang
menikmati makan siang. Rumah-rumah penduduk banyak yang dijadikan tempat makan
dengan menu masakan laut. Salah satunya adalah warung makan dimana kami
singgah, pendoponya luas menghadap ke laut. Demikianlah kami menikmati makan
siang Sea Food sambil merasakan
semilirnya angin laut di Pantai Depok. Karena tidak memesan terlebih dahulu,
makanan kita baru dimasak saat dipesan, sehingga perlu bersabar. Sambil
menunggu masakan pesanan, kami shalat di warung makan ini. Dan ketika akhirnya
sea food pesanan kami terhidang, terasa sangat enak dan fresh, tak mengecewakan.
Matahari
masih memancarkan sinarnya ketika kami sampai di Pantai Parang Tritis, tak jauh dari Pantai Depok tempat kami makan
siang. Tampak ombak yang
bergulung-gulung, dari jauh suaranya sudah bergemuruh. Anak-anak
ditemani para orang tua turun ke laut, berenang atau sekedar bermain air.
Sebenarnya anak-anak sudah disediakan kolam renang di lokasi sebelum pantai agar tidak bermain di pinggir pantai
mengingat Pantai Parang Tritis cukup berbahaya bagi anak-anak. Telah banyak
korban meninggal tergulung ombak yang akhirnya baru diketemukan jauh dari
Pantai Parang Tritis. Beberapa hiburan atau permainan yang tersedia disini
antara lain, naik dokar, sepeda motor trail, atau sekedar duduk-duduk dibawah
pepohonan sambil ngobrol dan ngopi. Yang terakhir inilih yang aku pilih,
sementara menunggu teman-teman dan anak-anak mereka puas bermain. Menuju
kembali ke Yogya, hari sudah sore.
Tadi malam ketika jalan-jalan di Malioboro, baru ngeh (sadar),
bahwa nama Toko Batik Mirota yang aku biasa mampir untuk sekedar melihat-lihat
cinderamata untuk oleh-oleh, namanya
sudah berubah menjadi Toko Batik Hamzah Mirota. Dan di lantai paling
atas toko, diiklankan adanya Cabaret
Raminten, yang hanya main di hari Jum;at dan Sabtu malam jam 19.00 sampai
20.00. Aku penasaran kepengin melihat,
apa Cabaret Raminten ini seperti Cabaret yang main di Pattaya itu?
Kebetulan kami di Yogya dari Jum at hingga Senin, masih ada kesempatan untuk
melihatnya.
Jadilah hari ini aku berdua Adikku Dik Gun, ngantri untuk mendapatkan tiketnya. Karena para peserta
lainnya dan mungkin anak-anak mereka sudah kecapaian seharian, hanya aku berdua
yang tetap menyempatkan waktu untuk melihat Cabaret Raminten. Sejak sebelum jam
17.00 kami sudah di depan Kasir di lantai 3 toko Batik Hamzah. Kasirnya baru
buka jam setengah enam. Harga tiketnya Rp. 60.000 untuk biasa, dan untuk VIP
(dengan makan) Rp. 115.000. Ketika sudah mendapatkan tiket, sambil menunggu
waktu main, aku turun ke lantai dasar,
mau lihat-lihat cuci mata. Lalu ngobrol dengan Mas Bell Boy yang berada
di Pintu Masuk Toko. Mereka berdua berseragam kain batik motif Parang dengan
atasan semacam beskap lengan pendek berwarna hitam. Itu seragam Petugas Pria,
sedangkan yang wanita berkain batik sama atasan berwarna merah. Suasana toko di
lantai bawah masih seperti Mirota yang dulu. Selain batik, berbagai barang seni
terpajang disini, ada lukisan, patung, ukiran, keramik, barang-barang kerajinan
khas Yogya dan lain-lain. Pengunjung toko penuh sesak.
Setahuku nama Raminten ini adalah nama sebuah Restoran terkenal yaitu House of Raminten, di daerah Kotabaru. Sebuah restoran unik yang selalu penuh pengunjung, bahkan ngantri untuk bisa makan disana. Sebelum ada meja yang kosong karena tamu selesai makan, tamu lain belum boleh masuk. Disediakan ruang tunggu untuk tamu yang belum mendapat tempat duduk.
Mas Bell Boy aku ajak ngobrol tentang nama Raminten, hubungannya dengan Restoran House of Raminten. Menurut ceritanya, Raminten adalah “nama panggung” dari pak Hamzah Sulaiman pemilik Toko Batik Hamzah Mirota ini, ketika beliau bermain di grup Kesenian yang ditayangkan TVRI Yogya, namanya Pengkolan. Pak Hamzah adalah seorang seniman, lebih senior dari seniman Jogya Didi Nini Towok. Pak Hamzah itulah juga pemilik Restoran House of Raminten.
Baru ngomong-ngomong tentang Raminten, ee …….. kemudian lewatlah
seorang bapak sepuh yang duduk di kursi roda, didorong oleh seorang laki-laki
dan diikuti beberapa orang lainnya. Mas Bell Boy berdua (yang bertugas di kedua
sisi pintu) pun langsung memberi salam hormat kepadanya. Kemudian berbisik
kepadaku bahwa bapak sepuh itulah pak Hamzah alias Raminten.
Jam 19.00 kami berdua sudah duduk manis di sekitar panggung yang lampunya mulai digelapkan. Pentas dibuka dengan Tarian Klasik Jawa yang lembut gemulai. Tariannya memang klasik Jawa, tetapi menurutku busananya bukan klasik, karena ada tambahannya yaitu dengan adanya topeng setengah muka menutupi mata dan bulu panjang yang ada dibelakang sanggul penarinya.
Sesi selanjutnya, adalah
lagu-lagu barat yang dinyanyikan secara slip-sync oleh Artis-artis Waria dengan penuh
penghayatan, diiringi para penari latar.
Mereka membawakan lagu-lagu dengan irama
cepat hingga tampak keringatnya bercucuran. Lagu-lagunya bukan hanya lagu
Barat, ada juga lagu-lagu Pop Indonesia. Setiap pergantian lagu, dari balik
panggung disebutkan nama Artis yang akan menyanyikan lagu selanjutnya. Lampu
dipadamkan dan musikpun mengalun, kemudian muncul Penyanyi lainnya.
Pada sesi ke enam, disebutkan artis yang akan muncul adalah
Raminten. Ketika lampu akan dimatikan, tampak Raminten yang mengenakan busana
putih seperti gaun penganten. dipapah oleh 2 orang petugas, didudukkan di
sebuah kursi. Raminten menyanyikan sebuah lagu Barat sambil duduk di kursi
saja. Demikian pula ketika telah selesai menyanyi, dipapah kembali masuk ke
balik panggung. Tadinya aku mengira, bapak sepuh di kursi roda tadi datang
hanya untuk mengontrol jalannya pertunjukan, Rupanya beliau masih aktif main.
Penyanyi-penyanyi selanjutnya tidak hanya menyanyi, tetapi juga
bermain komedi, melucu, dan bahkan ada
yang memanjat tiang-tiang dekat pengunjung dan menggoda penonton. Ada juga
adegan seronok yang khas biasa dilakukan para Waria seperti …… yah, begitulah. Pengalaman seru melihat
Cabaret Raminten. Bagi yang sudah pernah melihat Cabaret di Pattaya,
perbedaannya yang mencolok adalah wajah para artisnya. Disana warianya
cantik-cantik, hingga kita tidak bisa membedakan dengan wanita yang asli,
Nama Raminten ternyata "ngrejekeni", artinya mampu mendatangkan rejeki berlimpah. Di depan Toko Batik Hamzah Mirota juga dijual Bakpia merk Raminten, yang harganya lebih mahal dari Bakpia Patuk yang biasa dibeli di tempat lain sebagai oleh-oleh. Walaupun lebih mahal, banyak juga orang membelinya.
Hari Ketiga, Minggu 10 April
2017.
Agenda
hari ini adalah mengunjungi Gua Pindul,
dilanjutkan dengan menyusuri Sungai Oyo,
kemudian ke Pantai Indrayanti. Setelah sarapan pagi di Hotel, segera kami
menuju ke lokasi. Memasuki Desa Bejiharjo,
Kecamatan Karang Mojo, Kabupaten Gunung Kidul, hari masih pagi. Rombongan
kami membayar untuk tubing Rp. 60.000 per orang, dan jika dilanjutkan menyusuri
Kali Oyo, tambah Rp. 20.000 lagi. Jika ingin memperoleh foto-foto selama berada
di Gua, membayar Rp. 100.000 lagi, maka akan diberikan CD berisi foto-foto yang
diambil saat kita sedang tubing.
Sebelumnya sudah
diingatkan untuk membawa pakaian ganti karena nanti akan basah saat menyusuri
gua. Kami membeli semacam dompet plastik bertali untuk dikalungkan di leher agar dompet tidak
basah yang dijual disitu. Rombongan dipandu oleh seorang Pemandu dan seorang
Fotographer. Yang kami lakukan pertama kali adalah menuju tempat penyimpanan
ban besar, mengambil satu ban untuk setiap peserta, lalu mengikuti Pemandu
menuju ke sebuah Sungai. Setelah melakukan doa bersama, maka kami langsung
turun ke sungai, duduk di ban. Di ban yang kami tumpangi itu terdapat tali yang
dapat dipegang oleh teman sebelah, sehingga kami saling bergandengan.
Mulai memasuki Gua, Pemandu bercerita tentang Gua Pindul yang
sejak Oktober 2010 dibuka untuk umum
sebagai tempat wisata. Di Gua Pindul ini
terdapat tiga zona : Zona Terang dimana sinar matahari masih mengenai pemukaan
gua sehingga masih terdapat tumbuh-tumbuhan yang menempel di mulut gua.
Kedalaman sungainya 5 meter. Kemudian
Zona Remang-remang, dimana sudah mulai agak gelap, kedalaman air 8 meter.
Terakhir Zona Gelap, dimana tidak ada sinar sama sekali, gelap gulita jika
tidak membawa senter. Kedalamannya 12 meter. Kami melihat stalaktit dan
stalakmit yang masih utuh, walaupun ada juga yang sedikit rusak. Bentuk
stalaktit dan stalakmit yang menyambung, disebut bentuk pilar. Di pertengahan
perjalanan tampak banyak kelelawar yang disebut Kampret (pemakan serangga) dan
Codot (pemakan buah) bergelantungan di atap gua. Atap gua yang berlubang-lubang
itu karena terkena cakaran kelelawar. Di beberapa tempat, terdapat bercak-bercak berwarna hitam karena
terkena air kencing kelelawar.
Sungguh merupakan suatu pengalaman baru bagi kami orang awam
(bukan anggota Pecinta Alam dan Pecinta Gua) selama satu jam menyusuri
kedalaman gua dengan sungai.yang mengalir dibawahnya sepanjang 350 m. Kami
bertiga yang sudah lansia mencukupkan diri sampai diluar gua saja, sedang
teman-teman yang masih muda melanjutkan perjalanan menyusuri Kali Oyo selama
setengah jam lagi.
Ketika semua peserta sudah kembali berkumpul, rombongan meninggalkan Desa Bejiharjo untuk
makan siang dan shalat di Resto Pak Man, Resto ini menghidangkan Ayam Goreng
Presto Kremes yang cukup nikmat, seperti jika kita makan di Resto Ayam Suharti.
Jalan menuju Pantai
Indrayati berkelok-kelok, naik turun dan suasananya sepi. Sepanjang jalan
tampak pohon-pohon jati berdiri tegak. Sebagian besar Pohon Jati asli yang
bercabang-cabang, dan sebagian Pohon Jati Jumbo yang lurus-lurus. Pantai Indrayanti yang tidak
terlalu panjang ini berpasir putih. Ombaknyapun tidak sebesar di Pantai
Parangtritis. Di hari week end, banyak sekali pengunjung memadati pantai ini.
Anak-anak mandi bermain dengan gembira di pantai.
Hari Keempat, Senin 11 April
2017.
Di pojok hotel kami, Hotel Grage Ramayana, terdapat sebuah
cakruk atau semacam pos ronda. Disitulah mangkal seorang Penjual Gudeg yang
sudah sangat sepuh, terkenal dengan nama Gudeg
Mbah Lindu. Menurut cerita, usia mbah Lindu sudah hampir seabad. Inilah Penjual Gudeg tertua di Indonesia.
Setiap pagi banyak sekali pengunjung yang antri untuk membeli di depan
warungnya. Pagi ini sudah hampir jam 8.30, pembeli sudah banyak berkurang. Aku
sempat meminta ijin Mbah Lindu untuk mengambil fotonya sebagai kenang-kenangan.
Hari ini adalah hari terakhir kami berwisata, dan akan
meninggalkan Jogya sekitar jam 14,00. Masih ada waktu untuk jalan-jalan City
Tour ke 3 tempat yaitu : Keraton
Ngayogyokarto Hadiningrat, Taman Sari
dan Coklat Monggo. Sebelumnya, kami
harus cek out dari hotel dulu, sekaligus membawa koper kami di mobil untuk
langsung menuju Bandara Adisucipto.
Kami meluncur menuju
Kraton sebagai tujuan pertama. Walaupun masih pagi, bus-bus telah berderet
mengantarkan wisatawan mengunjungi Kraton. Meskipun orang Solo, aku belum
pernah mengunjungi Kraton Ngayogyokarta. Tampaknya tidak jauh berbeda dengan Kraton Solo yang
pernah aku kunjungi. Raja Yogyakarta yang sekarang bertahta adalah Sri Sultan
Hamengku Buwono X atau biasa disingkat HB X. Rombongan kami diantar oleh salah
seorang Pemandu yang disediakan bagi wisatawan.
Pelataran Kraton Yogya sama
dengan Kraton Solo, berpasir hitam yang
katanya diambil dari Laut Selatan. Pintu Gerbang Pertama tercantum angka tahun
1756 – 1928. Tahun 1756 adalah tahun pembangunan kraton. Sedangkan tahun 1928
adalah tahun pemugarannya setelah terjadi gempa besar di Yogya. Disitu juga
tertulis nama pintu gerbangnya yaitu Dono
Pratopo.
Setelah pintu gerbang,
kami memasuki area Bangsal Mandolosono,
tempat dimainkannya musik dan gamelan. Gamelan yang tampak didepan kami ini
namanya Kyai Guntur Madu. Sebenarnya
gamelan ini dulu dibuat sepasang, yang satunya berada di Kraton Solo. Setiap
menjelang Perayaan Sekaten pada bulan Maulid, Kyai Guntur Madu dipindahkan ke Masjid Besar di Alun-alun. Supaya menjadi sepasang
lagi, maka dibuatkan gamelan pasangannya yang baru, yang diberi nama Kyai Nagawilaga. Karena Sultan HB IX
juga suka musik, ada juga Bangunan tempat musik dimainkan. Aku sempat berfoto
di bangunan yang masih bagus itu. Di area selanjutnya, kami melihat
kereta-kereta yang dulu digunakan oleh para Raja dan Pangeran. Dari kejauhan
tampak bangunan yang sekarang digunakan sebagai tempat tinggal keluarga Sri
Sultan HB X, dengan tembok berwarna kuning, atau biasa disebut Gedong Kuning.
Pemandu juga membawa
kami menuju Musium Pribadi Almarhum Sri
Sultan Hamengku Buwono IX, dimana terdapat meja kursi dan perabotan lain
yang sering beliau gunakan. Foto-foto beliau sejak kecil, remaja, semasa
menjadi mahasiswa di Negeri Belanda hingga beliau menjadi Raja sekligus Wakil
Presiden Republik Indonesia. Bangunan ini masih agak baru, seluruh dindingnya
dibuat dari kaca. Yang menarik adalah Plafon Musium yang berada diatas kepala
pengunjung, ukiran berwarna merah kuning sangat indah. Demikianlah, Pemandu
menceritakan satu persatu cerita atau
sejarah dari apa-apa yang kami lihat. Sementara itu pengunjung semakin banyak
memenuhi bangunan-bangunan yang diijinkan untuk dilihat sehingga harus
bergantian.
Meninggalkan Kraton,
kami menuju Taman Sari, yang dahulu
merupakan Taman atau Kebun yang sangat luas, yang dibangun oleh Sultan Hamengku
Buwono I pada tahun 1758-1765. Sekarang sudah tinggal sebagian kecil, sisanya
sudah merupakan pemukiman penduduk padat. Aku hanya masuk hingga pintu depan
saja, karena didalam harus melalui banyak anak tangga, untuk menjaga lututku agar tidak menjadi sakit.
Matahari sudah naik, panasnya mulai menyengat. Sambil menunggu teman-teman
keluar, lumayan menikmati es kelapa muda yang masih asli tanpa campuran.
Agenda selanjutnya adalah ke Coklat
Monggo. Apa keistimewaan Coklat Monggo
hingga aku ingin mampir ke lokasi showroomnya di Kota Gede? Coklat ini adalah salah satu merk coklat asli Indonesia
yang enak, tidak kalah dari merk-merk coklat buatan luar negeri. Selain itu,
diantara produknya ada yang khas Indonesia, seperti rasa cabe, rasa jahe dan
rendang. Lebih penting lagi, coklat monggo adalah oleh-oleh yang dipesan
ketiga gadis kecilku Aisha, Lila dan Allura sejak mereka
tahu, bahwa Yangtinya akan ke Jogya.
Lokasi pabrik dan showroomnya berada di belakang Pasar Kota Gede
yang padat. Tetapi begitu masuk ke lokasi, terasa sejuk karena
pohon-pohon besar yang menaungi bangunan yang tampak seperti rumah biasa,
difungsikan sebagai konter penjualan. Harga coklatnya memang tidak murah,
tetapi siapa lagi yang akan membeli dan membesarkan nama coklat produk asli
Indonesia, jika bukan kita sendiri? Coklat dengan tampilan menarik seperti
cindera mata, bungkusnya bergambar Becak, Punakawan Gareng Petruk dan Wayang
khas Indonesia ini juga dijual on-line. Didepan konter disediakan ruang tamu
kecil yang nyaman, dan diluar juga ada kursi panjang dibawah sebuah pohon besar
yang rindang, lumayan buat foto bersama seluruh rombongan.
Kami menikmati santap siang
dan shalat Dhuhur terakhir di kota Jogya ini di Restoran Handayani dengan menu masakan Jawa seperti sate ayam,
rujak cingur, ayam goreng dan sayuran taoge teri. Selanjutnya menuju Bandara,
mampir ke Toko Oleh-oleh untuk membeli Bakpia Patuk yang terkenal itu. Terima
kasih mas Nur dan mas Edy yang telah menemani kami selama berwisata di Yogya
dan sekitarnya. Sampai jumpa di kesempatan lain. Bye bye Yogya….. see you next
time…..
Wassalamu'alaikum ww.
Jakarta, 18 April 2017.
#wisatayogyakarta
#merapilavatour
#negeridiatasawanmangunan
#hutanpinusmangunan
#candiborobudur
#guapindulgunungkidul
#cabaretraminten
#keratonyogyakarta
#coklatmonggo
#merapilavatour
#negeridiatasawanmangunan
#hutanpinusmangunan
#candiborobudur
#guapindulgunungkidul
#cabaretraminten
#keratonyogyakarta
#coklatmonggo
terima kasih kembali bu sudah menggunakan jasa kami yang kedua kalinya. semoga ibu dan keluarga diberikan kesehatan selalu dan panjang umur. amin
BalasHapusTerima kasih juga mas Yuli/Wira Tour yg dengan sabar melayani kami. Pelayanan yang bagus akan ibu remomendasikan buat anak2 dan kelg jika ke Yogya. Amin untuk doanya. Salam.
BalasHapus