Kamis, 13 Oktober 2022

BAB III. KEHIDUPANKU DI JAKARTA


2. JODOHKU

Aku menjadi tidak kerasan di rumah keluarga Bapak Ibu Suharyo, setelah mengetahui ada seorang adiknya yang sering datang ke rumah akan dijodohkan denganku. Tidak ada yang memberitahukan ke aku, aku hanya mendengar dari Mbak Yem, pembantu di rumah itu. Semula aku masih bersikap baik, merasa bahwa aku berada di situ dititipkan Bapak.

Secara kebetulan suatu hari pulang dari kantor BKKBN, aku mendengar pembicaraan antara Ibu Suharyo dengan saudara-saudaranya yang sedang bertamu di rumah itu tentang rencana mereka. Aku tidak mau dijodohkan dengan orang itu, tapi ada rasa takut mengingat aku masih berada di lingkungannya, segala sesuatu bisa saja terjadi. 

Suatu ketika aku melihat Pak Pono berkunjung ke rumah Pak Suharyo, barangkali urusan pekerjaan, karena mereka sama-sama tentara. Aku menunggu di halaman depan dekat mobil Jeep Pak Pono. Waktu beliau keluar, segera aku sampaikan permasalahanku, aku minta tolong dicarikan kost. Karena lama belum ada kabar dari Pak Pono, aku semakin cemas dan takut melihat gelagat tidak baik di rumah itu.

Sedikit demi sedikit aku bawa pakaianku untuk dititipkan ke rumah temanku yang dulu sama-sama bekerja di Ancol, Mbak Margareta. Akhirnya aku numpang tinggal di rumah temanku itu di daerah Cawang. Rumahnya kecil, maklum rumah kontrakan. Mbak Mar hanya tinggal berdua dengan ibunya.

Aku juga langsung memberi kabar Ibu di Solo mengenai kepindahanku, untuk sementara numpang di rumah teman sebelum mendapat tempat kost. Ketika itu, Ibu menyarankan supaya aku menghubungi Pak Djoko Darmono, adik sepupu Ibu yang tinggal di daerah Duren Tiga. Ibu membacakan alamatnya untuk aku catat, karena baru saja menerima Kartu Lebaran dari Pak Djoko.

Sesuai alamat yang ibu berikan, di suatu pagi sebelum ke kantor BKKBN, aku menyempatkan mencari alamatnya Pak Djoko Darmono di Duren Tiga. Sebelumnya sudah bertanya ke teman-teman di kantor, bagaimana caranya menuju ke alamat itu. Rumahnya berada di sebuah komplek perumahan dinas.

Sampai di rumahnya, aku ketemu dengan pembantunya, seorang anak laki laki masih kecil, Sumidi namanya, yang mengatakan bahwa Pak Djoko sedang mandi, sambil mempersilahkan aku menunggu.

Kemudian aku ditemui di meja makan bagian rumah di belakang yang menyatu dengan dapur.  Semula aku kira Pak Djoko itu sudah berkeluarga, karena rumahnya cukup bersih dan rapi dengan aroma wangi air freshner. Ada bunga anggrek di ruang tamu.

Aku menyampaikan kepada beliau secara ringkas permintaan bantuan untuk mencarikan tempat kost sesuai pesan Ibu. Beliau menyanggupi karena memang telah diberitahu oleh Pak Pono untuk membantuku. Hari itu tanggal 28 Oktober 1974, aku ke kantor BKKBN diantar Pak Djoko dengan naik mobilnya sedan Toyopet 700 warna biru muda.

Beberapa hari kemudian aku sudah pindah ke tempat kost baru, di Jalan Pinang Rawamangun. Sebenarnya ini bukan tempat kost. Ini adalah rumah ibunya Dik Masayu, pacar dari teman kuliah Pak Djoko yang namanya Bagus Suratno. Aku memanggil Masayu yang masih duduk di bangku SKKA itu Dik Ayu atau Dik Yuk. Rumahnya cukup luas, hanya ditempati 3 orang, yaitu Neneknya, Ibunya dan Dik Yuk. Aku menyebut mereka berdua Bicik dan Umi atau tante dan nenek, sebutan umum bagi orang Lampung.

Saat itu aku sudah diangkat sebagai PNS. Aku harus bener-bener berhemat agar gajiku cukup untuk makan dan biaya transport bus. Aku tidak ingat bagaimana saat itu aku sarapan dan makan malam. Apakah aku beli makanan, apa makan di kost ya? Kalau makan siang, aku beli di kantin kantor BKKBN.

Ketika sudah tinggal di Rawamangun, Pak Djoko bersama “Geng”-nya sering datang bertamu. Kadang hanya duduk-duduk ngobrol ditemani camilan kue dan kacang garing, atau rame-rame jajan di Warung Pak Ijo, makan sate kambing. Aku merasakan bahwa perhatian Pak Djoko kepadaku bukan sekadar perhatian sebagai seorang Om kepada keponakan, tapi lebih dari itu.

Pada suatu sore sekitar jam 17.00 aku dijemput untuk diajak jalan-jalan dengan mobilnya. Aku pamitan sama Umi, Bi Cik dan Dik Yuk. Setelah muter muter kota Jakarta dan aku ditunjukkan kantornya di Jalan Merdeka Selatan 18, Departemen Pertambangan, mobil meluncur ke arah Blok M tempat makan di malam hari yang ramai sekali.

Kami menuju tenda warung makan Ayam Berkah, memesan nasi ayam goreng, dan Pak Djoko minta dipesankan Sop Kambing Irwan yang tidak terlalu jauh dari Ayam Berkah. Makan sambil ngobrol ke sana ke mari terutama tentang keluarga Solo. Selesai makan kami menuju pulang karena sudah jam 20.00.

Di tengah perjalanan tiba tiba Pak Djoko mengatakan sesuatu.

“Mbak, aku boleh bertanya,” katanya.

“Boleh” jawabku.

“Sesungguhnya Mbak Nur sudah mempunyai pacar atau belum?”

“Pernah punya tapi belum serius” jawabku.

“Kalau memang belum, apakah Mbak Nur mau jadi pacarku?”

Aku terdiam sebentar dan balik bertanya.

“Apakah Pak Djoko tidak punya pacar?” sambutku setengah bergurau.

Beliau hanya diam dan berucap pendek.

“Dipikirkan ya jawabannya.”

Aku minta diberi waktu. Itulah kenangan Ayam Berkah yang akhirnya jadi langganan kami sejak pacaran, berumah tangga sampai anak-anak besar. Tukang parkirnya sampai hafal dengan kami sekeluarga.

Tanpa terasa hanya dalam beberapa bulan aku sudah menjadi pacarnya. Rasanya seperti mimpi saja. Aku yang semula selalu cemas dan ketakutan, tiba-tiba keadaan berbalik seratus delapan puluh derajat, menjadi tenang dan nyaman, karena aku merasa mendapat perlindungan.

Namun demikian, terbersit pertanyaan dalam benakku.

“Benarkah tidak punya pacar?”

“Sepertinya aku dulu pernah mendengar kabar, sudah bertunangan?”

Aku menunggu saat yang tepat untuk menanyakannya. Setelah mendengar ceritanya bahwa pertunangannya itu telah putus disebabkan sesuatu hal, yang terjadi sebelum kehadiranku, aku menjadi lega. Lebih mantap menjalaninya.

Aku tidak lagi memanggilnya “Pak”, aku ganti dengan “Mas”, karena perbedaan usia denganku sebenarnya tidak jauh, hanya 5 tahun.

Ketika aku sampaikan kepada Ibu perkembangan situasinya, Ibu sepertinya tidak menyambut dengan gembira. Sebagai seorang Ibu, pasti tidak semudah itu melepaskan anak gadisnya sebelum benar-benar yakin bahwa calon pendampingnya itu adalah orang baik.

Mungkin Ibu juga bertanya-tanya seperti aku, atau bahkan kuwatir, jangan-jangan aku yang menjadikan batal menikah dengan tunangannya? Atau mungkin menjadi tidak enak dengan keluarga besar, mengingat Ibu dan Mas Djoko bersaudara sepupu?

Sikap Ibu memang berbeda dengan Bapak, yang dari semula percaya dan mendukung aku. Saat itu aku bilang kepada ibu bahwa :

“Ada orang yang senang dan mau kepada aku, tapi aku tidak mau”.

“Ada orang yang aku senang dan mau kepada dia, dia yang belum tentu mau”.

“Nah, kebetulan yang sekarang ini, baik aku maupun dia sama-sama senang dan mau. Kapan lagi akan ketemu yang seperti ini?”

Mas Djoko mulai serius mau melangkah ke jenjang pernikahan. Untuk itu aku harus bisa meyakinkan ibu.

Pada suatu kesempatan di Rawamangun, dengan ditemani Mas Djoko aku menelepon Ibu di sebuah telepon umum. Pada zaman itu, belum ada hand phone, kalau menelepon harus dari rumah, kantor atau telepon umum.

Aku menyampaikan ke Ibu bahwa kami sudah merencanakan untuk menikah di Solo, nanti tanggal 20 Desember 1975 dan mengadakan resepsi di Jakarta tanggal 25 Desember 1975. Ibu akhirnya menyerahkan semuanya padaku.

Tampaknya mulus sekali perjalanan cintaku ya.....….

Padahal penuh liku-liku juga lho. Yang sedih-sedih nggak usah diceritakan disini, hanya untuk aku saja .....….

Bahkan ada hal yang hingga saat ini masih menjadi tanda tanya. Mengapa dan bagaimana sebenarnya, kok pada suatu hari aku disembunyikan seharian dari pagi hingga sore di rumah Pak Thuban? Pak Thuban adalah pimpinan Mas Djoko di kantor. Jawaban Mas Djoko ketika itu tidak begitu meyakinkan aku .....…

Demikianlah, Allah SWT Sang Pengatur Kehidupan, telah memilihkan jodoh untukku. Alhamdulillah pada 19 Desember 1975 malam, keluarga Mas Djoko melamar dan menyerahkan seserahan. Esok paginya, akad nikah dengan sederhana dilaksanakan di Rumah Sorogenen. Begitu sederhananya, aku jalan sendiri ke salon pagi-pagi untuk pasang sanggul Jawa. Pulang dari salon naik becak.

Di rumah sudah ditata janur kuning di pagar dan dua buah kursi berhadapan dengan meja kecil di tengahnya, untuk acara akad nikah. Salah satu kursinya diberi alas (bahasa Jawanya dilambari) daun kluwih, untuk tempat duduk pengantin pria ketika akad nikah dan menandatangani surat nikah.

Untuk apa dialasi daun kluwih? Kata Ibu, agar nantinya menjadi orang yang linuwih atau memiliki kelebihan. Begitulah adat Jawa.

Mahar yang aku minta adalah Kitab Suci Al Quran dan seperangkat perlengkapan sholat. Dengan meminta mahar Al Quran, aku bercita-cita harus bisa membaca Kitab Suci itu.

Dan ternyata itu tidak mudah, walau sudah belajar cukup lama dan berganti-ganti guru. Ini lantaran terus menerus mempunyai aktivitas yang padat, belajar pun menjadi tidak bisa fokus. Cita-cita untuk bisa lancar membaca Al Quran baru tercapai setelah aku pensiun. Alhamdulillah....…

Setelah acara akad nikah, hanya semalam kami berada di Solo. Segera saja kami menuju Jakarta, karena acara resepsi sudah dipersiapkan di tanggal  25 Desember 1975.

Resepsi diselenggarakan dengan meriah di Gedung Iskandarsyah Kebayoran Baru, dan dipersiapkan oleh pimpinan dan juga teman-teman kantor Mas Djoko.

Hiburannya adalah pagelaran wayang kulit semalam suntuk, dengan Dalang Ki Herman Pratikto didampingi beberapa pesinden. Salah seorang di antaranya, pesinden yang saat itu sangat terkenal, yaitu Ibu Nyi Condrolukito, yang juga mertua Ki Dalang.  

Beliau-beliau yang sangat berjasa berperan dalam rangkaian acara pernikahan kami adalah Bapak Margono, Bapak Sudiman, Bapak Thuban, dan Bapak Sumarno. Tiga nama terakhir adalah Atasan Mas Djoko di Kantornya.

Di samping itu ada 3 orang teman akrab kuliah Mas Djoko yang selalu bersama-sama, yaitu Bagus Suratno, Tjiptono dan Talkah. Aku sendiri benar-benar tidak tahu menahu mengenai acara resepsi, dan tidak menyangka semua bisa terlaksana dengan sempurna. Pada acara resepsi itu, aku dirias oleh Ibu Sudiman sendiri.

Mas Djoko mengenakan “Jawi Jangkep” berupa Dodot dan Beskap warna hitam dengan penutup kepala tinggi juga berwarna hitam. Aku mengenakan kain batik motif sama dan baju pengantin beludru berwarna hijau. Kalau tidak salah pakaian pengantin seperti ini namanya Pangeranan.

Kemudian pakaian pengantin Mas Djoko berganti setelan jas warna krem ke-abu-abuan, dan aku berganti kebaya brokat warna ungu. Aku mengenakan perhiasan berlian asli milik Ibu Sudiman. Rasanya saat itu aku sangat bahagia.

 


Hanya sedikit sayang, mengapa di foto-foto itu aku tidak tersenyum, mungkin terlalu serius mengikuti alur acara. Padahal foto-foto keluarga tampak semua tersenyum ceria bahagia. Ada Mbak Sam, Dik Gun, Dik Pri, Dik Sus, Bu Darwanti, Dik Nuk, Dik Marsi, Dik Dib dan keluarga lainnya.

Kami tidak sempat bulan madu, karena berdua sama-sama bekerja di kantor, dan tentunya tidak mudah untuk mengajukan cuti. Di bulan depannya aku sudah tidak menstruasi lagi. Ada kehidupan baru yang Allah titipkan kepada kami.

Mulailah perubahan terjadi di keseharianku. Setiap hari muntah, khususnya jika pagi sebelum berangkat ke kantor, ketika Mas Djoko menyemprotkan minyak wangi. Biasanya aku lari keluar kamar dulu untuk menghindarinya. Bukan hanya bau minyak wangi, bau nasi goreng yang dimasak di rumah makan juga menyebabkan aku muntah.

Di kantor BKKBN, jika aku muntah, setelah dari toilet aku langsung ke kantin untuk minum teh atau kopi hangat. Ternyata kopi lah yang menghilangkan pusing setelah muntah. Sejak itu, minum kopi menjadi kebiasaan baruku yang keterusan hingga sekarang.

Perubahan yang lain lagi adalah kesenanganku pada buah kedondong. Sering sekali mampir ke Pasar Mampang, khusus untuk membeli kedondong. Padahal setelah melahirkan, kedondong terasa amat sangat asam jika dimakan biasa tanpa sambal rujak. Aku juga sering pusing ketika melihat banyak orang, atau sedang berada di kerumunan, dan sering mengalami kaki kram ketika sedang tidur. 

Perubahan juga terjadi pada Mas Djoko. Aku sering melihatnya mengenakan kopiah hitam jika sedang shalat. Rasanya hatiku menjadi adem ....…

“Mas Djoko and The  Geng” adalah penggemar permainan biliar. Mereka sering pergi main biliar, dan aku “dipaksa” untuk ikut nungguin. Mungkin perasaan Mas Djoko nggak enak ninggalin aku sendirian di rumah, sedang dia dan sohibnya enak-enak main. Aku sih manut saja nyenengin yang ngajak. Toh, di rumah tidak punya kegiatan apa-apa.

Hingga ketika kehamilan sudah sangat besar, aku nggak mau lagi ikut ke tempat biliar. Pasti mbak-mbak yang menghitung poin berpikir, aku isteri pencemburu. Perut sudah gendut masih ngintilin suami.

Siapa sajakah “Geng”-nya Mas Djoko itu? Ada beberapa orang, antara lain  Bagus Suratno, Tjiptono, Talkah kadang kadang ditambah Sugiyanto. Mereka berempat paling sering ngumpul di rumah. Jika sudah begitu, aku buatkan nasi goreng buat mereka. Bagus Suratno sekarang sudah almarhum, Sugiyanto sakit stroke. Tjiptono sudah pensiun dan sekarang tinggal di Magelang. Talkah juga sudah pensiun, tinggal di Bandung.

Aku selalu ingat candaan mereka ketika menirukan suara serak batuknya kakek-kakek.

“Uhuk-uhuk-uhuk… Mana tempolong…”

Nah sekarang ketika sudah menjadi lansia, kadang batuknya Mas Djoko seperti itu .....…

Ketika masih pengantin baru, masih dalam tahap adaptasi dengan karakter suami, ada satu peristiwa yang membuatku terkaget-kaget. Pada suatu hari kita bertengkar, dan aku masih berdiam diri jengkel, padahal besok harinya Mas Djoko harus berangkat dinas keluar kota. Tak kusangka, tiba-tiba di hadapanku Mas Djoko menyobek-nyobek amplop SPPD hingga uangnya bertebaran di lantai. Nah lo......…

Sebagai PNS, setiap tanggal 1 awal bulan aku menerima gaji. Di awal bulan itu, sudah menunggu tagihan-tagihan yang harus dibayar, antara lain belanja kebutuhan rumah tangga bulanan, langganan koran, listrik, telepon, dan lain-lain.

Aku merasa segan untuk minta kepada suami. Baru ketika sudah tanggal 10-an, Mas Djoko menyerahkan amplop gajinya. Atau ketika minta dibelikan sesuatu yang harganya cukup mahal, maka baru aku sampaikan bahwa uangku tidak cukup untuk membelinya.

Dia baru ingat kalau belum menyerahkan uang gajinya. Aku bersyukur, untunglah aku punya gaji sendiri. Bagaimana jika tidak?

Aku menganggap bahwa gajiku dan gaji mas Djoko adalah rejeki yang Allah sediakan untuk kami sekeluarga. Jadi aku tidak menyimpan gajiku khusus untuk diriku sendiri. Aku mencoba untuk mengelola uang belanja dengan baik, jangan sampai tidak cukup untuk sebulan. Jika ada kelebihan uang belanja, walau sedikit aku sisihkan untuk aku belikan cincin emas. Ini sangat berguna ketika ada keperluan yang mendesak, bisa dijual.

Selain untuk keperluan rumah tangga, pasti ada saja hal-hal lain yang memerlukan dana yang harus kami selesaikan. Alhamdulillah Mas Djoko punya prinsip keterbukaan dengan isteri.

Untuk keperluan keluarga Mas Djoko sendiri, baik untuk Bapak-Ibu maupun Kakak-Adiknya, itu semua dikirim melalui aku. Aku lah yang transfer kepada mereka. Aku pun tidak mempunyai keberatan terhadap pengeluaran tersebut. Bagiku Keluarga Mas Djoko juga Keluargaku. Kan mereka sebenarnya adalah Tante/Om atau Bulik dan Paklik ku.  

Sejak aku mengenalnya dulu, Mas Djoko sudah mempunyai kebiasaan merokok. Dulu rokoknya merk Triple Five atau Dun Hill hijau. Bungkus rokok yang bersusun rapi dan berderet itu menjadi pajangan di jendela dapurnya. Merokok merupakan kebanggaannya.

Bahkan dulu ketika masih pacaran, aku pernah beberapa kali diajarinya cara merokok hingga terbatuk-batuk. Sama sekali enggak ada enaknya. Aku tahu, bahwa merokok itu tidak baik, apa lagi nanti jika sudah punya bayi. Kok ya tiba-tiba Mas Djoko sakit batuk lama, yang akhirnya Dokter melarangnya merokok. Alhamdulillah .....…

Ada dua hal yang walau tidak tertulis telah disepakati ketika kami dulu akan menikah. Pertama, bahwa aku akan tetap bekerja. Syukur-syukur jika bisa kuliah lagi.

Kedua, kita menikah sekali untuk selamanya. Aku tidak mudah percaya apa kata orang. Seandainya pada suatu saat Mas Djoko merasa sudah tidak cocok lagi dengan aku, dan sudah ada wanita lain yang akan menggantikanku, lebih baik mengatakan dengan sejujurnya.

Jika orang lain yang melihat dan menceritakannya kepadaku, mungkin aku akan berusaha membuktikannya. Dan hanya jika mata kepalaku sudah menyaksikannya sendiri, itu berarti aku akan mengucapkan Good Bye kepadanya.

Menurutku, dalam sebuah rumah tangga, sangat diperlukan adanya saling pengertian dan saling memahami kekurangan dan kelebihan pasangannya. Merupakan hal yang sangat sulit jika kita berharap bisa mengubah sifat dan karakter pasangan kita, karena masing-masing insan telah Allah ciptakan memiliki keunikan.

Aku telah menerima Mas Djoko apa adanya dan berharap iapun akan menerima aku sebagaimana adanya, karena aku punya banyak kekurangan. 

Kelebihan yang menonjol suamiku adalah memiliki jiwa kepemimpinan dan berwibawa, sekaligus juga dermawan. Dia suka nraktir, baik kepada teman maupun saudara. Orang-orang di sekitarnya biasanya segan kepadanya.

Di perjalanan waktu, lama kelamaan aku menyadari bahwa suamiku punya "ilmu kudu". Apa itu ilmu kudu? Semua keinginannya kudu terlaksana...

Tak mengapa, dalam hal yang baik-baik, memang harus diperjuangkan dan wajib dilaksanakan. Bagaimana jika sesuatu itu tidak baik? Apakah juga “kudu” terlaksana?  Contohnya begini. Ketika ada hal yang aku kurang cocok karena menurutku tidak baik, aku diam mengalah dulu.

Pada tahap selanjutnya jika keinginan itu tetap dilaksanakan dan mulai tampak keburukannya, baru pada akhirnya ia sendiri yang tidak melanjutkan atau membatalkannya. 

Dalam falsafah Jawa yang seperti ini disebut "Menang tanpo ngasorake" yang artinya suatu kemenangan yang diperoleh tanpa ada pihak yang kehilangan muka. Suami tidak merasa kehilangan muka, karena dia sendiri yang membatalkannya.

“Ilmu kudu” ini awalnya keluar dari ucapan Ceu Ida, seorang Notaris seniorku yang sudah top di Karawang. Waktu itu aku sudah dilantik sebagai Notaris dan kulonuwun ke beberapa Notaris di Kabupaten Karawang, salah satunya ke Ceu Ida.  

Sepertinya aku merasa dekat dengannya, dan akupun ngajak Mas Suami berkenalan. Ternyata kok ya klop, cocok, hingga keterusan kami main ke rumah barunya di Karawang maupun rumahnya di Bandung. Dari  obrolan yang sering mereka lakukan, Ceu Ida mengatakan Mas Djoko itu hebat, kalau punya kemauan “kudu” berhasil.

Setelah kelahiran anak pertama disusul anak kedua, Alhamdulillah terbukti bahwa suamiku sangat bertanggung jawab terhadap keluarga.  Mas Djoko sangat sayang kepada Dandy dan Adiknya. Jika ada diantara anak-anak yang sakit, dia yang segera memastikan ke dokter dan dengan tekun meminumkan obat dan menunggui di tempat tidurnya.

Ada sebuah Buku Catatan bercover warna hijau yang ditulisnya untuk setiap perkembangan dan pertumbuhan anak-anaknya, ketika sakit dan saat imunisasi.  Tertulis di dalamnya apa saja obat-obat yang diberikan oleh Dokter. Buku itu sudah seumur anakku Dandy, tetap tersimpan rapi di lemari.

Apa sebenarnya resep agar usia perkawinan bisa panjang? Para ahli tentu punya saran sesuai ilmunya. Yang aku jalani adalah: 

Pertama, diam karena marah itu, tidak boleh lebih dari 3 hari. Pada hari keempat, walau hati masih kesel, sebel dan jengkel, kembalilah beraktivitas sebagai seorang isteri yang baik. Berbuat baik kepada suami semata-mata karena perintah Allah, bukan mengikuti kata hati.

Kedua, ketika berdiskusi dan suasana sudah menuju ke arah perbedaan pendapat, berhentilah berdebat. Kelak, jika suasana sedang dalam kebahagiaan dan kemesraan, utarakan apa yang menjadi dasar alasan pendapat kita. Semoga pasangan kita menyadari, ada pendapat lain yang lebih baik.

Ketiga, setiap hari saat Mas Suami berangkat bekerja, aku mengiringi keluar (bahasa Jawanya nguntapke) sambil berdoa dalam hati. "Ya Allah, berikan suamiku keteguhan iman dalam menjemput rizkiMu.” Itu karena aku berharap rejeki yang diperolehnya bukan berasal dari sesuatu yang tidak baik.

Di setiap rumah tangga pasti ada pertengkaran-pertengkaran kecil maupun besar. Aku tipe isteri yang mengalah - menurutku lho ......… Sepertinya aku mengalami trauma karena dulu ketika masih kecil sering melihat pertengkaran Bapak-Ibu.

Oleh karena pengalaman masa kecil itu, aku selalu berusaha jika terjadi pertengkaran dan segala permasalahan orang dewasa, jangan sampai terdengar oleh anak-anak. Ini akan menjadikan mereka kepikiran, hatinya menjadi kecut dan menciut seperti aku dulu.

Pasangan-pasangan muda zaman now tidak terbiasa menahan diri. Egonya tinggi. Apalagi jika mereka termasuk yang bisa mandiri dalam hal finansial. Hal yang sebetulnya bisa didiskusikan, tidak dipikir panjang sehingga menjadi fatal, anak lah yang menjadi korban. Padahal, bisa saja meminta bantuan pihak lain yang ahli di bidangnya dan berpengalaman.

Sebuah pengalaman masa lalu ketika aku bertengkar dengan Mas Suami, dan akhirnya kita sepakat untuk membawa ke ahlinya. Aku ingat betul, itulah sekali-sekalinya kami ke Psikiater, seorang Psikiater terkenal, namanya Dr. Sukardi. Kami berdua masuk ke ruang prakteknya. Kemudian, aku diminta keluar, hanya Mas Djoko berdua dengan dokter di dalam ruangan.

Setelah beberapa waktu, Mas Djoko keluar, ganti aku yang berkonsultasi dengan Dokter. Dokter Sukardi hanya mengatakan begini.

"Ibu berdua Bapak sedang berjalan-jalan di sepanjang tepian sungai. Tiba-tiba Bapak terpeleset jatuh."

"Apakah Ibu akan diam saja, atau berusaha membantu Bapak agar tidak semakin jauh terbawa arus air sungai?"

"Saran saya, tarik tangannya sekuat tenaga hingga bisa berdiri lagi, dan melanjutkan perjalanan bersama-sama."

Aku menangkap maksud pesan itu, dan melaksanakannya ....…..




 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar