Kamis, 13 Oktober 2022

Bab III KEHIDUPANKU DI JAKARTA

 




4.b. NOTARIS DI CIKAMPEK

Menurut peraturan yang berlaku saat itu, formasi yang tersedia untuk Notaris baru adalah semua kota di Indonesia, kecuali 5 kota besar yaitu DKI Jakarta, Medan, Bandung, Surabaya dan Makassar. Kota-kota tersebut hanya untuk Notaris yang sudah senior yang akan pindah wilayah kerja. Aku yang sudah berkeluarga tidak mungkin memilih kota-kota yang jauh. Sedangkan di sekitar Jakarta formasi sudah penuh, masih lama waktu tunggunya.

Dari salah seorang Pejabat Departemen Kehakiman yang aku kenal baik, namanya Pak Marmo, masih bisa jika aku mau memilih Cibitung, Cikampek atau Cilegon. Untuk Cibitung dan Cikampek baru dibuka, sedang Cilegon sudah dibuka dan akan ditambah formasinya.

Cibitung lebih dekat dari Jakarta, sedangkan Cikampek cukup jauh. Cibitung maupun Cikampek adalah sebuah kota Kecamatan yang menempel dengan Ibukota Kabupaten. Pada saat itu jalan tol Jakarta Cikampek sudah beroperasi sampai Cikampek, tetapi dari Cibitung ke Cikampek masih satu jalur untuk dua arah. 

Suatu hari aku berdua Mas Suami mengendarai mobil melakukan survai untuk melihat kota-kota yang disarankan Pak Marmo tersebut. Ketika sampai di Cibitung, aku melihat ke kiri dan kanan jalan Raya Bekasi – Cibitung, kondisinya masih didominasi persawahan. Apa ada orang yang mau buat akta ya, pikirku. Sepertinya aku nggak tertarik.

Kemudian mobil masuk tol lagi menuju arah Cikampek. Setelah melalui Cikarang, Karawang Barat dan Karawang Timur, akhirnya keluar pintu tol Cikopo. Dari pintu tol terdapat dua arah, jika ke kanan, ke kota Purwakarta dan jika ambil kiri, ke arah Cikampek.

Aku perhatikan jalan sudah ramai, ada perumahan dan ada pasar. Jalur ke arah Cikampek itu nantinya juga menuju Cirebon, sehingga banyak sekali kendaraan berlalulalang di jalan. Di depan Pasar Cikampek terdapat lintasan kereta api. Jalur yang padat ini menuju Kota Karawang.

Meskipun Cikampek hanya salah satu kecamatan dalam wilayah Kabupaten Karawang, tetapi cukup ramai. Di samping itu, Karawang juga dikenal sebagai lumbung pangan nasional. Ada banyak bank yang berkantor di Cikampek. Ada BRI, BNI, BDN, BCA dan dua Bank Perkreditan Rakyat. BRI dan BNI kantornya cukup besar. BCA berkantor di sebuah ruko dekat pasar. Rasanya Cikampek lebih memungkinkan untuk berkembang dari pada Cibitung.

Dari survei pertama itu, selanjutnya sekali lagi aku ke Cikampek sendiri diantar Driver, khusus melihat rumah-rumah di pinggir jalan yang disewakan. Aku mencari lokasi untuk kantorku nanti. Waktu survai dulu sudah melihat sepintas, ada yang layak untuk digunakan sebagai kantor Notaris. Berada di jalan utama yang ramai, bersebelahan dengan kantor BRI Cabang Cikampek, dan juga dekat dengan kantor BNI, BDN dan BCA Cabang Cikampek. Langsung saja aku menemui pemiliknya Ibu Haji Salamah. Hari itu juga deal, aku bayar uang muka.

Setelah merasa sudah mantap untuk memilih Cikampek, segera aku mengajukan penempatan di kota itu. Sambil menunggu SK turun, aku sering menghubungi Pak Marmo menanyakan perkembangannya. Dari Pak Marmo mendapat informasi bahwa permohonan penempatanku sudah disetujui.

Mulailah sedikit demi sedikit memikirkan kantor yang akan dibuka. Apa saja yang harus dipersiapkan? Yang pertama pasti sewa kantor, sudah OK. Perlu setidaknya 2 orang karyawan yang nantinya juga akan bertindak sebagai Saksi dalam pembuatan akta. 

Aku sudah sounding ke Mbak Sam di Solo untuk mencarikan 2 karyawan wanita yang bersedia tinggal di kantor. Kemudian perlu furniture untuk kantor dan furniture untuk kamar tidur karyawan yang tinggal di kantor. Juga hal-hal kecil lainnya untuk menopang kehidupanku beserta 2 orang karyawan sehari-hari nanti. Untuk memudahkan, aku pesan furniture dari Jakarta, yang dikirim langsung ke Cikampek. Satu set meja kursi untuk ruang Notaris, dua set untuk karyawan dan satu set sofa untuk ruang tamu. Yang lainnya bisa menyusul.

Akhirnya terbit SK pengangkatan Notaris untukku, tepatnya SK Menteri Kehakiman RI Nomor: C-1.HT.03.01.TH1990 tertanggal 27 Pebruari 1990. Alhamdulillah ......…  

Pelantikan Notaris dengan wilayah kerja Jawa Barat angkatanku secara bersama-sama diselenggarakan di Bandung. Dengan pelantikan dan pengangkatan sumpah, secara resmi aku mulai berkantor di Cikampek. Aku menyiapkan peralatan kantor dengan membeli komputer baru dari Jakarta. Ibu Yetty Taher memberiku hadiah Printer Epson baru.

Mengenai karyawan, sudah siap 2 orang yaitu Mbak Wiwien dari Ponorogo saudara misanku, dan Mbak Naniek dari Solo kenalan baik Mbak Sam. Aku juga meningkatkan Mas Dul Alimin, yang semula bekerja menunggu Kebon Jatiranggon menjadi Driver dengan belajar nyopir dan mengambil SIM.

Mengingat baru buka kantor, artinya belum ada pemasukan dana, tidak setiap hari a pulang ke Jakarta. Saat itu jika berangkat pagi ke Cikampek, dari rumah diantar mobil dengan Driver Mas Paino sampai halte depan UKI Cawang. Selanjutnya dari UKI naik bus Warga Baru, turun pintu tol Cikopo, di mana Mas Dul Alimin yang bertugas sebagai Driver merangkap apa saja di kantor Cikampek, sudah menjemput dengan mobil jip Daihatsu Taft (yang berasal dari beli lelangan kantor Mas Suami).  

Sore hari jika giliran pulang ke Jakarta, dari Cikampek naik bus Warga Baru yang lewat seberang kantor. Mas Paino, Driver yang bekerja di rumahku sudah menunggu di Halte UKI dekat terowongan. Begitulah sehari-harinya.

Sebenarnya aku dengan Kak Ros dan Lia sempat belajar setir mobil di Senayan dan bareng-bareng mengambil SIM lewat sekolah mengemudi. Di kemudian hari ternyata hanya aku yang sehari-hari bisa membawa mobil. Kak Ros dan Lia tidak berani, meskipun keduanya punya mobil. Selama bekerja di Cikampek, ketrampilan mengendarai mobil sangat diperlukan, mengingat jenis pekerjaannya memerlukan mobilitas tinggi.

Jabatan sebagai Notaris sangat erat dengan jabatan sebagai PPAT. Selama aku belum memperoleh SK Pengangkatan sebagai PPAT, maka belum boleh membuat akta-akta yang berhubungan dengan tanah, seperti Akta Jual Beli, Akta Hibah, Akta Hak Tanggungan dan lain-lainnya.

Cikampek merupakan salah satu kecamatan di dalam wilayah Kabupaten Karawang. Jika ada Klien menyerahkan pekerjaan yang berhubungan dengan tanah, atau Bank mengadakan pengikatan kredit dengan jaminan tanah, maka aku harus bekerja sama dengan PPAT untuk wilayah Karawang.

Oleh karena itu, sebelum membuka kantor, terlebih dahulu aku berkunjung bersilaturahmi ke para Senior Notaris PPAT Karawang. Dalam adat Jawa, hal seperti ini disebut “kulo nuwun”. Pertama ke Ceu Ida Rosida dan Enjah Hadijah, keduanya adalah Notaris Senior di Karawang.

Bukan hanya terbatas pada Kabupaten Karawang, aku juga bersilaturahmi ke Notaris PPAT Bekasi dengan Ibu Nazli Alida Lubis, PPAT Purwakarta dengan Ibu Rahayu Beni Sofyan, dan PPAT Subang dengan Ibu Iiek. Tanah atau property di tiga kota yang aku sebutkan itu juga sering menjadi jaminan untuk pengikatan kredit Bank di Karawang.

Sembilan bulan kemudian, di bulan September 1991 aku dinyatakan lulus ujian PPAT dan memperoleh SK Pengangkatan dari Badan Pertanahan Nasional sebagai PPAT dengan Wilayah Kerja Kabupaten Karawang.  Lengkap sudah jabatan Notaris dan PPAT untukku. Semangat kerja pun semakin meningkat.

Jika teman-teman Notaris lain tidak setiap hari datang ke kantor, aku hampir tiap hari standby di kantor. Kondisi demikian menjadikan kantorku banyak menerima Klien, karena biasanya mereka ingin ketemu langsung dengan Notaris.   

Selama dinas di Cikampek, aku ikut aktif di organisasi INI (Ikatan Notaris Indonesia) Pengurus Cabang Karawang. Waktu itu Ketua INI Karawang dijabat oleh seniorku Ibu Tawangningrum dan aku sebagai Bendahara. Kami sering mengikuti acara-acara di Pengurus Daerah Jawa Barat yang diselenggarakan di Bandung, sekalian jalan-jalan melihat Lembang dan sekitarnya. 

Perang Teluk telah usai. Aku mendengar kabar bahwa sudah dibuka pendaftaran haji. Nah, kesempatan yang  ditunggu-tunggu untuk bisa melaksanakan ibadah haji tiba. Aku telah sepakat dengan Kak Ros yang saat itu sudah menjadi Notaris di Kota Tangerang, mau pergi barengan. Kabar gembira ini aku sampaikan ke Mas Djoko. Tak kusangka dia juga kepengin pergi. Syukurlah.

Kami berangkat haji dengan travel Tiga Utama, Haji Reguler selama 40 hari yang dibimbing Ibu Tuty Alawiyyah. Keberangkatan ke Tanah Suci ini akan aku ceritakan di bab tersendiri nanti.

Aku sangat bersyukur Allah SWT telah mengabulkan semua cita-cita dan keinginanku. Menjadi Notaris dan PPAT, sudah. Menunaikan ibadah haji, sudah. Sepertinya tidak ada lagi yang menjadi target selanjutnya. Tinggal bekerja sebaik-baiknya, agar hidup lebih bermakna dan punya manfaat bagi keluarga dan sesama. Tapi, masih ada satu janji kepada Mas Suami yang harus aku tepati, yaitu dia berharap punya anak lagi. Dulu aku sanggupi jika semua urusan sudah selesai.

Di suatu sore yang cerah, aku sudah duduk berdua Mas Suami di ruangan praktek Dokter Obgyn Ratna Suprapti Samil di daerah Menteng.  Dalam hati aku memantapkan diri, siap untuk hamil lagi setelah anak-anak besar. Mengingat usia sudah lebih tua dari waktu hamil Dandy dan Adiknya, perlu konsultasi dan obat-obatan tambahan agar calon bayi nantinya sehat dan kuat.

“Ibu sekarang usia 38 tahun”.

Aku mengangguk.

“Berapa putranya?”

“ 2 orang, Dok”.

“Putranya sudah 2, sudah punya putra laki-laki dan perempuan?”

“Sudah lengkap, Dok”

“Nah, apa lagi?” tanya Dokter ingin mengetahui alasanku. 

Aku menjelaskan bla bla bla mengapa ingin punya anak lagi.

Kemudian Dokter bertanya :

“Adakah anggota keluarga dekat, kakak, adik, om dan tante yang punya suatu kelainan, cacat mental, idiot, atau sejenisnya?”

Aku berpikir sejenak. Teringat Pak Diman, adik kandung Bapak, yang mempunyai kelainan, yaitu kurang kecerdasannya. Mendengar penjelasanku, Dokter langsung saja memutuskan, tidak membolehkan aku hamil lagi........

Setelah menyewa kantor di rumah Ibu Haji Salamah selama 3 tahun, Mas Djoko sudah mampu membelikan tanah di sana dan kami membangun kantor sekaligus rumah, yaitu di Jalan Ahmad Yani Nomor 9. Lokasinya berseberangan agak ke arah barat dari kantor yang lama.

Saat berada di kantor milik sendiri inilah, mulai banyak Klien langgananku. Saat itu staf karyawan berjumlah 6 orang. Mbak Wiwien, Mas Sukatno, Mas Dul Alimin, Mbak Ela Laelasari, Mbak Eka Padmawati dan Mbak Mumu Mudyawati. Aku berkesempatan menjadi Notaris yang menjadi langganan bank-bank di Cikampek dan juga Bank BTN Bekasi.

 



Apa saja yang aku kerjakan selama dinas di Cikampek? Pada tahun-tahun aku di sana, di sekitar Karawang sudah banyak Developer yang membangun Rumah Sederhana (RS) dan Rumah Sangat Sederhana (RSS).

Aku mengajukan permohonan untuk dapat ditunjuk sebagai Notaris Bank BTN dan ternyata disetujui. Untuk penandatanganan akta pengikatan kredit RS dan RSS ini, diselenggarakan di kantor Bank BTN Bekasi. Sekali hadir di sana, maka secara berbarengan sekitar 75 orang Debitur bertandatangan. 

Mereka menandatangani :

Perjanjian Kredit (di bawah tangan, dilegalisir), Pengakuan Hutang Dengan Jaminan (akta notariil), Pengikatan Hak Tanggungan atau Surat Kuasa Memasang Hak Tanggungan (akta PPAT).

Untuk itu kantor harus mempersiapkan banyak akta dan berkas, sehingga karyawan harus lembur ngeprint akta dan ngeprint pengisian data untuk legalisasi sampai malam hari.  Bunyi printer tak henti-hentinya. Rasanya sudah seperti pabrik saja .....…

Pada hari H, Notaris hanya membacakan satu set Akta Pengakuan Hutang dan Pengikatan Hak Tanggungan atau Surat Kuasa Memasang Hak Tanggungan di hadapan seluruh Debitur. Nanti pada saat tanda tangan, satu per satu diajak berkomunikasi, apakah sudah paham atau apakah ada yang perlu ditanyakan, kami siap untuk menjelaskannya.  Demikian pula jika ada pengisian data yang salah, langsung disiapkan tempat renvoi dan diparaf. Terakhir, barulah Debitur suami isteri bertandatangan.

Jumlah aktanya banyak, memerlukan persiapan yang lumayan panjang, tetapi nilai pembayarannya kecil. Bahkan pengalamanku sendiri, ada developer yang tidak mampu membayar biaya akta, akhirnya membayar dengan Rumah Sangat Sederhana tersebut. …

Aku juga membuat akta-aktanya Tommy Soeharto yang saat itu membebaskan lahan di pinggir jalan Tol Cikampek - Cikopo untuk pabrik atau Pool mobil Timor. Tommy tidak langsung sebagai pembeli melainkan melalui perusahaan lain. Untuk tanah yang bersertifikat aku membuat Akta Jual Beli, dan jika tanahnya masih girik aku membuat  Pengikatan Jual Beli, asalkan berkas dilengkapi dengan berbagai surat keterangan dari lurah dan camat. Ini juga merupakan pengalaman bagus yang akan berguna di kemudian hari.

Pekerjaan tetap lainnya adalah Pengikatan atau Perpanjangan Kredit Bank BRI. Dengan ditemani Pak Mantri BRI, aku sering ke rumah nasabah yang berlokasi jauh di pinggiran Karawang, di perkampungan dekat pantai seperti Cilamaya atau Wanamerta.

Mengapa nasabah tidak diminta datang ke bank? Menurutku, ini semata-mata service dari bank. Pak Mantri BRI yang sering menemani aku adalah Pak Harun dan Pak Kadma. Putri Pak Kadma, Mbak Eka Padmawati adalah karyawati di kantorku. Jika tandatangan ke rumah nasabah, pulangnya kadang dibawakan pisang, kelapa muda atau buah-buah yang ditanam di rumah nasabah.

Nasabah BRI ada juga yang datang ke kantor Notaris setelah mereka bertandatangan di Bank. Biasanya berdua isterinya, dan isterinya mengenakan gelang emas besar-besar, atau gelang keroncong yang jumlahnya banyak sekali. Menandakan bahwa mereka orang berada di kampungnya.

Berbeda dengan nasabah BRI, nasabah BNI biasanya adalah perusahaan atau pemilik toko di sekitar Kota Cikampek, seperti pengusaha pom bensin, pengusaha walet, toko beras, toko emas dan sebagainya. Mereka datang bertandatangan di kantor Bank BNI.

Mengurus, membuat, dan memecah sertifikat atau biasa aku sebut pekerjaan pengurusan, juga menjadi salah satu tambahan penghasilan yang lumayan. Pekerjaan ini memerlukan kesabaran dalam melakukan pendekatan dengan para petugas Kantor Pertanahan. Tetapi ada enggak enaknya juga. Ketika pengurusan sertifikat itu sudah selesai, kadang klien tidak segera mengambil sertifikatnya. Padahal biasanya aku baru minta biaya 50-75 persen saja, sisanya dibayar setelah sertifikat selesai.

Bahkan ada satu pekerjaan pemecahan sertifikat untuk dijadikan kavling yang dibeli oleh para anggota Polri di Cikampek, dari 25 sertifikat ada 1 yang tidak diambil hingga aku pindah tugas ke Jakarta. Berbagai cara aku coba untuk mencari pemilik yang namanya tercantum di sertifikat, tapi tidak berhasil.

Menjelang pensiun, aku khusus datang ke lokasi tanah yang sudah menjadi perkampungan itu. Ternyata pemilik kavling yang sebenarnya bukan orang yang tercantum di sertifikat. Rupanya tanah tersebut sudah dijual kepada pihak lain tanpa sertifikat, karena sertifikatnya ada di kantorku. Heran ya, pembelinya itu kok, ya percaya saja.

Mengenang Cikampek, aku masih ingat kulinernya yang terkenal, yaitu Soto Dengkul yang berkuah kuning. Tapi aku lebih suka dengan Soto Mang Amat yang mangkal di halaman Kantor BRI sebelah kantorku. Soto ayam yang encer tapi gurih, dimakan dengan ketupat atau nasi. Seingatku Mang Amat juga menjual bubur. Pagi-pagi sudah buka, dan jam 11-an sudah habis. Ada lagi yang terkenal, warung di dekat Stasiun Cikampek yang menjual nasi dengan lauk ikan goreng yang potongannya besar-besar.

Pengalaman wira-wiri ke Cikampek membuat aku begitu akrab dengan Jalan Tol Jakarta-Cikampek. Ada dua kejadian di jalan itu yang yang tak kan terlupakan.

Di suatu pagi yang cerah, seperti biasa aku mau ke kantor Cikampek ditemani putriku Hesty, saat itu sekitar 13 tahun, yang kebetulan sedang libur sekolah. Aku nyetir santai sambil ngobrol dengan si kecil.

Saat itu jalan tol Jakarta-Cibitung sudah 2 jalur, sedang Cibitung-Cikopo masih satu jalur. Kecepatan mobil sedang-sedang saja dan jalanan sepi. Kira-kira sebelum Karawang Barat, tiba-tiba seekor kambing menyeberang jalan. Aku menginjak rem menghindari menabrak kambing hingga terdengar bunyi ciiitt ciiit ciiiiiit....... dan tiba-tiba mobil sudah masuk ke rerumputan di pinggir sebelah kanan jalan tol. Orang-orang dari atas bukit turun menolong.

Alhamdulillah, tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, walaupun jantungku berdegup sangat kencang. Ban mobil berlepotan tanah basah. Aku dan putriku Hesty selamat, dan mobil bisa berjalan lagi hingga Cikampek.

Kejadian kedua adalah saat musim hujan. Pulang dari Cikampek menuju Jakarta, di sepanjang perjalanan hujan rintik-rintik. Mas Dul Alimin yang mengemudikan mobil Toyota All New Corolla membawa mobil cukup kencang karena suasana sepi. Aku mengantuk mungkin capek di kantor. Tiba-tiba terbangun kaget melihat mobil yang mestinya moncongnya ke arah Jakarta tapi kok terbalik ke arah Cikampek. Mas Dul turun, dan banyak pengemudi kendaraan di belakangnya ikut turun. Ternyata ban mobil selip, karena jalanan licin. Syukur bisa jalan lagi dan selamat sampai Jakarta.

Tujuh tahun sudah aku dinas di Cikampek, akhirnya berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI tertanggal 31 Desember 1997 Nomor :   C-170.HT03.02 TH 1997 aku diangkat sebagai Notaris Jakarta Selatan.

Sebagai Notaris Penerima Protokol adalah teman dan tetanggaku di Jakarta, Ibu Notaris Siti Maryam Muhtar Widodo. Kepada staf kantor Notaris aku tawarkan, siapa yang ikut pindah bekerja di kantor Notaris di Jakarta dan siapa yang tidak ikut. Yang ikut pindah, aku minta ada persetujuan suaminya karena akan bekerja jauh dari rumahnya. Bagi yang masih single, aku akan mencarikan tempat tinggal. Mereka yang tidak ikut, mendapatkan pesangon.

Demikianlah, Mbak Wiwien, Mbak Ela Laelasari dan Mas Sukatno mau pindah ke kantor Jakarta. Mas Dul Alimin yang sudah berjodoh dengan orang Cikampek dan Mbak Eka Padmawati yang sudah berkeluarga, tidak ikut ke Jakarta.



Begitu SK turun dan persyaratan yang ditentukan telah terpenuhi, aku langsung melaksanakan Sumpah Jabatan Notaris di hadapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dan secara resmi aku sudah bisa bekerja. Aku berkantor di Rumah Buntu, kantornya nyempil 1 kamar saja dengan pintu menghadap ke arah halaman dan gerbang sebelah timur.




 

 




 

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar