Kamis, 13 Oktober 2022

Bab III KEHIDUPANKU DI JAKARTA

 



4. PEKERJAANKU SEBAGAI NOTARIS - PPAT

 

a. Magang di Kantor Notaris

Di tahun 1984, aku mendaftarkan diri masuk Pendidikan Spesialis Notariat Universitas Indonesia. Aku baru bener-bener aktif kuliah di tahun 1985, sehingga termasuk angkatan 1985. Karena sudah tidak bekerja di BKKBN, aku fokus pada kuliah saja.


Di bangku kuliah itulah bertemu dengan teman-teman baru, banyak di antaranya usia mereka jauh di bawahku. Ada Adlia Ghanie, Lis Sulistyowati, Fathiyah, Tuty Punto dan beberapa yang lain. Mereka itu rata-rata 5-10 tahun di bawahku, karena langsung masuk Pendidikan Notariat begitu lulus Sarjana Hukum.

Di antara mereka ada yang sudah berkeluarga dan ada yang masih single. Salah seorang yang masih single dan dekat denganku adalah Adlia Ghanie, biasa aku panggil Lia, mahasiswi yang berasal dari Palembang. Lia kost di sekitar kampus. Saat itu Notariat UI menggunakan kampus UI di Rawamangun. 

Sebenarnya kuliah di Notariat tidak sulit tetapi berlaku sistem gugur. Dari tiga mata kuliah yang diujikan, masing-masing tidak boleh ada yang gagal. Jika salah satu gagal, maka bukan hanya mengulang satu yang gagal itu, melainkan mengulang semua mata kuliah yang tiga itu. Lebih baik mendapat angka masing-masing 6, dari pada mendapat angka 8, 7 dan 5. Aku belajar tapi tetap santai, bagaimana nanti sajalah saat sudah benar-benar akan ujian.

Lia mengajakku bekerja magang di sebuah kantor notaris yang dikenalnya ketika masih di Palembang, yaitu Kantor Notaris Pak Azhar Alia SH, Jalan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat. Kami berada di kantor itu hanya beberapa bulan saja.

Pak Azhar Alia sih baik-baik saja, tapi aku merasa tidak nyaman, merasa iba melihat para karyawannya yang makan siangnya sangat sederhana. Kadang hanya Supermi, kadang jagung rebus atau makanan lain yang menurutku tidak bergizi. Badannya kurus-kurus dan banyak merokok. Sedangkan kami berdua, membeli makanan di sekitar Jalan Sabang, kadang nasi padang, kadang sate ayam.

Lalu bagaimana ceritanya aku berdua Lia bisa bekerja sebagai asisten di Kantor Notaris Ibu Yetty Taher? Suatu ketika, IMN (Ikatan Mahasiswa Notariat) menyelenggarakan acara seminar. Kami berdua ikut menjadi Petugas Penerima Tamu, dengan tujuan selain melihat-lihat apa yang menjadi topik seminar juga mencari kenalan Notaris.

Ketika para Notaris peserta seminar mulai berdatangan, kemudian mereka tanda tangan di daftar hadir dan mengambil tas materi, aku memperhatikan nama-nama para Notaris satu persatu, siapa saja beliau-beliau itu. Setidaknya dengan tahu namanya, terbayang lokasi kantornya.

Dari daftar hadir itu aku memilih dua orang Notaris, yaitu Ibu Yetty Taher dan Pak Partomuan Pohan, untuk nantinya aku akan melamar magang di kantornya. Kedua beliau itu berkantor di daerah Kebayoran Baru, tidak terlalu jauh dari rumahku di Duren Tiga.  

Ketika acara selesai, segera aku dan Lia menyusul Ibu Yetty Taher yang sudah keluar dari ruang seminar. Kami memperkenalkan diri sembari melamar sebagai Asisten. Ibu Yetty tampak tersenyum wellcome, mempersilahkan kami datang ke kantornya. Padahal sebenarnya saat itu kami berdua masih magang di Kantor Notaris Azhar Alia.......

Aku bilang ke Lia, kita jangan ke kantor Ibu Yetty dalam waktu dekat ini. Kasih kesempatan aku untuk mengajukan lamaran ke Notaris Partomuan Pohan, siapa tahu bisa diterima bekerja di sana. Beliau lulusan luar negeri, pasti aktanya lebih bervariasi. Aku ingin mengambil pengalaman menghadapi berbagai kasus.

Di suatu pagi menjelang siang, aku sudah duduk manis di Kantor Notaris Partomuan Pohan Kebayoran Baru mengerjakan tes. Tak kusangka, tesnya berupa menerjemahkan sebuah Akta Kuasa berbahasa Inggris ke Indonesia.  Sebenarnya nggak sulit-sulit amat karena Akta Kuasa isinya sudah standar. Tetapi ada dua kata yang aku tidak bisa menemukan terjemahannya, ini kok bener-bener blank. Yah, begitulah. Aku tidak berharap bisa dipanggil bekerja di kantornya.

Kami berdua mulai bertugas di Kantor Notaris Yetty Taher yang beralamat di Jl. Panglima Polim Raya sebagai Asisten Notaris. Ibu dan Bapak Taher adalah asli orang dari Sulit Air, Sumatera Barat. Mereka sama-sama belajar di UI.

Ibu menjadi Notaris dan Bapak dinas di Pemda DKI. Para Asisten dan karyawan kebanyakan dari keluarga sendiri atau dari lingkungan dekatnya.  Hari-hari aku terbiasa dengan suasana dan kebiasaan masyarakat suku Padang. Dengan mudah aku beradaptasi, bisa bekerja sama dengan para Asisten di sana.

Saat itu banyak para calon notaris yang magang di kantor Ibu Yetty, ada yang magang bekerja tetap seperti kami berdua, dan ada yang hanya status saja, karena sehari-hari tidak selalu berada di sana.

Aku  belajar  seluk-beluk  urusan Kantor Notaris, seperti:  Menghadapi Klien, Konsultasi Kasus, Membuat Akta, Membuat Laporan, Teknis Pengurusan Tanah ke BPN, dan juga masalah administrasi bagaimana merapikan berkas akta, sampai menjilid dan menyimpannya agar mudah mencarinya lagi kelak jika diperlukan. Tak ketinggalan juga bagaimana cara menghandel Karyawan.

Menurut pendapatku di kantor Ibupun tidak semua hal bisa berjalan bagus. Jika kelak aku buka kantor sendiri, pasti aku akan menggunakan cara yang berbeda. Aku dengan gaya dan style ku sendiri.

Di sinilah aku mendapat banyak teman para Asisten lain, yang pada waktunya nanti akan menjadi teman-teman Notaris angkatanku. Mereka menjadi teman tempat kita berdiskusi jika menghadapi kasus yang sulit. Para asisten di sana antara lain Uni Rosmaini Abdul Rahman, Adlia Ghanie, Risbert, Zulfikar, Yonri Darto, Lismana, Onah dan beberapa senior yang pada saat itu telah diangkat sebagai Notaris tapi masih sering datang berkunjung.

Aku berada di kantor ibu Yetty cukup lama, sekitar 4 tahun. Salah satu pengalaman lucu yang masih aku ingat adalah ketika seorang asisten di kantor Ibu ada yang naksir Lia, minta disampaikan ke yang bersangkutan. Teman ini cukup baik, wajah tidak buruk, sopan, soleh, sering memimpin doa di kantor.

Aku cukup kaget ketika mendengar jawaban Lia.

“Nggak mau mbak”

“Kenapa?”

“Pelit. Orang………”

Mendengar jawabannya, aku nggak melanjutkan lagi.

Selain dengan Lia, ada Uni Rosmaini Abdul Rahman yang sayang sekali ke aku, menganggap aku seperti adiknya sendiri. Kak Ros, begitu aku memanggilnya, asli dari Padang Pariaman. Usianya di atasku, belum atau tidak married.

Menurut ceritanya, orang yang telah serius mau menikah dengan Kak Ros tidak disetujui keluarga besarnya. Keluarga Kak Ros adalah Bangsawan suku Padang yang punya standar tertentu dalam menerima calon menantu.

Ke mana-mana di luar urusan kantor Notaris, Kak Ros selalu mengajakku. Kadang kita makan ke Restoran Kapau di Kebayoran. Kak Ros suka masakan gulai gajeboh, yang menurutku makanan tidak sehat.

Sering juga, kalau kita punya uang, berdua beli atau tukar emas perhiasan ke toko emas langganannya di Melawai Plaza. Kedekatanku dengan Kak Ros itu mengherankan teman-teman di kantor. Mereka takjub, karena Kak Ros orangya susah berteman.

“Kok Mbak Weni bisa ya, temenan dengan Ni Ros.”

“Kita saja (yang sesama orang Padang) nggak ada yang bisa dekat.”

Kami berdua berbarengan satu rombongan saat pergi haji di tahun 1991 dan dua kali pergi umroh bersama. Umroh yang kedua itulah, aku khusus mengantarnya karena dia ingin ke Tanah Suci, padahal sakitnya sudah parah. Kak Ros sakit lever. Karena tidak kuat mengikuti ziarah, sering hanya tiduran di deretan kursi bus paling belakang. Aku menyarankan untuk dirawat di rumah sakit, tetapi dia tidak mau. Menurutnya ia tidak akan sembuh, hanya membuang uang saja. Itulah saat terakhir aku menemaninya. Beberapa waktu kemudian aku mendengar, Kak Ros menghadap Sang Khalik. Semoga Allah SWT menempatkannya di tempat mulia di sisiNya.  Aamiin ......…

Kebiasaan kami para Asisten setelah Klien menandatangani Akta Jual Beli (AJB) atau akta PPAT lainnya adalah menyelesaikan minuta dan bertandatangan sebagai Saksi. Biasanya di AJB, aku dan Lia sebagai Saksi.

Lia bilang:

 “Kapan dong kita tanda tangan di bagian atas?” (maksudnya, tanda tangan di tempat Pejabat Pembuat Akta Tanah).

“Masak di bagian bawah terus?” (maksudnya, tanda tangan di tempat Saksi).

Kami tertawa berdua ......…

Di kantor Notaris Ibu Yetty, untuk makan siang khusus Ibu dan Bapak, diantar masakan dari rumah. Nah, aku dan Lia sering diajak makan Ibu. Lama kelamaan, aku menjadi terbiasa dengan masakan Padang. Enak-enak, bukan seperti yang biasa dijual di warung Padang. Masakan di rumah Ibu adalah asli ala Sulit Air. Ada yang aku suka sekali, namanya Ayam Panyikek. Masakan ayam dan daun singkong dengan bumbu yang berwarna hitam.

Pada suatu hari Ibu Yetty mengajakku keluar kantor. Ternyata hari itu beliau tanda tangan Akta Jual Beli di hadapan PPAT lain, dimana beliau bertindak sebagai Pembeli. Yang dibeli adalah sebuah rumah, bekas rumah dinas Pejabat Tinggi Departemen Keuangan yang cukup luas, di lokasi sangat bagus di Jalan Brawijaya Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Pada zaman itu saja, harganya sudah miliaran rupiah.

Kira-kira sepuluh hari kemudian, Ibu bercerita bahwa rumah yang belum dibalik nama itu sudah dibeli orang dan ibu diberi lebihan yang jumlahnya tidak sedikit. Mengapa demikian? Ternyata si Pembeli baru ini adalah tetangga di sebelahnya, juga Pejabat Departemen Keuangan. Dia merasa tidak enak untuk membeli rumah mantan Pimpinannya.

Setelah tahu Ibu Yetty yang beli, dia datang ke Ibu akan membelinya dengan harga yang lebih tinggi. Itulah, kalau sudah rezekinya, tak akan tertukar. Rezeki itu Allah SWT yang mengatur .....…

Di tahun 1988 aku dinyatakan lulus ujian Notaris. Alhamdulillah…..... tidak sia-sia aku belajar mati-matian. Menjelang ujian, aku minta izin untuk berhenti sementara dari kantor Ibu Yetty. Selama 3 bulan itu, dari hari Senin hingga Jumat aku berdua temanku Lis Sulistyowati yang tinggal di Lampung, belajar bersama dan menginap di Kebon Jatiranggon. Jumat sore Lis pulang ke Lampung, dan datang lagi di hari Senin atau Selasa. Saat itu Pak Pram tinggal di sana. Aku berdua Lis di kamar sebelah timur yang luas, Pak Pram di kamarnya sendiri yang agak kecil. Walau suasana sepi dan jika malam hari di sekitar gelap, kami berdua tidak khawatir.  

Kami khusus mempersiapkan diri untuk latihan membuat akta. Memang dalam membuat akta, beberapa pasal harus hafal mati, sebab kalimat yang digunakan sudah baku. Jika kita mengarang sendiri pasti akan terasa aneh.

Misalkan, tentang pemilihan tempat kedudukan hukum para pihak, tentang arbitrasi, tentang pihak-pihak yang meneruskan perjanjian dalam hal salah satu pihak jatuh pailit atau meninggal dunia, tentang penyebutan pasal pengecualian dalam hal tertentu, tentang penyebutan tanah berikut segala sesuatu yang berada di atasnya, bla bla bla…...... dan lain sebagainya.

Selain itu, aku juga belajar mengingat urutan pasal dalam pembuatan akta kuasa, akta pendirian perusahaan dan akta-akta standar lainnya. Banyak sekali yang harus dikuasai.

Setelah dinyatakan lulus ujian Notariat, aku kembali bekerja di Kantor Bu Yetty sambil mengurus penempatan. Pada akhirnya masing-masing sibuk dengan masa depannya sendiri. Lia akan kembali ke Palembang, dia memilih Kota Pangkalpinang, Bangka Belitung untuk lokasi kantornya. Lis pulang ke Lampung, memilih Kota Bandar Lampung. Fathiyah memilih Tangerang, dan Tuty Punto memilih Depok.


 

Jika memilih yang dekat dengan Jakarta, seperti Depok atau Tangerang, daftar tunggunya panjang. Aku ingin segera praktek supaya juga segera bisa masuk Jakarta.

 

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar