Awal Membuka Kantor
Di akhir tahun 1997 bertepatan dengan aku bersiap-siap akan pindah dari Cikampek ke Jakarta, terjadi krisis ekonomi terparah yang pernah dialami Indonesia. Kurs USD naik dari semula Rp 4 ribu menjadi Rp13 ribu per dolar AS.
Bunga bank melonjak menjadi 60-70 persen mengakibatkan para debitur bank kelimpungan. Aku kasihan ketika berhadapan dengan para nasabah BRI yang tidak dapat membayar kreditnya. Banyak yang akhirnya menjual sebagian, atau setengah dari tanah atau sawah yang dijaminkan, untuk menutup pinjamannya agar tidak menjadi beban.
Dengan kepindahan ke Jakarta, semula aku ingin membuka kantor di tempat yang ramai. Aku ingin menyewa sebuah ruko di depan kantor BNI Cabang Mayestik, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Menurutku, itu akan cepat dikenal dan langsung punya klien bank.
Aku sampaikan ke Mas Suami dan kedua anakku. Tetapi menurut mereka, tempat itu terlalu ramai. Mas Suami menyarankan, daripada uangnya buat menyewa lebih baik buat membangun di tanahnya sendiri. Akupun mengikuti apa saran suami dan anak-anak.
Membangun kantor dua lantai yang bagus tetapi dengan dana terbatas, mungkinkah? Mungkin saja, yang dijadikan sampai selesai dan rapi hanya lantai bawah. Lantai atasnya dari luar kelihatan sudah jadi, tapi bagian dalam masih bata telanjang belum diplester dan belum di keramik.
Sewaktu sedang dibangun, aku menempati satu kamar rumah induk yang pintunya menghadap ke halaman dan gerbang sebelah timur sebagai kantor. Kantorku yang baru, dibangun oleh Pak Fredy, arsitek dan pemborong yang sebelumnya membangun kantor Cikampek dan merenovasi rumah komplek. Aku cocok dengan cara kerjanya yang rapi dan sudah kenal baik dengan mandor dan para tukangnya.
Di bulan Mei 1998 terjadi huru-hara (chaos) di Jakarta dan beberapa kota besar di Indonesia. Di mana-mana terjadi pembakaran gedung-gedung dan supermarket. Setelah dibakar, isi tokonya dijarah.
Peristiwa ini menyebabkan mundurnya Pak Harto dari jabatan sebagai Presiden, digantikan oleh Pak Habibie. Di jalan depan kantor, banyak orang mendorong troli berisi bermacam-macam barang jarahan. Mereka tidak merasa menjarah, katanya hanya mengambil barang-barang yang tergeletak di halaman Supermarket Goro yang dikosongkan sebelum dibakar.
Ketika tukang-tukang Pak Fredy yang bekerja di proyek pembangunan kantorku ikut membawa troli, aku minta troli jangan dibawa ke rumah. Silahkan diambil barangnya, troli dikembalikan atau taruh di jalan saja. Itulah sekilas peristiwa runtuhnya era Orde Baru yang aku saksikan.
Aku menyadari dan bersyukur tidak memaksakan diri menuruti keinginanku menyewa kantor di Mayestik. Bagaimana kalau kondisi krisis ekonomi seperti ini aku jadi menyewa ruko? Apakah akan bisa mendapatkan hasil untuk menyewa tahun berikutnya? Hari-hari sepi, tidak ada Klien yang datang membuat akta.
Teman-teman Notaris memanfaatkan waktu yang kosong ini untuk kuliah lagi. Sebenarnya aku juga kepingin kuliah S2 untuk memperoleh MH. Tapi Mas Djoko tidak mengizinkan.
"Mama itu orang yang serius.”
“Kalau sudah belajar, nanti aku nggak keurus," begitu katanya.
Aku mulai mencari kegiatan lain. Mulai belajar ngaji dengan Mbak Rogayah, melanjutkan yang dulu terputus sebelum aku dinas di Cikampek.
Suka duka menjadi Notaris dan PPAT di Jakarta
Acara peresmian kantor baru cukup meriah. Aku pesan makanan ke Katering Gandrung, usahanya Ibu Subadi, tetangga di Komplek Duren Tiga. Masakannya enak dan elite. Aku undang beberapa teman kuliahku di Notariat UI dan keluarga besar kami.
Dengan krisis moneter di tahun itu, aku tidak dapat lagi melanjutkan membayar asuransi Lippo Life yang preminya US Dolar dan dibayar setahun sekali. Untunglah, akhirnya klaim bisa mereka bayar, dan uangnya aku gunakan untuk membeli furniture kantor. Akhirnya kantorku siap dan lengkap dengan peralatan kantor yang diperlukan.
Walau berjalan lambat, akhirnya “pecah telur” juga. Pecah telur adalah istilah para Notaris ketika untuk pertama kali membuat akta. Saat itu ada 3 orang staf kantor Notaris semasa di Cikampek yang ikut pindah Jakarta, yaitu Mbak Wiwien, Mbak Ela Laelasari, dan Mas Sukatno. Sedangkan driver tetap Mas Paino merangkap driver untuk urusan keluarga.
Mbak Wiwien tinggal di Cikampek dan Mbak Ela tinggal di Karawang. Mas Sukatno tinggal di Kebon Jatiranggon. Untuk semua karyawan tersebut, pengeluaran transport diganti penuh. Setiap hari disediakan makan siang dengan menu biasa yang sehat. Jika saat makan siang sedang dinas di luar, maka diganti uang makan.
Karyawan yang tinggal di Cikampek dan Karawang tentu saja lebih capek karena perjalanan berangkat pulangnya cukup jauh. Mereka pagi-pagi sudah berangkat, kadang pulangnya sampai di rumah sudah malam. Apalagi jika terjadi kecelakaan di jalan tol, pasti macet sekali. Dulu aku yang wira-wiri Jakarta-Cikampek, sekarang mereka berdualah yang dilanjo (pulang balik).
Keseharian Notaris di Jakarta tidak sibuk, kecuali Notaris yang menjadi langganan bank. Untuk menjadi Notaris langganan Bank, perlu mengajukan penawaran ke berbagai bank. Itu sudah aku lakukan, tapi rupanya belum ada bank yang memanggilku. Hingga pada suatu hari, aku kedatangan seorang tamu yang ternyata tinggalnya di Komplek Bappenas, sebelah barat dari Komplek Pertambangan Duren Tiga. Dia adalah karyawan yang menjabat sebagai legal Bank BNI, hendak meminta jasa membuat pengikatan kredit untuk BNI Cabang Gedung Landmark yang saat itu pimpinannya bernama Bapak Karsanto.
Dari kerja sama pertama ini, akhirnya selama beberapa tahun aku menjadi langganan Bank BNI. Bukan hanya Cabang Landmark, juga Cabang Rawamangun, Cabang Pasar Minggu dan Cabang Senayan.
Merupakan kebiasaan bank, jika terjadi pergantian pimpinan cabang, maka pimpinan cabang yang baru akan membawa Notaris dan PPAT yang sebelumnya bekerja sama dengan beliau. Itu hal yang wajar. Bagi aku, apa yang kuperoleh dari kerja sama dengan bank manapun akan memperkaya pengalaman dan tentu juga silaturahmi. Pak Karsanto setelah tidak menjabat sebagai pimpinan Bank BNI pernah meneleponku sekadar bersilaturahmi. Beliau saat itu menjadi pimpinan salah satu BUMN bukan bank.
Tugas Notaris bukan hanya membuat akta tetapi juga memberikan advis hukum. Beberapa kali terjadi Klien meminta pendapatku untuk masalah warisan. Aku jadi ingat, ketika Ibu BS, seorang pensiunan BUMN datang ke kantorku, menceritakan bahwa suaminya sudah meninggal dunia dan beliau berdua tidak memiliki keturunan. Sejak semasa suaminya masih hidup, mereka mengangkat dua orang anak perempuan. Yang seorang telah berkeluarga dan yang lain masih gadis, tetapi sudah bekerja. Beliau ingin, kelak jika meninggal dunia, rumah yang ia miliki itu untuk kedua anak angkatnya yang selama ini bersamanya. Ibu BS menanyakan bagaimana caranya ?
Aku memberikan pendapat bahwa jika Ibu BS meninggal dunia, maka yang akan menjadi ahli warisnya adalah kedua orang tuanya jika masih ada, dan saudara-saudara kandungnya.
Kedua anak angkatnya itu tidak menjadi ahli warisnya. Jika beliau ingin rumahnya itu untuk kedua anak angkatnya, maka selagi masih sehat atau dalam istilah hukumnya “cakap bertindak”, bisa menghibahkan kepada kedua anak angkatnya itu, sekaligus membalik nama sertifikatnya. Bisa satu sertifikat mencantumkan dua nama anak angkatnya, atau bisa juga sertifikat dipecah menjadi dua, masing-masing sertifikat mencantumkan nama seorang anak angkatnya.
Aku
minta beliau berpikir tenang dulu di rumah sebelum memutuskannya. Beberapa
bulan kemudian keinginan beliau sudah aku laksanakan, memecah sertifikat
menjadi dua dengan nama masing-masing anak angkatnya.
Suatu hari datang seorang tamu yang belum-belum sudah tampak marah hingga menggebrak meja rapatku.
“Notaris telah salah membuat akta. Seharusnya rumah kakak saya (Ibu BS) itu menjadi hak saya.”
“Gara-gara Anda, hak waris saya hilang.”
Dengan sabar aku berikan penjelasan, bahwa hak waris itu baru terbuka setelah kakaknya meninggal dunia. Semasa beliau masih hidup, beliau bebas untuk berbuat apa saja terhadap harta miliknya, mewakafkan, menghibahkan, ataupun menjual kepada siapa saja yang dikehendaki.
“Jika Bapak masih belum bisa menerima penjelasan saya, silakan bertanya kepada ahlinya, bisa ke Kantor Pengadilan Agama atau kepada ulama yang mengetahui masalah warisan.”
Bersyukur tamu itu tidak kembali ke kantorku lagi.
Pengalaman juga mengajarkan, bahwa klien memilih Notaris dan PPAT bukan hanya karena biaya murah semata. Suatu kali aku menerima klien yang mengatakan bahwa ia telah membandingkan ke Notaris lain dan kembali ke kantorku.
"Saya kembali ke kantor ibu untuk urusan saya ini".
"Sebenarnya di Notaris X jatuhnya lebih murah, tapi saya merasa kurang mendapat penjelasan yang rinci, jumlah uang yang akan saya bayar itu untuk apa saja".
Begitulah, penting untuk jujur kepada Klien masalah biaya.
Selama aku menjabat Notaris dan PPAT di Jakarta, aku sama sekali tidak aktif di organisasi Ikatan Notaris Indonesia sebagaimana dulu di Cikampek. Mengapa? Padahal dengan aktif di organisasi akan bertambah teman dan pengalaman.
Masalahnya
aku kekurangan waktu. Begitu masuk Jakarta, harus ikut aktif di Dharma Wanita,
mengikuti jabatan suami. Di Dharma Wanita Sekretariat Jenderal, sebagai Ketua
dan di Dharma Wanita Depertemen Pertambangan dan Energi, sebagai Ketua Bidang
Ekonomi.
Untuk aktif di organisasi ini menurutku tidak memerlukan effort yang tinggi, tetapi yang jelas memerlukan waktu. Kadang pertemuan hanya kumpul-kumpul ngobrol saja, sehingga sering kali belum selesai aku sudah kabur duluan. Bagaimanapun, ternyata teman-teman di lingkungan Dharma Wanita inilah yang pada akhirnya bertahan sebagai sahabat hingga "menua bersamaku".
Sebagaimana biasa, Klien yang sudah menjadi langganan seorang Notaris dan PPAT sudah merasa nyaman dengan pelayanan atau jasa yang diberikan. Jika Klien itu mempunyai urusan yang harus diselesaikan menyangkut tanah atau properti di wilayah lain yang bukan wilayahku, dia akan tetap menyerahkannya ke kantorku. Untuk itu aku akan bekerja sama dengan teman Notaris PPAT wilayah lain, hingga urusan Klien tuntas.
Klien aku kebanyakan adalah Klien lama yang sudah seperti teman. Bahkan hingga aku pensiun masih ada yang tetap menyerahkan urusannya kepadaku. Tentu aku bantu semampuku, bekerja sama dengan teman Notaris lain.
Sepanjang aku menjabat sebagai Notaris dan PPAT Jakarta Selatan, ada beberapa Klien langganan yang mempunyai pekerjaan sambilan jual beli property. Awalnya membeli tanah atau rumah dari orang-orang yang BU (Butuh Uang), kemudian merapikannya menjadi rumah yang bisa langsung ditempati lalu menjualnya.
Kadang tanah atau rumah yang dibeli itu belum bersertifikat atau belum dipecah, atau merupakan warisan sehingga minta untuk diuruskan sertifikatnya lebih dahulu. Aku perhatikan, untuk pekerjaan semacam Klienku itu, selain harus bermodal juga berbakat, dan punya feeling bisnis yang kuat.
Ada lagi seorang ibu yang suaminya telah wafat, ternyata pandai berbisnis. Dari peninggalan suaminya dia belikan rumah yang selanjutnya dijadikan rumah kost. Begitu pinternya memanage bisnis kost-nya, selama menjadi klienku sudah 4 kali membeli rumah untuk dijadikan kost, yang semuanya diserahkan urusannya ke kantorku.
Kedekatan Klien dengan para Stafku juga merupakan faktor penting. Mereka kadang langsung menelepon Mas Sukatno atau Mbak Ela Laelasari untuk menanyakan hal-hal praktis, sebelum akhirnya datang ke kantor menemuiku. Akupun memberikan keleluasaan kepada para Staf sekaligus mengajarkan kejujuran kepada mereka. Bekerja dengan jujur dan ikhlas merupakan modal penting. Suatu saat mereka akan mencari tempat bekerja lain setelah aku pensiun.
Salah satu kesenanganku adalah traveling. Untuk kesempatan travelling ini selalu aku rencanakan terlebih dahulu, baik tujuannya, apa yang mau dilihat maupun biayanya. Aku lebih senang jika pergi beramai-ramai dengan karyawan ketimbang hanya pergi dengan sedikit teman. Pilih waktu yang santai, biasanya sekitar hari ulang tahunku. Berbagai tempat indah pernah aku kunjungi bersama Staf, dan yang terakhir adalah beribadah umroh bersama mereka.
Menjelang pensiun
Suatu pagi di tahun 2016 di kantorku. Seorang Klien cantik langganan lama menghambur masuk ruanganku.
"Apa kabar Bu Weni? Liburan kemaren ke mana?”
"Bu, jadinya tanah yang dulu itu bla bla bla..."
Sambil ngobrol masalah tanah, di benakku masih berputar-putar, siapa nama klienku ini, kok aku lupa sama sekali ya. Jadinya ngobrol kurang asyik, karena aku nggak bisa menyebut namanya. Nggak mungkinlah, kalau aku berterus terang dan menanyakan langsung, pasti klien merasa kecewa, nggak diingat namanya. Padahal namanya itu serasa sudah di ujung lidah saja....... Begitulah sampai dia pulang, aku tetap tidak bisa mengingat namanya. Baru setelah tanya ke staf, oh... iya, ibu X.
Di tahun yang sama, pada kesempatan melayat cucu teman Notaris, aku duduk bersebelahan dengan seorang ibu yang meskipun tidak kenal akrab, aku tahu siapa beliau. Beliau isteri dari orang nomor satu di Pertamina, tinggalnya di dekat rumah temanku. Bagaimana aku tidak mengenal beliau, setiap ada acara di kantor Mas Suami, kami sering ketemu. Kami mengobrol santai seputar sakitnya cucu temanku. Tetapi dalam pikiranku, aku masih belum menemukan nama beliau. Siapa ya, siapa ya? Baru ketemu namanya setelah tanya ke Mas Suami. Oh iya, ibu Y....
Di kantorku, suatu hari di tahun 2017.
"Bu ada telepon, minta dengan ibu langsung," kata stafku. Setelah sekadar basa-basi, kemudian klien mengatakan:
"Iya bu, kita mengundang ibu untuk RUPS nanti hari Senin. Kita setuju dengan saran Notaris, para pemegang saham siap untuk... bla bla bla..."
"Saran apa Pak…?"
"Iya sesuai surat Bu Weni waktu itu..."
Tapi aku kok nggak menangkap isi pembicaraan yang dimaksud. Aku meminta waktu untuk mempelajarinya. Langsung setelah menutup telepon, aku cari surat yang disebut. Wah, benar.......Aku pernah membuat surat menyarankan secara detail apa yang seharusnya dilakukan untuk menyelesaikan kasus PT Z.
Suatu ketika, aku sedang ada pekerjaan yang memerlukan kerja sama dengan Notaris Bogor. Teman Notaris lain memberi info bahwa putrinya Pak Refizal, temanku yang dulu bersama-sama magang di kantor Ibu Yetty Taher, sudah diangkat sebagai Notaris Kota Bogor. Aku segera menghubungi Pak Refizal dan ngobrol di telepon. Beberapa hari kemudian Pak Refizal main ke kantorku membantu putrinya membicarakan masalah pekerjaan itu. Aku tahu, setahun yang lalu Pak Refizal memperpanjang masa jabatan Notarisnya. Sambil lalu aku menanyakan, apa yang dirasakan sebagai Notaris setelah usia lebih dari 65 tahun?
Kata Pak Refizal, sekarang lebih mudah marah menghadapi hal-hal kecil, yang dulu biasa dihadapi. Seperti saat menghadapi legal bank yang minta penandatanganan akta segera dilakukan, padahal berkasnya belum lengkap.
“Dulu sih aku cukein saja. Tapi sekarang rasanya darah sudah naik ke kepala…”
Dari peristiwa-peristiwa yang aku alami tersebut, cukuplah bagiku untuk memutuskan mengambil pensiun saja, tidak akan menggunakan kesempatan memperpanjang masa jabatan.
Betapa memalukan jika banyak hal penting yang menjadi tanggung jawabku sebagai pejabat publik, tidak berjalan lancar karena “lupa”. Badan fisik boleh tampak sehat, tetapi orang kadang tidak menyadari bahwa usia telah mengurangi volume otak di kepala kita….. Aku juga tidak ingin sering marah-marah. Aku ingin hidup santai saja.
Sekitar 1-2 tahun menjelang usia pensiun, aku mulai menghubungi Majelis Pengawas Notaris Wilayah (MPW) DKI Jakarta yang berkantor di Jl. Letjen MT Haryono untuk mengetahui, berkas apa saja yang harus dipersiapkan.
Menurut peraturan, usia pensiun Notaris adalah 65 tahun dan jika sehat dan memenuhi syarat bisa mengajukan perpanjangan hingga usia 67 tahun. Aku sudah mempertimbangkan baik-baik, hingga mengambil keputusan tidak memperpanjangnya. Mengapa?
Pertama: Syarat untuk memperpanjang jabatan Notaris bagi aku berat, karena selama tahun-tahun terakhir sebagai Notaris aku tidak pernah mengikuti Kongres, Seminar, atau kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh Ikatan Notaris Indonesia.
Kongres hampir selalu diadakan di luar Jakarta, untuk waktu sedikitnya 4 hari. Sedangkan aku masih punya tanggung jawab mengurus Sekolah Alam Bekasi yang lebih memerlukan kehadiranku. Padahal keikutsertaan dalam Kongres, Seminar atau kegiatan-kegiatan itu mempunyai bobot nilai, yang jika diakumulasi hingga mencapai jumlah tertentu, baru memenuhi syarat untuk memperpanjang jabatan Notaris.
Kedua: aku ingin menemani Mas Suami yang saat itu sudah pensiun.
Ketiga: aku ingin mempunyai waktu lebih santai, ingin belajar membaca Al Quran, yang sampai saat itu menurutku masih belum lancar. Cita-cita ini baru kesampaian setelah aku pensiun.
Informasi dari MPW DKI mengenai prosedur mengajukan pensiun, membuat aku pesimis. Permohonan mengajukan pensiun harus disertai nama Notaris yang akan menerima protokolnya. Padahal banyak teman Notaris yang masih muda, sepertinya enggan untuk menerima Protokol Notaris yang akan pensiun, sekali pun dulu pada waktu mengajukan permohonan pindah ke Jakarta telah menandatangani Pernyataan Kesediaan menjadi Notaris Penerima Protokol.
Permintaan untuk menjadi Notaris Penerima Protokolku sudah aku sampaikan kepada beberapa teman Notaris yang berkantor di DKI Jakarta, tapi tidak mendapat tanggapan atau jawaban.
Kesulitan mencari Notaris yang bersedia menerima Protokol ini pernah aku sampaikan juga ke seorang teman yang menjabat sebagai Pimpinan Pengurus INI DKI Jakarta. Menurut beliau, Notaris di Jakarta harus menyewa kantor mahal sehingga hanya mampu menyewa seluas yang diperlukan saja. Tidak tersedia space untuk menyimpan Protokol dari Notaris lain. Belum lagi kalau harus berpindah-pindah kantor mencari lokasi yang sesuai dengan dananya.
Untuk itu aku berpesan ke Sekretaris MPW DKI, waktu itu Ibu Elly, jika ada Notaris yang pindah masuk Jakarta agar aku diberi nomor kontaknya. Akan aku hubungi, barangkali bersedia menerima Protokolku.
Tak berapa lama aku sudah terhubung dan berkomunikasi aktif dengan Ibu Erlina Kumala Esti, Notaris pindahan dari Depok, yang adalah putrinya Prof. Muladi mantan Menteri Kehakiman RI. Mulailah Bu Erlina memeriksa Protokolku. Yang agak mengherankanku, betapa detail pemeriksaan yang dia lakukan. Bu Erlina minta aku sebagai Notaris dan para saksi kantor Notaris membuat berbagai macam pernyataan, yang intinya beliau khawatir jika akta yang aku buat menjadi perkara. Apakah belum membaca peraturan, bahwa isi Protokol Notaris yang diserahkan itu tetap menjadi tanggung jawab Notaris yang bersangkutan?
Ketika proses pemeriksaan oleh Bu Erlina masih berlangsung, suatu hari tiba-tiba aku menerima tembusan surat yang dia kirimkan ke Menteri Hukum dan HAM RI. Surat yang menyatakan bahwa dia menolak untuk menerima protokolku. Lho mengapa?
Handphonenya tidak bisa dihubungi, teleponku tidak dijawab. Aku hanya bisa menghubungi staf Bu Erlina yang biasa kami berkomunikasi, namanya Mas Yayat. Kata Mas Yayat, Bu Erlina tidak bersedia menerima telepon. Bagaimana ini? Padahal di SK Pensiunku dari Menteri Hukum dan HAM, namanya tercantum sebagai Notaris Penerima Protokol.
Aku mencoba bersabar, walau mulai resah. Jika memang tidak bersedia, mengapa bukan sejak dulu? Sekarang semuanya sudah selesai, tinggal serah terima saja. Kalau seperti ini, apakah aku harus mengurus ulang mengajukan nama baru sebagai Notaris Penerima Protokol?
Aku diskusikan masalah ini dengan staf di kantor. Rupanya stafku Mas Agus Zakaria sudah menemukan jawabnya. Info dari Google, bahwa seorang anggota DPR dari Fraksi Golkar bernama Fulan ditahan dalam kasus Suap Bakamla. Lho ini bukannya suami Bu Erlina? Oh........
Mendengar kesulitan dan masalahku ini, Mas Suami menyarankan untuk cooling down dulu.
“Kasihan, dia sedang menghadapi kesusahan,” katanya.
Aku mulai menghubungi teman-teman Notaris yang sudah pensiun, ingin mendengar ceritanya bagaimana dulu mencari Notaris Penerima Protokol. Dari Bu Maryam, teman Notaris dan tetanggaku, aku diberi nomor telepon Pak Hasanal Yani, yang dulu berkantor di Jl. Duren Tiga.
Kata Bu Maryam, Pak Hasanal Yani punya banyak Asisten yang saat sekarang sudah masuk Jakarta. Akupun menelepon beliau. Pak Hasanal Yani memberi rekomendasi untuk menghubungi Notaris Marliansyah, mantan Asistennya, yang berkantor di Jl. Dr. Supomo. Tak lupa beliau memberikan nomor Handphone yang bisa dihubungi. Mantan Asistennya ini telah menerima Protokol beberapa Notaris, mudah-mudahan masih bersedia, katanya.
Tak menyia-nyiakan waktu, aku segera kontak dengan Pak Marliansyah, membuat janji mau datang ke kantornya. Setelah menjelaskan permasalahanku, ternyata tanpa banyak pertanyaan Pak Marliansyah bersedia menjadi Notaris Penerima Protokolku. Beliau segera menginstruksi-kan Stafnya untuk mempersiapkan berkas yang aku butuhkan.
Aku yang penasaran, kok berbeda sekali dengan Notaris sebelumnya. Aku bertanya kepada Pak Marliansyah.
“Pernahkah menghadapi masalah sehubungan dengan Protokol-protokol Notaris yang dipegangnya?”
"Pernah. Ya, saya hadapi saja. Kan bukan saya yang membuat akta yang jadi perkara itu. Saya hanya menyimpan aktanya. Jika diminta, baru mengeluarkan salinannya" begitu katanya.
Inilah contoh orang baik, yang memang berniat membantu mereka yang sedang kesulitan. Menurut stafnya, ada satu lantai di kantornya yang digunakan untuk menempatkan protokol-protokol Notaris pensiun yang diterimanya. Allah SWT yang akan membalas semua kebaikannya.
Perjalanan waktu untuk mengurus masalah ini cukup panjang. Aku mulai lagi mengajukan nama Pak Marliansyah ke MPW DKI. Kemudian MPW DKI menindak-lanjuti dengan mengirim surat pengantar, yang aku bawa langsung ke Menteri Hukum dan HAM RI.
Cukup lama suratku dengan dilampiri surat MPW itu tidak mendapat balasan. Aku menjadi tidak sabar. Aku sudah pensiun, Kantor sudah tutup, tapi masih menyimpan Bundel Akta dan berkas-berkasnya. Beberapa klien yang datang ingin minta salinan untuk aktanya yang hilang atau hal-hal lainnya tidak dapat aku bantu. Padahal yang seperti ini seharusnya bisa ke Notaris Penerima Protokol.
Aku datang lagi ke kantor Departemen Hukum dan HAM di Jalan Rasuna Said beberapa hari setelah Idul Fitri tahun 2019, berharap sudah ada perkembangan baru. Benarlah. Aku diperbolehkan menghadap Pejabat yang berwenang untuk masalah ini. Pejabat baru itu seorang ibu yang masih muda.
"Apa yang ditetapkan dalam SK Menteri tidak bisa begitu saja diubah, Bu.
"Kalau dibolehkan menolak, akan berbondong-bondong Notaris lain yang ingin menolak" katanya.
"Kalau begitu, selanjutnya bagaimana?"
"Departemen akan membalas surat Ibu dengan tembusan Notaris yang menolak itu. Silahkan minggu depan bisa Ibu ambil ke sini."
Wah, angin segar..........
Seminggu kemudian Surat Menteri yang dijanjikan yang ternyata mencantumkan sanksi berat itu, telah aku ambil. Segera aku scan dan kirimkan ke Bu Erlina. Tak lama kemudian dia menelepon ke handphone-ku, barangkali merasa khawatir dengan sanksi yang akan dijatuhkan Departemen.
Pertanyaanku adalah : Bolehkah
menyerahkannya kepada PPAT keluarga sendiri, yaitu ke Dini Ariyatie SH.MKN, anak menantuku
yang saat itu menjadi Notaris dan PPAT wilayah Kabupaten Bogor? Kelak
jika sudah memenuhi syarat, dia akan mengajukan pindah wilayah ke Jakarta
Selatan.
Ternyata diperbolehkan. Berbeda dengan urusan Protokol Notaris yang cukup menguras energi, tanpa kesulitan apapun aku mulai merapikan Bundel Akta berikut berkas dan mempersiapkan Berita Acaranya. Pada saat yang telah ditentukan, acara Serah Terima berjalan mulus dengan disaksikan Pejabat Kantor Pertanahan Jakarta Selatan. Itu terjadi di tanggal 22 Januari 2018.
Mengenai pesangon, sudah disiapkan sejak mereka masih dinas. Aku sudah membuatkan untuk mereka, DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan) yaitu Tabungan Karisma BNI. Tabungan itu atas nama masing-masing, Kantor yang mengisi minimal Rp50 ribu per bulan. Dana dalam tabungan itu tidak dikenakan pajak, tapi tidak boleh diambil sebelum waktu yang ditentukan. Kapan atau di usia berapa dananya akan diambil? Biasanya jangka panjang, sampai usia pensiun sekitar 55-60 tahun.
Seharusnya dari pencairan DPLK itu diperoleh lumayan besar. Mas Paino, Driver kantor Notaris yang berhenti karena sakit sebelum aku pensiun, ketika mencairkan memperoleh lebih dari Rp100 juta.
Tetapi yang namanya manusia, ada saja kebutuhan yang harus dipenuhi. Kepada siapa mereka berkeluh kesah kalau bukan ke aku? Mereka bekerja di kantorku, aku yang jadi pimpinannya. Dengan berat hati, tidak tahan dengan rayuannya alias rengekannya, aku izinkan untuk mencairkan sebagian. Jika dicairkan bukan pada waktunya, akan terkena banyak potongan. Ya, apa boleh buat ....…
Selain DPLK, sebagaimana Peraturan Pemerintah, mereka juga menjadi anggota BPJS Ketenagakerjaan, yang jika nanti pensiun akan mendapatkan haknya.
Sebelum aku pensiun mereka juga sudah aku sarankan untuk mulai mencari pandangan tempat kerja lain. Aku yakin banyak Kantor Notaris yang mau menerimanya.
"Lebih dari 25 tahun di Bu Weni, pasti sangat dipercaya dan bekerja dengan baik."
Begitulah aku bayangkan apa yang dipikirkan Notaris tempat mereka melamar kerja. Alhamdulillah, Mas Sukatno diterima bekerja di kantor Notaris Ibu Lismana di Bogor, dan Mbak Ela Laelasari di kantor Notaris Ibu Dede Karawang.
Untuk yang dua orang lagi, Mbak Ina dan Mas Agus, sekalipun belum lama di kantorku, tapi sudah aku bekali dengan kemampuan kerja yang memadai dan sangat bisa dipercaya. Ke manapun dan di manapun ditempatkan, rasanya akan bekerja dengan baik.
Para staf dengan semangat akan memulai kehidupan baru di lain tempat. Akulah yang nantinya akan merindukan mereka. Begitu lama kami bersama-sama merasakan susah dan senangnya menjemput rezeki yang Allah peruntukkan bagi keluargaku dan keluarga mereka. Mereka sudah menyatu dengan keluargaku, seperti anak-anakku sendiri.
Di sisi lain, aku juga berpikir mengenai masa depanku jika sudah tidak bekerja. Apakah aku bisa menjalankan perekonomian rumah tangga dengan mengandalkan uang pensiun dari Mas Suami? Saat aku masih aktif bekerja, jumlah uang pensiun yang diterima itu masih belum cukup untuk gaji Driver dan Mbak Asisten Rumah Tangga.
Jika tidak ada pemasukan lainnya, berarti aku akan menggunakan uang simpanan. Bagaimana setelah simpanannya habis? Wah, aku belum ingin merepotkan anak-anakku. Mereka sedang berusaha untuk survive di kehidupannya sendiri, di saat anak-anak mereka usia sekolah. Aku mencoba mengutak-atik apa yang bisa dijadikan penghasilan tetap.
Kebetulan saat itu hari Raya Lebaran, ketika Mbak Asisten Rumah Tangga pulang kampung. Aku mengerjakan sendiri semua urusan rumah tangga. Terasa sekali betapa capeknya membersihkan rumah sebesar ini. Lantai bawah yaitu kamar tidur, ruang tamu, ruang keluarga, halaman depan, belakang berikut tanamannya aku masih mampu. Tapi lantai atas aku biarkan saja. Toh yang aku gunakan sehari-hari hanya kamar tidur, ruang tamu dan ruang keluarga. Ini menjadi bahan pertimbangan, bahwa semakin tua ruang gerak kita menjadi semakin kecil.
Aku mulai serius bertanya kepada Mas Suami.
"Pa, malukah jika kita pindah rumah, dari rumah induk yang besar ini ke sebelah. Nanti setelah pensiun, kantor Notaris kita jadikan rumah tinggal sedangkan rumah induk kita kontrakkan?"
"Nggak pa pa. Kenapa harus malu?"
“Oke...,” jawabku.
Mulailah aku action. Sedikit demi sedikit kantor aku perbaiki. Plafon yang semula triplek buatan tahun 1998 aku ganti gypsum. Kemudian lantai yang semula keramik akan aku tutup dengan vinil. Tapi akhirnya aku berubah pikiran, ganti dengan granit dengan warna terang cerah agar bersemangat. Ruang Notaris yang biasanya aku gunakan untuk menerima klien dan bertandatangan akta, aku ubah menjadi kamar tidur berlantai parket. Semua dengan dana dari kantor Notaris, mumpung masih ada waktu setahun aku bekerja.
Rumah ex kantor ini hanya punya 1 kamar tidur utama dan 1 kamar tidur kecil yang semula adalah kamar untuk sholat.
Gudang arsip sebagian dinding temboknya dibuka menjadi pantry. Sedangkan dapurnya menggunakan pavilyun di belakang kantor dengan menambah tempat cuci piring, tempat kompor untuk memasak serta mengubah sedikit pintu kamar mandinya. Kamar mandi kantor aku ganti keramiknya. Hanya dalam waktu 6 bulan, jadilah sebuah rumah yang nyaman yang sekarang menjadi tempat tinggalku.
Sebelum mulai merapikan rumah ex Kantor, aku minta Mas Dandy membuat lay out untuk rumah induk yang akan disewakan. Secara perlahan-lahan aku kerjakan dengan cara merenovasi sebagian, kemudian disewakan. Uang sewa yang diperoleh digunakan untuk merapikan bagian yang lain. Akhirnya, rumah induk bisa menjadi 3 unit kantor sewaan, dan 4 kamar kost. Alhamdulillah, untuk selanjutnya tidak perlu khawatir memikirkan biaya hidup.
Risiko Pekerjaan.
Setiap profesi pasti mengandung konsekwensi. Walaupun sudah
sedemikian berhati-hati dalam menangani suatu masalah, tetap ada hal-hal yang
muncul secara tak terduga. Bisa muncul disaat kita masih aktif, atau baru muncul setelah kita pensiun. Inilah yang aku sebut
sebagai Risiko dari suatu Pekerjaan.
Ketika aku sudah pensiun sebagai Notaris PPAT terhitung mulai
tanggal 31 Januari 2018, pada tanggal 11 Desember 2018 tiba-tiba ada gugatan
terhadap akta yang pernah aku buat bertahun-tahun lalu ketika dinas di Cikampek. Akta Jual Beli tgl 2 April 1996 dan 11 April tahun 1996.
Sebagai Tergugat I adalah Badan Pertanahan Nasional. Aku
Tergugat II, dan seterusnya ada banyak Tergugat lainnya.
Akta Jual Beli yang aku buat itu obyeknya adalah 7 bidang tanah.
Hingga adanya gugatan ini, bidang-bidang tanah itu sudah 5 kali berpindah
tangan. Dulu di tahun 1996 para ahli waris menjual dengan harga wajar, yang
jika dibandingkan dengan harga saat ini pasti sangat murah. Pada
saat Akta Jual Beli terakhir harganya sudah sekitar Rp. 9 M.
Pengacara para Ahli Waris mencari-cari kesalahan pada akta pertama yaitu Akta Jual Beli yang aku buat, bermaksud membatalkannya agar akta-akta selanjutnya juga batal. Semula hal ini sempat menjadikan aku stres, harus wira-wiri ke Pengadilan Karawang.
Saat itu Jalur tol Jakarta - Bekasi sedang diperlebar dan
Jalur Tol atas Jakarta - Cikampek belum selesai. Wah macetnya sangat parah. Aku
didampingi anak dan menantuku Mas Dandy dan mbak Dini, beberapa kali menghadiri Sidang
di Pengadilan Negeri Karawang.
Setelah melihat situasi bagaimana duduk perkaranya, aku mulai tenang. Aku minta masukan dari INI Pusat, dan disarankan untuk mencari Pengacara setempat dengan bahan-bahan dari aku sebagai pihak yang membuat Akta Jual Belinya.
Ada salah seorang Pengacara yang masih kerabat dari salah satu
Tergugat, yang aku lihat cukup mumpuni. Hal ini tampak pada saat Persidangan. Aku
melobinya untuk sekaligus menjadi Pengacaraku. Pak Sukma namanya, beliau bersedia dan
menyanggupinya.
Alhamdulillah berakhir baik. Gugatan tidak dapat diterima. Akta
Jual Beli yang aku buat tidak bermasalah. Menurutku, Pengacara Ahli Waris saja
yang mengada-ada, entah apa maksudnya. Ujung-ujungnya pasti "duwit".
Masih ada satu lagi "risiko pekerjaan" yang harus aku hadapi.
Ketika aku akan melaksanakan serah terima dengan Notaris Penerima Protokol,
masih ada satu Akta Pengikatan Jual Beli yang belum selesai. Belum selesai disebabkan Pembeli
belum melunasi pembayaran sebagaimana diperjanjikan, sehingga Surat-surat
Bukti Hak Asli masih disimpan di Kantorku.
Menurut salah seorang Pimpinan Pengurus INI Pusat yang menjawab pertanyaanku,
Surat-surat Bukti Hak Asli itu tidak dapat diserahkan kepada Notaris Penerima
Protokol. Sesuai bunyi akta, bahwa berkas-berkas asli disimpan di Kantor
Notaris, maka hal itu tetap menjadi tanggung jawabku hingga selesai.
Aku bermaksud meminta kepada para pihak untuk memperbarui
kesepakatan dengan Akta Notariil di Notaris lain dan dengan demikian
memindahkan semua Surat-surat Bukti Hak Asli yang semula disimpan di
Kantorku kepada Notaris yang bersangkutan. Tetapi ternyata para pihak
sedang dalam keadaan bertengkar mengenai pembayaran, sehingga tidak mungkin mengharapkan mereka menyelesaikannya.
Pihak Penjual melayangkan gugatan kepadaku, minta agar Surat-surat Bukti Hak Asli itu diserahkan kepadanya. Mengingat pengalaman terdahulu, aku lalu menunjuk seorang Pengacara yang dulu adalah Klienku di Kanor Notaris. Namanya Pak Muhammad Anwar. Pengacara ini sangat membantuku.
Pada suatu kesempatan memenuhi panggilan Polisi, Surat-surat Bukti Hak Asli tersebut dititipkan ke Penyidik dengan tanda terima resmi.
Pada akhirnya Gugatan dicabut oleh Pihak Penjual ketika diketahui bahwa Pembelinya adalah seorang Kriminal Mafia Tanah yang tersangkut masalah tanah di tempat lain, dan beberapa waktu yang lalu telah dipenjara.
Alhamdulillah Allah telah memudahkan semua urusanku. Aamiin. .........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar