Assalamu’alaikum ww.
Tulisan ini aku buat di bulan
Nopember tahun 2014 dimana saat itu harga minyak dunia belum turun drastis
seperti sekarang. Meskipun demikian, tentu kita berharap semoga situasi akan
berubah mambaik, karena bagaimanapun juga, dunia dan manusia akan tetap
membutuhkan “energi” sampai kapanpun. Inshaallah...
Pesawat Garuda mendarat mulus di
Bandara Adisumarmo Solo, setelah berputar-putar diatas kota Solo selama lebih
dari 15 menit karena antri menunggu pesawat lain yang sedang mendarat. Rupanya
makin banyak penerbangan menuju Solo. Ini menjadi salah satu bukti nyata mulai
menggeliatnya perekonomian di kota kelahiranku..
Kali ini aku menemani suami mengantarkan beberapa Calon Investor yang akan
mengunjungi sumur-sumur (minyak) tua di
sekitar kota Cepu. Kantor suamiku adalah sebuah Yayasan yang aktif di bidang
sosial untuk masalah pertambangan, merupakan Partner dari Koperasi Unit Desa (KUD) yang diberi kewenangan Pemerintah Daerah
Bojonegoro untuk mengatur aktifitas penambangan minyak mentah dari sumur-sumur
tua peninggalan Belanda.
Dari Solo menuju Kota Cepu kira-kira memerlukan 3 jam
perjalanan mobil. Jalanan ramai didominasi kendaraan besar bus dan truk.
Mendekati kota Cepu disepanjang jalan tampak perkebunan jati berumur 5–7 tahun
milik Pemerintah. Sungguh, Allah telah memberikan karuniaNya untuk wilayah ini.
Diatas tanah tumbuh pohon-pohon Jati yang bernilai ekonomi tinggi, sedang
dibawah tanah mengalir minyak dan gas yang akan memberikan kesejahteraan bagi
Indonesia.
Setelah melewati kota Cepu,
perjalanan masih 1 jam lagi hingga tiba di lokasi yang dituju yaitu desa Wonocolo, sebuah desa di sebelah
barat/barat laut Kab Bojonegoro. Kota Cepu adalah kota tua, yang telah
berkembang sejak jaman Belanda. Berada di kota ini, satu Lembaga Pendidikan
Perminyakan yang sekarang telah menjadi Sekolah Tinggi Energi
dan Mineral (STEM Akamigas) di bawah naungan Badan Diklat ESDM di bawah Kementerian
ESDM.
Dilereng-lereng perbukitan yang
gersang tampak aktifitas penambangan minyak mentah dengan teknologi yang sangat
sederhana. Sumur dan peralatannya seperti drum, tangki dan ember-ember berwarna
hitam legam. Menurut teman suami yang senior di bidang perminyakan, pemandangan
ini bagaikan Texas abad lalu, di jaman awal diketemukannya minyak di Amerika.
Karena kami tiba disana sudah hampir senja, aktifitas sudah hampir selesai,
kalaupun masih ada tinggal menuntaskan pekerjaan saja. Beberapa mobil tangki berseliweran
membawa minyak mentah itu untuk disetorkan ke Pertamina Eksplorasi dan Produksi
(EP) Wilayah Blora Jawa Tengah.
Ketika dahulu Indonesia memenangkan Perang Kemerdekaan, Belanda yang semula
telah mengoperasikan penambangan minyak di daerah Cepu dan sekitarnya, telah
menutup sumur-sumur minyak itu dan menimbunnya dengan tanah. Pada masa
pendudukan Jepang, sumur-sumur tersebut dicoba untuk digali. Setelah Perang
Kemerdekaan berakhir, beberapa sumur yang diketemukan dicoba untuk dikerjakan oleh masyarakat sekitar secara
manual dengan menggunakan tenaga manusia. Minyak mentah itu ditimba dari dalam
sumur kemudian ditarik menggunakan tali oleh beberapa orang. Hasil penimbaan
ini masih bercampur dengan air dan sedikit lumpur kemudian dituang ke bak
penampungan untuk dibersihkan dan diambil minyaknya. Dari sebuah foto lama,
tampak para buruh dengan tubuh hitam legam berlumuran minyak menarik ember
dengan tali yang dimasukkan dalam sumur. Sekarang aktifitas itu sudah lebih
manusiawi. Tenaga manusia diperlukan hanya untuk mengawasi jalannya mesin
pengangkat timba, mengarahkan timba, memisahkan minyak dengan air dan
sebagainya. Tetapi tetap saja lokasi disekitar sumur itu becek, licin dan
hitam.
Dipohon-pohon di sekitar lokasi
sumur terlihat banyak ditempeli tulisan : ORA KENO OEDOET dalam huruf latin
maupun aksara Jawa. Dalam bahasa Indonesia artinya tidak boleh merokok.
Peringatan untuk mengantisipasi kebakaran itu sudah ada sejak jaman Belanda
dulu. Maklum, orang Jawa dulu masih
keukeuh dengan bahasa Jawanya, jadi
tidak menggunakan bahasa Indonesia.
Sekitar tahun 2012 Pemerintah Daerah Bojonegoro telah
memberi Ijin 2 KUD untuk mengaktifkan kembali sumur-sumur minyak tua yang dulu
ditinggalkan Pemerintah Belanda di 3 desa yaitu Wonocolo, Dandangilo dan Beji. Perkembangan teknologi yang semakin
canggih, dengan alat GPS (Global Positioning System) memberikan kemudahan untuk
menemukan kembali lokasi sumur-sumur minyak yang ditutup Belanda tersebut.
Apalagi dengan adanya mesin bor yang mampu mengebor hingga kedalaman tiga ratusan
meter lebih, maka minyak mentah dari sumur-sumur tua itu dapat ditambang
kembali. Menurut data yang diperoleh Kantor suami, sumur-sumur tua itu
rata-rata dapat menghasilkan antara 5.000 sampai 10.000 liter atau 1 sampai 2
tangki minyak mentah per hari, yang disetorkan ke Pertamina EP untuk diolah
menjadi bahan bakar minyak.
Diantara sumur-sumur yang sederhana,
saya melihat ada beberapa sumur yang tampak rapi dan bersih. Rupanya sumur itu
milik Investor yang dalam melakukan penambangan bekerjasama atau dikerjakan
oleh tenaga ahli dari luar negeri seperti Singapura, Filipina dan Amerika.
Mereka menggunakan peralatan pengeboran yang lebih canggih. Bornya bisa
mencapai kedalaman 1.000 m, area pengeborannya tertata rapi, bersih dan
memperhatikan faktor lingkungan. Ada pula investor yang menimba lebih modern
dengan menggunakan mesin angguk.
Cara ini tidak banyak melibatkan warga setempat, karena minyak dipompa dan
langsung dialirkan melalui pipa ke penampungan sekaligus disana dipisahkan
antara minyak dengan air/lumpurnya. Untuk sumur semacam ini hampir dapat
dikatakan tidak ada polusi kecuali deru genset yang dihidupkan untuk mengganggukkan mesin.
Dengan adanya aktifitas sumur-sumur
minyak tersebut, perekonomian mulai kelihatan tumbuh karena KUD mensyaratkan Investor
untuk menggunakan tenaga kerja setempat, kecuali tenaga ahli pada saat awal
dilakukan pengeboran. Kebanyakan ahli-ahli pengeboran didatangkan dari kota
Bandung.
Saat ini KUD sedang giat mengundang investor.
Ketika harga minyak sedang mahal, harga
beli Pertamina juga akan naik. Masyarakat akan berbondong-bondong untuk
mengebor sumur. Sebaliknya ketika harga minyak anjlog drastis tidak ada yang
menambang karena harga jual ke Pertamina EP sangat rendah, diatas biaya
produksi. Karena hasil yang diperoleh fluktuatif, sumur-sumur itu disebut juga sumur marginal. Perusahaan besar
seperti Pertamina atau Medco misalnya, tidak tertarik untuk menambangnya,
karena tidak ekonomis. Ukuran ekonomis bagi mereka, setidaknya harus
menghasilkan 30.000 barel per hari per sumur. Oleh karena itu, Pemerintah
Daerah Bojonegoro memberi kesempatan kepada Investor Kecil Perorangan atau UMKM
bekerja sama dengan KUD yang telah ditunjuk tersebut.
Berapa sebenarnya modal yang
diperlukan untuk berinvestasi? Untuk dapat mengaktifkan sebuah sumur tua
disini, modalnya lumayan besar, yah
seharga sebuah rumah seluas 150 – 200 meter persegi di daerah Jabodetabek. (Ini
perkiraan saya, yang sehari-hari berprofesi sebagai Notaris/PPAT). Hayo, siapa
yang berminat ?????
Senja berganti malam, ketika kami
mengunjungi rumah Ketua KUD Wonocolo untuk bersilaturahmi dan ngobrol tentang
kondisi bisnis di wilayahnya. Selanjutnya rombongan kami menuju kota Cepu menginap
di Hotel Mega sebuah hotel bagus yang kelihatannya dipersiapkan untuk para Pebisnis
atau Expatriat yang berhubungan dengan Exxon
Mobil yang saat ini telah mulai berproduksi. Kami bersantap malam dengan
menu utama Pecel Cepu, kuliner khas
Cepu dengan menggunakan pincuk atau bungkus daun jati. Cukup nikmat.....
Hari Kedua. Setelah
breakfast rombongan kami meninggalkan hotel untuk menuju ke sumur-sumur minyak
di wilayah Kabupaten Blora, wilayah yang bersebelahan dengan Kabupaten
Bojonegoro. Rombongan kami mengunjungi sebuah lokasi lapangan minyak di sebuah
desa yang termasuk wilayah Kabupaten Blora. Disini aku temui pemandangan yang berbeda
dengan kemaren. Lokasinya masih perawan.
Meski sederhana tetapi tertata rapi dan bersih, dengan pengolahan limbah yang dibuat
bertingkat-tingkat dari atas ke bawah sehingga hasil akhirnya air yang semula tercampur minyak menjadi bersih,
bisa digunakan untuk pertanian.
Pemerintah Daerah Kabupaten Blora mempunyai kebijakan berbeda, yaitu memberikan ijin kepada
Investor untuk per blok yang berisi beberapa sumur. Ijin diberikan dengan kewajiban
untuk bekerjasama dengan BUMD. Investor harus berbentuk badan hukum. Pemberian
ijin disertai aturan-aturan yang ketat, seperti kewajiban menata infrastruktur,
amdal dan sebagainya. Memang seharusnya demikianlah pengelolaan sumur-sumur tua
itu di masa depan, dengan administrasi yang tertib serta mempertimbangkan
kelayakan lingkungan. Lokasi blok yang kami lihat ini adalah lokasi milik Grup
Perusahaan besar yang sudah punya nama di bidang bisnis, memiliki 20 sumur.
Kami meninggalkan Blora ketika jam
makan siang tiba. Menuju perjalanan pulang, rombongan menikmati satu lagi
masakan khas kota Cepu, yaitu lontong
opor. Rupanya untuk rombongan kami telah dipesankan sebelumnya, sehingga
ketika sampai di tempat, hidangan telah siap menanti untuk dinikmati. Setelah
selesai makan, kami singgah disalah satu toko untuk membeli oleh-oleh ledre, sejenis kue semprong
yang dibuat dari buah pisang.
Wassalamu’alaikum ww.
Jakarta, 27 Juni 2016.
Trimakasih Bu. Tulisannya sangat bagus dan menjadi jendela untuk saya
BalasHapus