Assalamuala’ikum ww.
Catatan
perjalanan ini saya buat untuk mendokumentasikan pengalaman ketika berkunjung
ke negara lain. Pada perjalanan kali
ini, saya pergi tidak bersama suami, sehubungan dengan kesibukannya, dimana pada hari-hari terakhir menjelang waktu
keberangkatan harus berada di Jakarta. Untuk tidak mubazir, tempatnya
digantikan saudara saya, dik Sri Muryati, atau biasa saya panggil dik Nuk. Kami
berangkat bersama rombongan
sebanyak 26 orang dengan Biro
Perjalanan Wisata DWIDAYA. Rombongan ditemani seorang tour leader,
namanya Keny Verdian.
Ada
2 negara yang saya kunjungi, yaitu pertama Kamboja dan kedua Vietnam.
Dikedua negara tersebut, rombongan akan berada di 2 kota besar. Di Kamboja
mengunjungi kota Phnom Penh dan Siem Reap, di Vietnam mengunjungi Saigon atau
disebut juga Hochiminh City dan Hanoi. Kota-kota itu memiliki keistimewaan
masing-masing.
Teman-teman seperjalanan, semuanya baik. Yang paling sering ngobrol dan
membantu mengambil foto saya berdua dengan dik Nuk adalah pak Budi, pemilik
sebuah Toko Emas di kota Solo. Orangnya halus, seperti layaknya “priyayi
Solo”. Pak Budi ikut tour sendirian,
karena toko emasnya tidak mungkin ditinggal pergi berdua dengan isteri. Dalam
suatu obrolan di Coffee Shop Hotel pernah bercerita, akibat dari peristiwa G30S
pak Budi tidak dapat melanjutkan sekolah, sehingga pendidikannya hanya sampai
SMP, kemudian bekerja. Dengan usaha keras dan doa, kini mempunyai toko emas,
yang dapat dikatakan sukses.
Teman seperjalanan lainnya, pasangan
suami isteri yang selalu berduaan bagai
sepasang merpati, pak Petrus dan bu Ida. Mereka berasal dari Jawa Timur,
kelihatan dari logat bicaranya. Pak Petrus orang Surabaya dan bu Ida dari kota
Malang. Ada lagi ibu Sri Maryani yang berusia 73 tahun, seorang eyang,
yang mengikuti tour ini bersama putranya bernama Pak Lukman dan isteri serta putri mereka dua
gadis yang masih kecil. Ibu Sri Maryani bercerita, suaminya sudah almarhum. Beliau
sendiri tahun lalu, karena osteoartritis, tempurung lututnya dioperasi dan sekarang dapat berjalan lagi.
Hanya kadang-kadang menggunakan tongkat
yang sekaligus kursi kecil buat duduk. Pak Lukman telaten menggandeng ibunya
di tempat-tempat dimana beliau memerlukan bantuan, seperti waktu
harus melompat ke kapal, berada di
perahu, di pasar dan sebagainya. Saya salut kepada puteranya. Itulah yang membuat hidupnya berkah karena
bakti kepada ibu.
Ada lagi keluarga pak
Paulus dan bu Maria, yang juga asli Surabaya, yang pergi dengan seorang
putrinya. Pak Paulus penganut Katolik yang taat, yang tetap berusaha menghadiri
kebaktian di Gereja ketika hari Minggu di Saigon. Ada lagi keluarga muda
bersama 2 putera-puteri yang sudah dewasa, dan keluarga muda bersama 2 orang
putera yang masih remaja dan anak-anak.Semula saya merasa sedikit khawatir,
apakah para peserta tour ini semua anak muda? Rupanya tidak demikian, ada
kira-kira 6 orang yang usianya sepantaran saya. Sweet dak…..
Sebelum hari keberangkatan, saya
ditanya oleh pihak Dwidaya mengenai pilihan jenis makanan apa yang dikehendaki
ketika nanti disana. Yang dimaksud adalah, apakah makanan halal muslim,
vegetarian atau tanpa pantangan. Dari rombongan kami, saya dan dik Nuk
minta makanan halal (setidaknya no pork), kemudian ada salah satu keluarga yang
menghendaki makanan vegetarian, sedangkan yg lain tidak ada pantangan. Sebagai
muslim, saya tetap menjalankan ibadah Shalat sebagaimana biasa. Saya berdua dik
Nuk Shalat disetiap awal waktu didalam bus. Kebetulan baik Kamboja maupun
Vietnam memiliki waktu yang sama dengan WIB.
Sejak muda saya memang suka
travelling, khususnya ke tempat-tempat yang belum pernah saya kunjungi. Ada
hubungan antara pribadi seseorang dengan tempat-tempat yang ingin
dikunjungi. Saya memang berminat pada hal-hal yang ada hubungannya dengan ilmu pengetahuan,
sejarah atau tempat-tempat yang memiliki
keistimewaan, misalnya tempat-tempat
yang masuk dalam daftar World Heritage. Kamboja memiliki Angkor Wat,
Angkor Thom dan komplek candi-candi lainnya, sedangkan di Vietnam terdapat Halong Bay yang sangat terkenal keindahannya.
Untuk Indonesia, saya masih ingin melihat Pulau Komodo dan pulau-pulau Raja
Ampat di Papua yang keduanya sangat eksotis.
Dari semua tempat-tempat itu, tentu
yang paling saya prioritaskan adalah Tanah Suci, Mekah dan Madinah.
Tempat-tempat bersejarah lainnya seperti Masjidil Aqsa, Betlehem, Yordan,
Israel, Palestina, Mesir, Turki dan sekitarnya, adalah tempat suci dan kota
dimana Allah SWT menurunkan para Nabi sebelum Rasulullah Muhammad SAW, sebagai
panutan umat Islam. Tempat-tempat itu disamping tempat kelahiran beberapa Nabi
adalah juga terdapat makam manusia-manusia istimewa sebagaimana disebutkan
dalam Kitab Suci Al Qur’ an. Alhamdulillah kota-kota tersebut telah pernah saya
kunjungi. Mudah-mudahan di waktu yang akan datang Allah SWT memberi kesempatan
mengunjunginya lagi.
Hari Pertama, 25 Juni 2013.
Setelah
mendarat di Bandara International Cambodia,
kami beserta rombongan menuju bus yang sudah disediakan. Sebelum keluar dari
Bandara, terlebih dahulu mampir ke
tempat penukaran uang, karena tidak
membawanya dari Jakarta. Mata uang yang digunakan di negeri ini adalah Riel,
yang nilainya kira-kira sama dengan 0,5 Rupiah.
US $ 40 mendapatkan penukaran 152.000 Khr (Khamboja riel). Tetapi pada umumnya mereka senang bila
transaksi dibayar dengan US Dolar.
Guide
yang menjemput kami dan nantinya akan mendampingi tour leader kami Kenny selama
di Kamboja bernama Kim Lon, seorang pria Kamboja yang masih muda, bapak 2 orang anak yang fasih
berbahasa Indonesia. Dia belajar bahasa Indonesia di Kedutaan Besar Republik
Indonesia di Phnom Penh 2 kali seminggu. Selain belajar bahasa, dia juga
belajar kuliner Indonesia. Penampilan orang Kamboja persis bangsa kita.
Seandainya kita berjalan bersama-sama mereka,
pasti tidak dapat dibedakan. Bila berbicara, baru akan diketahui bahwa
mereka bukan orang Indonesia.
Di
dalam bus, selama perjalanan, Kim Lon menjelaskan bahwa jumlah penduduk Kamboja
seluruhnya berjumlah 14 juta jiwa. Penduduk yang berada di ibukota Phnom Penh,
2,5 juta. Sore itu kota Phnom Penh
relatif sepi dibandingkan dengan kota-kota yang pernah saya kunjungi.
Jalan-jalan di kota cukup lebar. Belum banyak gedung tinggi. Kota ini baru
berkembang sekitar 10 tahun terakhir, setelah dilanda perang saudara. Kami
makan malam di sebuah restoran yang hidangannya
kebanyakan dari bahan sayuran. Ketimun dengan sedikit hati ayam, sawi
dan kailan, sayur bayam kuah, daging ayam, dan ikan goreng. Diakhiri dengan
buah semangka.
Setelah selesai dinner, untuk memanfaatkan
waktu luang sebelum masuk hotel, kami
diajak jalan-jalan ke sebuah tempat bernama Naga World. Bangunan
Gedung seperti Mal, tetapi isinya sebenarnya
adalah toko-toko dikelilingi
casino. Di bagian tengah terdapat pentas musik.
Selama beberapa menit kami berfoto dan menonton pertunjukan itu.
Selanjutnya menuju Juliana Hotel untuk
beristirahat. Sebelumnya, Kenny telah menjelaskan bahwa selama kita berada di
dua negeri ini, semua koper dan barang-barang yang dibawa adalah tanggung jawab
masing-masing karena tidak dapat mengharapkan porter untuk membawanya. Demikian pula di hotel,
masing-masing peserta tour membawanya sampai ke kamar. Kalau mengharapkan
bantuan hotel, akan lama sekali mengingat jumlah petugas hotel terbatas.
Hari Kedua, 26 Juni 2013.
Jam menunjukkan pukul 8 pagi, kami telah
berada di restoran hotel. Hidangan breakfast yang khas adalah mi kuah, kalau di
Jakarta seperti Po Hoa. Menu lainnya standard yaitu omelet, nasi, bubur, bihun,
sosis, kentang, roti-roti, berbagai sayuran salad, bermacam-macam juice, dan
buah potong. Setelah menyelesaikan breakfast, kami meninggalkan hotel. Acara
hari ini diawali dengan city tour melalui jalan utama kota Phnom Penh. Pertama,
kami melalui Independent Monumen, yg dibangun pada tahun 1958, ketika Kamboja
merdeka dari Perancis. Di sebelah kiri tampak rumah dinas Perdana Menteri Hun
Sen yang cukup bagus, berlantai dua. Hun Sen berusia 61 tahun dan memerintah
sejak reformasi tahun 1993. Disebelah kanan rumah dinas Perdana Menteri
terdapat biara para Biksu.
Sebagaimana
diketahui, mayoritas rakyat Kamboja memeluk agama Budha, meskipun pemeluk
berbagai agama lain juga ada, Muslim,
Kristen, dan Hindu. Jumlah Biksu di Kamboja mencapai 50 ribu orang. Para Biksu
itu pagi-pagi sudah keluar dari asrama. Cirinya adalah tidak berambut dan
berpakaian kain khas. Sepintas pakaian itu seperti kain ihram warna orange.
Bus
mulai melaju. Kepada anggota rombongan, Kim Lon membagikan suvenir topi
dan dompet keduanya terbuat dari anyaman
daun lontar, berisi selendang seperti bahan lurik buatan Klaten di Indonesia.
Rupanya topi itu sangat berguna ketika kita berada di bawah terik matahari
Kamboja yang memanggang kepala. Bus menuju Chatomuk Mongkul, The Royal Palace,
yaitu Istana raja Kamboja. Raja Kamboja yang sekarang bertahta adalah Raja
Norodom Sihamoni, merupakan putra dari Raja Norodom Sihanouk yg baru
meninggal beberapa waktu yang lalu. Sebelum meninggal beliau telah menyerahkan
tahta kepada putranya. Sihamoni berusia 60 tahun dan dilantik menjadi raja pada
14 Oktober 2004. Dia banyak bergiat dibidang kesenian dan pernah menjadi Duta
UNESCO. Selama 20 tahun dari usianya dia tinggal diluar Kamboja.
Kemarin,
Kim Lon telah menyarankan kepada rombongan tour untuk berpakaian sopan ketika
berkunjung ke Istana Raja. Hari ini peserta semuanya mengenakan celana
panjang. Saya, sebagaimana biasa berpakaian sehari-hari
memakai gaun panjang. Komplek Istana ini sangat bagus, terawat dengan sempurna,
demikian pula taman-tamannya.
Memasuki pintu pertama, sudah terasa teduh dengan
pohon-pohon dan bunga-bunga tertata rapi.
Di komplek Istana itu terdapat banyak bangunan indah, semuanya berwarna
kuning emas. Di Istana Utama, pengunjung tidak diperbolehkan masuk, kalau mau
mengambil foto dari luar atau dari halaman. Didalamnya terdapat Tahta yang hanya sekali diduduki Raja
Kamboja, yaitu ketika pertama kali diangkat.
Setelah menjadi Raja, tidak lagi duduk di Tahta itu. Tampak beberapa
kursi di lantai yang agak sedikit turun, disitulah tempat Raja menerima
pejabat-pejabat negara. Di sebelah agak kekiri dari Istana Utama, adalah Istana
tempat menerima tamu-tamu negara. Di
sebelah kanan dari Istana Utama, terdapat satu bangunan bernama Silver Pagoda,
merupakan tempat ibadah dengan lantai
dari perak. Peraknya tidak tampak karena ditutup karpet. Di tempat ini terdapat patung wanita seperti
penari yang terbuat dari emas seberat 90 kg. Ada diantara anggota rombongan
kami pemeluk agama Budha, berdoa beberapa saat di Pagoda ini. Kami berfoto ria
di sekitar Istana, di halaman dengan bunga-bunga lotus berwarna putih, dan di
depan bangunan seperti istana dalam bentuk kecil, yang nantinya menjadi tempat
penyimpanan abu Raja Norodom Sihanouk.
Di
halaman belakang Istana terdapat sebuah pohon dengan bunga-bunga cantiknya yang berwarna pink peach, menempel
pada pohon yang besarnya dua pelukan itu. Pohon seperti ini pernah saya temui
di Taman Burung Bali. Menuju pintu gerbang keluar, saya melewati lorong
panjang, dimana terpasang foto-foto Raja Norodom Sihanouk
bersama tamu-tamu negara di seluruh dunia, diantaranya terdapat foto bersama
Bung Karno dan juga foto bersama Pak Harto.
Saya
juga memperhatikan gamelan Kamboja, yang terdiri dari gambang dan kendang.
Kendangnya bersuara mantap, seperti bedug. Ada kemiripan dengan apa yang ada di
Indonesia. Iramanya hampir sama dengan irama gamelan Bali. Selain gamelan,
bentuk pintu Istana berukir warna emas mirip dengan pintu-pintu yang ada di
kota Palembang. Memang ada hubungan dengan budaya kita ya, mengingat dulu
Kerajaan Sriwijaya yang pernah jaya adalah
kerajaan Budha di Indonesia. Di kompek Istana ini toiletnya sangat
bersih.
Setelah
meninggalkan istana, dari bus tampak bahwa lokasi Royal Palace berada persis di
samping jalan raya di pinggir Sungai Mekong yang bersih, yang membelah kota
Phnom Penh. Dalam perjalanan saya merenung, membandingkan Istana Raja Kamboja
dengan Istana Raja-raja kita di Solo, Jogya,
Cirebon dan Medan yang pernah saya lihat. Sangat jauh berbeda. Istana
raja-raja di Indonesia kurang terawat,
karena ketiadaan biaya. Seandainya istana-istana yang ada itu terawat dengan
baik, tentu juga akan banyak dikunjungi wisatawan. Selain perawatan, tentu juga
kemasan. Bagaimana membuat apa yang kita miliki itu menjadi suatu hal yang
istimewa, perlu pengemasan yang baik. Nah, Indonesia perlu belajar hal-hal
demikian. Keindahan alam dan budaya tanah air kita tidak akan diketahui pihak
luar tanpa ada upaya untuk mengemas dengan baik.
Setelah
mengunjungi Royal Palace, kami menuju Museum yang jaraknya tidak seberapa
jauh. Tampilan Gedung Museum cukup bagus, bentuk bangunan depannya sama dengan
bangunan istana, tetapi berwarna merah. Museum ini menampilkan
patung-patung batu, benda-benda logam,
dan foto-foto penggalian situs arkeologi, sebagaimana yang ada di museum kita
di Indonesia. Namun ada bedanya. Apabila
diperhatikan lebih dekat, dibandingkan dengan profil patung di museum ini,
patung Loro Jonggrang di Candi Prambanan
memiliki wajah lebih cantik dan hidung lebih mancung. Di museum ini sebenarnya
tidak boleh mengambil foto, tapi saya tidak membaca larangan itu. Saya
terlanjur berfoto berdua dik Nuk di dalam museum. Ketika rombongan telah keluar
dari museum, di halaman depan saya berpapasan dengan dua orang Biksu berpakaian
orange yang sedang berada disitu. Kesempatan berfoto bersama Biksu tidak saya
sia-siakan.
Waktu
makan siang telah tiba. Kim Lon membawa kami ke sebuah restoran besar yang
menyediakan makan prasmanan. Mengingatkan tentang jenis makanan yang saya
minta, Kim Lon menunjukkan kepada saya makanan mana saja yang dapat saya
nikmati. Dengan hati-hati saya mempertimbangkan untuk memilih makanan sayuran
dan kaki/ceker bebek goreng saja. Di restoran ini banyak disediakan buah potong
dan berbagai makanan kudapan seperti di Indonesia, es campur, cincau hitam
maupun cincau hijau. Karena jam makan siang, restoran sebesar ini penuh
pengunjung. Dan karena wajah-wajah kami dengan pengunjung lainnya sama, serasa
berada di negeri sendiri. Kecuali tentu bahasanya yang berbeda. Pelayan sangat cekatan mengisi
piring-piring besar tempat makanan yang telah kosong. Tak lupa sebelum keluar
dari restoran saya ke toilet dulu dan mendapati toilet mereka cukup bersih,
bahkan saya melihat petugas menyemprotkan pewangi khas Kamboja.
Setelah
makan siang, bus kami menuju ke Musium Genocide, Tuol Sieng, salah
satu saksi kekejaman rezim Polpot. Ia seorang pemimpin Kmer
Merah yang sangat kejam. Pada tahun 1998 Pol Pot meninggal dunia dalam
usia 69 tahun. Pada tahun 1975 sampai 1979, telah terjadi peristiwa sejarah
kelam yaitu perang saudara yang tak akan
terlupakan bagi rakyat Kamboja.
Ketika
itu Kamboja dipimpin oleh Polpot, yang menjanjikan akan merubah Kamboja menjadi
lebih baik. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Polpot telah membunuh para
cendekiawan, orang-orang yang berpendidikan, yang memiliki keahlian dan yang
kritis secara membabi buta. Dalam rentang waktu 4 tahun, telah terbunuh 2 juta
orang.
Yang
kami kunjungi ini adalah sebuah bangunan bekas sekolah menengah, yang dijadikan
tempat penyiksaan. Bukti-bukti terpampang di ruangan-ruangan bekas kelas itu,
ratusan foto hitam putih dari tentara yang melakukan penyiksaan maupun foto
para korban. Tentara laki-laki maupun perempuan berpakaian seragam dan topi.
Sedangkan para korban laki-laki, perempuan dan anak-anak, adalah yang fotonya bernomor. Rupanya sebelum
diinterogasi, terlebih dahulu difoto. Di ruangan lain terdapat bekas-bekas
pakaian mereka teronggok di sudut ruangan. Di bagian belakang terdapat sel-sel
sempit bagi mereka yang telah selesai menjalani penyiksaan. Digambarkan pula
dalam lukisan-lukisan yang ada disana, bagaimana para korban itu disiksa.
Sungguh, sangat mengerikan.
Kemudian
di ruangan berikutnya, terdapat foto berukuran sangat besar, sebuah lapangan
terbuka tempat para korban dihabisi dan kemudian dikuburkan disitu. Bertumpuk
tengkorak diketemukan setelah rezim Pol Pot dapat dikalahkan. Lokasi tempat
yang ada di foto itu terletak 14 km dari bangunan sekolah ini. Tempat itu dinamakan
Ladang Pembantaian, The Killing Fields, yang juga merupakan judul
sebuah film yang menceritakan peristiwa menyedihkan ini.
Dua
orang saksi hidup atas peristiwa ini, salah seorang diantaranya bernama Meng
Bouw, sekarang sudah sepuh,
berada di halaman depan museum. Dia adalah seorang seniman yang ditugaskan oleh
rezim Pol Pot menggambar/melukis untuk mendokumentasikan kegiatan mereka,
sehingga karena keahliannya masih diperlukan, belum sempat dieksekusi. Tetapi
isterinya sudah dibunuh lebih dahulu.
Mari kita lupakan sejenak kekejaman
manusia atas manusia lain hingga sesadis itu …….
Setelah
makan siang, sesuai
dengan jadwal yang telah diberikan, hari ini kami meninggalkan kota Phnom Penh
menuju kota Siem Reap, yang berjarak 315 km dari Phnom Penh. Karena kondisi
jalan yang tidak bagus, jarak 315 km tersebut ditempuh dalam waktu sekitar 6 jam.
Bus akan melewati 3 propinsi. Sepanjang perjalanan tampak rumah-rumah
penduduk yang masih sederhana, berupa rumah panggung dengan tangga kayu, dimana
dibawah rumah itu digunakan untuk menyimpan peralatan membajak sawah, motor
bahkan mobil. Sawah-sawah disini dalam setahun hanya sekali tanam karena tidak
ada pengairan. Setelah beberapa jam perjalanan, bus berhenti di pemberhentian
pertama, memberi kesempatan bagi penumpang untuk ke toilet. Kami berhenti di
sebuah Pasar Tradisional yang ada toiletnya. Sebagaimana di Indonesia, untuk
memelihara kebersihan, toilet dijaga seorang wanita dan setiap pengguna membayar 1000 riel, atau senilai 2500 rupiah.
Karena waktu sudah menjelang sore, pasar desa
itu sudah sepi pengunjung. Yang ada adalah anak-anak kecil usia SD yang
menjajakan buah-buah dalam tas plastik, seperti sesisir pisang (rasanya seperti
pisang Lampung), nanas yang sudah dikupas, mangga mengkal yang sudah diiris dan
sebagainya. Buah-buah itu dijual dengan harga sekitar 3000 riel, atau 7.500
rupiah kita. Cukup murah ya. Saya menemukan satu makanan yang dijual di pasar
itu, yang tidak biasa dijumpai di negeri kita. Di pojok pasar, ada lapak penuh
dengan makanan berwarna hitam, coklat dan kemerahan. Gorengan laba-laba, jangkerik dan
belalang. Saya sempat berfoto bersama si penjual, yang cukup ramah
meskipun saya tidak membeli barang jualannya. Bagaimana mau membeli, melihatnya
saja sudah takut. Di sepanjang perjalanan,
tampak banyak pohon lontar yang buahnya berwarna ungu itu, berdiri tegak di tengah-tengah persawahan.
Itulah mengapa kerajinan daun lontar banyak ditemukan di Kamboja. Dan tentu
saja buah lontarpun banyak dijual di pasar.
Pemberhentian
kedua di Prey Pros Rest Area, suatu tempat dimana selain menyediakan
toilet yang bersih juga menjual makanan camilan dan barang-barang souvenir.
Untuk sekedar menghilangkan kantuk saya membeli kacang dalam wadah toples
kecil, tertera namanya kacang wasabi. Sayang sekali rasanya aneh, berbumbu,
agak pedas, tidak sesuai dengan lidah saya yang terbiasa dengan kacang
Indonesia.
Bus
kami akhirnya tiba di kota Seam Reap lebih cepat dari perkiraan. Lampu-lampu
kota mulai terang benderang. Kelihatannya kota Seam Reap adalah kota wisata,
yang lebih hidup dari pada Phnom Penh. Hotel-hotel berbintang lima bertebaran
dengan wisatawan baik bule maupun dari Asia. Hotel-hotel megah dengan nama yang
sudah familiar seperti Sofitel dan lain-lain. Hotel-hotel kelas melati pun
hadir di sepanjang jalan utama kota. Demikian pula toko-toko besar terang
benderang memajang baju-baju hem maupun kaos-kaos bermerk. Barangkali Seam Reap
bisa disamakan dengan Yogyakarta, tetapi jumlah manusianya tidak sepadat kota
Yogyakarta.
Ketika
waktu makan malam tiba, makan malam ini disediakan di sebuah restoran bagus
dengan taman yang tertata manis, namanya Tropical Restoran. Di bagian
belakang restoran saya melihat kolam dengan air mancur dan bunga-bunganya yg bermekaran. Makanan yang dihidangkan
hampir sama dengan yang kita nikmati di restoran sebelumnya, masakan sayuran,
ayam, ikan, telur, terong, dan sapo tofu. Selesai menikmati makan malam, segera
kami menuju hotel untuk beristirahat.
Hotel kami bernama Somadevi Angkor Hotel, terletak di pusat kota. Kami segera
merapikan isi koper, karena
rencananya akan berada di hotel ini
selama 2 malam. Kim Lon telah berpesan, bahwa esok pagi kita akan banyak
berjalan, sehingga harus segera beristirahat.
Hari ketiga, 27 Juni 2013.
Pagi
hari sarapan di hotel Somadevi Angkor, cukup lengkap. Saya melihat teman-teman
telah duduk di Coffee Shop hotel menikmati breakfast sembari ngobrol. Selama
tiga hari bersama mereka, saya mulai mengenal dengan baik teman-teman
seperjalanan kali ini. Saya menanyakan kepada waiter, makanan mana yang “no
pork”. Ternyata banyak yang bisa
dinikmati. Seperti biasa, saya tidak bisa banyak makan karena di rumah tidak
biasa makan pagi, biasanya cukup secangkir kopi saja.
Kali
ini rombongan kami tidak lagi menggunakan bus besar, melainkan diganti 2 bus
kecil. Menurut peraturan, bus besar tidak boleh masuk ke komplek candi yang
akan kami kunjungi. Hari ini kami
diperkenalkan dengan guide khusus Angkor Wat, namanya A
Kong. Dengan bahasa Inggrisnya yang fasih A Kong menjelaskan sejarah
tentang Angkor Wat dan candi-candi lainnya. Di komplek Angkor Wat ini terdapat
banyak guide yang ditugaskan mendampingi wisatawan. Mereka mengenakan baju hem
seragam kuning dan Identity Card yang dikalungkan di leher. Dengan demikian
rombongan kami didampingi 3 orang guide, Kenny, Kim Lon dan A Kong.
Hari
ini ada banyak candi yg akan kami kunjungi. Udara di Kamboja panas sekali,
melebihi panasnya udara Jakarta saat ini, kira-kira 35 derajat sampai 37 derajat Celcius. Oleh
karenanya sebelumnya kami disarankan untuk memakai sun block dan membawa
payung.
Di
lokasi penjualan tiket, semua pengunjung dibuatkan Identity Card, dengan foto
wajah secara otomatis. ID Card itu langsung jadi, kemudian masing-masing diberi
plastik dan dikalungkan di leher. Tiket masuk seharga US $ 20 per orang, dan
apabila ID Card itu hilang, diharuskan membuat lagi dengan membayar harga tiket
masuk US$ 20 lagi. Saya melihat begitu banyak turis berkunjung, ber bus-bus dan
banyak diantaranya naik mobil atau bersepeda, bahkan berjalan kaki. Saya
menanyakan kepada Kim Lon, apakah pengunjung sepadat ini juga terjadi pada saat
bukan peak season? Katanya, memang
demikian kondisi sehari-harinya.
Yang
pertama kami kunjungi adalah Angkor Thom, yaitu ibukota terakhir Kekaisaran
Khmer atau Khmer
Emperor, yang menurut penjelasan A Kong pada saat itu meliputi
Kamboja, Vietnam, Thailand atau Champa dan Malaysia. Komplek ini dibangun di akhir abad ke 12 di masa
pemerintahan Raja Jayavarman VII. Pada saat itu penduduk ibukota ini sudah
mencapai 1 juta orang. Sedangkan pada saat
yang sama penduduk kerajaan Inggris belum mencapai jumlah tersebut.
Luasnya meliputi 9 km persegi, dengan dikelilingi tembok yang masih utuh dan masih
tampak kokoh, walaupun telah dimakan usia. Pintu
gerbang bentuknya seperti candi kecil, dimana puncaknya berupa Budha bermuka 4 menghadap ke 4 penjuru. Pintu gerbang semacam ini ada di empat
penjuru, semuanya dengan bentuk yang sama yaitu West Gate, North Gate, East Gate,
South Gate dan Victory Gate. Seluruhnya
terdapat 5 pintu gerbang. Sebelum memasuki pintu gerbang, kami disambut dengan
deretan patung Budha disebelah kanan, dan deretan patung yang menggambarkan
setan di sebelah kiri.
Di
dalam komplek Angkor Thom, terletak The Bayon Temple, sebuah kuil atau candi yang telah mulai rusak di
sana-sini. Dibangun di awal abad ke 13, merupakan tempat pemujaan yang
digunakan oleh Raja Jayavarman VII, seorang pemeluk agama Budha Mahayana. Mengingat
keterbatasan kaki saya yang tidak boleh beraktivitas berat, saya hanya
melihat-lihat dari halaman. Beberapa orang ada yang masuk hingga mengelilinginya. Kesempatan
menunggu ini saya gunakan untuk mengobrol dengan teman seperjalanan, namanya
Ibu Sri Maryani yang juga hanya melihat dari depan saja.
Bangunan
The Bayon Temple merupakan bangunan agama Budha. Selain dari adanya patung
Budha yg ada di gerbang, relief-relief di candinya juga menunjukkan
lambang-lambang agama Budha.The Bayon Temple sudah direnovasi atas kerjasama
Pemerintah Kamboja dan Pemerintah India. Mengapa India ya? Mungkin ada
hubungannya dengan candi-candi lainnya seperti
Preah Ko, sebuah candi yang dibangun oleh Raja Indravarman I yang
beragama Hindu di tahun 879 atau di abad
ke sembilan, yang dipersembahkan
kepada Dewa Shiva. Sebagaimana di
Indonesia, sebelum kedatangan agama Budha, masyarakatnya terlebih dahulu telah
memeluk agama Hindu. Dan candi-candi itu merupakan tempat pemujaan agama
Hindu.
Saya
perhatikan bahwa bangunan candi ini terbuat dari batu-batu yang berukuran
besar, sepertinya lebih besar dari batu-batu
di Candi Borobudur. Namun yang lebih besar lagi adalah batu-batu yang digunakan di Piramida Giza,
apalagi batu-batu di Stone Henge, yang belum pernah saya lihat aslinya,
baru melihat filmnya. Ketika saat itu saya berfoto di Piramida Giza,
kelihatan lebih tinggi batunya dari pada tinggi badan saya. Batu-batu besar itu
beserakan di halaman candi. Untuk mengangkat satu batu, perlu 5 orang. Seperti
biasa, para fotografer amatir menawarkan jasanya dengan menunjukkan contoh
pose-pose dan lokasi pemotretan yg bagus. Sayapun jadi ingin difoto di lokasi
itu.
Tempat
kedua yang kami kunjungi hari ini adalah Komplek Candi yg bernama Ta
Prohm, atau Candi Kakek berlokasi 1
km dari Angkor Thom. Ta Prohm atau aslinya bernama Rajavihara, dibangun di
tahun 1186 oleh Raja Jayavarman VII. Memasuki dari salah satu
pintunya menuju ke tengah atau lokasi
candi, hingga pintu keluar lagi, panjangnya
3 km.
Ta
Prohm diketemukan oleh seorang warga Perancis di sebuah hutan, yang ketika
pohon-pohon sekitarnya dibersihkan, maka tampaklah reruntuhan candi itu.
Rupanya reruntuhan batu yang dililit
oleh pohon-pohon raksasa itu merupakan pemandangan yang sangat eksotis. Tempat
inilah yang dijadikan lokasi pengambilan film Thom Rider, dibintangi
aktris Angelina Jolie. Wisatawan sangat menyukai berfoto di
pohon-pohon raksasa itu. Cukup lama kami berada di Ta Prohm, karena rupanya
telah terjadi saling mencari diantara rombongan kami, dikira ada anggotanya
yang tertinggal.
Setelah
meninggalkan candi ini, rombongan menuju tempat makan siang yang berlokasi
tidak jauh dari Ta Prohm. Walaupun kelihatannya menarik, setelah dicecap di
lidah terasa aneh. Masakan mereka banyak menggunakan jahe, daun ketumbar, dan
bumbu-bumbu lain yg kurang pas di lidah
Indonesia. Jadi teringat nasi padang ayam bakar Rumah Makan Susy, hem..……
Setelah
acara makan siang, seharusnya kami
langsung ke Angkor Watt, berkeliling
sekaligus menunggu pemandangan sun set dari lantai atasnya. Akan tetapi
berhubung matahari masih sangat terik hingga terasa sakit di ubun-ubun,
sedangkan di lokasi Angkor Wat nanti tidak ada pepohonan yang rindang. Kim Lon
dan A Kong mencarikan tempat untuk ngadem dulu sambil menunggu matahari agak
turun. Kasihan peserta yang sudah berumur seperti saya dan dik Nuk, dan juga
anak-anak kecil, tentu akan kepanasan. Oleh karena itu kami diajak berjalan
jalan melihat toko souvenir di sekitar pertokoan sambil ngopi hingga kira-kira
jam 3 sore.
Rombongan
berganti bus lagi. Bus kecil yang kami tumpangi diganti bus besar yang selama
ini dipakai. Pergantian bus ini tidak diberitahukan ke semua anggota rombongan
sehingga ada beberapa barang yang terbawa. Untunglah semua barang itu dapat
ditemukan kembali. A Kong meminta maaf atas kelalaiannya.
Matahari
mulai berkurang teriknya, kami segera menuju lokasi Angkor Wat, yang
merupakan candi terbesar di Seam Reap. Angkor Wat memang bagus dan patut untuk
dikunjungi. Karena keindahan dan nilai seninya, Angkor Wat masuk dalam daftar “Situs
Warisan Dunia UNESCO”. Dari jauh
sudah kelihatan sosok cantiknya. Akan tetapi pada kenyataannya setelah
didekati, jauh lebih bagus Candi Borobudur dari pada Angkor Wat. Saya tidak
tahu, apakah mungkin karena sejarah penemuan dan keindahannya sehingga Angkor
Wat menjadi warisan dunia. Umurnya lebih muda beberapa abad sesudah candi
Borobudur.
Sebagaimana diketahui, Borobudur didirikan oleh penganut Budha
Mahayana sekitar 800-an Masehi pada masa pemerintahan Syailendra.
Borobudur ditemukan oleh Sir Thomas
Stanford Raffles pada tahun 1814 yang saat itu menjadi Gubernur Jenderal di
Nusantara. Ketika ditemukan, Borobudur keadaannya terkubur oleh abu gunung
Merapi. Jadi selama ratusan tahun tidak terkena terik matahari, hujan, angin
dan tidak aus. Berfoto dengan background
Angkor Wat dilakukan oleh semua peserta. Para tukang foto amatir semua kebagian
rejeki karena kami ingin berfoto di lokasi yang paling OK.
Dikelilingi
danau buatan yang sudah berumur ratusan tahun, menjadikan Angkor Wat, yang
melambangkan mikro kosmos, sebagaimana Puncak
Maha Meru di kelilingi lautan, memang sangat eksotis. Danau buatan itu
tetap penuh airnya, karena hutan di wilayah Seam Reap masih terjaga. Di ujung
depan jembatan yang menghubungkan jalan raya dengan Bangunan Angkor Wat,
terdapat sepasang patung sebagai penjaga, Naga berkepala tujuh. Sedangkan jembatan
yang menghubungkan pintu gerbang dengan candi, terbuat dari batu-batu berukuran besar yg tertata dengan baik, namun
sebagian sudah ada ada yang miring.
Sebelum
memasuki candi, rombongan membuat foto group di lokasi yang sangat pas, dimana
warna langit dikala sore tampak
kemerahan. Di
lantai pertama candi, terdapat patung
besar setinggi 3 m, menggambarkan dewa Wisnu. Sayang tangannya telah
hilang. Ketika saya baru saja menjejakkan kaki di lantai pertama candi, hujan
deras turun ke bumi bagaikan dicurahkan dari langit, membuat suasana menjadi
sendu. Rencana untuk melihat sun set dari lantai 3 tidak mungkin dilaksanakan,
namun beberapa peserta tetap naik ke lantai 3. Kami meninggalkan Angkor Wat
diiringi hujan rintik-rintik menyambut senja yang mulai gelap. Bangunan cantik
bersejarah kreasi manusia masa lalu itu saya tinggalkan, entah kapan akan dapat
berjumpa lagi. See you ….till we meet again….
Setelah
hujan reda, rombongan segera berkumpul untuk kembali menuju hotel. Kami diberi
waktu untuk mandi, dan pada jam 19.30 harus sudah berada di lobby untuk bersama-sama makan
malam sambil menikmati tarian Apsara Dance. Yang mana yang disebut
Apsara Dance ya? Malam itu ada 4 tarian :
2 macam tarian klasik seperti tari Ramayana, dimana para penarinya
mengenakan pakaian seperti Wayang Orang di Sriwedari Solo. Model penutup kepala
mereka berbeda, agak runcing. Sedang 2 tarian lagi menggambarkan para petani
muda sedang bercengkerama, mungkin sedang panen dan para nelayan sedang
menangkap ikan dengan bubu. Pakaian para penari seperti pakaian petani atau
nelayan, bahkan seperti baju koko kita. Kami menikmati tarian-tarian tersebut,
sehingga menu makan malam tidak terlalu diperhatikan.
Malam
ini adalah malam terakhir kami di Kamboja. Para peserta yang menghendaki,
diberi kesempatan untuk mencari oleh-oleh di Pasar Malam, Night Market. Berangkat
bersama-sama naik bus, nanti kembali ke
hotel sendiri-sendiri, bisa naik tuk-tuk, yaitu kendaraan beroda 4 seperti
bajaj berisi 4 orang yang duduk berhadapan.
Pasar malam di Seam Reap merupakan tempat berbelanja barang-barang
suvenir dan barang-barang khas Kamboja.
Saya membeli sedikit gantungan kunci, tempelan kulkas dan tas tangan khas
Kamboja. Mengingat berangkat tanpa ditemani suami, berarti tidak ada yang akan
membantu mengangkat koper, maka saya membatasi diri dari kebiasaan membawa
oleh-oleh. Apa lagi oleh Dokter saya, Dokter Kiki, lutut saya harus
diperlakukan semanis mungkin, tidak boleh diberi tugas berat. Jangankan
mengangkat berat, mengenakan sepatu saja harus setipis mungkin. Tak apalah,
dinikmati saja…..
Hari
ini diberikan acara bebas sampai tiba
saatnya berangkat ke Airport. Pagi hari, kami bersama-sama breakfast
sambil ngobrol santai. Beberapa teman bercerita bahwa kopernya telah hamil
alias lebih berat, sudah diisi oleh-oleh. Bahkan ada yang telah beranak. Pada jam 10.30 kami akan meninggalkan Seam
Reap. Sebelum berangkat, saya menyiapkan sekedar tip untuk Kim Lon, guide yang
baik yang telah membantu saya. Suatu ketika sepatu saya menganga, rupanya
sepatu baru tapi tidak awet, Kim Lon lah
yang mencarikan lem, supaya sepatu itu bisa dipakai lagi. Demikian pula, ketika
saya memerlukan brosur untuk melengkapi catatan-catatan kecil yang saya buat di
perjalanan, Kim Lon dengan senang hati membantu mengambilkannya untuk saya.
Sebelum
meninggalkan hotel Somadevi Angkor, tak ada salahnya mengambil foto diri dengan
background tulisan nama hotel. Wah, norak ya?
Enggak juga, kan belum tentu akan sampai ke kota Seam Reap lagi.
Bus mulai meninggalkan hotel menuju Airport. Restoran tempat
dimana kami akan makan siang sebelum terbang
berlokasi di dekat bandara Seam Reap sehingga searah dan tidak jauh. Namanya Restoran
Tonle Mekong. Ketika kami tiba, Restoran telah buka, tetapi pelayan dan
resepsionisnya belum berada di tempat.
Kami memang datang jam 11 sebelum waktu makan siang tiba, karena
dikawatirkan terlalu mepet waktunya.
Nah,
ini baru makanan yg cocok dengan lidah Indonesia. Bufet berbagai masakan
lengkap. Dari makanan pembuka
seperti jajan pasar, sama
dengan yang ada di Indonesia. Klepon,
ketan kinca duren (ketan sarikaya), kolak, es
campur, es cendol, kue lapis, dodol dan lain lain. Sayuran rebusan dan
lalapan lengkap dengan sambal terasi dan leuncaknya. Berbagai lauk, ikan, ayam,
daging dan sebagainya. Tidak ketinggalan sayur seperti lodeh terong, oseng sawi
dan lain-lain, tidak ingat macamnya lagi. Pokoknya sesuai selera Indonesia.
Para peserta merasa puas dengan hidangan makan siang di restoran yang terakhir ini.
Selesai
makan siang, rombongan kami menuju Bandara Seam Reap untuk penerbangan menuju
Hochiminh City dengan menggunakan Vietnam Air,
Pesawatnya Airbus 321. Bandara Siem Reap kecil, tetapi cukup bersih. Di
toko-tokonya banyak dijual barang-barang
souvenir. Sedikit menyesal tidak membeli sedikitpun barang-barang khas
Kamboja, karena ternyata negara Kamboja juga penghasil sutera bagus seperti
Thailand. Produk jadi yang dihasilkan
antara lain selendang, taplak meja, sarung bantal, tas dan sebagainya. Sebagai
salah satu dari negara-negara di Indochina, Kamboja berada di tempat ketiga
sesudah Thailand dan Vietnam dalam hal perekonomiannya. Yang terakhir, yang
masih dalam kondisi miskin adalah Laos.
Pesawat mulai take off dan sayapun
memanjatkan doa ke hadiratNya untuk keselamatan penerbangan ini.
Bye
bye Kim Lon… bye bye Kamboja….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar