Assalamualaikum ww.
Senin tanggal 10 Juli 2023,
merupakan saat yang kami tunggu-tunggu. Hari ini kami akan jalan-jalan melihat
Kota Banjarmasin. Bangun pagi sekali karena harus mengejar penerbangan Jakarta
– Banjarmasin yang take off jam 06.40 di Bandara Sokarno Hatta. Inilah penerbangan
keduaku setelah Pandemi Covid berlalu. Tahun 2021 yang lalu, begitu mereda, kami
berdua sudah berani terbang ke Bali.
Cek-in tidak memerlukan waktu lama
karena semua sudah dipersiapkan sebelumnya melalui Counter Garuda di Mall Kota
Kasablanka. Jalan-jalan kali ini kami menggunakan Voucher Garuda dari Tiket
yang tidak dapat kami gunakan sehubungan Pandemi Covid. Pada akhir Desember
tahun ini jika tidak digunakan akan hangus. Sambil menunggu boarding kami
Sarapan dan Ngopi di Counter Beard Papa yang berdampingan dengan Roti O.
Aku senang dengan suasana pagi ini di Terminal 3 yang cerah,
menjadikan semangat. Kami pergi hanya berdua saja. Terbayang keseruannya jika
perginya rame-rame. Apa kabar sohib-sohibku yang dulu sering jalan bareng? Bu Ida Novian, bu Nenden Ari dan bu Ida Thamrin ........
Hari ini pesawat dipenuhi oleh Jemaah
Haji dari Kalimantan Selatan yang baru kembali dari Mekah. Mereka bukan Haji
Reguler tapi Haji Plus yang diberangkatkan melalui Travel Jakarta. Garuda yg dulu hampir
bangkrut, setelah mendapat suntikan Pemerintah tampaknya sudah mulai ramai. Peta
Jasa Transportasi Udara sudah banyak berubah. Saat ini ada beberapa nama maskapai yang dulu
jarang terdengar seperti Pelita Air, Transnusa,
Trigana, Super Jet dan beberapa lagi lainnya.
Barangkali ada pertanyaan
teman-teman, mengapa memilih jalan-jalan ke Banjarmasin? Sepertinya bukan
daerah wisata? Iya, tetapi disana ada 2 Kota bersejarah bagi Mas Suami yaitu
Peleihari dan Martapura. Ketika masih kecil, orang tuanya yang dinas sebagai
Pegawai Pemerintah dipindah tugaskan ke Pulau Kalimantan, tinggal di 2 kota itu.
Baru setelah SMP kelas 2 Mas Suami dikirim ke Pulau Jawa, melanjutkan sekolah
di Solo.
Mendarat di Bandara Syamsudin Noor
di Banjar Baru, kami langsung mengambil taksi Bandara menuju hotel di
Banjarmasin. Di perjalanan, kami sempatkan mampir ke tempat makan Ketupat
Kandangan yang cukup enak yaitu di Landasan Ulin dekat Bandara. Kuliner khas
Banjar ini merupakan favorit Mas Suami. Ketupat Kandangan (bahasa Banjarnya :
Katupat Kandangan), merupakan hidangan yang berasal dari daerah Kandangan,
Kalimantan Selatan.
Seperti ketupat pada umumnya, bahan
untuk membuat ketupat berasal dari beras. Perbedaan Ketupat Kandangan dengan
jenis ketupat lainnya adalah lauknya berupa
Ikan Gabus atau di Banjar disebut Iwak Haruan. Ikan ini dipanggang lebih
dahulu sebelum dimasak dengan menggunakan santan yang rasanya gurih dan sedikit
pedas. Kuliner ini dapat dihidangkan untuk makan pagi, siang atau malam.
Tiba di hotel hanya cek in sebentar. Sesuai rencana yang aku buat sendiri, kami segera menuju Taman Anggrek Bungas. Sayang sekali, kondisinya tidak seperti yang aku bayangkan. Pulau Kalimantan gudangnya anggrek spesies, seharusnya punya Taman Anggrek yang luas dan terawat dengan bunga-bunganya yang indah. Di tempat inilah wisatawan dapat mengagumi kekayaan hayati Kalimantan.
Yang ada dihadapanku hanya Taman
seluas rumahku, dan tak ada penjaganya. Yah, mungkin belum dikembangkan dengan
baik. Menurutku, seharusnya diserahkan saja ke Fakultas Pertanian Universitas Lambung
Mangkurat untuk dijadikan bahan studi.
Sasirangan adalah kain tradisional
yang merupakan budaya Suku Banjar di Kalimantan Selatan, yang telah ditetapkan
oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai salah satu dari 33 kain
tradisional Warisan Budaya Tak Benda di Indonesia. Kain ini dikenal karena
keunikannya, yang memiliki corak yang kaya dengan warna yang indah.
Seperti halnya dengan Batik, Kain
Sasirangan dibuat dari bermacam-macam bahan, bisa dari benang kapas, serat kulit kayu, sutera, satin,
santung, balacu, polyster, hingga rayon. Pembuatannya dengan cara mewarnai kain
yang telah dijahit jelujur sesuai pola desainnya. Bisa dengan satu warna atau
lebih. Jika hanya satu warna, maka pewarnaannya dilakukan pencelupan, jika
lebih dari satu warna maka kain tetap berwarna putih, kemudian dilakukan
pencoletan dengan kombinasi warna yang dikehendaki. Setelahnya, jelujur benang
itu dilepaskan dan dicuci bersih serta diseterika.
Kain Sasirangan asal Banjar juga
dikenal karena motif dan warna yang unik. Motif yang digunakan dalam kain ini
biasanya berasal dari alam sekitar, seperti pohon, bunga, dan binatang. Warna kain juga sangat beragam dan cantik-cantik.
Hari kedua, pagi-pagi sudah dijemput
mobil rental yang aku pesan untuk tujuan ke Pasar Terapung Lok Baintan. Memang
harus pagi-pagi, karena jam 9 pasarnya sudah bubar. Sebelum kesana, kami minta
saran mas Aluy Driver dari Rental, dimana tempat sarapan dengan menu khas Banjar yang enak. Mas
Aluy mengajak ke Soto Bang Amat. OK, ternyata memang enak sekali. Lebih enak
dari Soto Banjar Ibu Ida di Senayan, langganan mas Suami yang sekarang entah
pindah kemana setelah tergusur.
Soto Banjar adalah soto khas suku
Banjar, Kalimantan Selatan dengan bahan utama daging ayam dengan aroma harum
rempah-rempah seperti kayu manis, biji pala, dan cengkih. Soto ini berisi
daging ayam yang sudah disuwir-suwir, dengan tambahan perkedel kentang,
rebusan telur, potongan wortel dan ketupat.
Rumah makan ini tepat berada dipinggir Sungai Martapura. Kami menikmati sarapan nasi soto sambil memandang air sungai yang berkilauan tertimpa sinar matahari pagi. Beberapa kapal dan jukung bersandar dipinggiran sungai.
Selesai sarapan, kami menuju Dermaga
Lok Baintan yang jaraknya dari kota Banjarmasin sekitar 30 menit perjalanan
mobil. Sebenarnya menuju Lok Baintan itu bisa berangkat dari Dermaga dekat Soto
Bang Amat tadi, tapi nantinya kita akan naik Kapal atau Perahu bermesin yang disebut
Klotok selama 1 jam bolak-balik. Aku
memilih yang naik langsung dari Dermaga Lok Baintan menghemat waktu karena kami
masih akan ke Kota Martapura.
Jalan menuju Lok Baintan berada di
sisi sebelah selatan sungai, melewati perkampungan yang berada dipinggir
sungai. Tampak rumah-rumah panggung yang dibangun diatas air dengan fondasi tiang kayu
ulin. Kayu ulin akan semakin kuat jika kena air. Kondisi dibawah rumah-rumah
itu becek berair. Tetapi ada juga beberapa rumah yang halamannya diurug tanah untuk
tempat parkir mobil. Seperti perkampungan pada umumnya, di depan rumah mereka ditanam pohon-pohon buah atau tanaman bunga.
Tiba di Dermaga Lok Baintan, kami bersama
rombongan lainnya segera naik ke Kapal Klotok. Boleh memilih tempat duduk. Jika duduk ditikar, kita harus
menunduk karena atapnya rendah. Bisa
juga diduk diatas atap. Aku memilih duduk diujung dimana terdapat 2 kursi
berhadapan. Ongkosnya telah disepakati 200 ribu, dibayar 2 rombongan.
Tak berapa lama kapal berangkat
menyusuri sungai Martapura yang lebar itu. Setelah perjalanan sekitar 10 – 15
menit, banyak Pedagang yang kebanyakan ibu-ibu, dengan mengayuh perahu-perahu kecil atau jukung mendekat ke kapal kami menawarkan dagangannya. Ada yang membawa buah jeruk, mangga, ikan
dan pisang. Ada juga yang menjual kopi dan wadai yaitu jajanan khas Banjar seperti
kue ontuk-ontuk. Jukung lainnya membawa dan menawarkan tas-tas mote-mote kerajinan khas Banjar. Segera aku mengabadikan moment ini. Barangkali masih ingat iklan yang sangat terkenal "RCTI OKE". Pemandangan yang seperti ini tidak
ada ditempat lain.
Mereka semula menawarkan dengan baik-baik, dengan berpantun ria. Tapi lama kelamaan jadi memaksa jika kita tidak membeli dagangannya. Aku beli kopi panas dan kue-kue sekedarnya, karena masih kenyang habis sarapan. Kasihan juga. Barangkali belum banyak dagangan yang laku. Nggak tega juga melihatnya. Aku beli, tapi dagangannya nggak aku ambil.
Meninggalkan Dermaga Lok Baintan,
mobil kami menuju Kota Martapura. Dari Banjarmasin menuju Martapura itu
melewati kota Banjar Baru yang beberapa tahun belakangan sudah menjadi Ibukota
Propinsi Kalimantan Selatan. Dari jalan raya Mas Aluy membelokkan mobilnya kearah
kiri menunjukkan lokasi Perkantoran Pemerintah Daerah Propinsi Kalimantan Selatan. Tertata cukup rapi, dengan taman-taman dan
lapangan rumputnya yang hijau.
Tibalah kami di Pasar Martapura.
Ingatanku tentang Pasar Martapura yang dulu pernah aku kunjungi sudah berubah.
Perasaanku, dulu ramai sekali tapi sekarang kok sepi ya ....….
Mas Aluy menunjukkan sebuah Toko
yang Penjualnya tidak bohong dan menjamin keaslian barangnya, namanya Toko Kalimantan.
Selain banyak pengunjungnya, dagangannya
juga penuh. Berbagai batu perhiasan yang berwarna-warni, indah berkilauan dipajang
didalam toko ini. Kalung, gelang, liontin, batu akik dan batu tiruan lengkap
disini. Aku segera menelpon anakku yang sudah pesan minta dicarikan Batu
Perhiasan buat dijadikan liontin. Beberapa aku foto dan kirimkan untuk dipilih.
Selanjutnya kami ke Pasar sebelah
kanan untuk mancari Ikan Pepuyu Wadi, yaitu ikan Pepuyu yang sudah dibumbu.
Sampai rumah nanti tinggal menggoreng. Dulu Almarhum Mbak Kus, kakaknya mas
Suami, sering mengirim ke Jakarta ikan ini. Gurih dan asin, enak sekali dimakan
dengan nasi hangat, bisa terus-terusan
nambah nasi ..…..
Hari telah siang, waktunya mengisi
perut. Sambil menuju kembali ke arah kota Banjarmasin, kami mencari tempat
makan dengan menu Banjar. Kami mencoba mampir ke sebuah Resto yang cukup banyak
pengunjungnya, terbukti dari banyaknya mobil yang parkir di halaman. Mas Suami turun
duluan untuk melihat menu dan tempatnya. Tak lama kemudian kembali ke mobil,
katanya nggak cocok. Tempatnya sih OK, tapi banyak lalat.......
Lalu mobil putar kearah kembali, menuju Resto di seberang
jalan. Nah, kita makan siang disini, namanya Rumah Makan Patin Bakar. Kami
nggak pesan ikan patinnya tapi pesan masakan lain. Mas Suami masih
teringat dulu sering mancing ikan yang
gurih ini, kami pesan Ikan Pepuyu Goreng
dan Bakar, Ikan Saluang Goreng, Mandai
dan sayur asem. Mandai adalah masakan oseng yang dibuat dari Dami Buah Cempedak.
Warnanya kekuningan dan rasanya manis. Sayur Asem ala Banjar berbeda dengan
yang sering kita temui, kuahnya berwarna keputihan dan isi sayurannya timun
berkulit putih.
Kembali ke hotel untuk istirahat
sebentar. Mas Aluy akan jemput lagi setelah shalat magrib. Kami berkeliling
kota menikmati malam di Banjarmasin. Berturut-turut melewati Menara Pandang, Patung
Bekantan, Masjid Sabilal Muhtadin dan lain-lain. Semuanya berada di sekitar
Sungai Martapura yang membelah Kota Banjarmasin. Sungai ini tampak bersih,
sayang gelap karena hanya sedikit lampu-lampu di sekitarnya.
Akhirnya kami berbelok ke sebuah
tempat makan yang juga merupakan kuliner khas disini yaitu Lontong Orari.
Lontongnya bukan berbentuk seperti yang biasa kita kenal, bulat panjang dan
cara makannya di iris bulat tipis, tapi berbentuk segitiga dan dihidangkan
tanpa diiris. Menurut cerita, cara membuat Lontong yang dibungkus dengan daun
pisang ini direbus matang selama 6 hingga 8 jam. Ukuran lontongnya hampir dua kali lipat ukuran
lontong pada umumnya.
Lontong Orari biasanya disantap bersama aneka lauk berbumbu habang (bumbu merah). Sajian lauk dengan bumbu habang di antaranya Ikan Haruan, Telur Bebek Rebus, Ayam Goreng serta Sayuran. Satu porsi Lontong Orari berisi dua biji lontong. Aku memilih setengah porsi atau 1 buah lontong dengan lauk Telur Bebek.
Mengapa namanya Orari? Pada sekitar
tahun 1983 masyarakat Banjarmasin, khususnya anak-anak muda mulai menggemari radio
amatir. Mereka tergabung dalam sebuah organisasi ORARI (Organisasi Radio Amatir
Republik Indonesia). ORARI merupakan wadah
untuk ketemu atau 'kopi darat' bagi para aktivis tersebut. Tak jauh dari tempat
mereka berkumpul nongkrong-nongkrong, terdapat seorang penjual lontong yang
sangat enak. Hingga lama-kelamaan tempat dan makanan lontong ini identik dengan
sebutan Lontong Orari.
Di hari ketiga, semula kami merencanakan mengunjungi Peleihari, yang merupakan ibukota Kabupaten Pulau Laut. Mas Suami dibesarkan di kota itu. Perjalanan dari Banjarmasin ke Peleihari sebenarnya tidak jauh, hanya sekitar 1,5 jam saja. Akan tetapi saat ini jembatan menuju kota itu sedang diperbaiki, jalannya ditutup, sehingga jika ke Peleihari harus memutar jauh. Memerlukan waktu 2,5 jam perjalanan. Pergi pulang menjadi 5 jam. Belum lagi jika kita ingin mengunjungi tempat-tempat wisatanya. Kami khawatir kelelahan. Dengan berat hati acara ke Peleihari kami batalkan.
Ganti ke tempat lain yang belum
dikunjungi yaitu ke Patung Bekantan yang merupakan icon Propinsi Kalimantan dan ke
Masjid Raya Sabilal Muhtadin. Pagi setelah breakfast di hotel, kami naik taksi kesana.
Matahari sudah
mulai naik. Di tepi Sungai Martapura berjajar kapal klotok dan kapal speed yang
siap berangkat jika ada penumpang yang ingin diantarkan wisata susur sungai. Di
siang yang panas begini rasanya tidak nyaman menyusuri sungai.
Dari Patung Bekantan, kami menuju
Masjid Raya Sabilal Muhtadin. Masjid yang luas dan megah itu masih tampak sepi.
Di sekeliling masjid, pepohonan menghijau, membuat udara menjadi sejuk. Karena
sebelum berangkat tadi sudah sholat Duha, kami hanya sholat Tahiyatul Masjid
dan berdoa disana.
Wassalamualaikum ww.
Jakarta, 17 Juli 2023.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar