Rabu, 19 Juli 2023

CERITA TENTANG BANJARMASIN

     


Assalamualaikum ww.


Senin tanggal 10 Juli 2023, merupakan saat yang kami tunggu-tunggu. Hari ini kami akan jalan-jalan melihat Kota Banjarmasin. Bangun pagi sekali karena harus mengejar penerbangan Jakarta – Banjarmasin yang take off jam 06.40 di Bandara Sokarno Hatta. Inilah penerbangan keduaku setelah Pandemi Covid berlalu. Tahun 2021 yang lalu, begitu mereda, kami berdua sudah berani terbang ke Bali.

 

Cek-in tidak memerlukan waktu lama karena semua sudah dipersiapkan sebelumnya melalui Counter Garuda di Mall Kota Kasablanka. Jalan-jalan kali ini kami menggunakan Voucher Garuda dari Tiket yang tidak dapat kami gunakan sehubungan Pandemi Covid. Pada akhir Desember tahun ini jika tidak digunakan akan hangus. Sambil menunggu boarding kami Sarapan dan Ngopi di Counter Beard Papa yang berdampingan dengan Roti O.

 

Aku senang dengan  suasana pagi ini di Terminal 3 yang cerah, menjadikan semangat. Kami pergi hanya berdua saja. Terbayang keseruannya jika perginya rame-rame. Apa kabar sohib-sohibku yang dulu sering jalan bareng? Bu Ida Novian, bu Nenden Ari dan bu Ida Thamrin ........

 

Hari ini pesawat dipenuhi oleh Jemaah Haji dari Kalimantan Selatan yang baru kembali dari Mekah. Mereka bukan Haji Reguler tapi Haji Plus yang diberangkatkan  melalui Travel Jakarta. Garuda yg dulu hampir bangkrut, setelah mendapat suntikan Pemerintah tampaknya sudah mulai ramai. Peta Jasa Transportasi Udara sudah banyak berubah. Saat ini ada beberapa nama maskapai yang dulu jarang terdengar seperti  Pelita Air, Transnusa, Trigana, Super Jet dan beberapa lagi lainnya.

 

Barangkali ada pertanyaan teman-teman, mengapa memilih jalan-jalan ke Banjarmasin? Sepertinya bukan daerah wisata? Iya, tetapi disana ada 2 Kota bersejarah bagi Mas Suami yaitu Peleihari dan Martapura. Ketika masih kecil, orang tuanya yang dinas sebagai Pegawai Pemerintah dipindah tugaskan ke Pulau Kalimantan, tinggal di 2 kota itu. Baru setelah SMP kelas 2 Mas Suami dikirim ke Pulau Jawa, melanjutkan sekolah di Solo.

 

Mendarat di Bandara Syamsudin Noor di Banjar Baru, kami langsung mengambil taksi Bandara menuju hotel di Banjarmasin.  Di perjalanan, kami sempatkan mampir ke tempat makan Ketupat Kandangan yang cukup enak yaitu di Landasan Ulin dekat Bandara. Kuliner khas Banjar ini merupakan favorit Mas Suami. Ketupat Kandangan (bahasa Banjarnya : Katupat Kandangan), merupakan hidangan yang berasal dari daerah Kandangan, Kalimantan Selatan.

 

Seperti ketupat pada umumnya, bahan untuk membuat ketupat berasal dari beras. Perbedaan Ketupat Kandangan dengan jenis ketupat lainnya adalah lauknya berupa  Ikan Gabus atau di Banjar disebut Iwak Haruan. Ikan ini dipanggang lebih dahulu sebelum dimasak dengan menggunakan santan yang rasanya gurih dan sedikit pedas. Kuliner ini dapat dihidangkan untuk makan pagi, siang atau malam.



Tiba di hotel hanya cek in sebentar. Sesuai rencana yang aku buat sendiri, kami segera menuju Taman Anggrek Bungas. Sayang sekali, kondisinya tidak seperti yang aku bayangkan. Pulau Kalimantan gudangnya anggrek spesies, seharusnya punya Taman Anggrek yang luas dan terawat dengan bunga-bunganya yang indah. Di tempat inilah wisatawan dapat mengagumi kekayaan hayati Kalimantan.

 

Yang ada dihadapanku hanya Taman seluas rumahku, dan tak ada penjaganya. Yah, mungkin belum dikembangkan dengan baik. Menurutku, seharusnya diserahkan saja ke Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat untuk dijadikan bahan studi.



Dari Taman Anggrek Bungas, aku menuju Kampung Sasirangan, sekedar untuk melihat-lihat saja. Ternyata ada 2 tempat yang disebut Kampung Sasirangan, yaitu yang terletak di Jalan Pahlawan Seberang Masjid dan yang terletak di Sungai Jingah. Keduanya merupakan Obyek Wisata yang telah dikenal Wisatawan. Aku menuju Kampung Sasirangan yang lokasinya dekat hotel. Ternyata disini lokasi penjualannya, bukan lokasi pembuatannya. Berderet toko-toko yang menjual Kain Sasirangan, baik yang masih berupa lembaran maupun yang sudah berupa Baju, Hem, Blus, Gamis dan lain-lain.

 

Sasirangan adalah kain tradisional yang merupakan budaya Suku Banjar di Kalimantan Selatan, yang telah ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai salah satu dari 33 kain tradisional Warisan Budaya Tak Benda di Indonesia. Kain ini dikenal karena keunikannya, yang memiliki corak yang kaya dengan warna yang indah.




Seperti halnya dengan Batik, Kain Sasirangan dibuat dari bermacam-macam bahan, bisa dari benang kapas, serat kulit kayu, sutera, satin, santung, balacu, polyster, hingga rayon. Pembuatannya dengan cara mewarnai kain yang telah dijahit jelujur sesuai pola desainnya. Bisa dengan satu warna atau lebih. Jika hanya satu warna, maka pewarnaannya dilakukan pencelupan, jika lebih dari satu warna maka kain tetap berwarna putih, kemudian dilakukan pencoletan dengan kombinasi warna yang dikehendaki. Setelahnya, jelujur benang itu dilepaskan dan dicuci bersih serta diseterika.

 

Kain Sasirangan asal Banjar juga dikenal karena motif dan warna yang unik. Motif yang digunakan dalam kain ini biasanya berasal dari alam sekitar, seperti pohon, bunga, dan binatang. Warna kain juga sangat beragam dan cantik-cantik.

 

Hari kedua, pagi-pagi sudah dijemput mobil rental yang aku pesan untuk tujuan ke Pasar Terapung Lok Baintan. Memang harus pagi-pagi, karena jam 9 pasarnya sudah bubar. Sebelum kesana, kami minta saran mas Aluy Driver dari Rental, dimana tempat sarapan dengan menu khas Banjar yang enak. Mas Aluy mengajak ke Soto Bang Amat. OK, ternyata memang enak sekali. Lebih enak dari Soto Banjar Ibu Ida di Senayan, langganan mas Suami yang sekarang entah pindah kemana setelah tergusur.


 

Soto Banjar adalah soto khas suku Banjar, Kalimantan Selatan dengan bahan utama daging ayam dengan aroma harum rempah-rempah seperti kayu manis, biji pala, dan cengkih. Soto ini berisi daging ayam yang sudah disuwir-suwir, dengan tambahan perkedel kentang, rebusan telur, potongan wortel dan ketupat.

 

Rumah makan ini tepat berada dipinggir Sungai Martapura. Kami menikmati sarapan nasi soto sambil memandang air sungai yang berkilauan tertimpa sinar matahari pagi. Beberapa kapal dan jukung bersandar dipinggiran sungai.

 

Selesai sarapan, kami menuju Dermaga Lok Baintan yang jaraknya dari kota Banjarmasin sekitar 30 menit perjalanan mobil. Sebenarnya menuju Lok Baintan itu bisa berangkat dari Dermaga dekat Soto Bang Amat tadi, tapi nantinya kita akan naik Kapal atau Perahu bermesin yang disebut Klotok selama 1 jam bolak-balik. Aku memilih yang naik langsung dari Dermaga Lok Baintan menghemat waktu karena kami masih akan ke Kota Martapura.

 

Jalan menuju Lok Baintan berada di sisi sebelah selatan sungai, melewati perkampungan yang berada dipinggir sungai. Tampak rumah-rumah panggung yang dibangun diatas air dengan fondasi tiang kayu ulin. Kayu ulin akan semakin kuat jika kena air. Kondisi dibawah rumah-rumah itu becek berair. Tetapi ada juga beberapa rumah yang halamannya diurug tanah untuk tempat parkir mobil. Seperti perkampungan pada umumnya, di depan rumah mereka  ditanam pohon-pohon buah atau tanaman bunga.

 

Tiba di Dermaga Lok Baintan, kami bersama rombongan lainnya segera naik ke Kapal Klotok. Boleh memilih tempat duduk. Jika duduk ditikar, kita harus menunduk karena atapnya rendah. Bisa juga diduk diatas atap. Aku memilih duduk diujung dimana terdapat 2 kursi berhadapan. Ongkosnya telah disepakati 200 ribu, dibayar 2 rombongan.

 

Tak berapa lama kapal berangkat menyusuri sungai Martapura yang lebar itu. Setelah perjalanan sekitar 10 – 15 menit, banyak Pedagang yang kebanyakan ibu-ibu, dengan mengayuh  perahu-perahu kecil atau jukung mendekat ke kapal kami menawarkan dagangannya. Ada yang membawa buah jeruk, mangga, ikan dan pisang. Ada juga yang menjual kopi dan wadai yaitu jajanan khas Banjar seperti kue ontuk-ontuk. Jukung lainnya membawa dan menawarkan tas-tas mote-mote kerajinan khas Banjar. Segera aku mengabadikan moment ini. Pemandangan yang seperti ini tidak ada ditempat lain.





         
      

Mereka semula menawarkan dengan baik-baik, dengan berpantun ria. Tapi lama kelamaan jadi memaksa jika kita tidak membeli dagangannya. Aku beli kopi panas dan kue-kue sekedarnya, karena masih kenyang habis  sarapan. Kasihan juga. Barangkali belum banyak dagangan yang laku. Nggak tega juga melihatnya.   Aku beli, tapi dagangannya nggak aku ambil.


Meninggalkan Dermaga Lok Baintan, mobil kami menuju Kota Martapura. Dari Banjarmasin menuju Martapura itu melewati kota Banjar Baru yang beberapa tahun belakangan sudah menjadi Ibukota Propinsi Kalimantan Selatan. Dari jalan raya Mas Aluy membelokkan mobilnya kearah kiri menunjukkan lokasi Perkantoran Pemerintah Daerah Propinsi Kalimantan Selatan. Tertata cukup rapi, dengan taman-taman dan lapangan rumputnya yang hijau.

 

Tibalah kami di Pasar Martapura. Ingatanku tentang Pasar Martapura yang dulu pernah aku kunjungi sudah berubah. Perasaanku, dulu ramai sekali tapi sekarang kok sepi ya ....….

 

Mas Aluy menunjukkan sebuah Toko yang Penjualnya tidak bohong dan menjamin keaslian barangnya, namanya Toko Kalimantan. Selain banyak pengunjungnya,  dagangannya juga penuh. Berbagai batu perhiasan yang berwarna-warni, indah berkilauan dipajang didalam toko ini. Kalung, gelang, liontin, batu akik dan batu tiruan lengkap disini. Aku segera menelpon anakku yang sudah pesan minta dicarikan Batu Perhiasan buat dijadikan liontin. Beberapa aku foto dan kirimkan untuk dipilih.




Selanjutnya kami ke Pasar sebelah kanan untuk mancari Ikan Pepuyu Wadi, yaitu ikan Pepuyu yang sudah dibumbu. Sampai rumah nanti tinggal menggoreng. Dulu Almarhum Mbak Kus, kakaknya mas Suami, sering mengirim ke Jakarta ikan ini. Gurih dan asin, enak sekali dimakan dengan nasi hangat, bisa  terus-terusan nambah nasi ..…..

 

Hari telah siang, waktunya mengisi perut. Sambil menuju kembali ke arah kota Banjarmasin, kami mencari tempat makan dengan menu Banjar. Kami mencoba mampir ke sebuah Resto yang cukup banyak pengunjungnya, terbukti dari banyaknya mobil yang parkir di halaman. Mas Suami turun duluan untuk melihat menu dan tempatnya. Tak lama kemudian kembali ke mobil, katanya nggak cocok. Tempatnya sih OK, tapi banyak lalat.......

 

Lalu mobil putar kearah kembali, menuju Resto di seberang jalan. Nah, kita makan siang disini, namanya Rumah Makan Patin Bakar. Kami nggak pesan ikan patinnya tapi pesan masakan lain. Mas Suami masih teringat  dulu sering mancing ikan yang gurih ini, kami pesan  Ikan Pepuyu Goreng dan Bakar,  Ikan Saluang Goreng, Mandai dan sayur asem. Mandai adalah masakan oseng yang dibuat dari Dami Buah Cempedak. Warnanya kekuningan dan rasanya manis. Sayur Asem ala Banjar berbeda dengan yang sering kita temui, kuahnya berwarna keputihan dan isi sayurannya timun berkulit putih.

 

Kembali ke hotel untuk istirahat sebentar. Mas Aluy akan jemput lagi setelah shalat magrib. Kami berkeliling kota menikmati malam di Banjarmasin. Berturut-turut melewati Menara Pandang, Patung Bekantan, Masjid Sabilal Muhtadin dan lain-lain. Semuanya berada di sekitar Sungai Martapura yang membelah Kota Banjarmasin. Sungai ini tampak bersih, sayang gelap karena hanya sedikit lampu-lampu di sekitarnya.

 



Akhirnya kami berbelok ke sebuah tempat makan yang juga merupakan kuliner khas disini yaitu Lontong Orari. Lontongnya bukan berbentuk seperti yang biasa kita kenal, bulat panjang dan cara makannya di iris bulat tipis, tapi berbentuk segitiga dan dihidangkan tanpa diiris. Menurut cerita, cara membuat Lontong yang dibungkus dengan daun pisang ini direbus matang selama 6 hingga 8 jam. Ukuran lontongnya hampir dua kali lipat ukuran lontong pada umumnya.




 


Lontong Orari biasanya disantap bersama aneka lauk berbumbu habang (bumbu merah). Sajian lauk dengan bumbu habang di antaranya Ikan Haruan, Telur Bebek Rebus, Ayam Goreng serta Sayuran. Satu porsi Lontong Orari berisi dua biji lontong. Aku memilih setengah porsi atau 1 buah lontong dengan lauk Telur Bebek.

 

Mengapa namanya Orari? Pada sekitar tahun 1983 masyarakat Banjarmasin, khususnya anak-anak muda mulai menggemari radio amatir. Mereka tergabung dalam sebuah organisasi ORARI (Organisasi Radio Amatir Republik Indonesia). ORARI merupakan wadah untuk ketemu atau 'kopi darat' bagi para aktivis tersebut. Tak jauh dari tempat mereka berkumpul nongkrong-nongkrong, terdapat seorang penjual lontong yang sangat enak. Hingga lama-kelamaan tempat dan makanan lontong ini identik dengan sebutan Lontong Orari.

 

Di hari ketiga, semula kami merencanakan mengunjungi Peleihari, yang merupakan ibukota Kabupaten Pulau Laut. Mas Suami dibesarkan di kota itu. Perjalanan dari Banjarmasin ke Peleihari sebenarnya tidak jauh, hanya sekitar 1,5 jam saja. Akan tetapi saat ini jembatan menuju kota itu sedang diperbaiki, jalannya ditutup, sehingga jika ke Peleihari harus memutar jauh. Memerlukan waktu  2,5 jam perjalanan. Pergi pulang menjadi 5 jam. Belum lagi jika kita ingin mengunjungi tempat-tempat  wisatanya. Kami khawatir kelelahan. Dengan  berat hati acara ke Peleihari kami batalkan.

 

Ganti ke tempat lain yang belum dikunjungi yaitu ke Patung Bekantan yang merupakan icon Propinsi Kalimantan dan ke Masjid Raya Sabilal Muhtadin. Pagi setelah breakfast di hotel, kami naik taksi kesana.


       

Matahari sudah mulai naik. Di tepi Sungai Martapura berjajar kapal klotok dan kapal speed yang siap berangkat jika ada penumpang yang ingin diantarkan wisata susur sungai. Di siang yang panas begini rasanya tidak nyaman menyusuri sungai.


Dari Patung Bekantan, kami menuju Masjid Raya Sabilal Muhtadin. Masjid yang luas dan megah itu masih tampak sepi. Di sekeliling masjid, pepohonan menghijau, membuat udara menjadi sejuk. Karena sebelum berangkat tadi sudah sholat Duha, kami hanya sholat Tahiyatul Masjid dan berdoa disana.




        
        Hari ketiga kami cukupkan dengan makan siang di Resto Rempah 
        Bristo, Duta Mal. Selanjutnya kembali ke hotel.

 

Wassalamualaikum ww.

Jakarta, 17 Juli 2023.

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar