Sabtu, 15 Oktober 2022

BAB V. SEKOLAH ALAM BEKASI - SAsi




1.Awal berdirinya

 

Setelah menjual sebidang tanah kosong yang berlokasi di Srengseng, Kembangan, Jakarta Barat tahun 1984, hasilnya kami belikan sebidang tanah kebon di daerah Jatiranggon, Bekasi. Kebon dengan luas tanah 4.500 M2 itu berbentuk ngantong yaitu dari pinggir jalan besar masuk ke dalam dengan lebar sekitar 3 meter atau mobil bisa lewat, sepanjang lebih kurang 50 meter. Lahan yang luas ada di bagian dalam.

Jalan menuju Kebon itu masih berupa jalan tanah yang hanya diperkeras dengan batu-batu, sedang jalan aspalnya masih berjarak sekitar 200 meter lagi. Itulah maka orang menyebut Ujung Aspal.

Walau kondisinya demikian, tapi ada nilai lebihnya, yaitu sudah ditumbuhi berbagai pohon, antara lain durian, nangka, cempedak, rambutan, duku, jengkol dan kecapi. Begitu melihat kebun dengan pepohonan hijau, langsung aku jatuh cinta. Betapa nikmatnya jika nanti berbuah…

Lahan itu kami beli dari seorang Anggota DPR, jika tidak salah namanya Pak Abu Saeri, yang sedang dalam proses cerai, merupakan bagian harta gono-gini yang jatuh kepada isterinya, namanya Ibu Indah.

Begitu menjadi milik kami, sehari kemudian ada yang menelepon, mau membeli dengan harga 10 persen di atas harga yang sudah kami bayar. Penelepon ini adalah calon pembeli yang sebelumnya berminat sekali, tapi sudah keduluan deal dengan kami. Walaupun dibayar lebih, tidak akan kami lepas.



Di hari libur kami sering datang menengoknya dan membawa tanaman baru untuk ditanam di sana. Tanaman baru itu sebagian membeli di Ragunan, lainnya merupakan tanaman yang aku tanam dari biji.

Setiap menikmati buah yang enak, aku sisihkan bijinya untuk ditanam di polybag. Lama kelamaan banyak tanaman baru yang semula di kebon tidak ada. Belimbing, jeruk nipis, jeruk limau, jambu air, jambu bol, mangga manalagi, mangga Chokanan, kedondong, sukun, kluwih, dan mahkota dewa, adalah pepohonan baru yang aku tanam.

Aku juga mulai berkenalan dengan tetangga kiri kanan dan kadang menyempatkan diri main ke rumah mereka. Setelah mengetahui bahwa kami adalah pemilik kebon yang baru, eh, ada di antara mereka yang juga ingin menjual sebagian lahannya. Sedikit-demi sedikit lahan yang kami beli di tahun 1984 itu semakin luas, dan setelah semua disertifikatkan menjadi 5 sertifikat.

Pembelian terakhir dari seluruh lahan adalah ketika tetangga sebelah kiri meninggal dunia, dan salah seorang ahli waris yang mendapat bagian mepet persis di lahan kami namanya Pak Wisa, menawarkan kepada kami untuk membeli bagiannya. Dia bermaksud memperbesar usahanya dengan membeli tanah yang berlokasi di pinggir jalan. Lahan sudah bersertifikat seluas 1.000 meter persegi ini kami atas namakan Mas Dandy dan Adik Hesty.

Untuk merawat dan menunggu Kebon, Mas Djoko minta Pak Pram, kakak sepupunya yang juga adik sepupu Ibuku, untuk tinggal di sana. Kami buatkan rumah bambu yang lumayan bagus terdiri dari 2 kamar tidur, ruang tamu dan dapur. Dengan adanya rumah itu, kami sekeluarga dan adik-adik sering nginap di Kebon, terutama kalau Bapak rawuh dari Solo. Sering kami nyate atau membuat barbeque ala “Yakiniku-yakinikuan” di sana.

Jika menginap di sana bersama-sama keluarga besar, ibu-ibu dan anak-anak tidur di kamar, yaitu di tempat tidur atau menggelar tikar di lantai. Para bapak, tidur di kursi ruang tengah dan kursi beton di luar. Tak lupa aku minta tolong tetanggaku, Bu Enang, membuatkan makanan Ketan Kinca Duren untuk kami nikmati bersama. Seru… Enjoy…

Kadang aku mengajak teman, Dik Masayu atau Lia ikut menginap di sana. Mereka yang tidak biasa dengan kondisi Kebun, masih pada takut karena kalau malam di sekitar rumah masih gelap, walau sudah dipasang lampu. Masih banyak pepohonan besar.

Sampai suatu hari di tahun 2006, Pak Pram mengatakan ingin pulang ke Solo, dan tidak akan kembali ke Bekasi. Aku langsung khawatir, siapa yang akan mengurus kebon yang luas ini? Di antara suami dan anak-anakku, sepertinya hanya aku yang mencintai lahan ini, dan secara rutin berusaha untuk menengoknya. Kadang hanya bersama driver, kadang aku mengajak teman atau saudara main ke Kebon.

Bagaimanapun lahan ini harus tetap bersih agar aku tetap senang datang mengunjunginya. Aku mulai nyicil sedikit demi sedikit membeli peralatan, seperti gergaji listrik dan mesin potong rumput untuk memudahkan merapikan lahan dengan meminta jasa tukang.

Di pertengahan tahun 2008 suatu hari aku mengajak seorang teman main ke Kebon. Melihat lahan yang luas itu temanku menyarankan untuk menjadikannya Sekolah Alam seperti yang ada di Ciganjur.

Nah, tertarik dengan ide itu, segera saja aku browsing di internet, seperti apa Sekolah Alam itu. Lain waktu aku minta diantarkan untuk survei ke beberapa Sekolah Alam yang sudah eksis seperti Sekolah Alam Ciganjur, Sekolah Citra Alam dan Sekolah Alam Cikeas.

Akhirnya aku mantap dengan pilihanku dan berusaha bertemu dengan Bang Lendo Novo, sang Penggagas Sekolah Alam. Bang Lendo adalah seorang Insinyur lulusan ITB Perminyakan yang sangat perhatian pada dunia pendidikan, yang menurutnya sangat perlu diperbaiki. Dia mengembangkan sekolahnya sendiri, yaitu School of Universe (SOU) di Parung, Bogor yang menjadi contoh untuk model Sekolah Alam.

Di suatu pagi yang cerah, aku bersama temanku itu sedang menunggu Bang Lendo yang telah berjanji untuk datang melihat lokasi. Bang Lendo tiba bersama seorang anggota timnya dengan mobil Toyota Kijang warna putih.

 

Anggota tim tersebut, kelak aku kenal sebagai Pak Hendi, Pakar BBA (Belajar Bersama Alam—sebutan untuk strategi pembelajaran khas sekolah alam). Peristiwa ini terjadi di sekitar bulan September tahun 2008.


Ngobrol sebentar dengan kami, kemudian Bang Lendo keluar menuju jalan raya di depan Kebon. Agak lama, kemudian beliau kembali.

"Pertanyaan Bu Weni, bisa saya jawab sekarang. Tidak masalah dengan banyaknya sekolah di sekitar sini. Yang akan menjadi pesaing sekolah kita nanti bukan sekolah-sekolah di sekitar. Pesaingnya adalah sekolah yang ada di ujung jalan sana."

"Sekolah Internasional itu, Bang?" tanyaku.

Bang Lendo mengangguk.

Itulah titik awal aku membuat keputusan untuk mendirikan Sekolah Alam Bekasi, yang biasa disingkat SAsi.

 

2. SAsi mulai beraktivitas

Setelah yakin dengan keputusanku mendirikan sekolah, aku mulai membuat Akta Pendirian Yayasan sebagai payung hukumnya, yaitu Yayasan Cinta Alam. Mengapa namanya demikian? Menurutku, kecintaan kepada alam akan membuat anak-anak ketika dewasa dan mempunyai kesempatan mengelola negerinya, akan memperhatikan kelestarian alam. Banyak orang yang mengetahui kekayaan alam Indonesia, tetapi yang dengan sadar mencintai, merawat dan memeliharanya, tidak banyak. Selama ini dalam mengelola Alam Indonesia, hampir selalu dikalahkan oleh kepentingan-kepentingan sesaat.

Di dalam Yayasan Cinta Alam, Mas Suami sebagai Ketua Pembina, bersama Anak-anak dan Menantu sebagai Anggota Pembina. Aku sebagai Ketua Pengurus, Sekretaris Mas Sukatno, staf kantor Notaris dan Bendahara Mas Satoto Biratmoko, keponakannya Mas Suami. Sebagai Pengawas, Dik Nuk Sri Muryati, juga adik sepupu Mas Suami. Begitu yayasan berdiri, yang aku kerjakan adalah segera mengurus legalitas Izin Sekolah TK dan SD ke pihak yang berwenang, yaitu Diknas Kota Bekasi.




Mendirikan sekolah, menurutku, merupakan suatu langkah besar yang aku harapkan dapat membawa kebaikan bagi masyarakat. Aku ingin memulainya dengan memohon RidhaNya. Untuk itu aku berangkat umroh ke Tanah Suci untuk berdoa di sana. Di sinipun aku bisa berdoa, tetapi aku rasa akan lebih khusyuk berdoa di tempat di mana doa Insya Allah dikabulkan, karena energi spiritual di sekitar Kabah sangat tinggi.

Dan aku sempat kaget, sepulang dari umroh, teman yang rencananya menjadi partner ku di Sekolah Alam Bekasi ternyata mengundurkan diri, membatalkan rencananya. Aku berkesimpulan bahwa itu kehendakNya. Allah berkehendak agar aku fight, berjuang sendiri untuk mewujudkannya.

Bang Lendo tidak menjual franchise untuk nama Sekolah Alam. Dia sudah bersyukur dan Bahagia, jika ide sekolah alam menular hingga masyarakat mengenal dan mengikutinya.

Ada Nota Kesepahaman yang aku buat dengan Bang Lendo selaku Pimpinan School of Universe (SOU). Pada prinsipnya Pihak SAsi menunjuk Tim Konsultan dari SOU dan berhak menggunakan lambang Sekolah Alam yang berbentuk bulatan bergambar tangan mencengkeram berwarna biru itu.

Tim Konsultan akan memberi bimbingan, dari mulai Penerimaan Siswa, Pengadaan Guru, Administrasi Sekolah, Kurikulum hingga Methode Pembelajaran.

Siapakah anggota Tim Konsultan SAsi itu? Untuk urusan administrasi, aku berhubungan dengan Pak Ferous. Untuk Belajar Bersama Alam, Pak Suhendi. Untuk Bahasa Ibu dan rekruitment guru, Bu Septriana Murdiani. Sedangkan Pak Cahya menangani Out Bond dan Leadership.

Apa sebenarnya yang berbeda antara Sekolah Alam dengan Sekolah Umum? Konsep Sekolah alam menggunakan pendekatan alam dan kehidupan nyata dengan beragam aktivitas/kegiatan untuk memperkaya pengalaman belajar siswa. Metode belajar berdasarkan Kasih Sayang, Keteladanan dan Pengalaman. Kurikulumnya mengintegrasikan Akhlak, Logika Ilmiah, Kepemimpinan dan Bisnis.

Sekolah Alam juga merupakan sekolah ramah anak, yang memberi tempat bagi anak-anak berkebutuhan khusus (special need). Sekolah Alam bukan sekolah agama, tetapi melaksanakan apa yang diperintahkan agama. Ini bukan sekedar slogan saja, mungkin tidak banyak sekolah yang melaksanakan Shalat Dhuha setiap hari seperti di SAsi.

Guru atau biasa disebut Fasilitator Sekolah Alam, diambil dari Fresh Graduate dan diberikan training khusus mengenai pendidikan dengan konsep sekolah alam. Mereka mengikuti Talents Mapping, yaitu tes yang dapat digunakan untuk mengetahui bakat apa yang dimiliki seseorang, atau biasa disebut Tes Temu Bakat.

Hasil tes untuk seorang Guru TK yang kami terima, paling tidak harus memiliki: Empathy, Developer, Learner, Relator, Woo (Winning others over) dan Responsibility. Sedangkan untuk guru SD: Intelection, Developer, Learner, Relator, Woo, dan Responsibility.

Sekolah Alam tidak menerima Guru yang sudah mengajar di Sekolah Umum, karena biasanya mereka sudah mempunyai pakem sendiri tentang konsep belajar dan pendidikan. Ketika diperkenalkan dengan konsep sekolah alam yang "berbeda" dengan apa yang telah dipahaminya, belum tentu dia dapat menerimanya.  

Untuk bisa menerima sepenuhnya, perlu waktu lebih lama dibandingkan  dengan guru yang belum pernah mengajar di sekolah umum. Guru-guru Sekolah Alam juga harus mempunyai kemampuan mengenali potensi siswa-siswinya, yaitu dengan mengamati kemampuan siswa dari hari ke hari, berpedoman pada 4 E, yaitu Enjoy, Easy, Exellent, Earn.

Jika seorang siswa melakukan suatu aktivitas dengan senang hati dan dengan mudah, tetapi hasilnya istimewa hingga mendapatkan apresiasi, maka aktivitas itu akan diasah terus. Sekolah akan berusaha untuk dapat meningkatkan kemampuan siswa tersebut hingga berhasil. Pekerjaan yang dilakukan dengan senang hati, biasanya akan sukses dan membahagiakan kehidupannya kelak.

Bagi orang tua yang belum memahami apa dan bagaimana konsep sekolah alam, bisa mencoba untuk mengikutsertakan putra-putrinya dalam program “Sit In”. Jika sudah melihat sendiri bagaimana para guru beraktivitas dalam membimbing siswanya di sekolah, dari sejak siswa masuk pintu gerbang hingga mereka pulang, pasti akan melihat perbedaannya dengan apa yang dirasakan di sekolah-sekolah umum.

Terbukti dengan berjalannya waktu, sekolah alam telah menjadi kebutuhan masyarakat. Saat ini, Sekolah Alam Bekasi menjadi Sekolah yang diperhitungkan di wilayah ini. Alhamdulillah...

Bang Lendo mengatakan, untuk memulai mendirikan Sekolah Alam, aku hanya perlu membuat 2 Saung Kelas, yaitu untuk kelas TK A dan Kelas SD1. Kelas Play Grup (PG) bisa menggunakan sebagian dari bangunan yang sudah ada.



Bangunan yang sudah ada itu, dulunya kamar Pak Pram dan garasi untuk 2 mobil angkot dan 1 taksi Kosti. Kendaraan-kendaraan itu dulu aku serahkan kepada beliau untuk dikelola dan hasilnya digunakan memelihara Kebon. 

Bangunan itu cukup luas untuk kelas PG dan ruang guru. Saat itu, semua serba sederhana. Biaya membuat 2 Saung Bambu, menata lahan dengan menanami pohon-pohon, mempersiapkan Green Lab dan untuk biaya Open House, aku menyediakan dana Rp140 juta.

Sebelum dilaksanakan acara Open House, aku agak kepikiran. Aku ingat obrolanku dengan Pak Pram sebelum beliau pulang ke Solo.

"Nur, aku arep ngomong sitik."  Pak Pram memanggilku saat aku berada di  Kebon.

"Sakdurunge, aku ora tau crito. Kebon iki akeh makhluk halus sing ngancani aku."

"Hah?" aku sangat kaget.

"Serius Pakde?" Begitu aku biasa memanggil Pak Pram, membahasakan untuk anak-anakku.

Kata Pak Pram, yang sering dilihatnya adalah makhluk berbaju putih, melayang di antara pohon nangka dekat kursi beton ke pohon cempedak dan sekitar pohon-pohon itu.

Berbaju putih, Sundel Bolong kah?

Pak Pram sudah biasa, jadi nggak takut lagi. Sejak mendengar cerita itu, aku ke Kebon selalu di siang hari.

Aku mulai mencari jalan, bagaimana agar tidak terjadi sesuatu dengan siswa jika nanti sekolah sudah berjalan. Aku sering mambaca berita, siswa-siswa di suatu sekolah “kesurupan”, sangat khawatir jika peristiwa itu terjadi.

Ternyata tak jauh dari rumah ku di Duren Tiga Buntu, di daerah Kalibata belakang apartemen terdapat suatu Majelis Taklim yang anggotanya mempunyai kemampuan berinteraksi dengan makhluk halus, namanya Pak Nafis. Aku berkonsultasi dan minta jasanya.

Apa yang akan dilakukannya? Kata Pak Nafis, para makhluk halus itu akan dikumpulkan dan ditempatkan di pojok-pojok Kebun. Di empat pojok penjuru angin itu digali kemudian ditanam barang-barang tertentu, antara lain bambu, dan minyak wangi. Dia berpesan, agar nanti anak-anak jangan main di dekat pojok yang sudah ditanami barang-barang itu. Aku percaya kemampuannya, dan menjadi tenang.

Acara Open House berjalan sukses. Kami mengundang Sekolah Alam-Sekolah Alam di sekitar Bekasi, sekolah-sekolah umum dan masyarakat sekitar. Kami juga menyediakan beberapa permainan untuk anak-anak yang menarik seperti out bound dengan gratis.

Pembicara di acara Open House itu, selain Bang Lendo, juga artis Dick Doang. Teman, Sahabat, dan Keluarga Besarku aku undang. Saat itu, cucuku Lila masih bayi, ikut bundanya memeriahkan acara Open House. Cucu lainnya, Aisha ke mana ya, kok nggak ikutan?



Sebelum aku mendirikan Sekolah Alam Bekasi, sudah ada 2 Sekolah Alam di wilayah dekat kami, yaitu Sekolah Alam Cikeas (SAC) dan Sekolah Alam Bambu Item (SABIT). Saat Open House itu, banyak pimpinan Sekolah Alam hadir. Hadir juga Sekolah Alam yang baru berdiri seperti Sekolah Alam Bintaro (SABIN).

Kehadiran mereka menjadikan aku bersemangat untuk saling bertanya dan berbagi informasi dengan para pimpinan Sekolah Alam lain. Mereka itu menjadi teman curhatku ketika menghadapi suatu masalah.

Untuk pertama kalinya di tahun ajaran Juli 2009, sekolah dimulai dengan kelas Play Grup, kelas TK A, dan kelas SD1. Kami mempunyai 17 siswa dengan 3 guru. Bu Aliyah, Bu Binti Masruroh dan Bu Ade Kurniati. Itulah cikal bakal Sekolah Alam Bekasi.




Di awal atau dimulainya SAsi, semua keputusan ada di Ketua Pengurus. Apa boleh buat, urusan kantor Notaris menjadi nomor dua, padahal dalam hal dana untuk sekolah aku peroleh dari bekerja sebagai Notaris.

Ketika sekolah sudah berjalan, aku tidak banyak melakukan monitor dan pengawasan dalam hal pembelajaran. Itu ranahnya Tim Konsultan. Yang aku lakukan adalah mengamati proses dari hari ke hari yang dijalankan oleh Tim Konsultan maupun para guru. Dalam seminggu, sekitar 3 kali aku ke SAsi. Selain itu, selalu berkomunikasi dengan mereka via telpon. Aku sangat terbantu dengan masuknya Mbak Ida Rosidah sebagai Wakil Bendahara, karena Bendahara Mas Toto Biratmoko tidak stand by di sekolah.

Pada setiap awal tahun ajaran, aku dan Tim Managemen berusaha keras menjaring siswa dengan cara beriklan memasang spanduk Penerimaan Siswa Baru. Spanduk-spanduk itu sudah susah-susah kami pasang, tetapi tak lama kemudian sudah diturunkan orang. Siapa yang menurunkan ya? Sekolah kompetitorkah? Atau diturunkan oleh Petugas Kecamatan, karena kami memang tidak membayar pajak? Dari pada mubazir, akhirnya kami membayar biaya resmi ke kecamatan, dan memasang spanduk Penerimaan Siswa Baru di lokasi atau titik-titik yang diperkirakan akan diperhatikan orang.

Yang menjadikan aku berdebar-debar jantungan dan kadang sakit perut adalah belum tersedianya guru yang akan mengajar, padahal tahun ajaran baru sudah di depan mata. Ibu Septriana Murdiani, Konsultan kami yang merekrut guru mengatakan, bahwa dari 50 orang pelamar, barangkali hanya 1 orang yang lolos.

Mengapa begitu sulit? Iya, sulit. Karena Sekolah Alam memiliki standar yang berbeda dalam hal perekrutan guru. Guru akan menjadi teladan bagi siswa-siswinya, semestinya berakhlak bagus dan bersikap ngayomi. Bu Septri menjanjikan guru yang sesuai standar, yang nantinya tidak mengecewakan aku. Dan memang terbukti, hasil rekruitmen dari Bu Septri benar-benar oke.

Pengelolaan SAsi antara tahun 2009 - 2013 sangat banyak menyita waktu dan perhatianku. Setelah itu, ketika Tim Managemen Sekolah telah aktif bekerja dan berjalan dengan baik, aku hanya perlu menyediakan dana untuk membangun Saung Kelas baru, memperluas kantor serta membeli berbagai peralatan penunjang. Sedangkan biaya operasional sekolah, sebagian besar sudah bisa menggunakan dana yang diterima sekolah, yaitu uang sekolah dan uang pendaftaran. Namun dana yang harus aku sediakan itu bukan jumlah yang sedikit, sangat berat mengadakannya.

Rasanya tak mungkin terus menerus harus memikirkan mengadakan dana. Aku mulai berusaha menjual properti yang aku hasilkan selama bekerja sebagai Notaris di Cikampek. Ada 3 kavling bersertifikat di Perumahan Rawa Mas Indah Cikampek yang aku tawarkan, dan akhirnya dibeli oleh Mas Kamto, suami dari Mbak Wiwien, staf kantor Notaris, dengan harga NJOP (Nilai Jual Obyek Pajak) yang jauh lebih rendah dari harga sebenarnya.

Selain 3 kavling itu, aku masih punya sebidang tanah di pinggir jalan, dekat Kecamatan Purwasari yang dulu aku atas namakan Mas Dul Alimin, staf kantor Notaris ketika aku bekerja di Cikampek. Ini pun ternyata segera laku dibeli oleh seorang karyawan BNI Karawang.

Dari dana itu, keinginanku untuk membangun sebuah bangunan berlantai dua, dimana lantai atas bisa digunakan sebagai Masjid merangkap tempat pertemuan, lantai bawahnya untuk ruang perpustakaan, ruang komputer dan gudang tempat peralatan seperti tenda, kursi dan sebagainya, akhirnya bisa terwujud.

Masih ada satu lagi mimpiku, mengubah kantor yang kecil itu menjadi bangunan bertingkat yang mempunyai banyak ruangan. Dan mimpi inipun Allah kabulkan. Rasanya segala sesuatu dimudahkan dan dilancarkan. 

Saat SAsi mulai berkembang, Bu Aliyah yang semula adalah Kepala Sekolah SD, menempati jabatan sebagai Direktur Sekolah. Guru-guru yang memiliki kualitas menonjol, masuk ke jajaran managemen. SAsi selalu memberi kesempatan training, baik tenaga manajemen maupun untuk guru-guru baru.





Tim manajemen yang kuat akan mempermudah pengelolaan sekolah. Mereka yang menurut feeling-ku memiliki potensi untuk menduduki kursi pimpinan kelak kemudian hari, adalah Pak Hendrik Khomarudin, Bu Sayu Jauhari, Bu Niken, Pak Aziz Turindra, Bu Asti dan Bu Ratna. Namun ternyata apa yang aku rencanakan tidak selalu tepat. Ada yang menikah, kemudian resign. Ada juga yang tetap bertahan di SAsi, hingga perkembangan baru menentukan karier mereka.

Untuk memastikan sekolah terjamin mutunya sesuai standar Pemerintah, maka Diknas Bekasi melaksanakan akreditasi setiap 5 tahun sekali. Kami dengan serius mempersiapkannya. Akreditasi pertama untuk TK, yaitu di tahun 2013 ketika Kepala Sekolahnya Bu Niken, memperoleh nilai A. Kemudian di tahun 2016, dilaksanakan Akreditasi SD, ketika Kepala Sekolahnya Bu Laili, mendapat nilai B. Dengan jumlah siswa minimal 20 dan dalam akreditasi memperoleh nilai B, maka SAsi bisa menyelenggarakan Ujian SD sendiri. Akreditasi selanjutnya, Alhamdulillah selalu memperoleh nilai A.

Salah satu kegiatan yang ditunggu-tunggu, baik oleh siswa maupun orang tua adalah Science Fair, yaitu acara puncak yang memamerkan hasil penelitian atau eksperimen siswa di bidang science. Selama 3 bulan sebelumnya, siswa melakukan eksperimen dengan dibimbing guru dan tentu saja orang tua ikut berperan.

Kegiatan lain yang juga sangat bagus adalah Festival Literasi, event yang memamerkan hasil tulisan siswa berupa buku. Kepanitiaan Festival Literasi ketika itu bekerja sama dengan Komite Sekolah, menghadirkan seorang public figur yang sedang top, Andrea Hirata yang sukses dengan buku dan filmnya Laskar Pelangi

Di akhir tahun pelajaran, SAsi menyelenggarakan Pesta Graduation dengan mengangkat tema inspiratif dan dikemas menjadi hiburan menarik.


3. Proses melepaskan SAsi

Di tahun 2014, saat usiaku menginjak 61 tahun, Mas Suami memintaku untuk tidak terlalu sibuk. Dia ingin aku menemani di masa pensiunnya. Hal itu masih belum bisa aku sanggupi. Bagaimana harus meninggalkan urusan SAsi begitu saja, sedangkan saat itu sekolah masih dalam perkembangan yang memerlukan kehadiranku.

Masalah ini sempat dibahas bersama keluarga, yaitu anak-anak dan para menantu pada saat Hari Lebaran, bahkan di dua kali lebaran berturut-turut. Aku mencoba mencari jalan keluar. Aku juga ingin membalas kebaikan Mas Suami yang selama ini selalu mengizinkan dan menyetujui apa saja yang aku inginkan. Aku ingin tetap bekerja di kantor, diizinkan. Aku ingin melanjutkan kuliah, boleh. Dan terakhir ingin punya sekolah, disetujui. Para suami lain diluar sana, belum tentu sebaik beliau. 

Pada suatu kesempatan menghadiri pertemuan para Owner dan Pegiat Sekolah Alam di SOU Paung Bogor, aku melihat dan sempat ngobrol dengan seorang gadis muda yang cerdas, berpendidikan luar negeri lulusan Australia, yang bekerja sebagai staf ahli membantu Bang Lendo dalam penyusunan Kurikulum Sekolah Alam. Kami di lingkungan sekolah alam memanggilnya Miss Ayu.

Dari ngobrol dengannya terpikir olehku, bahwa dia adalah calon yang menurutku layak untuk aku ajak bekerja sama mengelola SAsi ke depan. Aku perkenalkan dia kepada Mas Suami dalam suatu pertemuan sore hari, di sebuah restoran di Pejaten Village.

Saat itu, Bu Aliyah mengundurkan diri sebagai direktur, karena ingin meneruskan kuliah S2-nya. Aku menyampaikan rencana kerja sama itu kepada Miss Ayu. Untuk mengenal medan, aku mencoba terlebih dahulu mengangkatnya sebagai Direktur SAsi selama 3 bulan.

Di perjalanan waktu, ternyata terjadi suatu peristiwa yang tidak terpikirkan olehku sebelumnya. Aku kaget sekali, ketika pada suatu malam, para guru yang jumlahnya lebih dari 10 orang datang ke rumah, menyampaikan keberatan terhadap kepemimpinannya. Beberapa guru menyatakan memilih untuk mengundurkan diri. Wah… bagaimana ini?

Suasana sekolah menjadi terbelah antara yang pro dan kontra, membuatku sangat tidak nyaman. Aku sampai nggak berani datang ke Sekolah hingga beberapa lama. Miss Ayu sebagai direktur lulusan luar negeri, membawa ilmunya untuk diterapkan di sekolah, dan menurutku para guru belum siap untuk mengikuti perubahan mendadak.

Aku sendiri melihat, seperti ada perang dingin antara direktur dan managemen dengan para guru. Itulah masa paling berat yang aku hadapi selama mengelola SAsi. 

Ketika masa jabatan direktur hampir berakhir, dengan segala ketidakenakan hati, aku putuskan untuk tidak memperpanjang dan membatalkan rencana kerja sama pengelolaan SAsi kepadanya. Untunglah, aku belum membuat rencana-rencana yang lebih kongkret dalam kerja sama yang akan kami buat itu.

Kembali aku memutar otak, mencari figur lain yang akan aku serahi sekolah sesuai dengan kriteria yang aku tetapkan. Suatu ketika terpikir figur Prof. Rhenald Kasali owner Rumah Perubahan, tetangga SAsi.

Siapa Prof. Rhenald Kasali bisa kita lihat di Google dan apa itu Rumah Perubahan. Mbak Aliyah orang terdekatku di SAsi pernah mengikuti sebuah training yang diselenggarakan di sana. Aku minta diantar ke sana untuk melihat dari dekat seperti apa Rumah Perubahan itu.

Ternyata Rumah Perubahan itu adalah tempat training yang disewakan, lengkap dengan penginapannya. Lahannya luas sekali.  Seperti dulu SAsi, tetangga-tetangga menawarkan tanahnya untuk dibeli Prof. Rhenald Kasali. Aku meminta nomor kontaknya. Nomor kontak itu adalah nomor sekretaris dari Ibu Rhenald Kasali, yang mengelola Rumah Perubahan. Dari obrolan lewat telepon, terungkap bahwa di sana ada sekolah, yang saat itu hanya ada TK saja. 

Ketika aku meminta untuk membuat janji dengan beliau, sekretaris itu menanyakan apa yang menjadi maksud pertemuan nanti. Aku tidak mungkin mengatakan hal yang sebenarnya, aku mengatakan hanya bersilaturahmi. Ternyata beliau tidak berkenan untuk menerimaku, atau sang sekretaris yang tidak menyampaikannya. Yah sudahlah...

Di lain kesempatan, aku bertemu dengan orang tua siswa SAsi yang aku cukup dekat, dan sering ngobrol dengannya, Pak Agus Suhendar, Ayah dari Maulana. Aku memang dari dulu dekat dengan beberapa orang tua siswa, terutama orang tua “siswa perintis”.

Sepintas aku menceritakan permasalahanku, ingin mencari pengelola sekolah yang bersedia diajak bekerja sama, tentu saja yang sesuai dengan kriteria sekolah alam. Ayah Maulana serius. Tak berapa lama ia mempertemukan aku dengan utusan dari Sekolah Lazuardi, sebuah sekolah Islam terkenal yang memiliki banyak cabang. Aku menerima Ayah Maulana dan utusan itu di rumah Duren Tiga Buntu.

Dalam pertemuan itu pada prinsipnya mereka memang berminat dan berencana untuk tiga hal. Pertama, menjadikan SAsi sebagai “Sekolah Alam Lazuardi”. Kedua, dalam 10 tahun memindahkan Sekolah Alam Lazuardi ke lahan sendiri. Dan ketiga, mengganti seluruh biaya yang telah aku keluarkan selama ini, sesuai perhitungan due diligence yang akan dilakukannya.

Aku minta waktu untuk berpikir akan menyampaikan kepada keluarga, walaupun sebenarnya aku sudah cocok dengan apa yang telah kami bicarakan itu. Ketika hal ini aku sampaikan ke anakku Mas Dandy, apa komentarnya?

"Mama lihat di Google dulu deh.”

“Apakah Mama nanti tidak mendapat komplain dari para orang tua siswa, owner Sekolah Lazuardi itu dikenal sebagai penganut paham Syiah."

"Oh begitu..."

Benar, aku browsing di internet dan menemukan nama seorang tokoh yang sebenarnya mempunyai kredibilitas tinggi, pemikir dan pegiat pendidikan. Tentu aku berpikir jauh ke depan sebelum memutuskan sesuatu. Jangan sampai terjadi gejolak sebagaimana yang terjadi waktu itu, yang bahkan bukan hanya dari para guru, terlebih dari para orang tua siswa. Setelah mempertimbangkan berbagai hal, aku batalkan kerja sama dengan Sekolah Lazuardi. Kembali aku mencari-cari lagi kemungkinan yang lain. Aku minta Mas Suami bersabar dulu.

Liburan anak sekolah merupakan kesempatan untuk memberi tambahan ilmu dan keterampilan kepada tim managemen dan para guru Sekolah Alam. Ketika itu topiknya mengenai Tata Kelola Keuangan Sekolah. Pematerinya dari pimpinan Sekolah Alam Bogor, namanya Pak Agus Gusnul Yakin. 

Aku tertarik ingin lebih jauh mengenalnya, dan minta Bu Aliyah membuatkan janji untuk berkunjung ke Sekolah Alam Bogor. Itulah pertama kalinya kami dari Pengurus Yayasan Cinta Alam bertandang ke sana.

Sekolahnya telah mapan, karena dimulai 6 tahun lebih awal ketimbang SAsi. Ada TK, SD dan SMP. Saat kami main ke sana, Sekolah Alam Bogor baru merencanakan SMX yaitu Sekolah Menengah setingkat SMA.

Jika Sekolah Alam Bekasi dikenal sebagai SAsi, Sekolah Alam Bogor punya sebutan SALAM Bogor. Lokasi masing-masing sekolah tidak satu hamparan tapi berdekatan. Pak Agus dan partnernya Pak Husnan, selaku pimpinan SALAM Bogor benar-benar menjiwai dan menghayati dunia pendidikan, sehingga sangat membumi. 

Mereka berdua sejak muda berkecimpung di dunia pendidikan dengan melaksanakan gagasan Bang Lendo. Bukan hanya bergiat di sekolah, masyarakat di sekitar pun diberdayakan dengan berbagai kegiatan yang pada ujungnya adalah menuju cita-cita Sekolah Alam.

SALAM Bogor terkenal dengan berbagai kegiatan antara lain Bank Sampah.  Selain Bank Sampah, ada SALAM Rancage, yaitu wadah kegiatan ibu-ibu di sekitar sekolah yang membuat barang-barang yang berasal dari kertas koran bekas, yang sudah “Go Internasional”.

Selanjutnya menginisiasi SALAM Aid, semacam institusi pengelola bantuan untuk bencana alam dan lain-lain, khusus lingkungan Sekolah Alam.

Barangkali memang sudah saatnya, mengingat jumlah Sekolah Alam di Indonesia semakin banyak, tersebar di hampir semua kota di semua provinsi di Indonesia. Kadang mereka tidak menyebut dirinya Sekolah Alam, tapi menggunakan semua metode pembelajaran yang ada di Sekolah Alam. Mereka berada dalam satu ikatan, masuk dalam Jaringan Sekolah Alam Nusantara (JSAN).

Dari ngobrol-ngobrol santai di Bogor, kemudian aku memberanikan diri untuk menelepon beliau, menawarkan suatu kerja sama. Rupanya beliau juga tertarik, dan akan membicarakan dengan partnernya, yaitu Pak Husnan.



Tak berapa lama kami bertiga bersama-sama membicarakan rencana kerja sama ini lebih detail. Mengingat pengalaman yang lalu, aku minta agar tidak menyampaikan rencana ini kepada siapapun termasuk ke lingkungan SAsi, sebelum benar-benar terealisasi. Kemudian Pak Agus dan Pak Husnan aku perkenalkan dengan Mas Suami dalam suatu pertemuan makan malam bersama.

Aku mulai menyusun Draft Perjanjian Kerja Sama. Sebelum draft disampaikan ke Pak Agus dan Pak Husnan, isi perjanjian itu sudah aku bicarakan dengan Mas Suami dan anak-anakku.

Pak Agus dan Pak Husnan setuju dan akhirnya pada tanggal 19 Desember 2015 kami duduk bersama menandatangani Akta Perjanjian Kerja Sama di hadapan Notaris Zulfikar, SH, MH di kantorku Duren Tiga Buntu.

Duh, betapa leganya hatiku setelah begitu lama berharap menemukan pihak yang akan aku serahi tanggung jawab melanjutkan keberadaan Sekolah Alam Bekasi. Allah SWT telah berkenan mengabulkan doa dan harapanku…












Tidak ada komentar:

Posting Komentar