Kamis, 13 Oktober 2022

BAB III. KEHIDUPANKU DI JAKARTA


1. Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian

Ternyata tidak mudah mencari pekerjaan dengan ijasah SMA. Itu aku alami sendiri. Setelah keluar dari fakultas teknik, otomatis aku tidak punya kegiatan. Bapak memang tidak marah, tetapi selain membuat suasana jadi membosankan, aku pun merasa tidak enak dengan Bapak.

Aku berusaha melamar ke berbagai kantor atau pabrik di Solo. Sebagai  tenaga administrasi pun tak apalah, yang penting aku bisa mengisi waktu dengan bekerja, syukur-syukur mendapat penghasilan sendiri.

Sering aku diantar Bapak untuk melamar pekerjaan. Aku dibonceng naik motor tuanya Dampf-Kraft-Wagen atau DKW buatan Jerman warna hijau. Tetapi, sayang, belum ada hasil.

Sekitar setahun aku di rumah saja. Pekerjaan rumah tangga yang ada aku jalani. Kondisi ini membuatku prihatin, karena ingin sekali bisa bekerja.

Untuk menguatkan batinku, aku berpuasa Senin-Kamis, dan memohon kepada Gusti Allah agar diberikan kemudahan dalam kehidupanku kelak.

Alhamdulillah, suatu ketika putrinya teman Bapak, namanya Mbak Yuli menawarkan suatu pekerjaan di Jakarta. Saking senangnya, aku terima tawaran itu tanpa banyak bertanya jenis pekerjaan apa yang akan diberikan untukku. Pikirku, yang penting aku tidak menganggur.

Bapak mengantarku ke Jakarta naik bus. Itulah pertama kali aku menjejakkan kaki di Jakarta, yang pada akhirnya mengubah jalan hidupku.

Bapak menitipkan aku di keluarga Pak Suharyo atas bantuan Bu Trisni. Pak Suharyo adalah Pensiunan Tentara yang tinggal di Kompek Perumahan di Jalan Abdul Rahman Saleh, Kwitang, Jakarta. Ibu Suharyo adalah kerabat dari Pak Sriyono, suami (kedua) dari Bu Trisni. Keluarga ini mempunyai anak angkat seorang putri yang masih kecil.

Aku tidak menyangka, bahwa pekerjaan yang ditawarkan Mbak Yuli itu ternyata menjadi penjual karcis pertunjukan yang berlangsung di malam hari di Ancol, namanya Hailai. Dan ternyata pertunjukan itu sebenarnya digunakan sebagai judi. Yah, tak apalah, sudah terlanjur, apa boleh buat. Aku anggap ini sebagai laku tirakat, bersusah-susah dahulu, berharap untuk bersenang-senang kemudian.

Aku biasa berangkat bekerja ke Ancol sekitar jam 5 sore, naik bus dari Terminal Lapangan Banteng rute Tanjung Priok. Pulangnya malam hari sekitar pukul 11, diantar kendaraan kantor berupa mini bus sampai di depan rumah.

Aku merasa prihatin menjalani pekerjaan ini, walau sebenarnya tidak ada sesuatu yang membahayakan. Di sana ketemu banyak teman baik yang juga berasal dari Jawa. Kesempatan bersosialisasi adalah saat perjalanan pulang kerja, di dalam bus kami bisa ngobrol dengan teman-teman sesama karyawan.

Aku selalu berdoa, memohon suatu ketika Allah SWT mengubah nasibku, memberi kesempatan bekerja di tempat kerja yang lebih baik. Shalat malam selalu aku kerjakan, bahkan sering tidur di pelataran rumah dengan menggelar tikar ditemani Mbak Yem, pembantu rumah tangga Ibu Suharyo. Semoga Yang Maha Kuasa menganugerahkan kebaikan untukku.

Jakarta merupakan kota besar dengan penduduk terpadat di Indonesia. Saat pertama kali menginjakkan kaki di kota Jakarta aku merasa heran, di pinggir jalan begitu banyak manusia. Aku kira mau ada karnaval lewat, rupanya Jakarta dari dulu memang sudah padat. Bus penuh sesak berjejal dengan manusia, bahkan hingga bergelantungan di pintunya. Ini merupakan pemandangaan sehari-hari.

Selama aku tinggal di Jakarta, beberapa kali aku main ke tempat kostnya Bu Harini, adik sepupu Ibu, tak lain putri dari adiknya Mbah Pronosasongko Kakung. Bu Harini belum berkeluarga, bekerja sebagai sekretaris di Kedutaan Besar Kamboja di Jakarta. Kostnya di daerah Jatinegara, di bagian belakang sebuah hotel sederhana.

Kalau aku main dan nginep di kostnya, malamnya sering diajak jajan makan kerang rebus yang dicocol saos tomat. Bu Harini sering membawa majalah berbahasa Inggris dari kedutaan, yang isinya mengenai kecantikan negeri Kamboja. Dari majalah itulah aku mengenal Angkor Wat, bangunan semacam candi yang ada di Kamboja. Tak disangka, dalam perjalanan waktu kelak ternyata sampai juga aku ke Angkor Wat.

Di kesempatan lain aku main ke rumah Pak Pono, saudara sepupu Ibu yang tinggal di Komplek Pomad Ciluar, Bogor. Aku familiar dengan keluarga Pak Pono, dengan putra-putrinya ketika mereka masih kecil-kecil. Putra kembarnya Yono dan Yudi, adalah putra Pak Pono dari isteri yang pertama, yang telah meninggal dunia.

Sedangkan putra Pak Pono dari isteri yang kedua adalah Tri, Yuni dan yang kecil aku lupa namanya. Di sana juga ada 2 orang adik Bu Pono yang tinggal bersama keluarga Pak Pono. Nama-nama mereka aku juga sudah lupa.

Saat itu kendaraan di Jakarta masih didominasi Opelet dengan jendela kayu, seperti yang ada di Sinetron Si Dul itu. Rute untuk Opelet itu dari Cililitan hanya sampai Cibinong. Untuk ke rumah Pak Pono, dari Terminal Cililitan aku lebih memilih naik bus jurusan Bogor turun di Kedung Halang. Dari pinggir jalan menuju Komplek Pomad Ciluar, aku berjalan kaki sekitar 15 menit.

Doa ku untuk mendapat pekerjaan yang lebih baik, Alhamdulillah, Allah kabulkan. Di tahun 1973 aku mendapat panggilan dari BKKBN, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. Aku mengajukan lamaran ke BKKBN atas bantuan Bu Tin, adik Ibu.

Salah seorang kepala bagian di sana, Ibu Hartini, adalah teman sekolah Bu Tin. Tanpa mengikuti tes, aku diterima sebagai pegawai honorer. Karena BKKBN merupakan instansi Pemerintah yang baru dibentuk, para pegawai yang ada hampir semuanya berasal dari Departemen Kesehatan.

Begitu formasi untuk pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dari BAKN (Badan Administrasi Kepegawaian Negara) turun, semua pegawai honorer diangkat menjadi PNS, termasuk aku. Syukur Alhamdulillah .....…

NIP atau Nomor Induk Pegawai aku adalah 380000026, artinya pegawai urutan ke-26 yang diangkat. Sebagai pegawai baru, aku ditempatkan sebagai resepsionis. Tak apa, sebagai lulusan SMA aku harus memulai dari bawah. Tapi tidak lama, kemudian aku ditarik di Sub Bagian Tata Usaha.

Aku resmi diangkat sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil di BKKBN dengan SK tertanggal 26 Desember 1974. Usiaku saat itu 21 tahun 11 bulan.

Sebagai pegawai baru yang tidak punya pengalaman bekerja di bidang administrasi, banyak hal yang harus aku pelajari. Aku belajar dari nol. Mulai dari bagaimana menempatkan cap BKKBN pada tanda tangan pimpinan, apa artinya huruf dan angka yang tertera pada nomor surat keluar, bagaimana menempatkan karbon menghadap ke arah mana ketika mengetik dan sebagainya. Semua aku jalani dengan enjoy dan gembira. Apa lagi bertemu dengan orang-orang baru yang juga masih seusiaku.

Pada suatu hari aku mendapat kiriman uang dari Ibu. Ibu bilang, telah mendapat rejeki yang jatuh dari langit. Apa maksudnya? Oh, ternyata memang benar jatuh dari langit-langit! Ketika Ibu sedang bersih-bersih rumah, tiba-tiba ada bungkusan karung jatuh dari plafon atap rumah. Setelah dibuka, ternyata uang kertas yang sudah hancur di bagian pinggirnya. Uang siapa ya? Barangkali itu uang hasil dari toko Bapak di Palur yang disimpan di plafon, beliau lupa .....… 

Ibu diam-diam menukarkan uang yang sudah hancur itu ke bank. Karena Ibu tahu bahwa aku masih ingin melanjutkan kuliah, dikirimkanlah uang itu kepadaku.

Segera saja aku mendaftarkan diri ke ASMI (Akademi Sekretaris dan Managemen Indonesia) yang kuliahnya sore hari dan hanya berlangsung selama 9 bulan, semacam kursus saja. Jadi, setiap pulang kerja dari BKKBN aku langsung berangkat kuliah ke kampus ASMI di Jl. Juanda, Jakarta Pusat.

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar