1. Rumah Sorogenen
Rumah pertama yang aku kenal sejak lahir adalah rumah Sorogenen. Rumah ini beralamat di Gang Bangunharjo, Kampung Gandekan, Kecamatan Jebres, Kota Surakarta. Karena sangat dekat dengan Jalan Sorogenen, maka aku menyebutnya Rumah Sorogenen. Rumah kami lumayan besar, terdapat 2 pohon mangga gadung di depan rumah, yaitu sebelah utara dan selatan. Kalau berbuah besar dan manis, menyenangkan.
Semula berbentuk rumah biasa, kemudian di tahun 70 an, Bapak mengubah menjadi bermodel jengki di bagian tengahnya. Aku ingat, tukang yang mengerjakan masih kerabat Bapak, namanya Pak Darmo yang tinggal di Matesih, dibantu seorang saudaranya. Saat rumah itu selesai direnovasi, aku merasa sangat bangga, punya rumah dengan model baru.
Di tahun-tahun selanjutnya Bapak mulai membagi rumah menjadi 5 sesuai jumlah anaknya, maksudnya rumah itu kelak untuk 5 orang anak. Mulai dari selatan untuk Mbak Sam, kemudian sebelah kirinya untuk aku, yang tengah untuk Dik Gun dan seterusnya. Ketika kami semua sudah berumah tangga dan tidak tinggal di rumah Sorogenen, Bapak menyewakan 2 petak bagian utara. Sisanya ditempati sendiri.
Pada akhirnya, ketika Bapak Ibu sudah tiada, 4 bagian untuk kami berempat dibayar atau diganti oleh Dik Pri. Yang satu bagian paling utara tetap menjadi milik Dik Sus, dan ketika dia meninggal dunia diwariskan untuk keluarganya.
2. Rumah
Komplek Pertambangan
Rumah keduaku adalah rumah dinas dari Kantor Mas Suami Departemen Pertambangan dan Energi. Lokasinya di Jalan Saguling No. 18, Duren Tiga, dulu masih termasuk dalam wilayah Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Setelah pemekaran, menjadi masuk Kecamatan Pancoran. Rumah ini aku sebut Rumah Komplek.
Pada saat menikah dengan aku, Mas Djoko sudah bertempat tinggal di sini. Jadi aku tinggal masuk saja. Aslinya berbentuk rumah dinas biasa berukuran 70-an di atas tanah seluas 225 m2. Rumah ini kami tempati selama 28 tahun, dari tahun 1975, hingga aku pindah ke Rumah Buntu di tahun 2003.
Sekitar tahun 80-81 rumah direnovasi dengan Arsitek Ir. Bambang Sudibyo, putranya Pak Sudiman, Pimpinan mas Djoko di kantor juga tetangga di Komplek. Aku memanggilnya Dik Bambang. Kami menambah 2 kamar dan carport di tanah yang masih kosong, di sebelah kiri rumah lama.
Semula di situ ada pohon Jambu Cincalo merah kemudian ditebang, dan bekas pohonnya sekitar tinggi 1,5 meter sempat diukir oleh Pak Pram menjadi patung. Itu adalah renovasi pertama.
Renovasi kedua dilakukan sekitar tahun 1994-1995, dibuat menjadi bertingkat. Saat itu semua anggota keluarga beraktivitas dari Cikampek. Adik Hesty waktu itu masih kelas 5 SD Pancoran 01, dan Mas Dandy kelas 1 SMA 3 Setia Budi. Sepulang sekolah Adik dijemput Mas Paino, dan pulang ke rumahnya Mas Paino dulu. Baru sorenya bersama-sama Papanya dan Mas Dandy pulang ke Cikampek.
Di Rumah Komplek ini, aku menanam anggrek yang ditempel di pohon Rambutan. Anggrek spesies asli Kalimantan yang rajin berbunga, dan bunganya panjang menjuntai. Belakangan baru aku ketahui identitas anggrek itu, yaitu Dendrobium Mantangai. Pohon rambutan di depan rumah itu jenis rapiah, yang selalu berbuah di musimnya. Saat buahnya sudah kuning memerah, pasti menjadi perhatian tetangga. Aku bagi tetangga kiri kanan rumah meskipun tak seberapa banyak.
Anak-anakku lahir dan besar di Rumah Komplek. Walaupun kami sudah pindah rumah, begitu pula banyak di antara teman-teman mereka yang juga sudah tidak berada di Komplek, mereka tetap berteman baik. Sesama alumni Kompek Pertambangan, mereka mempunyai WA grup. Saling memberi informasi tentang hal-hal yang terjadi di Komplek Pertambangan Duren Tiga.
Tetangga sebelah kanan kami adalah Ibu Pardi, yang punya usaha warung. Kami memanggilnya Bude Pardi. Bude punya 2 orang putra, Mbak Sih dan Mas Lanto. Beliau sangat baik kepada kami. Dandy kecil selalu diajak main ke rumah Bude Pardi oleh Yu Pi ketika didulang makan sambil bermain dengan ayam jagonya. Jika Mas Dandy atau Adik Hesty merayakan ulang tahun, Mbak Sih lah yang menjadi pembawa acaranya.
Di saat Bude Pardi sudah meninggal dunia, Pakde Pardi menikah lagi dan mengikuti isteri barunya ke Kota Purworejo. Sebelum berangkat, beliau datang ke kantorku, minta agar sertifikat rumahnya dipecah menjadi dua untuk kedua orang anaknya. Tak berapa lama sertifikat selesai dipecah, Pakde Pardi meninggal dunia.
Tetangga sebelah kiri adalah Ibu Sudarman, yang punya 3 orang putra. Yang terkecil adalah Kodrat Sedyotomo, teman sekelas Adik Hesty di TK Rigatrik Komplek PLN.
Tetangga depan rumah adalah Ibu Suyadi. Kami bersahabat, sering bercerita mengenai rumah tangga masing-masing dan saling menasehati. Jika pulang kantor sore tidak kuliah, aku biasa membuat kopi panas untuk diminum sendiri dibawa ke rumahnya sambil ngobrol. Anak bungsu Bu Yadi namanya Isti, juga teman sekelas Adik di TK Rigatrik.
Ada lagi 2 orang tetangga yang aku merasa dekat. Ibu Hadi, kepadanya aku sering minta dibuatkan masakan semacam katering, yaitu saat menjelang Lebaran di mana Yu Pi sudah pulang kampung. Masakan Bu Hadi sederhana tapi sedap. Kemudian ada Ibu Nasan, yang juga teman dekatku. Suaminya adalah pimpinan di kantor Mas Djoko. Bu Nasan yang punya banyak anak, membantu mencari tambahan penghasilan suaminya dengan berjualan gado-gado dan rempeyek di pinggir lapangan. Sungguh suatu perjuangan yang patut dihargai.
3. Rumah Cikampek
Rumah ketigaku adalah kantor merangkap rumah di Cikampek. Lokasinya di Jalan Ahmad Yani No. 9, termasuk dalam wilayah Kabupaten Karawang. Ketika baru ditempatkan sebagai Notaris di Cikampek, kantorku masih menyewa menempati rumah Ibu Haji Salamah. Setelah beberapa tahun menyewa, Mas Suami mampu membelikan tanah untuk kantor sekaligus tempat tinggal, yang lokasinya juga di Jalan Ahmad Yani, berseberangan agak ke arah barat dari kantorku yang lama.
Bangunannya terinspirasi dari bangunan Apotik Sukaseuri tempat praktek Dr. Neni dokter langgananku. Aku meminta jasa Arsitek yang membangun-nya, namanya Pak Fredy. Ternyata benar pilihanku, tidak mengecewakan.
Ruangan depan berbentuk L, yaitu ruang tamu kemudian berbelok ke samping ada 3 meja kerja para staf. Di belakang ruang tamu atau di depan ruang staf, adalah ruangan Notaris. Kemudian di belakang ada 3 kamar, bisa untuk kamar tidur karyawan.
Halaman depan cukup luas untuk parkir mobil, di samping rumah juga bisa untuk parkir 2 mobil. Halaman belakang yang luas, bisa untuk bermain badminton. Sinar matahari pagi dari arah timur jatuh pas ke pohon nangka di depan rumah, sehingga anggrek-anggrek yang aku tempel di sana berbunga cantik. Selain pohon nangka dan mangga yang sudah ada, aku juga menanam pohon-pohon buah, antara lain sawo, jambu air, mangga, jambu mete, yang semuanya sempat kami nikmati buahnya.
Kantor ini sempat menjadi rumah yang sesungguhnya, dengan penghuni penuh, yaitu ketika Rumah Komplek direnovasi. Penghuni tetap di Rumah Cikampek biasanya adalah aku dengan 3 orang staf yang menginap, yaitu Mbak Wiwien, Mas Sukatno dan Mas Dul Alimin.
Selama Rumah Komplek direnovasi, tambah penghuni dari Jakarta, yaitu Mas Suami, Mas Dandy, Adik Hesty, Mas Andy keponakanku serta seorang asisten rumah tangga. Wah, benar-benar ramai dan menyenangkan.
Makan malam bersama dilakukan setelah semua penghuni dari Jakarta datang, dengan lesehan menggelar tikar di teras samping. Rasanya nikmat sekali. Jika hari libur, kami ramai-ramai membeli kerang atau udang di pasar Cikampek untuk direbus, dinikmati dengan saos sambal.
Ketika aku tinggalkan karena sudah mendapat SK pindah ke Jakarta, selama 2 tahun rumah itu disewa oleh Ibu Haji Mimin. Aku tidak mau lagi memperpanjang masa sewa untuk tahun ketiga, setelah mendengar kejadian berikut.
Suatu hari klienku dari Cikampek Pak Ade Swara meneleponku, menanyakan apakah rumah di Jalan Ahmad Yani itu sudah dijual kepada pihak lain? Aku bilang, rumah itu sedang disewa Ibu Haji Mimin.
Sebenarnya Pak Ade Swara naksir kepengin beli, tapi mendengar cerita bahwa sudah dibeli Ibu Haji Mimin. Rupanya Bu Haji Mimin bercerita ke mana-mana, telah membeli rumah itu.
Mengapa begitu ya? Padahal dia tidak pernah menghubungiku atau menyatakan berminat beli. Apalagi sertifikat masih ada di tanganku. Apa maunya? Aku baru paham setelah mendengar berita, bahwa suami baru ibu Haji Mimin, seorang mantan jenderal sedang nyalon alias mencalonkan diri sebagai Bupati Karawang.
Nah, sejak itu Rumah Cikampek tidak laku, baik disewakan maupun dijual. Bahkan suatu ketika, sepulang dari Bandung, Mas Dandy mampir ke sana. Rumah itu sudah tinggal rangkanya saja. Pagar besi, pintu, jendela, sampai saklar listrikpun dicongkel orang, dan saat itu ditempati orang gila. Akhirnya aku menyempatkan diri ke Cikampek. Rumah dalam keadaan kotor dan gelap bagai rumah hantu. Halaman belakangnya seperti hutan, pohon-pohonnya sudah sangat tinggi.
Kata orang-orang, nggak laku dijual karena ada yang membuang tanah kuburan ke situ....... Benarkah? Entah benar entah enggak, aku mencoba minta tolong kepada orang yang tahu ilmunya untuk membersihkan jika memang ada sesuatu yang tidak wajar.
Kemudian aku minta pendapat Mas Dandy, bagaimana kalau dirobohkan saja dengan material yang masih ada sebagai ongkos bongkarnya. Jadi kita tidak perlu membayar biaya untuk membongkar. Begitulah akhirnya, di lokasi itu tinggal tanah kosong saja, dan tanahnya pun terkena pelebaran jalan, sehingga luasnya berkurang 35 m2.
Ketika aku sudah beberapa tahun berpraktek di Jakarta, tiba-tiba ada tamu utusan Bank Mega datang ke kantor berminat membeli Tanah Cikampek. Beberapa saat kemudian telah berdiri megah sebuah gedung berwarna kuning, yaitu Kantor Bank Mega Cabang Cikampek.
4. Rumah Buntu
Setelah berdinas di Cikampek lebih dari 4 tahun, aku berharap bisa masuk Jakarta. Tetapi formasi untuk pindah Jakarta belum dibuka. Nggak apa apa, coba dulu cari-cari kantor yang lokasinya tidak jauh dari rumah Duren Tiga Komplek.
Dari beberapa yang ditawarkan di iklan antara lain di seberang Komplek Polri Jalan Duren Tiga Raya, dan di Jalan Dewi Sartika. Setelah aku lihat dan pelajari, kemungkinan besar jika lokasi tersebut terkena pelebaran jalan akan tinggal sedikit saja luasnya. Ini karena bentuk tanahnya melebar ke samping, bukan memanjang ke belakang.
Aku berubah pikiran. Mencari lokasi yang tidak di pinggir jalan raya, tetapi masuk satu atau dua rumah ke dalam. Yang penting plang papan nama Notaris masih bisa dipasang di pinggir jalan raya. Ketemulah sebuah iklan baris di Harian Kompas.
“Dijual rumah di Jalan Duren Tiga Buntu No 38, dan seterusnya.”
Aku mencoba menghubungi pemiliknya yang bernama Ibu Dahlia. Beliau membolehkan aku membeli sebagian saja sekitar 300 m dari tanahnya yang luas seluruhnya 930 m. Setelah tawar menawar deal, aku baru tahu bahwa ternyata asli sertifikat tanah itu dijaminkan ke Bank Summa. Padahal saat itu Bank Summa sedang colaps. Pantaslah, harganya lumayan miring.
Uang pembelian dari aku digunakan Bu Dahlia untuk menebus sertifikatnya dulu. Kemudian setelah sertifikat keluar, kami ke Notaris Ibu Sri Rahayu di Jalan Monginsidi untuk menandatangani Akta Jual Beli sebagian, yaitu seluas 300 m2 dan memecah sertifikatnya.
Selama beberapa bulan sertifikat masih di kantor Notaris dan belum jadi dipecah, Ibu Dahlia membujukku untuk membeli sisanya yang berarti membeli semuanya. Beliau bilang, boleh dicicil pembayarannya. Setelah seluruhnya lunas nanti, baru dia akan pindah.
Wah, aku jadi bingung. Dengan meminjam dana ke sana-sini dan mencairkan seluruh simpanan, dalam setahun akhirnya terbeli juga. Itu terjadi di tahun 1995. Saat itu, aku sendiri masih dinas di Cikampek, belum tahu kapan akan bisa pindah ke Jakarta. Karena lokasinya di Jalan Duren Tiga Buntu, kami biasa menyebut rumah itu Rumah Buntu.
Setelah Bu Dahlia pindah dari Rumah Buntu, aku minta Dik Pri dan Dik Astrid isterinya, menempati rumah itu dulu. Aku minta tolong mengurus 7 penghuni kost yang ada di situ. Rumahnya Dik Pri sendiri di Jatikramat, Bekasi dikontrakkan.
Dengan berada di Rumah Buntu, Dik Pri dan Dik Astrid lebih dekat ke kantor masing-masing. Di rumah itu juga tinggal Ibuku dan Yu Wi, asisten rumah tangganya serta 2 orang keponakanku, Mas Andy yang sedang kuliah di Universitas Trisakti, dan Dik Didit di Universitas Gunadarma.
Mengenang Rumah Buntu, aku teringat suatu peristiwa sedih. Ketika itu kami mengadakan acara Halal Bihalal Keluarga Besar Hawicaritan yang tinggal di Jakarta. Banyak tamu keluarga kami yang rawuh.
Setelah acara makan bersama, para tamu bergantian berkaraoke. Pakde Kadartono, kakaknya Ibu menyanyikan lagu Jembatan Merah. Beberapa saat kemudian, Pakde jatuh dari kursinya. Beliau segera dibawa ke Rumah Sakit Tria Dipa, ternyata Pakde kena serangan stroke. Agar dekat dengan rumahnya, beliau dipindahkan ke RS Bekasi. Di sana beliau dirawat hingga wafat.
Ketika SK Pengangkatan sebagai Notaris di Jakarta turun di tahun 1998, aku langsung bisa berkantor di Rumah Buntu, dengan menggunakan 1 ruangan yang pintunya menghadap ke gerbang sebelah timur. Aku berkantor di situ hingga kantor yang dibangun di sebelahnya selesai.
Pembangunan kantor juga diserahkan ke Arsitek Pak Fredy yang telah kami kenal. Pak Fredy aku minta hanya menyelesaikan bagian bawah saja sesuai dana yang ada. Bagian atasnya baru dirapikan beberapa tahun sesudahnya. Jarak antara rumahku di Komplek dengan kantorku di Rumah Buntu tidak jauh. Berangkat pagi ke kantor santai saja, kadang diantar mobil, kadang naik Metro Mini. Pulangnya sering dibonceng motor Mas Sukatno, Staf Kantorku.
Setelah kantor selesai, beberapa tahun kemudian aku mulai memikirkan untuk membangun Rumah Buntu. Mas Dandy dan teman-temannya yang baru lulus sebagai Arsitek, yang mengerjakannya.
Bangunan lama memang telah lapuk, tukang listrik yang pernah aku minta memperbaiki kerusakan listrik tidak berani naik ke plafon, katanya takut runtuh. Ketika akan dikerjakan, rumah terlebih dahulu harus dikosongkan.
Dik Pri dan keluarganya kembali ke rumahnya di Jatikramat Bekasi. Ibu yang semula tinggal di Rumah Buntu, kami kontrakkan sementara di Jalan Manggis, Komplek Kalibata Indah. Beliau tinggal di sana bersama Yu Wi, Mas Andy dan Mbak Irum.
Lokasi Rumah Buntu berada di wilayah komersial, meskipun bukan di pinggir jalan besar. Oleh karena itu, terkena peraturan harus membangun bangunan 4 lantai. Semula aku tidak percaya ada peraturan seperti itu. Bagaimana kalau tidak punya dana? Apa iya, nggak boleh membangun di tanahnya sendiri? Apakah wilayah DKI hanya untuk orang kaya saja? Baru percaya setelah aku tanyakan sendiri ke Pak Makmun, tetangga komplek yang saat itu menjabat sebagai Sekda DKI.
Karena hanya membangun 2 lantai aku didatangi petugas pajak yang menyatakan kami terkena denda. Dendanya sangat tinggi, saat itu saja lebih dari Rp30 juta. Aku tidak mau memberi kesempatan orang pajak untuk bermain-main. Denda itu resmi aku bayar, bukti bayarnya aku simpan, suatu ketika jika diperlukan siap untuk ditunjukkan.
Begitu pembangunan Rumah Buntu selesai, wah....… ternyata sangat besar. Hingga beberapa lama aku masih belum yakin, bahwa rumah besar itu rumahku. Lantai bawah terdapat ruang tamu, ruang keluarga, ruang makan dan pantry serta 2 kamar tidur masing-masing dengan kamar mandi di dalam.
Terdapat 2 teras, di depan dan di belakang. Garasi untuk 4 mobil serta mushola dan dapur. Di lantai atas terdapat 2 kamar tidur yang masing-masing dilengkapi juga dengan kamar mandi dalam. Ada 3 teras menghadap ke depan, samping dan belakang. Di halaman belakang terdapat saung dan kolam ikan.
Pohon Palem di halaman depan aku ganti. Aku menanam pohon rambutan rapiah seperti di Rumah Komplek, untuk tempat menempel anggrek-anggrek kesayanganku. Alhamdulillah rambutan berbuah banyak. Ada juga pohon jambu delima, berbuah manis dan segar. Begitulah, Rumah Buntu menjadi rumah dengan styleku.
Baru resepsi malam di Gedung Ardya Garini. Saat itu Rumah Buntu dihias bagus sekali. Taman belakang diberi tenda hingga bisa digunakan untuk acara Siraman, acara Jual Dawet dan tempat duduk para tamu.
Aku bersyukur, bisa menikmati tinggal di Rumah Buntu selama 16 tahun, yaitu dari tahun 2003 hingga 2019. Setelah aku pensiun, kami berdua sepakat memilih untuk tinggal di bekas kantor yang lebih kecil, namun lebih nyaman.
Untuk tempat tinggal berdua, Rumah Buntu itu terlalu besar. Terasa sekali bagaimana beratnya memelihara dan merawat rumah sebesar itu ketika tidak ada asisten rumah tangga yang membantu. Itu aku rasakan pada saat Lebaran.
Setahun menjelang aku pensiun, Rumah Buntu diperbaiki sedikit demi sedikit. Bagian belakang dirapikan sehingga bisa menjadi 4 kamar kost. Bagian depan yang telah rapi dikontrakkan. Bisa untuk digunakan kantor karena lokasi Rumah Buntu berada di area komersial.
Sebelum aku pensiun, sertifikat Rumah Buntu telah aku pecah menjadi dua dengan luasan yang sama. Rencananya, kelak bagian barat untuk Mas Dandy, dan bagian timur untuk Adik Hesty. Begitu pula bangunan rumahnya. Sebelah barat, yaitu Rumah Induk untuk Mas Dandy dan sebelah timur yaitu rumah bekas kantor untuk Adik. InshaAllah mereka rukun mengelolanya. Aku berusaha merawat dengan sebaik-baiknya karena Rumah Buntu dan rumah kantor ini menjadi sumber penghasilan bagi kami berdua selain uang pensiun Mas Suami.
5. Rumah Tipes
Pada suatu kesempatan kami berdua Mas Suami ke Solo, Pak Pram bercerita bahwa tetangganya mau menjual tanah warisan yang lokasinya di Tipes, dekat dengan rumah Bu Tris dan juga dekat dengan rumah Mbak Sam. Ternyata lokasinya cukup bagus. Semula kami membeli tanah itu untuk investasi, tapi kemudian ada pemikiran membangun rumah di situ untuk Ibu. Setelah Bapak wafat, Ibu hanya berdua dengan Yu Wi di Rumah Sorogenen. Kami berdua juga sempat merencanakan, jika pensiun nanti bisa pulang ke Solo menempatinya.
Mas Dandy membuatkan gambarnya, sedang yang mengerjakan adalah pemborong langganan Mas Warno namanya Pak Mardjuki. Setelah pembangunan rumah selesai, aku merasa puas. Layout-nya sesuai dengan keinginanku dan pekerjaan finishingnya halus.
Kamar tidur utama untuk kami berdua berada di lantai atas dengan kamar mandi dalam. Di lantai bawah terdapat ruang tamu langsung menyambung dengan ruang makan dan pantry.
Ada 2 kamar tidur masing-masing dengan kamar mandi dalam. Di bawah tangga juga ada kamar mandi untuk tamu. Garasi berada di bagian rumah sebelah timur untuk 1 mobil. Menyambung ke belakang terdapat kamar pembantu dan dapur. Juga terdapat teras kecil di depan di mana aku tempatkan sebuah kursi cukup untuk tempat duduk 2 orang.
Ketika bangunan rumah sudah selesai, mulailah aku mengisinya dengan furniture yang perlu saja. Sofa untuk ruang Tamu, meja kursi makan, kasur spring bed, lemari pakaian dan TV. Untuk peralatan makan minum hanya aku sediakan satu set.
Rumah akan terasa gersang tanpa kehadiran tanaman hijau, aku menanam pohon mangga di halaman depan dan belakang untuk peneduh dan menanam rumput gajah mini agar tampak hijau asri. Jika aku pulang ke Tipes, dari Rumah Buntu aku bawakan beberapa pokok anggrek untuk ditempel di pohon palem dan pohon mangga di belakang rumah. Anggrek itu sering berbunga, mungkin karena kondisi sinar matahari yang sesuai.
Supaya rumah tetap terawat, ada orang yang kami tugaskan untuk menunggu, namanya Pak Sis. Mbak Sam membantu mengawasi jika sewaktu-waktu ada yang diperlukan. Saat itu kami bisa secara rutin ke Solo 3 atau 4 kali dalam setahun. Kadang ketika Mas Suami dinas ke Cepu, Semarang atau Jogya, aku mendahului pulang dan kita ketemu di Solo.
Rumah Tipes dalam ingatanku selalu tampak indah. Pohon mangga di depan dan belakang rumah selalu berbuah di setiap musim, karena diberi pupuk kambing setahun dua kali, yaitu di setiap pergantian musim.
Aku juga mencoba menanam pohon kelengkeng yang bisa berbuah di dataran rendah. Kelengkeng itu memang berbuah manis, sayang sangat tipis. Di halaman belakang ada 3 pot tanaman bougenville yang masing-masing pot, bunganya warna-warni, putih, ungu, orange. Setiap aku datang selalu aku pangkas sehingga selalu kembali berbunga.
Ketika masih aktif di Dharma Wanita, aku mengajak ibu-ibu Dharma Wanita Sekretariat Jenderal jalan-jalan ke Jogya dan Candi Borobudur, menginap di Rumah Tipes. Aku ingat sekali, Ibu Ida Thamrin belanja ke Pasar Klewer sekalian kulakan untuk dikirim langsung ke Padang Sidempuan.
Ketika itu Ibu-ibu Pimpinan aku tempatkan di kamar tidur Depan yang ada 3 spring bed singlenya. Ibu-ibu yang lain di kamar tidur lantai atas di spring bed besar yang kasur atasnya digeser ke bawah sehingga bisa muat banyak. Wah, jika pergi dengan ibu-ibu selalu heboh dan seru. Sampai larut malam ngobrol nggak tidur.
Kenangan manis di Rumah Tipes adalah ketika Mas Suami mengakhiri masa tugasnya sebagai Pegawai Negeri Sipil sekaligus merayakan ulang tahunku yang ke-53 di tahun 2006. Kami mengajak semua anggota Rumah Buntu beserta isteri atau suami piknik ke Solo dengan mencarter Bus Pariwisata Blue Star.
Mereka itu adalah para Satpam, para Asisten Rumah Tangga, Staf Kantor Notaris, staf Money Changer Bintang, beberapa orang dari Sekolah Alam Bekasi. Dari keluarga, ada Adik Hesty bersama Boby dan Lila yang masih kecil dan lucu. Juga Adik-adikku dan mereka yang dekat dengan kami, seperti Mbak Yetty yang sering menjahitkan bajuku, Mbak Atun yang sering aku minta menyanggulku bersama suaminya Mas Sur.
Di Rumah Tipes Mas Suami mengundang Grup Musik Mas Ricky dengan penyanyinya Mbak Ita dan Mbak Ari. Acara dimeriahkan juga oleh staf kantor Mas Suami yang berhobi menyanyi, Mas Iman, Mas Bambang dan Mas Hardian. Hidangannya kuliner khas Solo yaitu nasi liwet lengkap dari Warung Mbak Giyem Solo Baru yang waktu itu sudah terkenal enak. Suasana begitu meriah…....
Ketika Pak Pram sudah tidak di Kebon Jatiranggon, kami minta untuk tinggal di Rumah Tipes, kami buatkan paviliun di belakang rumah. Saat-saat trakhir beliau mulai sering sakit, aku mengajaknya untuk tinggal di Rumah Buntu agar ada yang merawat, tapi tidak mau. Beberapa hari setelah kami menengoknya ketika dirawat di Rumah Sakit, Pak Pram sedo. Kami tidak sempat ikut ke makam, karena sampai di Tipes acara pemakaman sudah selesai. Beliau dimakamkan secara agama Budha.
Setelah Pak Pram wafat, menyusul Pak Sis penjaga Rumah Tipes sakit dan tak lama kemudian meninggal dunia. Berbarengan dengan itu, Mas No gerah stroke. Mbak Sam pasti repot dengan urusan merawat Mas No. Aku minta tolong Mas Dul Alimin mantan driver di kantor Notaris Cikampek dulu, menggantikan Pak Sis menjaga Rumah Tipes. Mas Dul menyanggupi, tapi hanya bisa datang malam hari, setelah warung wedangannya tutup. Yah, nggak pa pa, dari pada sama sekali nggak ada yang nengok rumahku.
Aku baru terpikir untuk menjual Rumah Tipes setelah ada kejadian yang sangat mengkhawatirkan. Malam itu, Mas Dul baru pulang dari jualan, seperti biasa ke Rumah Tipes. Dia melihat ada sebuah mobil parkir di depan pintu. Dari mobil itu turun 4 orang dengan membawa sesuatu peralatan, membuka pintu gerbang dan masuk.
Mas Dul takut karena keadaan sekitar sangat sepi. Dia bersembunyi di dekat rumah tetangga. Tak lama kemudian mereka bersama mobilnya pergi. Ketika Mas Dul masuk ke rumah ternyata pintu-pintu kamar dijebol. Para penjahat itu mencari barang berharga, tapi tidak menemukan apa-apa. Di Rumah Tipes hanya TV yang bisa diangkat. Untunglah tidak masuk ke garasi dimana mobil Toyota Innova merah berada. Alhamdulillah, hanya sedikit kerusakan. Allah melindungi kami dari kehilangan yang lebih besar.......
Segera aku pasang iklan menjual Rumah Tipes. Kebetulan kok ya ada peminat serius, yang mau membeli dengan harga yang layak. Sayangnya ketika pindahan, pihak pembeli melarang aku mengambil tanaman anggrek-anggrek bulan dan tanaman bougenvile 3 warna kesayanganku.
Pada akhirnya apa yang dulu sempat diwacanakan untuk menjalani masa pensiun di Solo tidak terwujud. Selama ini, Mas Suami hanya betah paling lama seminggu di Rumah Tipes. Setelahnya, sudah kangen dengan cucu-cucunya…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar