Assalamu'alaikum ww.
Tentunya kota Yogyakarta tidak asing
lagi bagi teman-teman dan pada umumnya bagi masyarakat Indonesia. Sebenarnya
aku sering ke kota ini, tetapi hanya sekedar lewat dan mampir sebentar ke Malioboro. Kesempatan
ke Yogya kali ini, aku bersama suami dengan diantar Pak Abidin dari Wira Tour, akan
melihat tiga obyek wisata yaitu Museum
Ullen Sentalu, Hutan Pinus Mangunan
dan Pantai Parang Tritis. Obyek
Wisata yang terakhir ini pernah aku kunjungi dulu, sudah lama sekali.
Kami menuju Musium Ullen Sentalu, sebuah musium yang pernah dinobatkan sebagai Musium terbaik di Indonesia. Musium yang dikelola secara professional oleh swasta ini terletak di daerah Pakem Kaliurang yaitu di Jalan Boyong KM 25, Hargobinangun, Sleman. Gedung musium dibangun dengan bahan dari batu-batu gunung dengan mengikuti kontur tanah, menjadikan bangunan ini bertingkat-tingkat dan ada yang berada dibawah tanah, Tanaman dan pohon-pohon di sekitar musium dibiarkan tumbuh alami menjadikan suasana sejuk, teduh dan nyaman. Aku jadi betah berlama-lama di suasana seperti ini.
Kami sampai di Musium jam 10 pagi, namun
telah banyak pengunjung yang datang menunggu di ruang tunggu. Setiap 10 -12
orang pengunjung akan ditemani seorang Guide yang nantinya menjelaskan apa saja
yang kita lihat disana. Musium ini memberikan gambaran sejarah, kehidupan dan budaya para Raja dan Bangsawan Jawa Mataram.
Dengan ditemani Guide, kami memasuki ruangan-ruangan yang menyajikan Arca-arca, Gamelan, Lukisan, Foto-foto, Surat-surat dan Batik-batik kuno. Benda-benda yang tertata apik dalam museum tidak diberi label ataupun brosur. Dengan penjelasan dari Guide, informasi mengenai isi museum akan lebih utuh. Beberapa hal penting yang aku dapatkan dari sini adalah mengetahui sejarah terpecahnya Kerajaan Mataram menjadi Kasunanan Paku Buwono dan Mangkunegaran di Solo, dan Kesultanan Hamengku Buwono dan Paku Alaman di Yogyakarta.
Demikian pula mengetahui bahwa setiap
Raja biasanya menciptakan Tarian. Sebuah tarian yang sangat indah diciptakan
oleh Sultan Agung Hanyakrokusumo, Raja Mataram ketiga, yaitu Bedoyo Ketawang.
Tarian ini dibawakan oleh 7 atau 9 orang gadis yang tidak sedang haid dan
sebelum menarikannya didahului dengan ritual puasa. Bedoyo Ketawang bukan
tarian untuk umum, hanya dipertunjukkan didalam lingkungan Istana setahun
sekali saja, yaitu pada saat Ulang Tahun
Hari Penobatan Raja. Tarian yang sakral ini menurut carita juga ditarikan oleh
Kanjeng Ratu Kidul, Penguasa Laut Selatan, sebagai penghormatan kepada
Raja-raja Jawa. Di salah satu ruangan museum, kami ditunjukkan sebuah lukisan tentang
Tarian Bedoyo Ketawang dalam suatu Upacara Penobatan Raja, dimana hadir Ratu
Kidul.
Berbagai lukisan juga menggambarkan
Putri-putri Bangsawan dalam kehidupan mereka sehari-hari yang jarang diketahui
publik.Ternyata mereka tidak hanya berbusana Adat Jawa dengan kain kebaya saja,
tetapi juga mengenakan busana modern atau
busana Jawa dengan modifikasi, kadang ditambah syaal atau pashmina. Mereka juga
sudah mengenakan high heels.
Salah satu ruangan museum
dikhususkan untuk seorang Putri Bangsawan Mangkunegaran yang cantik, yang biasa disapa
sebagai Gusti Nurul, dari sejak belia hingga usia sepuh. Beliau sempat
meresmikan pembukaan museum Ullen Sentalu sebelum wafat,
Di ruangan terakhir, kami melihat
bermacam-macam kain batik gaya Yogya dan Solo dengan motif-motif kuno. Gaya
Yogyakarta berwarna putih hingga kuning, sedang gaya Solo berwarna coklat sogan
dengan latar kecil-kecil seperti Ukel dan Gringsing. Sekarang motif batik
seperti itu sudah tidak ada lagi.
Sayang sekali, disini pengunjung
tidak diperbolehkan mengambil foto apapun. Baru setelah berada diluar museum,
diberi kesempataan berfoto. Harga tiket masuk yang sebesar Rp. 30,000,- adalah sangat layak untuk ilmu yang kita
peroleh. Teman-teman tertarik? Silahkan mampir ke museum ini jika bertandang ke
Yogya,
Setelah selama lebih kurang 90 menit berada di Kaliurang yang sejuk, kemudian turun
ke kota Yogya untuk selanjutnya menuju Hutan Pinus di Mangunan, di daerah
Kabupaten Bantul. Jarak dari kota Yogya ke Mangunan sekitar 21 km, tidak
terlalu jauh. Ketika jalan mulai menanjak dan berbelok-belok, sudah terasa suasana hutan. Dan ternyata, subhanallah
……Hutan Pinus Mangunan ini bagus sekali. Pinusnya sudah tinggi-tinggi dan kata
Petugas disini, sudah berumur lebih dari 30 tahun.
Barangkali karena akhir
tahun dan musim liburan, sudah banyak pengunjung yang berada disini, bersantai
menikmati indahnya hutan pinus sambil berselfi ria. Ketika kami sedang asyik
berada di tengah hutan, bertiup angin cukup kencang, membuat pinus yang
tinggi-tinggi itu bergoyang-goyang dengan suara menderu-deru. Segera terdengar
pengumuman kepada para pengunjung untuk berhati-hati. Mungkin saja bisa tumbang
atau patah karena memang sudah ada beberapa pohon yang tumbang kemudian
sekaligus dipotong hingga rapi. Sebagai pecinta alam, aku kagum dengan keindahan hutan
pinus ini. Semoga kondisi yang baik ini bisa dijaga kelestariannya hingga lebih
banyak generasi muda menikmati keindahannya.
Kebetulan kami bertemu dengan Tukang
Foto yang biasa memotret para pengunjung. Ngobrol-ngobrol akhirnya selain minta
jasanya untuk mengambil foto kami berdua, juga minta diantar ke rumah makan terdekat untuk makan siang.. Kami
makan berempat, dengan pak Sopir dari Wira Tour yang menemani kami jalan-jalan.
Sebenarnya ingin merasakan kuliner Bantul yang terkenal dan banyak disebut
ketika browsing di internet, yaitu Sate Klatak. Tetapi menurut pak Sopir,
kuliner itu dari daging kambing. Jadi nggak kepengin, kawatir bermasalah bagi
kesehatan. Setelah menikmati nasi pulen dengan ayam goreng serta sayur
tempe lombok ijo, dan kemudian sholat, kamipun berangkat menuju obyek
wisata yang lain.
Tempat yang kami tuju ketiga ini
adalah Pantai Parangtritis. Dulu
ketika anak-anakku masih kecil, kita pernah main kesana. Tetapi seiring dengan
perkembangan zaman, mungkin saja sudah berubah.
Lokasi tempat itu masih satu kabupaten, yaitu kabupaten Bantul. Ada jalan pintas dari Hutan Pinus Mangunan ke Pantai Parangtritis. Perjalanan kesana kira-kira satu jam. Selama satu jam itu kami melalui daerah persawahan dan perkampungan yang masih sepi. Tidak banyak kendaraan berpapasan di jalan, serasa bukan berada di Pulau Jawa.
Lokasi tempat itu masih satu kabupaten, yaitu kabupaten Bantul. Ada jalan pintas dari Hutan Pinus Mangunan ke Pantai Parangtritis. Perjalanan kesana kira-kira satu jam. Selama satu jam itu kami melalui daerah persawahan dan perkampungan yang masih sepi. Tidak banyak kendaraan berpapasan di jalan, serasa bukan berada di Pulau Jawa.
Ketika
kendaraan sudah masuk kearah Jalan Parang Tritis, suasana mirip seperti
di Tanah Lot Bali. Pinggir jalan
didominasi tempat berjualan pakaian, makanan, parkir mobil/motor dan toilet.
Kendaraan diparkir pak Sopir disalah satu tempat, kemudian kami berjalan kaki
menuju pantai. Dari jauh sudah ada peringatan untuk tidak berenang atau mandi
di tempat-tempat yang berbahaya. Barangkali karena itu, kira-kira seratus meter sebelum
pantai, disediakan kolam air tawar buat anak-anak sebagai ganti tidak berenang
di laut. Ada dua kolam, sebelah kiri dan kanan jalan. Juga ada kran untuk
berbilas. Pantai lumayan bersih.
Kami
hanya tahan sebentar dibawah teriknya matahari sore. Setelah mengambil
foto-foto. kami menuju kedai kopi, duduk-duduk memandang deburan air laut
sepanjang pantai sambil menikmati kopi dan gorengan. Pantai ini tampak tenang,
tapi sebenarnya berbahaya karena sudah memakan banyak korban. Pengunjung
datang dan pergi. Rupanya liburan akhir tahun banyak dimanfaatkan
masyarakat membawa keluarga berwisata.
Sebelum kembali ke hotel, kami ingin
mencoba kuliner Yogya Bakmi Pak Pele, yang berada di Alun-alun Lor. Benar juga,
pengunjung yang mau makan disini antri. Kami mengambil tempat duduk dan segera
menikmati bakminya yang dimasak bersama telur ayam. Memang enak. Seporsi harga Rp.
20.000.- cukup mengenyangkan.
Sambil menurunkan perut yang kenyang, kami
pulang menuju Malioboro berjalan kaki. Begitu memasuki Jalan Malioboro, sangat terasa denyut nadi kegembiraan manusia yang
sedang berada di jalan ini. Di ujung jalan berderet penjual Oleh-oleh Yogya,
seperti bakpia, dodol, brem dan lain-lain. Kemudian ada juga nasi berikut lauknya,
sate ayam dan sate kere (sate dari tempe gembus atau ampas tahu), wedang ronde
dan lain-lain. Di agak ke tengah, orang berjualan kaos-kaos, pernik-pernik
gelang, pakaian anak-anak, gantungan kunci dan lain-lain. Juga ada tempat makan
lesehan. Sepertinya semua kebagian rejeki dari keramaian sepotong jalan ini.
Trotoar Malioboro yang baru selesai
dibangun, bahkan belum diresmikan ini, cukup luas, menyediakan banyak tempat
duduk berupa kursi-kursi besi dan bulatan-bulatan beton. Sangat menyenangkan
buat wisatawan untuk melepaskan lelah sambil mengobrol. Anak-anak
bebas berlarian atau didorong para orang tuanya. Kami melihat satu grup musik
yang terdiri dari 7 orang Pengamen, sedang membawakan lagu-lagu yang sudah
familiar ditelinga. Banyak wisatawan mengerumuninya, mengambil foto atau membuat
video, dan tak lupa mengisi kardus yang telah disediakan seikhlasnya. Entah
sampai jam berapa suasana ramai di Malioboro akan berakhir. Kami kembali ke hotel untuk beristirahat.
Pagi hari jam 8, selesai mandi aku
turun ke bawah sendirian untuk sekedar melihat seperti apakah Malioboro
di pagi hari. Hotel kami berada di jalan ini. Ternyata sudah banyak manusia
berjalan-jalan santai disana. Mereka duduk-duduk di kursi-kursi yang ada di
trotoar. Pedagang makanan sudah siap sejak pagi. Ada gudeg dan kelengkapannya
mangkal disamping Mall persis didepan hotel. Aku ikut nongkrong duduk di dingklik plastik
ingin mencicipi bubur gudeg. Sambil ngobrol dengan ibu penjual, aku menanyakan
kesehariannya. Ibu itu tampaknya seumuran denganku. Berjualan dibantu
suaminya yang sudah pensiun. Katanya setiap malam jam 1 sudah mulai masak,
kemudian setelah sholat subuh berangkat berjualan berdua hingga kira-kira
sampai jam 10 an. Sampai di rumah, Ibu dan suaminya wajib untuk tidur beristirahat.
Dengan kesibukannya itu, malahan tidak banyak terkena penyakit.
Apa yang dijual di Malioboro ini
memang murah meriah. Bayangkan, harga sepotong kaos Rp. 35.000, bahkan ada yang
Rp. 15.000. Harga Bubur Gudeg dengan telur hanya Rp. 10.000. Aku mencoba masuk
keluar gang disekitar Malioboro. Ternyata di gang-gang itu selain rumah
penduduk, juga ada Warung Makan, Supplier Kaos, serta banyak terdapat
Penginapan murah. Tapi jangan salah, ada juga Hotel disitu. Hotel Malioboro Garden terletak di
dalam gang. Iseng-iseng aku tanya, tarifnya Rp. 250.000 tanpa makan, ber AC dengan Water Heater, dan kelihatannya lumayan bersih. Di libur panjang
anak sekolah akhir tahun ini, sepertinya semua hotel penuh, baik kelas mahal
maupun murah.
Wassalamu’alaikum ww.
Jakarta, 27 Desember 2016.
bagus sekali bu tulisannya ! terima kasih telah menggunakan jasa kami. kami tunggu kedatangannya kembali di Jogja yang istimewa ini
BalasHapus