Assalamu’alaiku ww.
“Dua
anak cukup”. Itulah kalimat yang begitu sering kudengar
ketika aku menjadi Karyawati BKKBN Pusat di tahun 1973 hingga 1984. Dan kalimat
itu memang benar-benar aku dan semua teman-teman Karyawan dan Karyawati BKKBN laksanakan.
Tentu dengan kesadaran penuh untuk mendukung program yang dijalankan Pemerintah
melalui kantor kami dan memberi contoh kepada masyarakat diluar BKKBN. Bukan
hanya jumlahnya yang dibatasi, jarak antara kelahiran pertama dan kedua
pun diusahakan jauh, untuk memberi waktu Ibu memulihkan kesehatannya.
Anak pertamaku
laki-laki, lahir di tahun 1976. Lima tahun kemudian, baru adiknya perempuan
lahir di tahun 1981. Seandainya anak keduaku juga laki-laki, akupun akan tetap mengatakan
“Dua anak cukup”. Keyakinanku untuk
hanya memiliki dua anak didasari pada dukungan dari berbagai Institusi keagamaan
yang menjadi Unit Pelaksana Keluarga Berencana,
seperti NU dan Muhamadiyah untuk agama
Islam dan Dewan Gereja Indonesia
untuk agama Kristen.
Disamping karena hal-hal yang
telah kusebutkan diatas, pengalaman masa kecil juga membuatku memilih mengikuti
program tersebut. Aku dibesarkan oleh orang tua dengan lima orang bersaudara, dimana jarak usia masing-masing hanya 1 tahun.
Sebagai anak perempuan kedua, aku harus membimbing adik-adikku, satu perempuan
dan dua lelaki yang lumayan merepotkan. Ayahku seorang ABRI yang dinasnya
selalu jauh dari rumah. Karena ibu juga bekerja di kantor, aku berdua kakaklah
yang harus siap menyelenggarakan urusan rumah tangga. Sering terjadi jika salah
seorang dari kami sakit misalnya kena flu, maka pastilah yang lain ketularan
sehingga kami berlima sakit semua, berjejer ditempat tidur seperti ikan
panggang.
Di jaman itu (tahun 60 -70) kehidupan
serba susah. Dalam kesederhanaan, tak jarang baju yang ada dipakai bergantian
bertiga. Aku ingat, untuk lauk makan kami sehari-hari, sebutir telur dibelah
empat. Membelahnya bukan menggunakan pisau, melainkan dengan benang. Itu kalau pas
ada telur. Sering kali hanya tempe tahu saja. Kami baru merasakan makan dengan lauk
daging ayam, ketika Hari Raya Lebaran. Dan baru mendapatkan minuman susu atau
roti, jika sedang sakit. (Karenanya hingga saat ini aku tak henti bersyukur, jika
menghadapi makanan di meja lengkap). Demikian pula mengenai
pendidikan, cukuplah sampai SMA. Jika telah bekerja dan mempunyai gaji sendiri, baru bisa kuliah dengan biaya sendiri.
Aku merasa sangat tidak puas dengan pendidikan yang hanya sampai SMA. Untunglah
setelah menikah, dengan bantuan suami akhirnya dapat melanjutkan kuliah.
Akankah apa yang aku rasakan di masa kecil itu terulang pada anak-anakku kelak?
Dengan pengalaman yang
demikian, aku memilih mengikuti program "dua anak cukup". Syukur Alhamdulillah, Allah memberi yang
terbaik untuk keluargaku. Sekarang tugasku telah selesai. Dalam hal ekonomi,
kami tidak kekurangan. Dalam hal pendidikan, anak-anak sudah meraih apa yang
mereka cita-citakan. Anak pertama menekuni dunia arsitek dan berwiraswasta
sendiri. Dan anakku yang kedua, setelah menikah memilih berhenti dari
pekerjaannya untuk berwiraswasta dirumah sambil mengasuh kedua putrinya.
Timbul pertanyaan, mengapa
sekarang “dua anak cukup” ini tidak
lagi diminati oleh generasi baru sesudah kami? Diminati saja tidak, apa lagi
dijalankan ya. Padahal kehidupan semakin sulit karena jumlah penduduk semakin banyak. Segala sesuatu
harus bersaing ketat. Dari penyediaan lapangan kerja, sarana perumahan, pendidikan,
kesehatan hingga kebutuhan sehari-hari semakin diperebutkan. Belum lagi iming-iming
gaya hidup yang selalu menggoda iman. Bagaimana jika memiliki anak banyak? Bagamana jika salah satu dari kita, suami atau
isteri karena sesuatu hal tidak bekerja (PHK), atau sakit, atau bahkan
meninggal dunia? Siapkah melanjutkan kehidupan dengan beban anak banyak?
Bukankan agama kita mengajarkan, untuk tidak meninggalkan keturunan yang lemah?.
Luasnya jangkauan media saat
ini, informasi mengenai Kesehatan dan Keluarga Berencana tentu sudah sampai ke
masyarakat. Hanya, memang ada pihak-pihak yang merasa bahwa urusan berapa
jumlah anak dalam suatu keluarga adalah hak asasi, tidak boleh dipaksa. Mengapa
merasa dipaksa? Sesuatu yang bermanfaat tanpa dipaksapun pasti akan kita
laksanakan. Lagi pula, urusan jumlah penduduk dalam suatu Negara, pasti juga
urusan Negara untuk mengaturnya. Bahkan sangat penting.
Coba kita lihat potret
masyarakat di level bawah. Dengan jumlah anak begitu banyak, mereka tak
memikirkan bagaimana pada akhirnya anak-anak hidup di jalanan. Lalu, bagaimana masa depan Indonesia, jika generasi
baru tidak mendapatkan kesejahteraan dan pendidikan selayaknya?
Wassalamu’alaikum ww.
Jakarta, 28 September 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar