Sabtu, 15 Oktober 2022

BAB IV. KELUARGAKU


3. ANAK-ANAKKU KETIKA DEWASA

Mas Dandy

Kami berdua adalah PNS, yang pada saat itu penghasilannya masih sedang-sedang saja. Dari awal aku mulai mempersiapkan asuransi pendidikan untuk anak-anakku dengan Asuransi Jiwa Bumiputera - Mitra Beasiswa. Uang premi asuransi dibayar setiap awal bulan setelah aku gajian. Ketika diperlukan, misalnya untuk biaya masuk SMA atau perguruan tinggi, maka  asuransi itu dapat dicairkan. 

Benarlah, saat Mas Dandy diterima di SMAN 3 Setia Budi, aku menggunakan dana dari asuransi Bumiputera itu untuk membayar uang masuk. Demikian pula ketika masuk kuliah di Universitas Trisakti.  Berbeda dengan saat Adik Hesty masuk SMA, perekonomian keluarga sudah lebih baik, karena penghasilan Mas Djoko sudah cukup, dan aku sudah bekerja sebagai Notaris dan PPAT.

Mas lulus dari SMP Yasporbi dengan nilai tinggi. Aku menyarankan untuk mendaftar ke SMAN 8, dengan maksud nantinya lebih mudah jika menuju ITB. Tapi ternyata Mas nggak mau mendaftar ke SMA favorit itu.

Seingatku alasannya adalah, kegiatan di SMAN 8 itu sangat berat. Hari liburpun masuk sekolah. Banyak tugas yang harus dikerjakan, sehingga tidak ada waktu untuk bermain maupun aktif di kegiatan lain. 

Aku adalah tipe orang yang tidak mau memaksakan kehendakku kepada orang lain, sekalipun itu kepada anak  sendiri. Jadilah Mas masuk ke SMAN 3 Setia Budi. Kelihatannya, di sana dia happy dan prestasinya pun bagus.

Ada satu peristiwa yang membuatku sangat menyesali diri. Pada saat penerimaan rapor Mas kelas 2, gurunya berpesan bahwa rapor harus diambil oleh orang tua sendiri. Waktu itu aku yang masih berkantor di Cikampek, sudah terlanjur mempunyai janji untuk tanda tangan di bank. Pagi sebelum ke kantor, aku sudah mengingatkan Mas Djoko untuk tidak lupa mengambil rapor ke sekolah Mas Dandy. Entah bagaimana, ternyata Mas Djoko di kantor juga ada meeting. Lalu siapa yang mengambilkan rapor Mas? Ternyata Rapor Mas diambilkan Mas Dono, salah seorang staf Mas Djoko di kantor. Ya Allah, kebangetan sekali aku.....  aku sangat menyesal peristiwa ini.

Saat itu, pekerjaanku di Cikampek lumayan padat. Dari rumah menuju Cikampek  berangkat pagi menempuh jarak sekitar 80 km atau 1,5 jam dalam perjalanan. Dan pulang jam 3 atau 4 sore dari Cikampek menuju Jakarta. Jika masuk Jakarta kesorean, maka pasti terkena macet. Ketika magrib belum sampai rumah, biasanya Mas Dandy menelpon. Saat itu sudah ada Hand Phone yang bentuknya masih gede banget. "Sampai dimana Ma?" kata Mas. Itu menunjukkan anakku memberi perhatian, mengharapkan mamanya segera pulang.

Sebelum ujian SMA, Mas sudah menetapkan satu pilihan yaitu jurusan arsitektur di perguruan tinggi nanti. Sebagai orang tua, aku sangat mendukung apa yang dicita-citakan anak. Kebetulan ada tetangga komplek, Ibu Tuty Aziz, yang menjadi Dosen di Fakultas Teknik Arsitektur Universitas Trisakti. Pada suatu kesempatan ketemu di arisan, kami berdua ngobrol. Ibu Tuty Aziz menyarankan untuk memikirkan kembali pilihan Mas. Kata beliau, di Teknik Arsitektur itu hari-hari pekerjaannya menggambar. Begitu pula nantinya setelah bekerja. Banyak yang akhirnya tidak betah dan ujung-ujungnya pindah jurusan. Info ini aku sampaikan ke Mas, biar dipikirkan lebih matang untuk pilihannya itu.

Setelah  lulus ujian  SMA, Mas  diterima  di  Universitas Parahyangan  di kota Bandung, yang terkenal bagus untuk jurusan yang Mas pilih. Aku bersiap-siap  untuk mencarikan kost di sekitar kampusnya. Ada beberapa pilihan yang sudah aku pertimbangkan.

Namun pada akhirnya Mas memilih kuliah di Universitas Trisakti Jakarta. Kami berdua setuju dengan pilihannya. Aku berharap agar dia nyaman dan bahagia dalam belajar. Pilihan itu harus disertai tanggung jawab, karena hasil akhir dan masa depan berada di tangannya.

Dalam memulai suatu rencana besar, biasanya aku pergi umroh ke Tanah Suci. Memohon kepadaNya kiranya apa yang akan kami lakukan adalah sebagaimana KehendakNya. Tentunya jika kami mampu, karena biaya umroh tidaklah murah. Pada saat itu, kami berkesempatan berempat bersama-sama umroh dan langsung ziarah ke Masjidil Aqsho. Pengalaman berumroh pertama sekeluarga ini aku tulis di https://www.wenidarmono.com/2017/12/kenangan-perjalanan-umroh-dan-tour-ke.html

Ketika Mas Dandy sudah selesai S1 dari Trisakti, kondisi negeri kita sedang krisis moneter. Mas kepingin mengambil S2 di University of New South Walles Sidney dan aku mengantarnya ke sana. Mas memilih jurusan yang ternyata hanya diperuntukkan bagi mahasiswa yang sudah mempunyai pengalaman  bekerja. Untuk yang belum pernah bekerja, tidak bisa diterima di jurusan tersebut. Akan sulit, karena nantinya bekerja dalam team. Aku sarankan untuk memilih jurusan yang lain, tapi Mas tidak mau. Selain ke UNSW, kami berdua juga mengunjungi universitas lain di Sidney, tapi Mas juga merasa tidak sreg dengan program studi yang ada.

Di Jakarta, Mas dan teman-temannya merintis usaha baru. Teman-temannya adalah teman kuliah Mas di Trisakti yang sering kerja bareng dan nginep di rumah Komplek jika harus menyelesaikan tugas. Proyek pertama yang dikerjakan adalah rumah kami di Duren Tiga Buntu. Pengalaman membangun rumah sendiri, bisa menjadi bekal untuk membangun rumah orang lain. Mas dan teman-temannya mendirikan Perusahaan, namanya  PT Gubah Reka Trimatra (GRT). Pemegang saham dan direktur serta komisarisnya adalah Mas Dandy, Fandi, Ketut dan Boby Arya. Apa kabarnya ya, PT itu sekarang?

Pada suatu sore Mas Dandy ngobrol dan bilang bahwa telah serius dengan pacarnya, Dini Ariyatie, yang sudah beberapa lama aku kenal. Aku dimintanya untuk berkenalan dengan Mamanya Dini. 

"Ma, Mama kenalan saja dengan Mama Dini dulu."

"Boleh Mas. Tapi jangan sekarang ya. Tunggu 3 sampai 6 bulan lagi, hingga Mas sudah bener-bener nggak berubah pikiran, sudah mantap."

Ketika waktu yang aku minta sudah lewat, aku dibuatkan janji untuk ketemu dengan Ibu Arieswan di Cafe Suryo, Pasaraya Sarinah Jaya, Blok M. Dari saat itu aku mulai siap-siap untuk melepaskan anak pertamaku berumah tangga. Dengan sepenuh hati aku panjatkan doa, kiranya Allah SWT berkenan meridhoi  rumah tangga mereka nanti, rumah tangga yang bahagia dan sejahtera, sakinah mawadah dan rahmah, serta kelak diberi anugerah keturunan yang soleh/solehah yang akan melanjutkan generasi kami. Aamiin, aamiin, aamin Ya Rabb…

Pernikahan Mas Dandy didahului dengan acara Lamaran. Karena Keluarga mbak Dini adalah Keluarga Suku Padang, maka pada saat melamar didampingi Pak Datuk Martunus sahabat mas Djoko. Kami membawa Seserahan berupa barang-barang pribadi untuk Mbak Dini, yang ditata indah di beberapa keranjang, salah satunya ada yang berbentuk Burung Merak.

Seserahan itu ditata oleh temanku, Ibu Nenden Ari Warianto. Beberapa waktu kemudian, dilanjutkan dengan acara Pengajian yang dipimpin Mbak Rogaya, Bu Guru Ngajiku. Aku mengundang ibu-ibu Komplek dan para tetangga di Gang Buntu.

Akad nikah diselenggarakan di rumah Besan. Kami bersama Keluarga Besar, terdiri dari keluarga aku dan keluarga Mas Djoko, beriringan beberapa mobil menuju Meruya. Beberapa hari kemudian resepsi dilaksanakan di Gedung Nestle, Jl. Simatupang Jakarta Selatan.

 


Semuanya dipersiapkan oleh pihak Pengantin Wanita, kami hanya mengikuti saja. Pesta resepsi dengan adat Minangkabau, bernuansa warna merah. Kedua Mempelai, Orang Tua, Keluarga maupun Pagar Ayu Pagar Bagus mengenakan baju Adat berwarna merah. Hiburan musik dengan penyanyi Vina Pandu Winata. Meriah sekali….

Setelah anakku menikah, menjadi satu hal yang harus aku hindari. Ikut campur tangan di keluarga mereka. Aku belajar dari pengalaman, sudah banyak contoh kejadian, ikut campurnya orang tua dalam urusan keluarga anak mengakibatkan hal yang tidak baik.


Adik Hesty

Setelah Adik lulus dari SMP Yasporbi, aku mau mendaftarkan ke SMA Sumbangsih yang berlokasi di Jalan Bangka, dekat rumah.  Aku survei ke sekolah tersebut sebelum mendaftar. Ada yang menarik perhatianku. Banyak di antara siswi-siswi di sekolah itu kok mengenakan seragam sekolahnya pendek seperti rok mini. Kok boleh ya? Aku jadi ragu-ragu untuk mendaftar.

Kemudian aku survei ke sekolah lainnya, SMA Al Azhar Pejaten. Walau uang masuknya cukup tinggi dibanding dengan uang masuk di sekolah-sekolah lainnya, tapi rasanya aku lebih sreg dengan sekolah ini.

Sehari-hari ke sekolah Adik diantar Driver Mas Paino. Pulangnya kadang di jemput, kadang pulang bersama dengan teman-temannya. Di SMA Al Azhar banyak siswanya berdarah Arab. Adik sering cerita tentang teman-temannya yang lucu-lucu, terutama Ihsan. Teman lain yang hingga sekarang masih sering ketemu adalah Agy dan Irna. Di kelas 2 SMA, untuk pertama kalinya Adik pergi jauh tanpa orang tua yaitu berlibur ke Bali dengan temannya Memey. 

Ketika Adik Hesty selesai dari SMA Al Ashar, aku sudah membelikan formulir untuk mengikuti test masuk perguruan tinggi. Eh, ternyata dia mau sekolah ke Australia. Program yang diambil adalah setahun di Jakarta dan 2 tahun di  Perth, di Edith Cowen University.

Ketika program yang di Jakarta telah selesai, aku mengantarnya ke Perth. Pengalaman berpisah jauh dengan anak perempuan untuk pertama kali, begitu mengharu biru perasaanku, karena selama ini dia tidak pernah meninggalkan rumah untuk waktu lama.  Pengalaman ini  aku tulis di Blogku: https://www.wenidarmono.com/2020/04/mengantar-ade-hesty-study-ke-perth.html 

Mas Djoko ketika itu sudah sibuk di kantor, menduduki jabatan Eselon I, sebagai Sekretaris Jenderal Departemen Pertambangan dan Energi. Dengan anak perempuan yang biasanya sangat dekat, tiba-tiba berada jauh di sana, pastinya selalu galau. Apa lagi jika menelepon nggak diangkat, wah, bisa sangat gelisah, khawatir terjadi sesuatu. Padahal, anaknya di sana baik-baik saja. Mungkin sedang kuliah, handphone-nya dimatikan, atau sedang main bersama-sama teman-temannya.


Kalau sudah begitu, serta merta aku yang diminta nengok ke Perth. Memangnya ke Perth itu seperti ke Blok M? Aku juga punya pekerjaan, walau tidak sibuk dan bisa diatur. Karena jauh, dan biayanya juga mahal, tidak mungkin ke sana hanya untuk 3 atau 4 hari. Setidaknya harus menyediakan waktu untuk 7 sampai 10 hari. Dan jika aku berada disanapun, Adik ya pergi kuliah....... 

Selama Adik Hesty di Australia, aku 4 kali ke sana, sekali di antaranya bersama Mas Djoko, dan sekali di antaranya ngajak Mbak Wiwien staf kantor Notaris.

Pada dasarnya Adik punya sifat, karakter, prinsip yang tidak mudah terpengaruh teman dan tidak lenjeh (bahasa Indonesianya apa ya?). Itu membuatku tenang melepaskannya sekolah jauh dari rumah. Aku telah menganggap dia sudah dewasa, di perantauan berlatih untuk memutuskan segala sesuatunya sendiri. Kelak pun dia akan berumahtangga dan mempunyai kehidupan sendiri.

Kampus Adik berada di kota kecil di luar Perth, namanya Joondalup. Di sana kost di rumah Mrs. Lesley bersama-sama dengan beberapa cewek yang berasal dari Singapura, Hongkong dan Brunei.

Tempat kostnya enak, aku betah juga di sana. Selain kamar tidur, ada kamar kecil berkarpet buat lemari pakaian, tempat koper dan rak. Aku biasanya sholat dan baca Al Quran di situ.Kalau mau mencuci baju, ada tempat khusus yang dilengkapi dengan mesin cuci. Dapurnya luas, bisa untuk masak para penghuni kost. Peraturan kost tidak mengizinkan tamu ikut masak-masak di dapur. Jadi aku hanya bantu nyuci dan pergi belanja ke Supermarket. 

Pusat kota atau shopping centernya Joondalup namanya Lake Side. Ketika aku di sana, ada beberapa supermarket, di antaranya Coles dan Woolworths. Aku sering menjelajahi keduanya, sambil menunggu waktu Adik pulang dari Kampus. Di sanalah saatnya aku berleha-leha banyak waktu, tidak seperti di Jakarta yang selalu kekurangan waktu.  

Sepertinya aku puas mengelilingi supermarket-supermarket disana, melihat-lihat barang-barang keperluan sehari-hari model baru yang waktu itu belum banyak di Jakarta. Karena dari tempat kost ke supermarket tidak ada kendaraan umum, harus jalan kaki, maka belanja seperlunya saja biar nggak keberatan membawa barang-barangnya. 

Di hari libur Adik nggak kuliah. Pagi-pagi ketika dia masih tidur aku sudah keluar jalan sendiri ke sekitar komplek, atau kadang sampai agak jauh. Saat itu  Joondalup masih sepi, pernah aku berpapasan dengan seekor Kanguru. Binatang itu memang masih ada berkeliaran di tempat-tempat yang belum banyak rumah penduduk.

Seperti apa Joondalup sekarang ya? Sekian tahun berlalu, pasti sudah ramai. Kadang aku mengintip lewat Google. Ternyata sudah banyak hotel dan apartemen di sana.

Jika aku ke Perth, biasanya dari Bandara naik taksi langsung ke Joondalup. Karena sudah beberapa kali, akhirnya aku punya langganan taksi yang drivernya seorang imigran dari Iran. Dia memilih tinggal di Australia, karena di negerinya sendiri merasa tidak nyaman. Ia pemeluk Bahai, yang di negaranya sering menghadapi persekusi dan diskriminasi. Orangnya enak diajak berkomunikasi, aku diberi nomor handphonenya, jika memerlukan taksi bisa menelpon saja.

Waktu pergi ke Perth dengan Mbak Wiwien, aku sempat berwisata ke beberapa tempat wisata di sekitar Perth. Berkunjung ke The Pinnacles Desert, sebuah gurun di tepi pantai, dimana terdapat pilar-pilar yang terbentuk dari batu kapur. Ke Wave Rock, mengunjungi destinasi wisata berupa formasi batuan yang berbentuk ombak setinggi 15 meter, panjangnya 110 meter. Juga berdua sempat ke  Fremantle, sebuah kota pelabuhan di muara Swan River, di pinggiran Perth.


Memikirkan anak perempuan yang jauh di mata, Papanya jadi sering sakit maag, hingga jadi pasien tetapnya Dr. Dadang di Rumah Sakit MMC. Bahkan karena sakitnya itu, pernah dilakukan tindakan Colonoscopy dan Endoscopy di RS Thamrin Salemba.

Menurutku, Mas Suami itu bukan sakit fisiknya tapi psikisnya. Akhirnya aku sampaikan ke Adik, setelah lulus nanti jangan melanjutkan S2 di Australia. Kasihan Papa. Pulang dulu, nanti saja melanjutkan di Jakarta.

Demikianlah, begitu selesai kuliah Adik pulang ke Jakarta. Aku bersyukur kepadaNya, Adik  pulang dari sekolah di luar negeri tapi tetap seperti dulu, tidak berubah. Ada lho yang setelah tinggal di luar negeri menjadi berubah, pergaulannya bebas, merokok, suka dugem dan mengenal minuman keras. Beberapa temannya yang dulu bersama-sama berangkat, ada yang masih meneruskan kuliah di sana.

Adik kemudian bekerja di sebuah Travel Biro. Kelihatannya disana senang, tapi memang kadang mengeluh gajinya kena potong, karena peraturan di kantornya.  Aku pesankan, agar jangan memandang berapa gaji yang diterima. Di kantor itu fokus untuk belajar, mempelajari seluk beluk per-travel-an, khususnya apa saja izin yang harus dimiliki untuk usaha semacam itu. Ambillah contoh-contoh surat maupun formulir yang biasa digunakan sehari-hari. Demikian pula lihat kesulitan apa saja yang kemungkinan akan dihadapi. Aku ingin Adik bekerja di travel milik sendiri.

Kesempatan bagus datang ketika aku melihat iklan di harian Kompas,  ada usaha travel mau dijual. Namanya PT Altraraya Wisatama, berkantor di Jalan Raya Pasar Minggu, dekat Masjid At Taqwa.

Pertama-tama yang perlu dipertanyakan adalah: Mengapa dijual? Apakah karena mempunyai utang pajak? Aku minta Adik melihat kondisinya dan memikirkan apakah jika dibeli Adik mau mengurusnya. Adik langsung menghubungi pemiliknya.

Aku juga mencoba menghubungi Pak Herman Sumarna, Konsultan Pajak langgananku, menanyakan apakah bisa diketahui, bahwa PT tersebut punya masalah dengan pajak. Pak Herman menelusurinya ke Kantor Pajak Jakarta Selatan. Ada utang pajak, tapi tidak seberapa banyak. Jika nanti mau dibeli harus diselesaikan dulu, sehingga membeli dalam kondisi bersih.

PT Altra akhirnya berpindah ke kami. Aku minta temanku Notaris Bu Maryam membuatkan akta peralihannya. Untuk menghemat pengeluaran kami tidak melanjutkan sewa kantor yang lama, pindah ke rumah Buntu  Demikianlah, Adik belajar mengelola usaha travel dengan bantuan Mas Satoto Biratmoko, keponakan  kami. 

Suatu hari Kantor Notaris menerima paket kiriman kue cantik dari seseorang yang kami tidak tahu siapa. Setelah ditanyakan ke PT Altra yang berkantor di dekat kantor Notaris, ternyata Adik kenal pengirimnya tapi tidak mau menerimanya. Hari itu Adik tidak sedang berulang tahun, mengapa mengirim kue? Mau dibuang kok sayang, akhirnya kue dimakan bersama para Karyawan Notaris, setelah kue itu dilangkah 3 kali ….. sekedar biar nggak terjadi apa-apa .

Saat belum punya pacar, aku pernah bilang ke Adik :

“Dik, itu banyak teman-teman Mas Dandy, orangnya baik-baik, pada belum punya pacar. Nggak naksir?”

“Ih mama…”

“Ya nggak ada chemistry…… sudah kayak saudara,” katanya.

Jodoh memang Allah yang mengatur. Suatu malam, pulang dari menghadiri acara dengan teman-temannya, Adik bilang:

“Tadi aku kenal cowok, Ma. Orangnya manis. Ini aku dikasih kartu namanya.”

Nah, itulah calon jodoh yang Allah kirimkan buat putriku, kata hatiku.

Ketika ada tanda-tanda mau serius, Papanya mulai gelisah. Sebagai orang tua dari Suku Jawa, kami masih memperhitungkan syarat menikah dengan mempertimbangkan masalah "Bibit, Bobot dan Bebet". Bukan untuk sesuatu yang menyangkut harta benda, tetapi sesuatu yang akan berpengaruh pada kehidupannya kelak. Siapakah orang yang akan menjadi pendamping putriku? Dari keluarga baik-baik kah? Seperti apa kehidupan keluarganya? Mas Suami galau, tapi aku menenangkannya.

Berbeda dengan ketika proses Mas Dandy dulu. Keluarga calon Mas Dandy berada di Jakarta, mudah kami menyelidikinya. Untuk keperluan  Adik, aku bermaksud ke Medan dengan mengajak sahabatku Rita yang tinggal di Bandung. Rencana segera dibuat. Ternyata Mas Suami telah lebih dahulu menemukan orang yang tepat untuk dimintai pertolongan melihat dari dekat keluarga pacar Adik, yaitu Pak Indra teman baiknya yang tinggal di Medan 

Perjalanan Adik menuju ke jenjang pernikahan tampaknya mulus. Mereka menikah dengan adat Jawa lengkap. Agar memenuhi ketentuan adat, acara kami serahkan kepada perias pengantin sekaligus penyelenggara acara atau EO khusus adat Jawa. 

Kami awali dengan Pengajian. Aku ingat betul, saat acara Pengajian itu ada 4 pot Anggrek Catleya Mantini aku berbunga serentak, seolah ikut bergembira menyambut acara pernikahan Adik Hesty. Anggrek Catleya Ungu itu menghiasi setiap sudut rumah. 

Kemudian tak berapa lama digelar acara Siraman. Di acara Siraman itu, kami berdua selaku orang tua menjual Dawet (cendol) dengan uang dari gerabah yang disediakan oleh EO.  Kalau zaman dulu, uangnya berbentuk pecahan genteng.

Malam hari sebelum akad nikah, ada acara Midodareni dimana Mas Djoko mengundang teman-teman di kantor yang tidak diundang ke acara Resepsi. Akad nikah esok harinya terlaksana dengan khusyuk di Rumah Buntu dan yang menjadi Saksi Nikah adalah teman Mas Djoko, Prof. Ryaas Rasyid. Nasehat buat Pengantin disampaikan oleh Prof. Arief Rahman.

Beberapa hari kemudian, Resepsi diselenggarakan di Gedung Ardya Garini, Halim Perdana Kusuma. Pembawa Acaranya Ibu Dewati dan putrinya. Acara meriah dengan lantunan lagu-lagunya Rossa. Hidangan dari kateringnya Ibu Subadi, Katering Gandrung, yang kualitas masakannya tidak diragukan lagi. Seluruh Keluarga Besar Solo hadir.



Begitulah, kami berdua melepaskan putri kami kepada suaminya, Boby Zuhry dengan diiringi doa dan air mata, semoga rumah tangganya rukun, damai, bahagia dan sejahtera di sepanjang usianya. Sakinah mawaddah dan rahmah serta dikaruniai anak-anak yang soleh/solehah. Aamiin, aamiin, aamin Ya Rabb…




 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar