BAB I. MASA KECIL DAN MASA REMAJAKU
SIAPAKAH aku? Dari mana asal-usulku? Secara singkat, aku akan memulai dari Eyang Buyutku, yaitu Mbah Hawicarito. Beliau berputera 5 orang, yaitu:
1. Mbah Pronosasongko (putri), berputera 3 orang:
- Pakde
Kadartono (Pakde Dar),
- Ibu
Kadarti (Ibuku),
- Bulik
Suhartini
2. Mbah Atmosuwarno (kakung), berputera lebih dari 6 orang:
- Bu Sutrisni,
- Pak Supono,
- Pak Pramono,
- Bu Sri Kayati,
- Bu Endang,
- Bu Tatik,
- dan lainnya
aku tidak kenal.
3. Mbah Darmosuwarno (kakung), berputera 8 orang:
- Pak Sudarsono,
- Pak
Sudarwanto,
- Bu Sudarwanti,
- Bu Sri Kusoro,
- Pak Djoko
Darmono (Suamiku),
- Pak Djoko
Suseno,
- Bu Susilowati,
- Pak Sudibyo
Digdoyo.
4. Mbah Suwarni Padmohaksoro (putri) tidak berputera.
5. Mbah Siti Sumari Sutisno (putri) juga tidak berputera.
Aku
lima bersaudara adalah cucu dari Mbah Pronosasongko (putri). Ibuku yang bernama
Ibu Kadarti adalah putera kedua beliau. Ibu Kadarti menikah dengan Bapakku,
Bapak Sunardjo dan melahirkan 5 orang putra putri yaitu:
-
Siti Samsinar, atau mbak Sam,
- Aku sendiri, Siti
Nurweni, dengan panggilan sayang Mbak Nur, kadang
Dik Nur,
- Siti Gunarti, atau
Dik Gun,
- Gunawan Budi
Priyono, atau Dik Pri,
- Gunawan Susatyo,
atau Dik Sus.
Aku
menikah dengan suamiku Mas Djoko Darmono (yang biasa aku panggil Mas Djoko
saja, atau Mas Suami, Papa nya anak-anak) adalah putra kelima dari Mbah
Darmosuwarno. Ibuku dan suamiku merupakan saudara sepupu. Sebelum menikah, dulu
aku menyebut suamiku Pak Djoko Darmono. Agak lucu ya…......
Aku
dilahirkan sebagai Putri Solo, karena lahir di Kota Solo pada 30 Januari 1953.
Tetapi di Akta Kelahiran tertulis tanggal lahir 31 Januari 1953. Zaman
dulu data belum sepenting sekarang, masih dianggap remeh. Untung hanya
berselang sehari. Ibuku lahir dan dibesarkan di Kota Solo, sedangkan Bapakku
lahir di Karangpandan, sebuah kota kecamatan di wilayah Kabupaten Karanganyar.
Nah,
itulah keluarga besarku dari Mbah Hawicarito, seorang Dalang Keraton Surakarta
Hadiningrat dan juga Dalang RRI Surakarta.
Dapat
aku ceritakan sedikit mengenai Mbah Hawicarito. Aku ngaturi beliau Mbah
Hawi. Jika beliau berangkat dinas mendalang ke RRI Surakarta, ngagem
busana Jawa Beskap warna hitam dengan kain batik berwiru lebar, kalau nggak
salah itu namanya Dodot.
Jika
beliau sedang dirumah, aku kecil sering main masuk ke kamarnya. Di kamar itu
ada meja tulis besar, seperti meja direktur, barangkali di meja itu
beliau mempersiapkan materi mendalang. Sebelah kanannya ada meja kecil
tempat kaleng kerupuk yang berisi kerupuk putih.
Beliau
suka kerupuk yang sudah melempem (nggak keras lagi) dan akupun suka
diparingi kerupuk melempem seperti itu. Mbah Hawi yang aku ingat,
wajah dan perawakannya seperti Pak Pramono ketika sudah sepuh. Aku sudah
nggak ketemu dengan Mbah Hawi Putri, yang sering dipanggil Mbah Ibu. Beliau
wafat sebelum aku lahir.
Orang
tua Ibu yang masih ada saat aku masih kecil adalah Mbah Pronosasongko
(putri). Mbah Prono berperawakan tinggi kurus, rambutnya keriting. Beliau
tinggal sendirian mengontrak di sebuah rumah kecil di perkampungan
belakang Sekolahku SR Sorogenen, Jagalan, Kecamatan
Jebres, Kota Surakarta.
Aku
sering main ke sana karena tempat tinggal beliau dekat dengan rumahku. Mbah
Prono sehari-hari bekerja membatik kain. Membatik adalah pekerjaan yang
umum dilakukan oleh orang-orang tua saat itu. Ketika beliau jatuh sakit,
barulah tinggal bersama kami di rumah Sorogenen sampai wafat. Kata Ibu, beliau
sakit kanker rahim.
Orang
tua Bapak, yang masih ada saat itu adalah Mbah Wiryodikromo (putri). Aku biasa
menyebut beliau Mbah Mbeteng karena tinggalnya di dalam Beteng (Benteng),
yaitu Benteng Baluwarti di lingkungan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Mbah Mbeteng dulu
ketika masih muda bekerja sebagai Abdi Dalem di Keraton, yang melayani keluarga
Raja, Pangeran dan para Selir, serta momong putra-putri mereka.
Mbah
Mbeteng berperawakan kecil, sehari-hari berkain kebaya. Aku selalu ingat,
saat-saat Mbah Mbeteng menengok kami ke Rumah Sorogenen selalu membawa
oleh-oleh jajanan yang dibeli dari Pasar Gede Solo,
digendong dengan selendangnya.
Ketika aku dan
adik-adik sedang bermain, dari jauh sudah kelihatan Mbah Mbeteng datang. Wah...
dengan serta merta kami lari-lari kegirangan menjemputnya.
Ketan juruh (ketan
dengan kelapa, bubuk kedele dan kinca gula jawa), cenil, tiwul, dan grontol (jagung
pipil yang direbus sampai empuk dengan kelapa parut) atau
makanan lainnya, membuat kami gembira menikmatinya.
Menurut
cerita Ibu, mbak Sam dan aku lahir di rumah
Eyang Buyutku Mbah Hawicarito di Kampung Jagalan,
Kelurahan Kampung Sewu, di mana Bapak dan Ibu saat itu tinggal di
sana.
Lokasi tempat
kelahiranku itu sampai sekarang masih tetap ada, sekarang
bernama Jalan Kali Kepunton, Kelurahan Jagalan, Kecamatan Jebres,
Surakarta dan masih dihuni oleh keluarga ahli waris Mbah
Hawicarito, di antaranya adalah kakak suamiku, Mbak Darwanti. Aku menyebutnya
Rumah Jagalan.
Setelah Bapak
mempunyai rumah sendiri, kami tinggal di rumah Bapak di Kampung Bangunharjo,
Kelurahan Gandekan, Kecamatan Jebres. Karena rumah kami itu dekat sekali dengan
Jalan Sorogenen, aku lebih sering menyebut Rumah Sorogenen.
Ketika aku masih
kecil, ibu bekerja di Kantor Telkom. Sedangkan Bapak adalah seorang Prajurit
TNI AD dari Kesatuan PHB (Perhubungan).
Kantor mereka
berduapun berseberangan, yaitu di Jl. Kapten Mulyadi Solo. Mungkin mereka
dulu kenal atau bertemu karena kantor yang berdekatan itu ya… He he.. siapa
tahu…
Dari dulu hingga
sekarang ini, aku sangat dekat dengan Mbak Sam. Selain selisih umur yang hanya
11 bulan, aku dan Mbak Sam selalu satu sekolah dan satu tingkat, walau di kelas
yang berbeda.
Mengapa satu tingkat?
Dulu ketika Mbak Sam sudah masuk SR (sekarang SD) sedang aku masih di TK, aku
mogok sekolah TK. Maunya ikut sekolah Mbak Sam. Setiap hari aku ikut ke
sekolahnya, walau hanya menunggu di luar kelas.
Mungkin Bu Guru
kasihan melihatku. Maka di Kuartal II aku boleh ikut sekolah, dan ternyata bisa
mengikuti pelajaran. Demikian juga hingga masuk SMP Negeri 6 dan SMA Negeri 3
tetap bersama di satu sekolah.
Aku pun berdua Mbak
Sam, bersekolah di TK Aisiyah di Kampung Sewu. Yah, kira-kira berjarak
tempuh 20 menit dari rumah ke sekolah.
Berangkat ke sekolah,
kami diantar pamanku, adiknya Bapak, namanya Pak Diman. Kami berjalan kaki dan
biasanya mampir dulu membeli jajanan Jenang Jagung (semacam
dodol) yang berwarna putih atau kuning untuk bekal ke sekolah.
Pulang sekolah berdua
Mbak Sam saja, tidak ada yang menjemput karena Pak Diman langsung berangkat
bekerja. Kami tidak melewati jalan besar, tapi melewati Tanggul (penahan
banjir dari sungai Bengawan Solo), lalu turun melalui
undak-undakan di samping tanggul.
Pak Diman adalah
satu-satunya adik Bapak. Beliau kurang kecerdasannya tetapi bukan idiot. Bapak
mencarikan pekerjaan sebagai petugas kebersihan di Taman Sriwedari. Tugasnya
menyapu halaman Taman Sriwedari yang luas itu bersama petugas yang lain.
Menurut
adat di Jawa, anak perempuan disunat dengan dirayakan sebagaimana anak
laki-laki. Kami bertiga anak perempuan dari Bapak Ibuku merayakan sunat
bersamaan dengan pesta pernikahan dari saudara sepupu Ibu, yaitu Pak
Sudarsono.
Karena
orang tuanya tinggal jauh di Kalimantan, beliau menikah di rumah kami, dengan
pesta yang cukup meriah. Kami bertiga mengenakan baju kembar warna biru
keabu-abuan dan ikut berfoto bersama kedua mempelai pengantin. Perasaanku
sebagai anak kecil begitu gembira. Sayang
sekali ya, foto-fotonya sudah tidak ada lagi.
Ketika SR kelas 3, aku
pindah sekolah dari SR Sorogenen di dekat rumah ke SR Santo Yusuf, sebuah
sekolah Katolik di bawah Yayasan Marsudirini. Letak sekolah baruku berada di
daerah Kebalen, di belakang Sekolah Santa Maria.
Pertimbangan Ibu
mengapa memindahkan aku ke sekolah ini, adalah karena di sekolah ini lebih
disiplin.
Yang aku ingat ketika
di sekolah ini, setiap pagi aku bersama seorang teman selalu menjemput Suster
Kepala Sekolah dan membawakan tasnya. Suster siapa ya, kok aku lupa nama beliau
.......…
Kami
berdua menunggu di pintu butulan, yaitu pintu yang menghubungkan antara
Sekolah Santa Maria dan Sekolahku. Beliau tinggal di Susteran, yaitu tempat tinggal
para biarawati yang berada di Kompleks Sekolah Santa Maria.
Di
sekolah Katolik seperti sekolahku itu, setiap bulan Desember selalu ada acara
Pentas menyambut Hari Natal. Mbak Sam ditunjuk menjadi Bunda Maria. Ibu
membuatkan kebaya dari bahan khusus, sutera yang bagus. Aku masih ingat, Mbak
Sam yang cantik langsing berkebaya hijau menjadi primadona di acara itu. Hayo
tebak, aku menjadi apa? Menjadi salah satu Malaikat....... Malaikat apa,
aku sudah lupa .........
Rumah
Bapak Ibu di Sorogenen itu berada di sebuah gang, namanya Gang
Bangunharjo. Dari jalan besar Jalan Sorogenen kira-kira masuk ke arah selatan
50 meter. Gang itu hanya dapat dilewati sepeda, becak dan motor. Untuk
mobil hanya bisa masuk, tapi tidak bisa bersimpangan. Jadi kalau tamu naik mobil,
diparkir di pinggir Jalan Sorogenen.
Di
tahun ‘60 an, mulai ada kendaraan Bemo. Ada tetangga di dalam gang yang punya
Bemo, aku dan adik-adik senang sekali bisa naik ramai-ramai, walau kadang hanya
nempel di pintu belakangnya, dari depan rumah sampai jalan besar. Itulah
kegembiraan anak kecil. Barangkali kalau sekarang, ya naik Odong-odong lah
........
Seingatku ketika masih
di kelas 3, pergi ke sekolah tidak memakai sepatu, padahal sekolahku cukup
jauh. Saat pulang sekolah, di saat terik matahari panas membakar, aku terpaksa
berjingkat-jingkat karena telapak kaki kepanasan dan lari-lari kecil di trotoar
Jembatan Kali Pepe di depan Pasar Gede.
Trotoar maupun jalan
aspalnya sangat panas. Lari demikian itu bahasa Jawanya “mlayu
kicat-kicat”…..…. Setelah menyeberang jalan, lalu kami keluar masuk
toko-toko di sepanjang sisi selatan Pasar Gede. Bukan untuk membeli sesuatu
atau cuci mata, tapi untuk ngadem menghindari panasnya jalan.
Godaan terbesar
melewati Pasar Gede adalah melihat Jenang (dodol) yang dijual
di dalam pasar, yang tampak dari pintu luar pasar. Jenang itu
berwarna coklat gula jawa dengan irisan kelapa di dalamnya. Dijual dalam bentuk
irisan kotak persegi tipis-tipis, tampak putih kelapanya.
Saat itu aku hanya
mampu membeli sisa-sisa di bagian pinggir yang tidak berbentuk, setelah
dipotong kotak-kotak. Duh, kasihan ya ....…
Sekarang aku tidak
pernah melihat Jenang itu lagi di Pasar Gede. Mungkin
penjualnya sudah meninggal dan tidak ada penerusnya.
Sekitar kelas 5 atau
kelas 6, barulah aku berboncengan dengan Mbak Sam naik sepeda ke sekolah.
Entahlah, aku tidak ingat lagi apakah saat itu sudah bersepatu apa belum ya?
Adikku nomor 3, Dik
Gun hanya selisih umur setahun dengan aku. Dari remaja sudah punya banyak teman
dan ketika di SMEA punya Geng Cewek yang hingga saat sekarang tetap berteman
akrab bagaikan saudara. Mereka selalu berpenampilan modis, bahkan suatu ketika
aku terkaget-kaget ketika dia mengenakan wig, rambut palsu….…
Adikku nomor 4, Dik
Pri adalah anak laki-laki pertama Bapak-Ibuku, setelah berturut-turut 3 orang
kakaknya perempuan. Jadilah dia anak yang paling disayang Bapak.
Ada yang lucu kalau
ingat masa kecilnya. Ketika masih belum setahun, saat mau tidur selalu
mengunyah-ngunyah kain popok. Tentu saja diambilkan popok yang bersih. Popok
itu bukan hanya dikunyah, tapi masuk ke mulutnya hingga penuh. Setelah dia
tidur, barulah popok ditarik pelan-pelan keluar dari mulutnya.....…
Dia juga tidak mau
memakai celana seperti anak laki-laki, maunya pakai rok. Barangkali di rumah
melihat kakak-kakaknya yang cewek pakai rok, tidak mau berbeda.
Adikku nomor 5, Dik
Sus adalah si bungsu kesayangan Ibu. Selisih umur dengan aku 5 tahun.
Suatu hari aku bermain
dengan dia, aku menjadi kudanya dan dia naik di atas punggungku. Entah
bagaimana kuda tidak hanya berjalan tapi berlari kencang hingga menabrak meja
makan besar, sampai meja itu bergeser sembilan puluh derajat. Kening kananku
sobek berdarah. Hingga sekarang masih berbekas. Jika aku ber make-up menebalkan
alis dengan pensil alis, di tempat bekas luka itu akan terputus.
Di
tahun-tahun aku kecil, memang zaman susah. Negeri kita masih berusia muda dan
menghadapi banyak pemberontakan. Bukan hanya keluarga kami, semua orang
merasakan kesulitan hidup.
Bapak
sebagai Prajurit TNI AD mendapat jatah beras jagung atau kadang beras bulgur,
yang kalau di luar negeri itu adalah makanan ternak.
Setiap
habis gajian, Bapak membeli sekarung ketela (bahasa Jawanya: telo)
buat camilan kami berlima anak-anaknya yang masih semego, masih
dalam masa pertumbuhan dan lagi doyan-doyannya makan.
Ketela
itu tidak digoreng, tapi direbus atau dibakar. Hari-hari kami keluar masuk
rumah, adanya ya ketela itu. Seingatku, hanya jika sakit, baru dibelikan
sebotol susu sapi dan Roti Semir Luwes yang jualannya didorong seperti becak.
Demikian
pula hanya di hari Lebaran, Bapak akan memotong ayam jago yang sudah beberapa
lama kami pelihara. Pernahkah terbayangkan, sebutir telur ayam dibagi untuk 4
orang anak, membaginya dengan menggunakan benang? Itu benar terjadi di masa
kecilku.
Di rumah kami, juga
ada kakak sepupu Bapak, yaitu Bude Satinem. Dulu, sebagaimana Mbah Mbeteng,
Bude juga seorang Abdi Dalem di dalam Keraton.
Ketika sudah tidak
lagi bekerja di Keraton, Bude menemani kami sehari-hari dan memasak makanan
untuk kami.
Beberapa jenis makanan
yang dulu sering Bude masak, tapi sekarang tidak pernah aku temukan lagi
adalah: Jangan gude (sayur gude, semacam kacang kedelai
berkulit hitam), Gembrot sembukan (semacam pepes dari
daun Sembukan, rasanya enak gurih, tapi setelah makan ini akan sering
kentut), Tempe benguk (tempe yang dibuat dari kacang yang
bentuknya bulat pipih).
Bude Satinem pulang ke
kampungnya di Karang Pandan ketika kami beranjak semakin besar. Beliau yang
semula seorang janda menikah lagi dengan seorang pemuda lajang. Tapi pernikahan
mereka tidak lama bubar.
Setiap liburan
sekolah, bersama adik-adik sering menginap ke rumah Bude Satinem, di Dusun
Ngelo, Desa Salam, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.
Perjalanan ke sana
dengan naik bus jurusan Solo-Tawangmangu tidak sampai sejam. Sebelum sampai
Tawangmangu, turun di Srandon, kemudian berjalan kaki sekitar 40 menit, sudah
sampai ke rumah Bude.
Pada suatu ketika aku
ke Karang Pandan sendirian karena yang lain sudah berangkat lebih dulu. Saat
itu musim hujan. Sejak dari Solo sudah hujan, sehingga aku melihat jalanan
kurang jelas.
Aku sudah turun dari
bus, padahal belum sampai Srandon. Wah, takut juga nih. Uang dari Ibu hanya pas
buat naik bus, tidak mungkin balik ke Solo naik bus lagi.
Aku harus jalan kaki
sampai rumah Bude, padahal hari sudah hampir senja dan nggak tahu arah menuju
ke sana. Di mana-mana sepi, aku melewati kebun tebu yang panjang dan tidak ada
seorang pun yang lewat yang bisa ditanya. Aku berjalan hanya mengira-ngira
saja. Sebenarnya takut, tapi aku harus berani. Alhamdulillah, akhirnya, sampai
juga ke rumah Bude.
Di dekat rumah Bude,
ada sungai yang besar tempat kami sering bermain. Menuju lokasi itu, harus
melewati jalan menanjak dan pematang-pematang sawah. Sungainya tidak begitu deras,
banyak batu-batu besar di pinggir dan di tengahnya. Enak mandi di sini karena
sepi.
Seandainya zaman itu
sudah ada Instagram, pasti sudah aku upload pemandangan sungai yang indah
dengan deretan sawah-sawah dan batu-batu besar yang cantik.
Di belakang rumah Bude
juga ada sungai kecil tempat warga mandi dan mencuci. Jika ke sungai kecil itu,
biasanya pulangnya sekalian membawa air di wadah yang namanya klenting,
cara membawa airnya dengan meletakkan di pinggang.
Dusun Ngelo berada di
lereng Gunung Lawu. Setiap saat kita bisa menatap Gunung Purung yang hijau,
sebuah gunung kecil yang berada di depan Gunung Lawu.
Pagi-pagi jika kita
bangun, gigi gemeletuk menahan dingin. Saking dinginnya, minyak goreng
mengental di waktu pagi. Kalau sudah kedinginan begini, biasanya kita membakar
serasah dan kayu untuk berdiang sambil memasukkan singkong atau ketela ke dalam
bara apinya.
Kadang aku ikut Bude
berjalan ke sawah yang lokasinya cukup jauh dari rumah. Nama tempat sawahnya
itu Sedauwang. Dari sawah itu kita bisa melihat nun jauh di sana tampak bus-bus
lewat di Jalan Raya Solo-Tawangmangu.
Sawah Sedauwang sangat
subur. Bude menanam Padi dengan diselingi Palawija, biasanya ketela. Ketelanya
besar-besar dan ngendog. Maksudnya, jika direbus maka di
bagian tengahnya ada bulatan seperti telur yang tampak lebih putih dan mempur.
Inilah jenis ketela yang sering disebut Telo Karangpandan yang
terkenal itu.
Itu
tadi cerita di kala kita lagi sehat. Bagaimana ketika sakit? Wah, jika salah
seorang terkena sakit flu, maka menular ke yang lain. Kami berjejer di tempat
tidur seperti ikan pepes.
Pada
zaman itu, tidak semua sakit dibawa ke dokter, karena jumlah dokter tidak
sebanyak sekarang. Sakit batuk pilek dan sakit ringan lainnya dibawa ke Pak
Mantri Arif, seorang juru rawat yang bertugas di klinik semacam Puskesmas dekat
rumah. Untuk sakit gigi dan sakit yang cukup mengkhawatirkan, maka Bapak
membawa kami ke DKT (Dinas Kesehatan Tentara), yaitu Rumah Sakit untuk Tentara
di Gendengan, Jalan Slamet Riyadi, Solo.
Sebagai
anak kecil, tentu kami ingin jajan. Bagaimana cara mendapatkan tambahan uang
jajan? Kesempatan itu datang di musim layang-layang. Kami akan
bekerja sama dengan adik-adik, terutama Dik Pri yang jago bikin layang-layang.
Pak Haryono, adik sepupu Ibu, keponakan Mbah Prono Kakung yang ngajari Dik Pri
membuat layang-layang.
Diawali
dari meraut bambu, menimbang kerangkanya agar tidak miring ketika dinaikkan,
menempelkan kerangka tadi di kertas tipis dan kemudian menggambar motif
bola-bola atau motif lainnya dengan cat air.
Untuk
membuat benang gelasan, kami membeli benang dan memasak bubuk kaca dengan
tepung kanji, kemudian mengeringkannya. Setelah banyak layang-layang dan benang
gelasan siap, dijual ke tetangga dan teman-teman Dik Pri.
Ketika
telah tamat SR Santo Yusuf, aku dan Mbak Sam masuk SMP Negeri 6 yang berlokasi
di daerah Widuran, Kota Solo.
Aku
yang selama di SR hanya mengenal agama Katolik, di SMP inilah memutuskan untuk
belajar Agama Islam. Ada alasan yang tidak bisa aku ceritakan, mengapa
demikian. Barangkali itulah Hidayah.
Apa
yang aku pelajari di sekolah sedikit demi sedikit aku praktekkan terutama
shalat dan puasa Ramadhan. Memang hanya aku sendirian di Rumah Sorogenen yang
melaksanakan shalat 5 waktu dan puasa. Tak apa, malahan bisa khusyuk.
Pernah
terjadi, suatu malam aku belum shalat Isya sudah tertidur. Ketika terbangun
masih sambil ngantuk, aku shalat. Di rumah, aku biasa shalat di tempat tidur,
karena saat itu belum punya sajadah. Aku lupa di rakaat berapa aku terjatuh.
Gedebug ...… semua yang melihatku tertawa. Untunglah jatuhnya di Kasur ...…
Di
SMP kelas 1, setiap hari aku dan Mbak Sam membawa satu besek berisi sekitar 25
buah makanan untuk dijual ke teman-teman. Jualannya berupa tahu goreng dan
bakwan yang di atasnya ada seekor udangnya.
Pada
jam istirahat pertama setelah Mbak Sam jualan di kelasnya, gantian aku menjual
di kelasku. Jika ada yang nggak laku, bisa dikembalikan. Gorengan itu dibuat
oleh Bu Sis, juragan gorengan tetangga kami. Untungnya kami catat di buku
notes kecil, dan setelah terkumpul dibagi dua.
Ketika
G30S PKI meletus aku sudah duduk di kelas 2 SMP. Saat itu usiaku sekitar 12
tahun. Aku tidak mengerti politik. Yang aku tahu adalah banyak orang hilang
atau terbunuh dan banyak gedung-gedung dibakar.
Sekolah
diliburkan hingga beberapa bulan. Bapak sibuk sekali, selaku anggota TNI yang
saat itu harus menjaga keamanan, hingga sering menginap di kantor.
Tak lama kemudian
terjadi banjir besar Sungai Bengawan Solo, karena tanggul jebol. Tanggul itu
yang biasa aku berdua Mbak Sam lewati saat masih di TK. Rumahku yang
seumur-umur belum pernah kena banjir, saat itu tergenang sekitar 1,25 meter.
Kami pun mengungsi ke
Kampung Purwopuran, yang letaknya lebih tinggi. Karena banjir itulah, album
foto semua hancur. Aku tidak punya lagi foto-foto kenangan masa kecil. Hingga
beberapa bulan kemudian, bekas banjir di tembok tidak hilang walau sudah
dibersihkan.
Aku
cukup dekat dengan beberapa orang adik sepupu Ibu, yaitu Pak Pramono, Bu Sri
Kayati dan Bu Darwanti. Aku pernah melihat foto, aku kecil bersama mereka. Aku
digandeng Pak Pram, sedang Bu Sri Kayati dan Bu Darwanti berada di belakang
kami. Sekilas tampak bahwa mereka saat itu masih remaja.
Ketika
Bu Darwanti sudah bekerja sebagai perawat di Rumah Sakit Panti Kosala, aku
beberapa kali main ke asramanya. Kadang diberi hadiah jepit rambut atau pita,
sesuatu yang sangat menyenangkan bagi gadis kecil seumuranku. Kemudian
saat Bu Sri Kayati menikah, aku yang membawakan nampan berisi cincin untuk
dikenakan pengantin. Wah, pengantin Bu Sri Kayati cantik sekali.
Kakak
Bu Darwanti yang bernama Pak Darwanto adalah seorang guru. Beliau menikah
dengan Bu Yati, yang juga guru.
Ketika
akan menghadapi ujian SR, ibu mengirim aku berdua Mbak Sam les tambahan ke Bu
Yati di Rumah Jagalan. Sepulang dari les sekitar hampir magrib, kami beli
jajanan yang dijual dipikulan yang mangkal di Jalan Kampung Sewu. Aku suka
beli ampyang (gula kacang) dimakan sambil jalan
pulang.
Ketika
aku mulai masuk SMA, kondisi ekonomi keluarga sudah mulai membaik. Bapak sudah
pensiun walau usianya masih relative muda. Saat pensiun, pangkatnya Letnan Satu
(Lettu). Saat itu Bapak bekerja sama dengan temannya membuka usaha sebagai
Pengecer minyak goreng dan minyak tanah. Tokonya berlokasi di Pasar Palur yang
ramai, tepat di pertigaan besar Solo - Karang Anyar - Sragen.
Ibu
juga sudah tidak bekerja di Telkom, dan saat itu menjalankan usaha mengerjakan
Batik untuk disetor ke Pabrik Batik Trisni miliknya Bu Trisni, saudara sepupu
Ibu. Ibu mengambil mori (kain putih merk Primissima yang sudah diproses
khusus untuk batik tulis) dan Malam (lilin untuk membatik) dari Bu Trisni. Kemudian
mengerjakan batikan motif sesuai pesanan Bu Trisni dengan menerima pembayaran.
Di
Rumah Sorogenen terdapat sekitar 20 orang pembatik yang setiap hari datang
bekerja. Di samping itu terdapat sekitar 10 orang pembatik yang hanya mengambil
pekerjaan untuk dikerjakan di rumah.
Aku
dididik dalam Adat Jawa yang baik, tata krama dan sopan santun kepada siapapun.
Dengan para pembatik kami berkomunikasi dengan bahasa Jawa halus. Aku masih
ingat nama-nama beliau, antara lain Bu Sastro, Bu Tjip, Bu Wiryo. Saat itulah
kami, tiga remaja putri di rumah mulai banyak pekerjaan sambilan yang
menghasilkan uang.
Alur
pekerjaan yang dikerjakan Ibu dan para pembatiknya, dimulai dari bahan kain mori:
- Nggaris (menggaris kain mori untuk batik motif parang)Nyorek (menggambar sesuai motif yang sudah
dibuat polanya);
- Mbatik Ngengreng (membatik kain mori bagian depan yang sudah digambar dengan pensil atau membatik
kain mori bagian depan dengan motif Parang atau Ceplok berdasarkan garis-garis pensil yang sudah
ada);
- Mbatik Nerusi (membatik bagian belakang mengikuti bagian depan yang sudah di ngengreng);
- Mbatik Nembok (membatik menutupi kain yang nantinya akan berwarna putih, baik bagian depan maupun
belakang).
- Merapikan dan membersihkan bagian-bagian yang keliru atau kena tetesan malam.
Nggaris dan
nyorek adalah bagian yang bisa dikerjakan oleh kami bertiga. Untuk dua jenis
pekerjaan ini, Ibu membayar kami Rp 25.- per kain mori.
Demikian
pula untuk membawa batikan sekitar 5-8 lembar ke Pabrik Batik Bu Trisni, jika
proses batik telah selesai. Aku ingat, jika batikan yang berat itu dibawa
dengan naik becak, ongkos becaknya Rp 75.-
Masa remajaku juga
ditandai dengan sangat populernya buku Nogososro Sabuk Inten karya
S.H. Mintardja. Kami tidak membeli bukunya, hanya menyewa di kios penyewaan
buku di Jalan Warung Miri. Jika sudah mendengar berita atau iklan di Radio
telah terbit seri baru, maka kami bersegera menyewanya.
Membaca buku
serial Nogososro Sabuk Inten ini bagai tersihir, nggak akan berhenti
sebelum tamat. Mahesa Jenar, Kebo Kenongo, Lembu Ireng dan Lowo Ijo adalah
tokoh-tokoh top di buku ini. Pada saat yang sama juga sedang popular cerita
silat Kho Ping Ho dan cerita silat Jawa serial Bende Mataram.
Bagaimana kesanku
tentang masa-masa SMA?
Di lirik lagu/nyanyian
atau di cerpen-cerpen, sering dikatakan bahwa masa SMA adalah masa paling
indah.
Menurutku tidak
demikian. Di sekolah, aku pendiam, pemalu, canggung, tidak pede dan juga tidak
punya banyak teman. Aku merasa bukan siapa-siapa, walaupun selalu bagus di
bidang akademik. Perasaan seperti itu baru hilang setelah aku masuk Perguruan
Tinggi.
Aku dan Mbak Sam sekolah
di SMA 3, yaitu di Jl. Warungmiri Solo, yang tidak jauh dari rumahku. Aku di
kelas I-2, kemudian naik ke kelas II B-2 selanjutnya di III B-2.
Seingatku,
teman dekatku hanya beberapa orang cewek. Ada tiga orang yang bernama belakang
Ningsih. Dwiningsih teman sebangku, kemudian Haryadiningsih temanku sejak di SMP Negeri 6,
dan Hendraningsih. Satu lagi Mbak Sri Hutami, yang orang tuanya punya Toko
Kijing.
Teman sekelas cowok yang
masih aku ingat adalah yang aku tidak suka, karena nakal dan sering
nyeletuk-nyeletuk ketika guru mengajar.
Dulu ada mata pelajaran
yang aku suka banget, goniometri yaitu ilmu ukur tentang sudut yang diajar oleh
Pak Sutrisno, dan stereometri yaitu ilmu ukur ruang yang diajar oleh Pak
Giyanto. Sekarang nama pelajaran itu apa ya? Mungkin sudah digantikan dengan
ilmu matematika secara umum.