Assalamu’alaikum ww.
Hari ketiga, rombongan
kami menuju Solo. Semula aku buatkan tentative acara dengan mampir di Candi
Ratu Boko dan Umbul Ponggok, tetapi rupanya teman-teman lebih suka langsung ke
Solo. Mereka ingin melihat Makam Pak Harto dan Bu Tien. Untuk itu, harus
menanyakan dulu ke Dalem Kalitan (Rumah
Kalitan), barangkali memerlukan ijin.
Dalem
Kalitan adalah nama atau sebutan untuk rumah Pak Harto dan Bu Tien yang terletak
di Kampung Kalitan, Solo. Lokasi ini sangat dekat atau di belakang Hotel
Paragon, tempat kita nanti menginap. Kebetulan my hubby kenal dengan Kerabat Keluarga
Cendana. Kami diterima dengan baik, diperbolehkan masuk kedalam Dalem
Kalitan untuk mengambil foto-foto.
Memasuki
halaman yang luas dan asri, kemudian menuju Pendopo
dari Bangunan Utama, maka yang pertama kali aku lihat adalah pilar-pilar
penyangga bangunan Joglo. Di sebelah timur pojok terdapat gamelan yang ditutupi
kain, mungkin agar tidak berdebu. Di ruang tengah atau dalam bahasa Jawa disebut
Pringgitan, furniture-nya terbuat
dari ukiran kayu jati yang cantik. Meja-meja kaca berkaki rendah berada ditengah
ruangan. Foto pak Harto dan Bu Tin berada di tengah dan pinggir kiri maupun
kanan ruangan. Kami befoto di pojok kanan ruangan, tempat Foto Pak Harto dan bu
Tien berada.
Dibelakang
ruang tengah ini adalah kamar-kamar tidur, atau bahasa Jawanya Sentong. Selain itu ada foto-foto pak
Harto yang dibawahnya tertulis wejangan atau kata mutiara dalam bahasa Jawa.
Menang tanpa ngasorake, artinya
menang tanpa mengalahkan. Nglurug tanpa
bala artinya menyerang tanpa
pasukan. Wong iku kudu ngudi kabecikan jalaran kabecikan iku sanguning urip,
artinya orang itu harus mencari kebaikan, sebab kebaikan itu bekal hidup. Bagi
orang Jawa, kata-kata tersebut megandung arti yang dalam ketika menghadapi kehidupan
di dunia yang tidak selalu mulus.
Ukiran
yang ada di ruangan ini tampak halus dan rumit. Tentulah pengerjaannya sangat
apik. Meskipun demikian, untuk bisa tetap tampak cantik perlu perawatan yang
intens yang artinya perlu biaya. Pak Thamrin benar, ketika berkomentar bahwa
sebaik-baik meninggalkan warisan, adalah berupa Masjid. Disamping merupakan
amal jariyah yang berpahala terus menerus tanpa putus, juga akan selalu
ada yang merawat.
Ketika
terdengar azan Dzuhur, kami bersama-sama sholat di Masjid Nurul Iman di Dalem Kalitan. Masjidnya tidak besar, tapi bersih,
dan lumayan banyak masyarakat sekitar yang sholat disana. Gerimis turun semakin
deras, dan kami meninggalkan Dalem Kalitan. Sebelum menuju Makam Pak Harto dan
Bu Tien di Astana Giribangun Matesih, kami akan makan siang lebih dahulu.
Oh
ya, lupa menceritakan tentang hoby teman-teman my hubby ini. Mereka semuanya
Jago Nyanyi. Sampai-sampai untuk lebih memaksimalkan perjalanan wisata agar
lebih enjoy, ibu Novian dan ibu Thamrin membeli Magic Microphone model baru yang
bisa download lagu-lagu karaoke dari You tube. Di sepanjang perjalanan, 6 orang
penyanyi selalu siap menghibur. Hanya aku berdua ibu Thamrin yang nggak bisa menyanyi.
Mau belajar, sudah terlambat, sudah ketuaan he he he….…..
Kami
menuju Restoran Pecel Solo untuk
makan siang. Sebelum di renovasi, aku sering mampir kesini. Sekarang Restoran
ini memiliki tampilan yang lebih bagus. Lantainya menggunakan tegel batik warna
kuning coklat bermotif kawung. Meja makan kayu, demikian pula pintu kayu yang
menempel di dinding ukurannya cukup besar. Di dalam restoran tampak hiasan
berupa kalung sapi dari besi kuning yang berderet dibawah plafon. Rasanya
tampilan yang unik ini sangat mungkin berhubungan erat dengan hobby Sang
Pemilik, mungkin beliau adalah kolektor barang kuno.
Begitu
memasuki restoran, kami disambut musik organ yang dibawakan oleh Pemusik yang
berpengalaman. Lagu-lagu manis mengiringi makan siang kami. Apa saja hidangan
khas di restoran ini? Selain Pecel, berbagai masakan khas Solo yaitu : Nasi
liwet, Sambal Tumpang, Urap, Rawon, Lontong Cap Go Meh, Garang Asem. Minumannya
pun lengkap, Wedang Jahe, Beras Kencur, Gula Asem dan sebagainya. Sambil menikmati
makan siang, satu per satu dari anggota rombongan kami menampilkan suara
emasnya. Pak Novian, Pak Thamrin, Pak Ari, my hubby, ibu Ari dan ibu Novian. Aku
dan ibu Thamrin nggak bisa menyanyi.
Keasyikan
menyanyi, hampir lupa tujuan semula kami ke Makam Pak Harto dan Bu Tien. Ketika hujan reda, kamipun berangkat
kesana, langsung meluncur menuju Astana
Giri Bangun, nama resmi Makam Pak Harto dan Bu Tien itu. yang terletak di
Desa Girilayu, Kecamatan Matesih, Kabupaten Karang Anyar. Perjalanan lancar,
karena lalu lintas di kota Solo tidak macet. Apalagi kalau ke luar kota, jalan
mulus dan sepi sehingga perjalanan
lancaaaar jayaaaa....
Sesuai
petunjuk dari Petugas di Dalem Kalitan, kami menaiki bukit menuju Lapangan
Parkir A, yang merupakan lokasi parkir mobil yang paling dekat dengan makam. Dari
tempat parkir, kami berjalan santai menuju Astana Giri Bangun. Udara sejuk,
karena lokasi ini berada di lereng Gunung Lawu, 660 meter diatas permukaan
laut. Sambil berjalan aku memperhatikan keadaan sekitar Makam. Tampak dikiri jalan
kehijauan pepohonan, diantaranya pohon durian yang sedang berbuah lebat
bergelantungan. Wouw …..
Tiba di Makam, kami mendapat penjelasan dari Petugas siapa saja yang dimakamkan disini. Di lantai utama paling atas, disebut Cungkup Argo Sari terdapat 5 makam yaitu dari kanan ke kiri, pak Harto, Ibu Tien, kemudian ayah ibu dari ibu Tien yaitu Bp Ibu Soemo Haryomo dan satu lagi di ujung kiri kakak dari Ibu Tien. Sebagai manusia, sesama muslim, aku mendoakan beliau berdua, semoga mendapat tempat yang layak disisiNya. Kami berfoto di dekat makam Pak Harto dan Ibu Tien. Turun sedikit dari lantai utama, disebut Cungkup Argo Kembang, kami berada dilantai tempat makam para kerabat Ibu Tien. Disini juga nantinya putra-putri beliau seperti mbak Tutut dan saudara-saudaranya kelak dimakamkan. Lebih kebawah lagi disebut Cungkup Argo Tuwuh. Yang berhak untuk dimakamkan di Cungkup Argo Kembang dan Argo Tuwuh adalah para Pengurus Yayasan Mangadeg, yaitu Yayasan yang membangun Astana Giri Bangun, serta Trah Mangkunegaran yang mengajukan permohonan.
Berbarengan
dengan kedatangan kami, ada juga satu keluarga dari Magetan, Jawa Timur. Sama
dengan kami, mereka ingin melihat dari dekat Makam Presiden Indonesia Kedua,
Pak Harto. Mungkin saja ada yang mempertanyakan kunjungan ziarah ini, mengingat
kami sama sekali bukan kerabat dan bukan pula pendukung beliau. Bahkan tidak mendukung
kebijakan pemerintahannya. Kami juga
bukan pendukung partai yang dipimpin mantan menantu beliau, Calon Presiden
nomor 2 Prabowo. Demikian pula bukan pendukung partai yang didirikan putra
beliau Tomi, Partai Berkarya. Murni hanya ingin tahu seperti apa makam orang
pertama Indonesia di Jaman Orde Baru.
Setelah
membayar foto-foto yang sudah dicetak, Rp. 20.000 per foto, kami meninggalkan
Astana Giri Bangun, turun ke Pasar Matesih ingin menikmati durian Matesih yang
terkenal itu. Di dekat Kantor Polsek kami menemukannya, dan langsung menikmati
durian yang harganya Rp. 65.000 per buah. Enak, tapi belum seenak durian Medan....
Acara
makan malam kami kali ini adalah menikmati Wedangan ala Solo di Wedangan Omah Lawas. Perlu dijelaskan,
wedang dalam bahasa Jawa artinya minuman. Istilah "wedangan"
menurutku adalah duduk ngobrol bersama menikmati minuman dan tentu saja dengan
makanannya. Minuman apa saja? Yang terkenal di Solo adalah Wedang Ronde, Wedang
Angsle, Wedang Kacang (kacang putih atau kacang hijau), Wedang Jahe, Wedang
Kopi, Wedang Teh dan terakhir yang sekarang trend dan disukai adalah Wedang
Uwuh.
Dulu,
ketika aku masih kecil, di tempat wedangan itu pasti ada Ceret Hitam yang
nangkring diatas api. Tapi di jaman modern ini, ceret itu sudah tidak tampak
lagi. Namun demikian, ada sebuah Cafe untuk anak-muda yang sangat laris,
namanya Tiga Ceret. Café ini sebenarnya Wedangan juga. Jenis makanan, minuman dan
cara melayaninya sama dengan Wedangan Omah Lawas.
Hari keempat. Hari ini kami akan mengunjungi Candi Sukuh dan Candi Cetho, yang
merupakan Candi Hindu. Sebelum
berangkat, kami menikmati sarapan di Rumah Makan Soto Kirana. Selain Soto, banyak macam hidangan tersedia. Yang khas
dan enak adalah masakan Asem-asem Kikil, Sambal Tumpang. Lauknya juga enak, tempe
goreng dan paru goreng. Untuk wisatawan dari luar Solo, tentu tidak mengenal
makanan seperti Jenang Candil (Jenang dalam bahasa Jawa, Bubur dalam bahasa
Indonesia), Jenang Mutiara dan lain-lain. Ternyata setelah dicoba, teman-teman suka, karena memang enak.
Arah
ke Candi Sukuh sama dengan arah jalan yang kemaren kami lalui. Dari kota Karang
Anyar, jika ke Matesih belok ke kanan, sedang ke Candi Sukuh belok ke kiri.
Jalan mulai menanjak melalui hijaunya persawahan dan kebun teh. Lokasi Candi
terletak di Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karang Anyar. Jarak dari
kota Solo ke Candi kira-kira 36 km. Menuju ke lokasi ini, mobil meluncur melalui
jalan desa yang telah diaspal mulus. Suasana alam yang sejuk dan hijau membuat
hati tenang dan damai. Daerah yang kami lalui ini ini biasa disebut Kemuning. Sejak jaman Belanda Kemuning merupakan
daerah penghasil teh.
Tiba
di Candi Sukuh, gerimis kecil-kecil mulai turun. Suhu udara dingin karena
letaknya yang tinggi, 1.100 diatas permukaan laut, menjadi semakin dingin
karena hujan. Dengan membeli tiket di loket, kami diberi sepotong kain
kotak-kotak hitam putih untuk dikenakan ketika memasuki area candi. Saya lupa kain
itu namanya apa ya? Yang jelas kain ini dalam dunia wayang dikenakan oleh Bima
dan Hanoman
Kami
didampingi Pemandu Resmi, namanya mas Gunawan. Menurut penjelasannya, Candi
Sukuh ini dibangun pada masa Majapahit dibawah pemerintahan Ratu Suhita. Jika
dilihat berdasarkan Candra Sangkala dalam Bahasa Jawa yang berbunyi Gapura Buta
Aban Wong atau Buto Mangan Manungso, artinya dibangun pada tahun Saka 1359 atau
tahun Masehi 1437. Tetapi, jika dilihat dari arsitekturnya, ini adalah bangunan
Budha Hindu, sehingga seharusnya berumur lebih tua dari tahun tersebut. Ada
kemungkinan tahun 1437 itu bukan tahun dibangunnya, melainkan tahun dipugarnya.
Terdapat 3 tingkatan atau teras. Kita berada di teras terbawah dimana terletak Gapura, kemudian menaiki undakan batu ke teras yang lebih atas, kemudian menaiki undakan lagi ke teras paling atas yang dijaga 2 buah Patung Drupala. Di teras kedua ini, hanya sedikit sisa-sisa batu candi yang tertinggal. Di teras atas, terdapat beberapa panel relief yang memiliki alur cerita. Sayang aku nggak sampai naik ke teras atas.
Candi
Sukuh memiliki ciri yang khas. Pertama, Candi ini menggambarkan awal mula
kehidupan manusia di dunia, dengan bentuk nyata Lingga Yoni, alat kelamin pria
dan wanita. Yang kedua, arsitekturnya mirip dengan Bangunan purba peninggalan
kebudayaan Maya dan Inca di Amerika Selatan.
Sebenarnya aku masih ingin mendengarkan penjelasan Pemandu mas Gunawan lebih detail, tetapi karena titik-titik hujan semakin deras dan tidak berpayung, aku segera berlari menuju warung kopi diluar candi untuk menghangatkan badan yang kedinginan. Tadi disela-sela mendengarkan penjelasannya, kami sudah mengambil foto rame-rame dengan berbagai gaya, berpasangan maupun dengan ibu-ibu. Ternyata foto-fotonya cukup cantik..... Alhamdulillah …..
Melanjutkan
perjalanan ke Candi Cetho, hujan sudah mulai deras. Arah ke Candi Cetho jalannya
lebih menanjak, kemiringannya hampir 70% sehingga perlu berhati-hati. Sampai di
tempat parkir mobil, terjadi hujan disertai angin sehingga tidak
memungkinkan kami untuk turun dari mobil. Akhirnya kami putuskan untuk makan
siang terlebih dahulu, dan jika cuaca sudah ramah, kami akan kembali naik. Mas
Roby mencatat nomor Hp Petugas Loket untuk mengeceknya nanti.
Kamipun
turun untuk makan siang di Restoran
Ndoro Donker, sebuah restoran yang menghidangkan minuman teh dengan berbagai
jenis teh, baik lokal maupun dari luar negeri. Ndoro Donker atau Tuan Donker adalah nama seorang Ahli Teh Warga
Negara Belanda yang mendedikasikan hidupnya di Perkebunan Teh Kemuning hingga akhir hayatnya. Masyarakat Kemuning
menghormatinya dan untuk mengenangnya, dijadikan nama sebuah restoran.
Begitu
memasuki restoran dihadapan kami terhampar pemandangan kebun teh yang luas. Di
atas tempat duduk outdoor, buah markisah yang masih hijau bergelantungan. Musik
organ tersedia menghibur para tamu membawakan lagu-lagu oldies. Menu makan
siang kami adalah Soto Ayam dan Sup Iga. Sambil menikmati makan siang, satu per satu teman-teman dan my hubby melantunkan
suara emasnya.
Ketika
mas Roby menghubungi Petugas Loket Candi Cetho menanyakan kondisi Candi Cetho, jawabannya adalah tidak memungkinkan kami
kesana karena hujan angin belum reda. Ini adalah kedua kalinya aku berusaha
mengunjungi Candi Cetho tetapi gagal. Barangkali memang belum saatnya saja. Setelah
selesai makan siang dan mengambil foto-foto, kami kembali ke kota Solo. Sebagai
orang yang dilahirkan di Solo, keindahan alam berupa hijaunya perbukitan dan persawahan,
sudah merupakan pemandangan sehari-hari, namun tetap saja mataku terpana akan
cantiknya alam lereng gunung Lawu ini. Subhanallah........
Dalam
kondisi capai, sebenarya kami tidak ingin lagi keluar hotel untuk makan malam.
Oleh karenanya, kami mampir di Restoran
Sri Rejeki, sebuah tempat makan di
dekat Lawang Gapit Kulon (Pintu Gerbang Barat) Beteng. Hidangan hangat yang
selalu aku cari disini adalah Wedang Kacang Putih. Disini jenis makanan
lengkap. Ada Nasi kucing, yaitu nasi dengan sepotong kecil ikan bandeng pindang
(sudah asin) dan sambal tomat, ada nasi dengan lauk oseng-oseng pete, semuanya
dalam bungkusan kecil-kecil. Katanya cukup enak…. Ada juga bihun goreng, sate
sosis dan bermacam-macam lainnya seperti
tempe, tahu, udang, daging empal, daging ayam, ati ampela. Setelahnya, masih
bisa menambah dengan somay tahu dengan kuah kacang. Lumayanlah, makanan dengan
penyajian seperti ini rasanya khas Solo, belum pernah kutemui di Jakarta.
Oh
iya, baru ingat bahwa esok pagi Bapak dan Ibu Ari akan kembali ke Jakarta
dengan pesawat paling pagi, sedangkan yang lain naik pesawat Citilink sore. Beliau
punya acara yang tidak dapat ditinggalkan. Kesempatan untuk mencari oleh-oleh hanyalah
sekarang. Kami mampir ke Toko Roti Orion
dan ke Toko Batik Ria.
Mas
Roby dengan mobil Toyota Hi Ace nya yang menemani kami selama 4 hari, juga
hanya sampai hari ini. Kami mengucapkan terima kasih dan berharap suatu saat
kembali ke Jogya dan Solo dapat ketemu lagi. Semoga perjalanannya kembali ke
Yogya lancar dan selamat sampai tujuan.
Hari kelima - terakhir. Sesuai rencana, pagi tadi Bapak dan
ibu Ari akan cek out pagi-pagi sekali untuk ke Jakarta pesawat paling pagi. Dan
kami berenam akan cek out dari Hotel Paragon pagi jam 9, menitipkan koper
hingga nanti siang menjelang keberangkatan baru koper diambil. Kami sarapan dan
ngopi dulu di Starbuck Mall Paragon disebelah hotel dan kemudian dengan
menggunakan taksi on line, ke Batik Dwi
Hadi, Jl Pringgodani no 11. Informasi dan rekomendasi mengenai Toko Batik
ini adalah dari putri bu Novian. Bisa juga dilihat di Instagram, dimana
batik-batiknya sesuai selera kita. Bener juga, batik-batiknya memang
bagus-bagus, desainnya eksklusif. Harganyapun juga bagus…… he he he….
Pak
Novian telah menjatuhkan pilihannya pada hem batik motif ukel kombinasi
salur-salur yang memang keren. Pak Thamrin juga tidak beranjak dari hem batik
pilihannya. Ibu-ibu apalagi, nggak selesai-selesai, pilih sana pilih sini,
bahkan akhirnya menjahitkan sekalian disini. My hubby, yang sudah biasa
menjahitkan ke Penjahit langganan, memutuskan cocok dengan bahan hem warna
orange muda kombinasi hijau, setelah memilih-milih lainnya. Aku sendiri yang
nggak beli. Sebenarnya naksir gamis dengan dasar hitam, di tengah ada Penari Balinya.
Harganya cukup mahal. Pikir-pikir dulu lah, kapan mau pakainya? Sekarang sudah
jarang pergi ke Undangan, nanti akhirnya hanya digantung di lemari saja…..
Setelah
akhirnya puas memilih dan cuci mata, kami meninggalkan Toko Batik Dwi Hadi
menuju Musium Batik Danar Hadi. Sayang
musium baru buka pada jam 13.00, masih cukup lama untuk menunggu. Jadilah
ibu-ibu melihat-lihat Toko Batik yang ada di sebelahnya. dan bapak-bapak
menunggu di Cafe sambil ngopi. Kebetulan sekali, disini aku melihat rok-rok
batik cantik warna merah biru, sepertinya pas untuk gadis-gadis kecilku di
Jakarta. Bungkusss....
Kami makan siang di Resto Pecel Solo yang kemaren telah kami kunjungi, semata-mata
untuk melewatkan waktu dengan menyanyi, karena pesawat kami baru akan terbang nanti
sore. Disini juga bisa sholat Jamak Qoshor Dzuhur dan Ashar. Puas menyanyi,
hasrat Ibu-ibu untuk berbelanja belum pudar jadilah kami ke Pasar Gede untuk
membeli buah Salak. Setelah selesai, langsung ke Hotel untuk mengambil koper yang
tadi pagi dititipkan. Mobil terasa penuh dan sumpek dengan penumpang dan barang.
Aku ingin tertawa jika ingat bahwa mobil yang kami tumpangi penuh sesak. Tempat
duduk di tengah dengan terpaksa diisi 4
orang. Ibu Thamrin yang duduk di belakang bersama koper-koper, harus rela memegangi
barang-barang agar tidak ambruk ke depan. Bener-bener nih, ibu-ibu terlalu
bersemangat membeli oleh-oleh …
Syukur Alhamdulillah, hingga hari
terakhir kami semua tetap sehat ceria. Semoga perjalanan ini akan menjadi
kenangan yang mengesankan bagi kami semua, dan menjadikan kita tetap sehat menikmati
hari tua bersama-sama.
Wassalamu’alaikum ww.
Jakarta 3 Februari 2019.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus