Kamis, 18 Oktober 2018

Penglipuran, desa nan cantik di Bali.



Assalamu’alaikum ww.

Hari ini adalah hari ketiga liburan kami di Bali. Dari Jakarta telah kami rencanakan untuk mengunjungi Penglipuran, sebuah desa adat di Bali yang sudah mendunia. Ada yang menyebut sebagai desa terindah, dan ada yang menyebut sebagai desa terbersih. Yang jelas desa ini pernah menerima Anugerah Kalpataru. Desa adat yang berada di Kelurahan Kubu, Kecamatan Bangli, Kebupaten Bangli ini berjarak sekitar 45 kilometer dari Denpasar, berada dekat Ubud, Kintamani atau Gunung Batur. Sebenarnya jika menyebut desa terindah, ada lagi suatu desa di Propinsi Sumatera Barat yang memiliki julukan yang sama, yaitu desa Pariangan yang berada di lereng Gunung Merapi. Insyaallah suatu saat kesana juga.

Dari tempat parkir, kami memasuki jalan batu yang tertata rapi, dan kemudian sampai pada jalan yang bercabang. Kearah kanan naik keatas, dan kekiri menurun kebawah. Tak salah disebut indah, setiap rumah memiliki pintu gapura yang terbuat dari batu karas berukir khas Bali, namanya Angkul-angkul. Ukuran Angkul-angkul itu kelihatannya berukuran sama, tetapi designnya berbeda, Rumah-rumah mereka tidak tampak dari luar, terhalang pagar tembok. Baru tampak jika kita masuk kedalam. Diluar pagar, tanaman hijau subur beberapa sedang berbunga menyemarakkan suasana. Karena desa ini berada di ketinggian 700 meter di atas permukaan laut, udaranya sejuk.




Aku menyusuri jalan naik menuju Pura Penataran yang digunakan untuk acara-acara adat dan keagamaan. Luas desa adat Penglipuran  112 hektar, 40% nya digunakan sebagai lahan hutan bambu. Penduduk desa pada umumnya petani, pengrajin bambu dan peternak. Sedangkan ibu-ibu berjualan makanan, pakaian dan barang cinderamata bagi tamu wisatawan.


Kami memasuki salah satu pintu gapura. Ibu pemilik rumah mempersilahkan dengan ramah dan menawarkan jualannya. Disitu ada lemari pendingin kaca berisi minuman-minuman botol. Kemudian di meja tertata rapi berbagai penganan seperti kue bugis, klepon, beraneka keripik, kerpik pisang, singkong, ubi. Juga ada biscuit, pringels dan crackers. Bahkan di rumah yang lain ada yang menawarkan buah duren. Diantara beraneka makanan dan minuman yang dijual, ada yang menarik perhatianku.


Minuman berwarna hijau dalam botol aqua yang namanya Loloh Cem cem. Loloh dalam Bahasa Bali artinya jamu. Cem cem adalah nama tumbuhan sebangsa kedondong hutan. Jadi minuman ini dibuat dari  daun cem cem dengan sedikit irisan tipis panjang kelapa muda. Minuman ini rasanya enak, campuran dari rasa asem, manis dan asin. Sangat segar, apalagi jika diminum dingin. Sepintas rasanya seperti jus kedondong dengan kiamboy, yang juga biasa ada di restoran Malaysia dan Thai. Karena tanpa pengawet, minuman ini hanya tahan 2 sampai 3 hari saja. Minuman tradisional Loloh Cem-cem ini terkenal sejak beberapa tahun ini, dijual dengan harga Rp. 5.000,-  Ibu penjual juga menawarkanan Kopi Asli dari desa Penglipuran yang dibungkus dalam plastik bening, harganya Rp. 20.000. Sebagaimana diketahui Bali terkenal dengan kopinya. Kopi Bali banyak ditanam di daerah Kintamani dan Singaraja. Suamiku yang penggemar kopi, telah mencoba kopi asli yang dihadiahkan oleh pak Ketut Eka, pengemudi mobil yang kami sewa, Kopi Bali memiliki aroma lebih segar, dan ternyata lebih berat dari kopi yang biasa diminum dirumah, merk Kapal Api.



Setelah membeli beberapa macam makanan dan tak ketinggalam menikmati Loloh Cem cem, aku mulai melihat-lihat rumah asli Penglipuran. Yang masih asli tinggal dapurnya yang terbuat dari anyaman bambu. Meskipun dari anyaman bambu dan sudah jelek, dapur ini tidak boleh dirubah. Sedangkan rumah induknya sudah berganti rupa menjadi rumah-rumah seperti biasa, dengan pintu jendela kayu dan lantai keramik. Demikian pula saung untuk duduk-duduk juga telah berkeramik.

Desa ini dapat dikunjungi setiap harinya. Namun waktu terbaik adalah ketika menjelang atau setelah Hari Raya Galungan. Di hari itu akan dapat dilihat barisan penjor, hiasan dari pohon bambu dengan rangkaian janur kuning, yang berderet di sepanjang jalan desa. Juga dapat ditemui gadis-gadis Bali yang cantik berpakaian adat membawa persembahan yang disebut banten menuju pura. Aku mendapatkan foto dari Google, yang menggambarkan kemeriahan suasana  hari raya Galungan di Penglipuran.

Mengambil foto sebentar, kemudian aku turun menyusuri jalan dan mendapati tamu-tamu wisatawan sudah berdatangan. Ngobrol dengan salah seorang wisatawan domestik, ternyata beliau adalah Peserta suatu Seminar yang menyempatkan diri kesini bersama dengan teman-temannya.



Sebelum meninggalkan Penglipuran, kami berfoto di pintu gerbang desa sambil mengacungkan telunjuk ........... artinya mendukung Capres Nomor  1….. Wah, ikutan kampanye nih.....

Wassalamu’alaikum ww.

Jakarta, 18 Oktober 2018.






2 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus