Hari Pertama.
16 September 2018, 03.45 kami berangkat melalui Bandara Soekarno Hatta
mengawali perjalanan. Tujuan wisata kali ini agak berbeda dari yang biasa,
karena kita akan lebih banyak berinteraksi dengan alam. Rencana semula mau jalan-jalan
santai ke Solo dan sekitarnya, kemudian berubah menjadi wisata alam dan edukasi
ke Banyuwangi yang saat sekarang ini sedang trend.
Grup kecil kami terdiri dari 4 pasangan : kami berdua bersama teman-teman lama suami dan pasangannya, yang mereka adalah juga teman-temanku semasa menjadi aktivis (??) Dharma Wanita. Mereka adalah Bapak Novian dan ibu Ida Syafrida, Bapak Thamrin dan ibu Ida Zuraida dan Bapak Ari dan ibu Nenden.
Pesawat Citilink yang kami tumpangi ternyata kosong, hanya kita-kira 25%
tempat duduk yang terisi. Pesawat mendarat tepat waktu, dan kami segera
bergegas menemui Ibu Sofi, Pimpinan Travel yang kami pilih untuk tujuan wisata
kali ini. Begitu kami ketemu, beliau langsung mengalungkan syal batik kepada kami semua,
batik latar hitam dengan motif asli Banyuwangi, namanya motif Gajah
Oling. Wah, serasa jadi Pejabat…….
Kesan pertama menginjakkan kaki di Banyuwangi adalah kotanya bersih,
tidak padat, dan Bandaranya walaupun kecil tetapi telah siap menerima tamu dengan
menyediakan spot-spot untuk berfoto.
Untuk tour hari pertama ini, bu Sofi sendiri yang akan menemani kami
dengan mas Tono sebagai Drivernya. Mobil langsung menuju Restoran Sun Osing,
untuk sarapan pagi sebelum memulai tour. Kami menikmati hidangan berupa ketan
bubuk, nasi dengan udang goreng tepung dan sayuran bumbu cap jay. Sembari
makan, kami berdiskusi mengenai apa saja obyek wisata yang akan kami lihat hari
ini, yang sesuai dengan kondisi fisik kami. Disepakati 4 pilihan tujuan yaitu ke Hutan Pinus Songgon, ke Kampung Duren
Songgon, kemudian ke Hutan Trembesi yang biasanya disebut Jawatan, dan
yang terakhir menikmati Sun-Set di Pantai Pulau Merah.
Kami langsung
berangkat menuju arah selatan kota Banyuwangi, dan tiba di Hutan Pinus Songgon
yang masih sepi pengunjung. Barangkali karena terlalu pagi kami datang, petugasnya
saja masih menyapu. Udara sejuk disini sangat kontras dengan panasnya cuaca di
musim kemarau. Dibawah payung-payung merah yang cantik, kami berfoto bersama dan kemudian
berfoto sepasang-sepasang, dengan Bu Sofi sebagai pengarah gaya. Seolah kita
sedang foto Pre-Wed nih ......... he he he ....
Meninggalkan hutan pinus, tetapi masih di desa Songgon, kami kembali turun menuju Kampung Durian. Mobil diparkir di pinggir jalan besar, karena tidak bisa masuk ke lokasi yang akan dituju. Kami berjalan kaki ke dalam kampung. Tampak pohon-pohon durian yang tinggi menutupi langit, hingga udara terasa sejuk sekalipun musim panas. Kampung ini dulu bernama Kampung Selada, karena banyak menghasilkan selada air. Air bening segar berlimpah, berasal dari Gunung Raung. Kini kampung ini lebih dikenal sebagai kampung penghasil durian, khususnya "durian merah" yang hanya satu-satunya di Indonesia, atau mungkin di dunia.
Kebun yang kami tuju adalah kebun milik Pak Likin, yang masih memiliki
durian merah, karena sebenarnya saat sekarang musim durian sudah lewat. Durian
merah adalah primadona wilayah ini. Di bulan Maret-April, dimana musim durian
berlangsung, daerah Songgon ini sangat ramai karena diadakan Festival Durian.
Ketika itu harga sebuah durian merah Rp. 250.000. dan dijajakan di
pinggir-pinggir jalan. Walaupun sudah tidak musim, durian merah tetap ada di
kota Banyuwangi, tetapi sudah masuk kulkas. Jadi, bukan durian segar. Untuk
penggemar durian, silahkan datang di bulan-bulan itu.
Setelah berjalan sekitar 1 km dari pinggir jalan besar, tibalah di kebun Pak Likin. Sambil ngobrol, diceritakan tentang kebun durian miliknya, yang merupakan warisan keluarga. Kata Pak Likin, pohon-pohonnya sudah tua, sehingga buahnya tidak besar juga dagingnya tidak tebal. Keistimewaannya adalah, dari setiap pohon pasti ada buah yang merah. Seperti layaknya pohon kelapa, dari satu pohon hanya ada beberapa yang kopyor, tidak semua. Demikian pula pohon durian di Songgon ini. Belum dapat diketahui, apakah jika ditanam di daerah lain akan juga muncul durian merahnya? Di musim durian lalu, ada orang Malaysia yang memborong durian merah dari kebunnya untuk ditanam disana.
Kami penasaran, seperti apa rasa durian merah itu. Setelah disepakati, yaitu untuk satu buah durian merah yang segar, bukan dari kulkas, harganya Rp. 450.000, maka Pak Likin masuk ke rumah mengambil durian merah untuk kami. Kami dibukakan beberapa durian dengan daging kuning. putih dan sebuah durian yang berdaging merah. Semua durian itu kami nikmati di meja besar di kebunnya.
Ternyata durian yang merah, isi dagingnya berwarna pink tua dan rasanya tidak selegit durian yang berdaging kuning dan putih. Sekalipun demikian, biji durian merah yang hanya berjumlah 8 butir itu dikumpulkan oleh pak Thamrin, nanti akan ditanam di kebunnya di Dolok Sanggul Sumatera Utara. Siapa tahu akan muncul buah yang merah juga. Kami meninggalkan kebun Pak Likin dengan puas, dan kembali menuju ke jalan besar diantar dengan sepeda motor.
Di perjalanan, kami membahas durian yang tadi kami nikmati. Durian yang
kuning dan putihpun, tidak setebal dan seenak Durian Ucok dari Medan, yang
rasanya belum ada tandingannya. Untuk menjaga nama, Ucok pasti telah menyeleksi
setiap durian yang dia beli untuk dijual.
Waktu sholat Zuhur tiba dan perut mulai lapar. Bu Sofi membawa kami ke
sebuah restoran yang bernama Warung Seblang. Kata Seblang itu artinya sebelnya
hilang. Benarkah? Lokasinya di pinggir jalan besar, dan dibelakang Warung
terdapat sawah yang menghijau. Untuk sholat, tersedia Mushola yang bersih. Jadilah
kami betah berlama-lama menikmati pemandangan sawah dan bunga-bunga Marygold serta
Lantana yang beraneka warna. Beberapa spot untuk foto-foto disediakan. Teman-temankupun
tak melewatkan kesempatan action berfoto ria. Masakan yang disajikan tidak
berbeda dengan restoran lainnya, tetapi dengan sentuhan rasa sedap. Ada masakan
yang aku belum pernah makan, berupa rebusan daun semanggi dengan sambal sereh
(??) Sedap sekali….
Tujuan selanjutnya adalah De Jawatan, berlokasi di Benculuk, Banyuwangi.
Barangkali inilah nama asli sejak jaman Belanda dulu. Tempat ini merupakan
hutan pohon trembesi yang sudah berumur puluhan tahun. Pohon besar-besar
itu masih tampak segar dengan cabang-cabang serta dedaunan hijau dipucuk-pucuknya.
Pada batangnya tumbuh menempel tanaman epiphit, seperti bulu-bulu hijau. Berada
disini, terasa teduh dan nyaman, layaknya berada di hutan. Terdapat satu
diantara pohon besar yang diberi tangga dibawahnya. Ini menarik minat bu Nenden dan pak Thamrin untuk memanjat hingga ke atas. Luar biasa Eyang dan Opung
ini........ Kesempatan untuk menyalurkan
hobi dan bakatnya, ibu-ibu puas berfoto hingga kehabisan gaya …. dan
bapak-bapak action seperti Boy Band Super Junior ……asyiiik, rasanya seperti
muda kembali……
Untuk hari ini, tujuan wisata terakhir adalah Pantai Pulau Merah. Lokasi
tempat ini cukup jauh, sekitar 2 jam perjalanan. Tiba di Pantai Merah, sekitar
habis Ashar. Karena hari ini hari minggu, pengunjung cukup banyak.
Anak-anak gembira bermain air disepanjang pantai, sekalipun dibawah terik
matahari. Sambil duduk di kursi malas sewaan, kami menikmati sepoi-sepoi angin
laut. Pulau Merah tepat didepan mata, sebuah pulau berupa bukit karang. Dan
agak ditengah laut dikejauhan, tersebar banyak pulau-pulau seperti Pulau Merah
ini. Menurut bu Sofi, Jika kita berkunjung kesini di pagi hari, kita bisa menyewa
kapal atau perahu mengelilingi sebelas pulau kosong yang tampak didepan kami
itu, kira-kira memerlukan waktu sekitar 5 jam.
Sepintas Pulau Merah dan gugusan pulau-pulau itu mirip dengan yang ada
di Ha Long Bay, Viet Nam. Demikian pula perbukitan yang ada dipinggir
lautnya, persis seperti lokasi hotel-hotel tempat menginap disana.
Perbedaannya, di Pulau Merah dan pulau-pulau sekitarnya ini ombaknya besar,
ombak Pantai Selatan yang garang. Kurang pas untuk menjadikannya obyek wisata
dengan investasi tinggi. Kelihatannya kali ini matahari tidak tenggelam di
laut, tetapi akan tenggelam di perbukitan, sehingga kita tidak akan
melihat sun-set yang indah. Sebelum saatnya sun-set tiba, kami telah meninggalkan
pantai Pulau Merah, mengingat masih jauh jarak yang ditempuh menuju kota
Banyuwangi.
Bu Sofi mengajak kami makan malam di sebuah Tempat Makan yang dilewati
dalam perjalanan kembali ke kota Banyuwangi. Tempat makan ini namanya Warung
Nasi Tempong, kuliner khas Banyuwangi. Tempong artinya pedas. Kekhasannya
terletak pada sambalnya. Sambal tomat ranti diuleg langsung, sehingga
benar-benar segar dan sedap. Bagaimana cara memesan makanannya? Penjual
mengambilkan nasi hangat dari tempatnya dan Pembeli memilih lauk-lauk yang
tersedia seperti ayam, ikan, cumi dan lain-lain. Ada juga sayuran rebus,
ketimun, terong goreng. Dengan lahap kami menikmati makan malam disini ini.
Demikianlah tour hari pertama berakhir, kami diantar cek in di Hotel Aston.
Hari Kedua.
Setelah sarapan pagi di hotel, mobil telah standby hendak mengantarkan kami menjelajahi obyek lain di Banyuwangi. Sesuai Itinerary, hari ini kami akan menuju Taman Nasional Alas Purwo yang luasnya 43.000 hektar, dimana terdapat beberapa obyek wisata. Hari ini bu Sofi ada acara yang tidak dapat ditinggalkan, dan gantinya kami ditemani mas Ipung sebagai Tour Guide. Anak muda ini memiliki kemampuan dalam menjelaskan keistimewaan kota dan budaya Banyuwangi. Sepanjang perjalanan, kami mengobrol seru tentang apa itu Osing, Santet, Jaran Goyang, dan Semar Mesem, yang menambah wawasan dan pengetahuan kami. Ternyata kata ‘santet’ sudah demikian umum, bukan serem seperti yang aku kira. Aku lihat di Box kardus oleh-oleh, ada kata-kata : Kudu dijogo hang bener, Rusak Santet !. Maksudnya lebih kurang : agar dijaga baik-baik, jika sampai rusak, akan di santet ……..
Jarak dari Banyuwangi ke Taman Nasional Alas Purwo sekitar 120 km. Menuju kesana memerlukan waktu maksimal 3 jam. Mengingat nama Alas Purwo sering digambarkan sebagai tempat jin yang angker dan wingit, maka sebelum memasuki Alas Purwo kami menanyakan hal apa saja yang dilarang untuk dilakukan. Yang penting berniat baik, tidak takabur, tidak sembarangan berbicara dan tidak sembarangan membuang sampah.
Ketika jalanan
mulai sepi dan rumah-rumah mulai jarang, akhirnya kami tiba di Gerbang Taman Nasional
Alas Purwo. Begitu memasuki gerbang, rupanya jalan masuk sedang diperbaiki.
Mobil kami harus berjalan pelan-pelan. Tiba di pos penjagaan Rowobendo mas
Ipung lapor ke Petugas Jaga. Sambil menunggu mas Ipung, ketika itu terdengar
azan. Kamipun melaksanakan sholat berjamaah di Pos Penjagaan tersebut. Sayang
sekali Musholanya kotor, sedangkan ini adalah satu-satunya mushola yang ada di
Alas Purwo. Terbetik keinginan untuk suatu saat menyumbangkan karpet sajadah
menggantikan yang sudah lusuh. Insyaallah….
Berada beberapa puluh meter dari Pos Jaga Rowobendo, terdapat sebuah
Pura yang usianya sudah ratusan tahun, namanya Pura Kawitan. Pura ini merupakan
Tempat suci bagi pemeluk Hindu, yang masih sering diziarahi. Menurut cerita,
mengapa disebut Kawitan, karena dari sinilah agama Hindu di jaman dulu mulai
berkembang. Di dekat Pura Kawitan, terdapat Pura yang lebih besar, yang sering
digunakan untuk upacara-upacara hari besar agama Hindu. Namanya Pura Luhur Giri
Salaka. Mobil berjalan pelan-pelan, memberi kesempatan kami melihat lebih dekat
Pura tersebut.
Selanjutnya kami menuju Unit Sadengan, dimana terdapat Padang Rumput Sadengan yang luasnya 80 hektar. Lokasi ini terletak 12 km dari Pintu masuk Alas Purwo. Sebelum memasuki lokasi, kami telah disambut oleh Burung Merak yang bulunya indah berwarna hijau, berjalan-jalan santai. Unit Sadengan memiliki Gardu Pandang yang bisa digunakan untuk melihat hewan-hewan yang sedang merumput. Aku melihat dengan mata kepala sendiri, dari kejauhan tampak beberapa ekor Banteng, Menjangan dan Monyet. Banteng jantan berwarna hitam, dan yang betina berwarna coklat muda. Siang ini kami dibawakan lunch box untuk makan siang. Sambil menikmati pemandangan savana, kami menikmati makan siang dan sekaligus ngopi dari kopi hitam yang dibawa sendiri.
Setelah beberapa saat beristirahat, kami meninggalkan Unit Sadengan
menuju Unit Penangkaran Satwa Ngagelan, yang merupakan tempat
konservasi satwa, khususnya penyu. Unit ini lokasinya berjarak 6 km dari Pintu
masuk Taman Nasional. Bersyukur, Indonesia memiliki 6 dari 7 jenis penyu yang
ada di dunia. Sudah selayaknya kita mengusahakan keberlangsungan hidupnya. Di Pantai sepanjang 18,5 Km yang berada di ujung timur Pulau Jawa
menghadap ke Laut Selatan, terdapat 4 jenis Penyu yang menjadikan wilayah
ini sebagai home base nya. Jenis Penyu Belimbing, Penyu Sisik, Penyu Hijau dan Penyu
Abu-abu secara rutin bertelur disini.
Semua jenis Penyu merupakan binatang yang dilindungi. Penyu Belimbing bertelur di bulan November, telurnya tidak sebanyak jenis penyu lain. Penyu Hijau dan Abu-abu bertelur di sekitar bulan Juli. Setelah bertelur, kemudian telur-telurnya ditimbun pasir, induknya langsung kembali ke laut, tanpa memikirkan bagaimana kelajutan kehidupan anaknya yang biasa disebut Tukik itu. Padahal tanpa campur tangan pertolongan manusia, hanya 20% tukik yang selamat dari Predator pemangsa. Begitu tukik itu bisa keluar dari timbunan pasir, burung, monyet, dan binatang-binatang yang ada di hutan Alas Purwo akan memangsanya.
Untuk itulah, Unit Ngagelan yang termasuk wilayah kerja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menjaganya. Setiap malam diperhatikan jika ada Penyu yang naik ke pantai. Dari lokasi bertelur dan besarnya jejak kaki, dapat diketahui jenis penyu apa yang bertelur. Penyu Belimbing adalah penyu yang terbesar, bertelur agak ketengah, sekitar 5 M dari pantai. Penyu Abu-abu 3 M dari pantai. Telur-telur itu jumlahnya cukup banyak, sekali bertelur sekitar 100 telur, kecuali Penyu Belimbing yang lebih sedikit dari jumlah itu. Dari catatan Unit ini, dari Th 2017 ke 2018, jumlah penyu yang naik bertelur meningkat.
Para Pakar Penyu mengatakan, bahwa Penyu akan kembali ke habitat lahirnya, ketika akan bertelur. Jadi, Tukik yang dilepas dari suatu wilayah, Ngagelan misalnya, suatu saat akan kembali ke Ngagelan lagi untuk bertelur, sekalipun sudah melanglang buana. WWF (World Wide Fund for Nature) pernah melakukan suatu penelitian untuk mengetahui seberapa jauh perjalanan Penyu-penyu itu, dengan memasang Transmiter di badan penyu selama 1 tahun. Penyu yang bertelur di Ngagelan itu telah sampai ke negara-negara tetangga.
Kami melihat penempatan telur penyu yang baru, setelah dipindahkan dari lubangnya. Tempat itu berupa bangunan berpagar besi, dengan dasar lahan pasir berbentuk segi empat, dan beratap jaring. Didalam pasir itu ditanam telur-telur jenis penyu tertentu, dengan keterangan tanggal diambil dan tanggal akan menetas serta jumlah telur yang tersimpan. Di tempat lain, saya melihat tukik-tukik yang dipelihara di bak sedang berenang di air. Terasa bau amis menguar, karena tukik-tukik itu diberi makan ikan teri. Tukik yang dipelihara disitu tidak banyak, hanya untuk pembelajaran. Unit ini juga dipergunakan untuk praktek belajar konservasi Penyu bagi anak-anak SMK Kehutanan. Saat ini sedang berada disini beberapa orang anak SMK Kehutanan Ujung Pandang.
Tukik-tukik yang telah menetas segera dilepas kelaut. Jika ada tamu yang
datang seperti kita sekarang ini, berkesempatan untuk ikut melepasnya. Begitu
banyak predator yang menghadang kehidupan tukik ini, bukan berarti setelah
dilepas dilaut mereka akan selamat, wallahu alam.... mungkin juga ikan besar
siap melahapnya. Setidaknya ketika di darat sudah terjaga, bebas dari sebagian
predator. Dengan takjub kami ikut melepas tukik yang baru diambil dari
penyimpanan ke laut lepas. Ada yang masih terdiam beberapa lama, mungkin sedang
mengenali lokasi terlebih dahulu untuk suatu ketika kembali, ada juga yang
langsung berlari menuju air. Semoga engkau survive dan suatu saat kembali ke
Ngagelan.........
Jika melihat suasana hutan Alas Purwo dan pantai Ngagelan, pasti malam hari
sangat sunyi. Terbayang bagaimana para Petugas tinggal dalam hutan belantara
yang rapat, yang dalam bahasa pewayangan disebut ‘Alas Gung Liwang Liwung’.
Yang terdengar hanya deburan ombak pantai selatan. Untunglah mereka telah
diatur secara bergantian pulang dua hari sekali. Rumah mereka di desa diluar Alas Purwo. Mereka adalah PNS dan Pegawai Honorer yang setia bekerja demi kelangsungan
hidup satwa penyu.
Terik matahari tak menyurutkan hobi kami berfoto. Jadilah foto
kenang-kenangan, kami berempat dengan senyum manis bergaya di pantai nan
berpasir halus di ujung Pulau Jawa. Demikian pula ketika keluar dari Pintu
Gerbang Taman Nasional Alas Purwo, tak ketinggalan berfoto dengan gaya kekinian,
gaya boomerang .......
Malam ini kami dimanjakan dengan makan malam hidangan sea food, hidangan ikan kue dengan dabu-dabu yang segar, di Restoran Srengenge Wetan, di kota Banyuwangi. Alhamdulillah......
Hari Ketiga.
Kami breakfast bersama di Hotel Aston. Bermacam-macam makanan tersaji,
tinggal pilih. Namun demikian, dengan usiaku yang sekarang, rasanya sudah tidak
lagi punya banyak keinginan dalam hal makanan. Bahkan kadang hanya minum kopi saja
sudah cukup.
Acara hari ini adalah mengunjungi Taman Nasional Baluran dan Pantai Bangsring, kemudian kembali ke hotel untuk beristirahat karena nanti malam 4 orang teman berencana naik ke Kawah Ijen. Kalau dua hari kemaren tujuan wisata yang kami kunjungi berada di arah selatan Banyuwangi, sekarang kami menuju ke utara. Mas Ipung menjelaskan nama dan sejarahnya tempat-tempat yang kami lalui antara lain Watu Dodol, dimana terdapat batu yang berdiri diatas lahan yang tinggi. Dari Watu Dodol ini Pulau Bali tampak sangat dekat, seperti hanya tinggal selangkah saja.
Tak terasa kami telah sampai Pintu depan Taman Nasional Baluran, yang
biasanya disebut Pos Batangan. Taman Nasional ini terletak di Banyuputih,
Situbondo, atau berada di Jl. Raya Banyuwangi - Situbondo km 35. Pertama-tama
kami diberikan penjelasan singkat mengenai Taman Nasional Baluran ini oleh
Petugas. Dari Petugas Taman Nasional diperoleh informasi, apa saja binatang
yang berada di hutan Taman Nasional ini. Binatang buasnya Macan Tutul dan Macan
Kumbang. Yang lain adalah Kerbau, Menjangan, Anjing hutan, Babi hutan, Monyet
dan Rusa. Ketika musim hujan tiba, lebih banyak binatang yang berada disekitar
jalan. Ular, Biawak, Monyet dan Burung, khususnya burung merak.
Baluran adalah nama sebuah gunung, yang kemudian digunakan sebagai nama
Taman Nasional. Saat sekarang gunung Baluran tidak aktif. Menurut cerita,
terakhir gunung ini meletus di sekitar tahun 1930 an. Letusan gunung Baluran
masih menampakkan bekasnya, yaitu ada sebagian lahan yang tanahnya berwarna
hitam, dengan batu-batu yang lumayan besar dan tidak ditumbuhi tanaman.
Taman Nasional Baluran memiliki luas 25.000 hektar, dimana 40% nya
berupa padang savana. Inilah salah satu savana terluas di Pulau Jawa, bahkan
ada yang menamakannya dengan padang savana di Afrika. Baluran dimusim
kemarau ini sangat kering. Pepohonan meranggas tak berdaun, tetapi akan segera
berubah menghijau ketika hujan turun. Saat ini jalan akses masuk sedang
diperbaiki. Truck-truk pasir dan batu mondar-mandir menumpahkan muatannya. Menurut
Petugas, proyek jalan ini harus selesai di akhir tahun 2018 ini. Dari pos masuk
Batangan, terdapat dua jalan akes masuk, ke kiri dan ke kanan. Kami menuju
kearah kanan. Jarak tempuh dari sini hingga ke pemberhentian pertama di Padang
Savana Bekol adalah 6 km, dan kemudian ke Pantai Bama 4 km.
Selama perjalanan, melihat
keringnya seluruh pepohonan yang ada, aku sangat khawatir jika terjadi kebakaran.
Bagaimana tidak khawatir, aku melihat sendiri pekerja yang mengerjakan proyek
jalan ini, dengan santainya merokok......... Padahal menurut Petugas Taman
Nasional, dilarang merokok di seluruh Kawasan ini. Jika benar terjadi kebakaran
hutan, siapa yang akan menolong kami ditempat sepi, yang dikelilingi
pohon-pohon kering seperti ini? Aku berdoa, semoga semuanya selamat hingga
kembali ke rumah.
Meskipun hampir seluruh pepohonan yang ada terlihat gersang kerontang, tetapi terdapat bagian lahan yang pepohonannya tetap hijau. Wilayah yang sedikit ini disebut Kawasan Ever Green. Mengapa sangat berbeda? Rupanya dibawah kawasan Ever Green ini terdapat ceruk sungai, sehingga pepohonan masih bisa bertahan di musim kemarau. Ever Green berada sekitar 500 m sebelum Savana Bekol.
Akhirnya kami sampai di padang Savana Bekol. Dibawah teriknya matahari, tampak gersang dengan rumput berwarna kuning kecoklatan. Ditengahnya terdapat pohon yang tak berdaun dan kering kerontang. Sederetan kerangka kepala banteng merupakan hiasan padang savana yang eksotis, menunjukkan bahwa banteng sebagai ikon Taman Nasional Baluran. Dibelakang kami, Gunung Baluran tegak gagah perkasa dibawah langit biru di musim kemarau. Sungguh pemandangan yang menakjubkan. Aku sibuk memotret pemandangan savanna yang belum pernah aku saksikan........ Subhanallah.........
Dari Savana Bekol, kami melanjutkan perjalanan ke Pantai Bama. Jarak
tempuhnya 4 km. Mas Ipung wanti-wanti untuk tidak memberikan makanan kepada
monyet-monyet, karena mereka agresif dan jumlahnya banyak. Mereka duduk-duduk
bengong di bawah pohon, dan banyak juga yang mencari sesuatu yang dapat dimakan
dipinggir laut. Kasihan, kita tidak memberi sedikitpun makanan. Kira-kira 500
meter dari Pantai Bama, terdapat hutan mangrove yang cukup luas. Kami
melihat-lihat kesana.
Di Pantai Bama kami sholat berjamaah di Mushola pinggir pantai yang
cukup bersih. Selanjutnya meninggalkan
Taman Nasional Baluran melalui jalan yang tadi kami masuki. Ada keinginan di
hati, untuk suatu ketika dapat mengunjungi lagi tetapi bukan di musim kering
seperti sekarang. Berharap melihat keindahan hijaunya Taman Nasional
ini. Matahari sedang terik, para pekerja proyek jalan sedang istirahat.
Mobil lebih cepat sampai di Pos Batangan tanpa hambatan. Kami menunda makan
siang, hingga berada di tempat yang nyaman, rencananya makan siang di Pantai
Bangsring.
Memasuki Pantai Bangsring, mobil berjalan melalui jalan perkampungan
yang sisi-sisinya ditanami cabe rawit. Sebenarnya sudah bisa dipanen karena
sudah banyak yang berwarna merah. Mungkin beberapa hari lagi, menunggu saat benar-benar
merah. Tiba di tempat, langsung kami memilih saung untuk beristirahat sambil
makan siang lunch box. Teman-teman memesan kelapa muda, teh dan kopi untuk
menemani makan siang kami. Kelapa mudanya memang benar-benar muda, manis
dan segar.
Bangsring berlokasi dekat dengan pusat kota Banyuwangi sehingga mudah dijangkau. Disini terdapat lokasi untuk snorkling dan diving, dengan keindahan bawah lautnya. Menurut petugas, kondisi terumbu karang yang dulu sempat rusak, sedikit demi sedikit diperbaiki. Sekarang sudah bagus sehingga ikan-ikan berdatangan. Dari sini, kita dapat menyeberang laut menuju sebuah pulau kecil yang kosong, pulau Tabuhan, yang juga merupakan lokasi snorkling.
Bangsring juga merupakan area konservasi ikan hiu, yaitu ikan hiu
hasil ikutan tangkapan nelayan dirawat dan dipelihara di Rumah Apung milik
pemerintah. Kami menuju Rumah Apung dengan naik perahu khusus yang telah
disediakan. Ikan hiu yang ada di jaring pemeliharaan masih kecil. Jika sudah
agak besar, dilepas ke laut. Disamping ikan hiu, teryata dibawah Rumah Apung
banyak sekali ikan-ikan berbagai jenis dan warna. Dengan roti tawar yang kami
berikan, ikan-ikan itu berebut makanan. Senang sekali bercanda dengan ikan-ikan
disini, hingga rasanya enggan pulang.
Sebelum kembali ke hotel, kami ingin membeli oleh-oleh. Toko oleh-oleh
Osing Deles yang telah terkenal menjadi tujuan para wisatawan. Berderet bus
wisata parkir dipinggir jalan. Berbagai macam oleh-oleh khas dari Banyuwangi
seperti batik, kaos, dan makanan atau kue kering bisa diperoleh disini. Kami
kembali ke hotel untuk beristirahat, karena nanti malam akan menikmati makan
malam kuliner Banyuwangi dengan iringan musik. Disamping itu, teman-temanpun
harus mempersiapkan diri untuk ke Kawah Ijen.
Hari Keempat.
Kami bertemu dengan teman-teman yang kembali dari Ijen ketika breakfast.
Mereka berangkat jam 02 malam, dan tiba di hotel jam 09 pagi. Semuanya puas dan
bersyukur telah mengunjungi Ijen yang menjadi primadona wisata Banyuwangi,
meski dengan penuh perjuangan. Yang semula berencana berjalan kaki, akhirnya
naik gerobak. Medan yang sangat berat telah terbayar dengan keindahan dan
eksotisnya Kawah Ijen. Sayang sekali, belum sempat melihat Blue Fire si api biru. Foto-foto
mereka keren…. Ibu-ibu yang gagah berani ….
Kami segera cek out dari hotel, untuk makan siang disebuah Warung dengan
masakan khas Banyuwangi, namanya rujak soto. Rujak dengan kuah soto. Walaupun
kurang pas di selera kami, namun beruntung sudah merasakan sesuatu yang baru,
menambah pengalaman.
Terima kasih bu Sofi, mas Ipung dan mas Tono, yang telah menemani kami
dengan pelayanan yang sangat bagus. Terima kasih juga kepada teman-teman, telah
bersama-sama menikmati perjalanan yang menyenangkan ……(kata iklan rokok Sampurna
: Nggak ada loe nggak rame)……..
Sampai ketemu di perjalanan selanjutnya …..... Insyaallah....
Wassalamu'alaikum ww.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar