1. BAPAK DAN IBUKU
Kenanganku dengan Bapak
Bapak adalah sosok yang sederhana, yang biasa hidup prihatin. Barangkali karena beliau orang desa, dan sebagai anggota Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, terbiasa hidup di daerah pedalaman dan hutan. Ketika aku kecil jarang ketemu dengan Bapak, karena beliau selalu dinas ke luar kota.
Bapak adalah seorang yang pendiam, atau
setidaknya tidak banyak omong. Namun tetap menjadi orang yang sering dimintai
nasehat atau pertolongan. Aku mengetahui bahwa Bapak sering dimintai
pertimbangan oleh Bu Trisni, baik itu mengenai kelancaran bisnis batiknya,
maupun dalam hal menyelesaikan permasalahan keluarganya.
Beliau pensiun dengan pangkat Letnan Satu di usia belum 50 tahun. Setelah pensiun, bersama seorang kawannya memulai usaha berdagang minyak tanah dan minyak goreng. Tokonya berada di Pasar Palur, di pertigaan besar jalan menuju Karang Anyar dan Sragen yang sangat ramai.
Jika Bapak tindak Jakarta untuk menengokku atau menengok Dik Pri, tidak pernah memberi kabar sebelumnya. Beliau datang dari Solo selalu naik bus, naiknya bukan dari Terminal, tapi dari Purwosari. Mengapa begitu? Kalau naik dari luar kota, berarti harga tiketnya murah. Busnya pun bus yang jelek, kadang-kadang tidak ada tutup jendelanya atau ber-AC angin. Sampai Jakarta langsung minta dikeroki. Jika ke Jakarta, beliau sering membawa oleh-oleh ayam goreng ayam kampung yang dibeli di Pasar Gede. Kadang-kadang juga Ayam Bakar Tojoyo yang manis itu.
Ketika itu Dandy masih berumur sekitar 3 atau 4 tahun. Sore-sore di teras depan Rumah Komplek, aku sedang beberes ruang tamu. Bapak lenggah di salah satu kursi di sebelah utara dan Dandy di sebelah selatan.
“Ayo, arep sekolah kudu bisa nyanyi Garuda Pancasila.”
Bapak ndawuhi
Dandy menyanyikan lagu Garuda Pancasila. Dandy turun dari kursi, berdiri
tegak di hadapan Mbah Kakungnya dengan sikap bersiap, tangan lurus ke bawah.
Garuda Pancasila ...
Akulah pendukungmu ...
Patriot Proklamasi ….
Baru beberapa bait, lagu belum selesai Bapak sudah sare... He he he…
Kami menikmati malam minggu dengan begadang, nonton TV dan main kartu hingga larut malam. Sebelum cucu-cucu tidur, Bapak dengan membawa seblak menghalau nyamuk di kamar-kamar yang akan kami tiduri.
Besok paginya, kami yang ketika itu masih muda-muda jalan kaki ke Pasar Kranggan, olah raga sambil berbelanja. Demikian pula, pulangnya juga jalan kaki lagi. Waktu itu Jalan Raya Jatiranggon masih belum banyak kendaraan, enak buat olah raga jalan kaki. Kami sering membeli kue pancong kesukaan Mas Suami. Kue kesenangan orang Betawi ini, biasanya dimakan sambil nongkrong minum teh atau kopi hangat di lapaknya. Kadang pengunjungnya masih berselimut sarung agar tidak kedinginan, karena lapak kue pancong buka jam 4 pagi.
Sepulang dari Kranggan, kami masak sayur bening bayem jagung kesukaan Bapak, tak lupa sambal terasi, tempe tahu goreng, dan udang kali yang kecil-kecil manis itu. Bapak asyik membersihkan pohon-pohon pisang dari pelepah dan daun-daunnya yang sudah mongering di kebon belakang. Rupanya pada kesempatan seperti itu kadang Bapak ngobrol dengan tetangga.
Sewaktu aku berdua pergi haji di tahun 1991 Bapak gerah, tapi oleh adik-adik dirahasiakan ke kami yang sedang di Tanah Suci. Ketika kami tiba di Tanah Air ternyata Bapak dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto. Bapak merasa punya hak untuk dirawat di sana, meskipun menurutku tidak mendapat perhatian yang baik.
Hari-hari kami bergantian mengunjungi Bapak. Aku tidak tega melihat suster membersihkan luka Bapak. Mas Suami dan Dik Astrid yang rajin ikut membersihkannya. Rupanya luka lama dari zaman Bapak masih dinas di TNI yang tidak mendapat pengobatan tuntas, mengakibatkan komplikasi ke penyakit lain.
Kami baru mengetahui masalah ini setelah Dokter Gentur, Dokter Bedah di RSPAD menyarankan agar Bapak dipindahkan ke Rumah Sakit Kramat 128. Mengapa harus ke situ? Ternyata di RS tersebut Dokter Gentur praktek swasta dan di sana ada Dokter Zubairi Djoerban ahli penyakit darah.
Pagi hari Bapak diambil darah untuk diperiksa di laboratorium. Sore harinya begitu hasil laboratorium selesai, Dokter Zubairi Djoerban memanggil kami berdua. Beliau menyampaikan bahwa Bapak mengidap kanker plasma darah yang disebut Multiple Myeloma sudah stadium 3.
Kami kaget, tak menyangka sudah segawat itu. Kondisi ini kami rahasiakan kepada Bapak. Sekitar 18 hari dirawat di sana dan sempat masuk di ICU. Beliau menghadap Tuhannya di hari Rabu, 28 Agustus 1991, sekitar jam 22.00 di usia 68 tahun.
Di saat-saat terakhir itu hadir aku berdua Mas Suami, Dik Pri, Dik Sus, Bu Haryono, Mas Dul Alimin dan Pak Sudarman tetangga sebelah rumah kami di Komplek. Jenazah dibawa ke Solo dengan pesawat Garuda, dimakamkan di Pemakaman Keluarga Plumbon, sebelah timur kota Solo.
Innalillahi wa innailaihirojiuun…
Semoga Allah SWT menerima amal ibadah Bapakku, mengampuni segala dosanya, dan menempatkan beliau di tempat mulia di sisiNya. Aamiin, aamiin, aamiin Ya Robb al alamin…
Ibu adalah sosok seorang pekerja keras dan mandiri. Dengan 5 orang anak, yang satu dengan lain hanya berjarak umur setahun, tentulah sangat repot. Ibu bekerja sebagai Pegawai Telkom Solo. Karena Ibu setiap hari harus ke kantor, sejak aku kecil sudah dilatih untuk mengerjakan hal-hal ringan, yang bisa dikerjakan sesuai umurku. Semakin besar juga semakin berat.
Kebiasaan masa kecil itu yang membuatku terbiasa mengerjakan hal-hal yang bisa dikerjakan sendiri, walau setelah bekerja dan berumah tangga sudah ada Mbak Asisten Rumah Tangga dan Pak Sopir. Kebiasaan mandiri dan tidak menggantungkan kepada pihak lain, merupakan warisan dari Ibu.
Saat SMP di mana aku sudah melaksanakan sholat 5 waktu dan puasa di bulan Ramadhan, Ibu selalu membangunkan aku di waktu sahur dengan membuatkan wedang soklat (kalau sekarang Milo) dan menyiapkan makanan sederhana meskipun Ibu sendiri tidak berpuasa.
Aku bersyukur. Dalam penantian perjalanan waktu yang panjang, akhirnya Ibu melaksanakan sholat 5 waktu.Itu terjadi ketika aku sudah berdinas sebagai Notaris di Cikampek. Alhamdulillah, di tahun 2003, beliau aku dampingi berangkat menunaikan ibadah haji.
Ibu tinggal bersama kami di rumah Komplek Pertambangan Duren Tiga sejak tahun 90-an. Sempat beberapa tahun di rumah adikku Dik Pri di Jati Kramat Indah, Bekasi. Sebenarnya kami punya rumah di Tipes Solo yang dulunya dibangun untuk Ibu tempati, tapi ibu merasa rumah itu terlalu besar kalau hanya untuk Ibu berdua Yu Wi, asisten rumah tangganya yang setia.
Suatu ketika Ibu mau kondur ke Solo, berencana merenovasi Rumah Sorogenen dengan biaya dari hasil menjual rumah kecil yang lain. Aku nggak setuju tapi kemauannya tidak bisa ditahan. Usia Ibu sudah 70 tahun, mau merenovasi rumah? Mengapa enggak diserahkan kepada tukang yang dipercaya saja?
Menurut cerita Yu Wi, pada suatu malam Ibu mau ke kamar mandi, tapi kok tidak bisa turun dari tempat tidur. Yu Wi sudah mengingatkan agar memberi tahu ke kakakku Mbak Sam. Tapi ibu bilang besok saja. Sekarang sudah malam.
Rupanya saat itu Ibu kena stroke. Padahal "golden time" untuk stroke hanyalah 4 jam. Setelah waktu tersebut terlewati maka sudah terlambat. Meskipun bisa sembuh, biasanya akan cacat.
Mengapa Ibu bisa stroke, padahal tidak punya sakit tekanan darah tinggi, juga tidak ada diabetes. Tekanan darahnya cenderung rendah. Rupanya Ibu kepikiran karena uangnya sudah habis, padahal rumah yang direnovasi belum jadi. Ini suatu pelajaran bagi aku, untuk tidak ngoyo dan kemrungsung di kala usia telah lanjut.
“Mas, aku melu Mas Djoko wae”
Begitu kata Ibu kepada suamiku ketika beliau habis
dirawat di rumah sakit. Kata-kata beliau itu diucapkan saat pertemuan empat
mata dengan Mas Suami di Rumah Sorogenen. Aku, Mas No, Mbak Sam serta adik-adik
lainnya menunggu di ruang tamu. Setelah itu kami berdua pulang ke Jakarta.
Beberapa hari kemudian, Ibu dengan diantar Dik San, suami Dik Gun dan Yu Wi,
tiba di Jakarta dengan naik pesawat.
Ketika beliau sudah di Jakarta, pengobatan selanjutnya kami serahkan ke Dr. Kamalia, Ahli Penyakit Syaraf di Rumah Sakit MMC. Selain berobat ke rumah sakit, Ibu juga aku antar berobat tusuk jarum ke Prof. Hembing. Jika aku tidak sempat mengantar, ditemani Yu Wi dengan disopiri Mas Paino.
Oleh Prof. Hembing Ibu diminta untuk latihan jalan. Aku sering melihat Ibu berjalan pelan mengelilingi meja makan, biasanya tidak lebih dari 2 kali kembali duduk di kursi rodanya. Aku pikir seusia Ibu pasti sulit untuk sembuh total. Latihan sebisanya saja cukuplah. Sudah bersyukur jika Ibu masih bisa turun dari tempat tidur, beraktivitas di sekitar dapur dan menonton televisi sinetron kesukaannya.
Ibu tetap bersemangat
untuk mengambil uang pensiun sendiri dengan diantar Yu Wi dan Mas Paino. Aku
biarkan saja apa yang beliau inginkan, pastinya senang bisa menghirup udara segar
di luar rumah.
Sepulang dari Bank Bukopin, biasanya Ibu mengajak Yu Wi dan Mas Paino mampir membeli sesuatu atau jajan makanan. Di hari libur sekali-sekali kami mengajak beliau ke Restoran Soto Kudus di Blok M atau sekadar naik mobil ke Resto Taman Teras Bogor. Kami ngopi-ngopi dan Ibu ngunjuk teh atau wedang jeruk.
Pada suatu hari beliau bertanya kepada Mas Suami apakah Warung Mpok Kite yang di daerah Parung masih buka. Warung kecil di pinggir jalan itu, adalah langganan kami kalau jalan-jalan ke Bogor lewat Parung. Ikan mas atau gurame goreng dan sayur asem disediakan oleh warung ini. Sambalnya boleh kita bikin sendiri, tinggal memetik cabe di kebun mereka.
Di hari Minggu sepekan kemudian, Mas Suami mengajak Ibu ke warung tersebut bersama Mas Toto, keponakan kami. Ibu begitu gembira setelah makan di sana, mungkin ada kenangan sendiri di warung kecil yang sangat sederhana itu.
Di usianya yang semakin sepuh Ibu terkena stroke kedua, dirawat di RS MMC. Sepulangnya dari rumah sakit, kondisi Ibu semakin sulit. Semuanya dilakukan di tempat tidur. Kami usahakan perawatan seperti yang dilakukan di rumah sakit. Makan, minum dan minum obat melalui selang. Buang air kecil dan besar di pampers. Begitulah kondisi Ibu. Adik-adik datang bergantian di akhir pekan saat libur kantor.
Aku ingat Pak Ustad Ali Fariz pernah mengatakan bahwa "Penderitaan selama di dunia yang diterima dengan sabar dan ikhlas, akan mengurangi penderitaan yang diterima kelak di akhirat".
Aku sering membisikkan ke telinga Ibu, kalimat Istighfar agar Ibu sabar dan tabah dalam penderitaan. Ibu wafat di usianya yang ke-83 tahun, pada hari Jum’at tanggal 1 Maret 2013 malam sekitar jam 20.00. Jenazah dibawa ke Solo dengan pesawat Garuda, dimakamkan berdampingan dengan makam Bapak yang telah wafat lebih dahulu, di Pemakaman Keluarga Plumbon.
Innalillahi wa innailaihirojiuun…
Semoga Allah SWT menerima amal ibadah Ibuku, mengampuni segala dosanya, dan menempatkan beliau di tempat mulia di sisiNya. Aamiin, aamiin, aamiin Ya Robb al alamin….
Ketika pertama kali aku mengunjungi makamnya
setelah beliau wafat, keharuan masih terasa. Inilah sepenggal puisi yang aku
tuliskan untuk mengenangnya.
siang yang terik
matahari yang menyengat
aku menapaki jalan-jalan desa berdebu
menuju rumah peristirahatanmu
ketika tiba di pintu gerbangnya kuucapkan salam sejahtera
kesunyian segera menyergap
hanya derit batang bambu terdengar
bagai sembilu
diantara kijing-kijing batu, dua gadis kecil membawa sapu
mengikuti langkahku menuju pusara ibu
kuterkenang di hari-hari terakhirnya
ketika suara tak lagi terdengar
ketika mata tak lagi terbuka
seakan mengisyaratkan kepergiannya kian dekat
kubisikkan zikir di telinganya dan kata-kata cinta untuknya
diiringi airmata duka
selamat jalan bunda
semoga Allah mengampuni bunda
siang yang terik
matahari beranjak ke barat
jalan-jalan desa yang berdebu dan kijing-kijing batu
yang membisu.
Solo, 20 sept 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar