Sabtu, 15 Oktober 2022

BAB IV. KELUARGAKU



2. ANAK-ANAKKU SEMASA KECIL

Sehari-hari di BKKBN aku berkecimpung di bidang Keluarga Berencana menjadikan aku paham seluk beluk KB dalam hubungannya dengan agama dan kesejahteraan masyarakat. Dari sini aku memilih hanya punya dua anak saja, walau seandainya Allah SWT menganugerahkan anak laki-laki semuanya ataupun perempuan semuanya.

Dulu aku dibesarkan dengan banyak saudara, yang menurutku menjadikan orang tua berat dan sulit untuk menyekolahkan kami anak-anaknya. Kami berempat hanya dibiayai sampai lulus Sekolah Menengah Atas saja, hanya adik bungsu yang kuliah hingga selesai. Lagi pula dengan jumlah anak yang banyak, kebutuhan dasar sehari-hari tidak dapat terpenuhi.   

Karena pengalaman itu, sebagai orang tua aku ingin anak-anakku mendapatkan perhatian, kasih sayang, sandang, pangan, pendidikan, keteladanan dan segala sesuatu yang baik-baik dari kami orang tuanya. Mereka kelak harus menjadi orang yang berakhlak mulia sesuai ajaran agama, bertingkah laku sopan, dan mempunyai pendidikan yang tinggi. Jika kami mampu, ingin sekali anak-anakku mendapat pendidikan S2 dari universitas terbaik di luar negeri.

Anak pertamaku Dandy (Anglianto Antares Cahyo Artanto), lahir di hari Jumat tanggal 10 September 1976.  Saat itu bulan Ramadhan.

Apa yang aku ingat ketika akan melahirkan anak pertamaku itu? 

Ketika aku sudah merasa sakit perut mau melahirkan, eh.......... aku lihat Mas Djoko malahan tenang-tenang saja. Untuk mengurangi sakit, sambil menunggu selesai cukurannya, aku mondar-mandir ke sana-kemari tak karuan. Koper berisi bajuku dan baju bayi sudah disiapkan, tinggal angkat saja. Sampai di Rumah Sakit Panti Nugraha, Blok S Kebayoran Baru, langsung bayinya mbrojol, ditangani Dokter Sudibyo Sumantri. Alhamdulillah…

Benar sekali kata teman-temanku, agar melahirkan dengan mudah, aku harus banyak bergerak dan banyak jalan kaki. Oleh karena itu, sejak usia kehamilan 6 bulan, setiap hari libur aku gunakan kesempatan untuk jalan kaki dari rumah ke Pasar Mampang lewat pinggir sebelah kiri. Pulangnya, lewat pinggir sebelah kanan. Kemudian, sejak aku mengambil cuti melahirkan, sebulan sebelum perkiraan waktu kelahiran, setiap hari aku belanja ke Pasar Buncit pulang-pergi jalan kaki. Padahal kadang belanjaannya cukup berat.

Saat melahirkan, selama tiga hari aku berada di Rumah Sakit Panti Nugraha. Ketika sudah dibolehkan pulang, aku dijemput Mas Djoko sendiri, karena Bapak Ibu belum datang dari Solo.

Sampai di rumah kira-kira pukul 10 pagi, tak kusangka di rumah sudah tersedia berbagai kue terhidang di meja. Ternyata ada Ibu Suhanda (Ibu Cideng, ibunya Mbak Ida Rosida) yang telah menyiapkannya. Aku senang sekali, sewaktu-waktu ada tamu sudah siap kue sebagai suguhannya. Terima kasih Ibu Suhanda, semoga Ibu damai di sisiNya ......…

Sebelum cutiku selama 3 bulan berakhir, aku mulai berpikir untuk mencari baby sitter atau setidaknya Asisten Rumah Tangga yang akan menjaga anakku nanti ketika aku ke kantor. Alhamdulillah tidak lama Bapak rawuh bersama seorang perempuan yang nama panggilannya Yu Pi, lengkapnya Supiatun. Kemudian datang Mbak Sri Hartini, saudara sepupu dari suami Dik Gun, yang bersedia menjadi perawat bayi untuk anakku. Hatiku menjadi tenang.

Aku kembali bekerja setelah cutiku habis. Berdiri di depan kaca, aku sempat kaget. Badanku yang dulu sebelum melahirkan langsing, ternyata tidak bisa kembali seperti dulu lagi. Karena selama di rumah selalu mengenakan daster agar mudah untuk menyusui, baru ngeh kalau baju-baju kerja semua sempit. Wah, harus beli baju baru nih .......

Walaupun meninggalkan bayi di rumah, aku ingin mempertahankan untuk tetap bisa menyusui anakku. Namun ternyata beberapa hari kemudian, payudaraku mulai membengkak karena selama bekerja di kantor, air susu tidak dikeluarkan. Aku berusaha menggantinya dengan susu formula yang dianjurkan rumah sakit, yaitu S26. Tapi akhirnya, Dandy lebih cocok dengan susu SGM. Mungkin karena rasanya lebih manis.  Jadi hanya 3 bulan aku menyusuinya.

Kami membesarkan anak dengan santai. Belum berumur sebulan, Dandy bayi sudah kami bawa ke Bandung menjemput Dik Dib yang ikut tes masuk di ITB. Di hari Sabtu atau Minggu, sering kami bawa jalan-jalan ke Parung untuk menikmati durian.  Sambil kami makan, bayi diletakkan dengan alas selimut di samping kami. 

Pada zaman itu belum ada pampers maupun tisu basah untuk bayi. Jika aku mengajaknya jalan-jalan, maka aku siapkan popok kering dalam plastik dan air dalam botol untuk cebok di perjalanan.

Selain makan duren, kami juga punya langganan warung makan yang menghidangkan masakan Sunda enak di Parung, namanya “Empok Kite”. Pepes ikan mas, gurame goreng, sayur asem dan sambal lalap merupakan menu pilihan yang tak terlewatkan.

Pada tahun-tahun sekitar 1976-1978, kantorku BKKBN menyediakan mobil jemputan bagi karyawan. Pak Misranto, nama sopirnya yang setiap jam 7 pagi menjemputku. 

Rutinitas keseharianku adalah, setelah bayi dimandikan rapi, aku gendong sambil menidurkannya hingga mobil jemputan datang. Kebiasaanku menggendong di ketek, sehingga bayi bebas kakinya tidak ditekuk. Begitu jemputan Pak Misranto datang, sebelum aku serahkan ke Mbak Sri aku bisikkan kata-kata pamit kepada bayiku disertai doa semoga Allah SWT melindungi, karena mama tidak dapat menungguimu. Demikianlah, aku akan tenang bekerja.

Ketika masih kecil, memang aku perlukan Baby Sitter. Setelah Dandy berumur 2 tahun, aku sudah bisa melepaskannya tanpa Baby Sitter, hanya dengan Yu Pi saja. Saat itu Mas Djoko mencarikan pekerjaan untuk Mbak Sri di sebuah kantor di daerah Kota, tapi dia masih tetap tinggal di rumah kami. Secara teratur kami mengontrol kondisi anak di rumah dengan menelepon Yu Pi.  

Pernah terjadi ada orang yang datang mengaku keluarga Mas Djoko dari Semarang. Yu Pi merasa sudah mengenal banyak keluarga kami, tapi kok belum pernah melihat orang ini. Ketika tamu itu sedang ke kamar mandi, Yu Pi langsung meneleponku.  Aku bicara dengan tamu itu supaya menunggu sebentar, aku akan pulang. Sampai di rumah, orangnya sudah kabur …...

Suatu hari terjadi sesuatu yang lucu. Yu Pi menelepon, katanya Mas Dandy nangis terus. Rupanya tititnya terjepit retsleting celana. Belum dipegang sudah nangis kenceng. Aku belum dapat segera meninggalkan kantor, kemudian menelepon Mas Djoko dan Mas Djoko langsung pulang. Dandy ditidurkan di kasur, dan dengan ucapan Bismillah, bagian yang terjepit itu ditiup-tiup Papanya. Akhirnya terselesaikan ...….

Dandy kecil sehari-hari main bersama teman-temannya di lapangan Komplek Pertambangan. Karena senangnya bermain di lapangan, sekalian aku titipkan ke Bu Nasan, tetangga juga teman dekatku, yang berjualan gado-gado di situ. Dandy berteman akrab dengan Alan, anak Bu Nasan yang sebaya. Sering aku bercanda dengan menyebut Dandy sebagai anaknya Bu Nasan ...…

Saat kami berdua bisa mengambil cuti, pernah kami ajak Dandy bermobil ke Solo bersama keluarga Dik Bambang Sudibyo, putranya Pak Sudiman. Dik Bambang juga bertiga dengan isterinya Dik Kus dan seorang putri kecilnya Herni.

Saat itu belum ada jalan tol, semua kendaraan lewat Jalur Pantura atau bisa juga lewat jalur Selatan, yaitu lewat Bandung-Purwokerto-Jogya, tapi lebih panjang dan lama di perjalanan. Itu pengalaman pertama kami sekeluarga ke Solo naik mobil.

Aku sering membelikan buku-buku cerita buat Dandy ketika dia berumur 3 tahun. Setelah mulai mengenal huruf, aku mulai mengajarinya membaca. Sebelum TK dia sudah bisa membaca buku “Singa dan Tikus”. Pada awalnya kalau membaca Singa:  Sin - ga, membaca Bakso: Ba – ke - so. Tapi itu hanya sebentar. Kemudian sudah lancar membaca apa saja, bahkan membaca koran Kompas.

Saat Dandy kecil, untuk masuk TK tidak harus berumur 6 tahun seperti sekarang. Aku mencoba memasukkannya ke TK Kartika Puri di Jalan Buncit Raya, dengan maksud agar mengenal suasana sekolah, sementara Yu Pi bisa belanja ke Pasar Buncit. Barangkali ketika itu dia masih belum cukup umur untuk bersekolah, ternyata tidak mau ditinggal Yu Pi. Ada saja barang yang disembunyikannya, kadang menahan dompet kadang sandalnya, agar Yu Pi tidak bisa pergi meninggalkannya ke pasar. Akhirnya aku putuskan berhenti dari TK Kartika Puri. Tahun berikutnya, aku daftarkan masuk ke TK Rigatrik di Komplek PLN, langsung bisa ditinggal nggak minta ditunggui.

Yu Pi sangat sayang kepada Dandy. Suatu hari dia bilang : 

"Bu, uang jajan mas Dandy niku mbok ditambah. Namung pikantuk setunggal kue jajanan" 

Maksudnya uang jajannya terlalu sedikit hanya bisa buat beli 1 macam kue. Meskipun aku juga sering menyediakan kue-kue di rumah, yang dibeli dari Toko Budi di Komplek Polri, akupun menambah uang jajannya.

Adikku nomor 4 Dik Pri menetap di rumah Duren Tiga Komplek sejak aku hamil Dandy. Kata Bapak, biar dia tidak terpengaruh lingkungan di Sorogenen yang tidak baik. Kemudian di tahun 1977 Dik Dib, adik bungsu Mas Djoko yang mulai kuliah di Jakarta, juga tinggal di rumah kami. Dandy sering diajak main dengan Om-omnya, biasanya main catur atau halma. Mamanya yang bekerja sambil kuliah tidak begitu repot membesarkannya.

Dandy kecil di saat bulan Ramadhan selalu ikut kami solat Tarawih di Aula Komplek. Aku belikan dia sarung kecil dan kopiah untuk dikenakan saat sholat. Wah, hatiku berbunga-bunga melihat penampilannya sebagai anak sholeh ....…

Suatu hari kami berdua sudah sampai di rumah setelah sholat Tarawih, diberitahu teman-temannya kalau Dandy tertidur di Aula. Saking pulasnya tidak bisa dibangunkan. Langsung Papanya menjemput ke Aula dan menggendongnya pulang.

Sebagaimana umumnya anak kecil, Dandy sangat suka jajan. Semakin besar, dia punya banyak langganan jajanan. Somay Mang Engkos, Bakso Slamet, Yu Pecel, dan lain-lain. Kadang aku kesal dengan hobinya jajan, yang menurutku makanan itu tidak bersih dan tidak enak.

Sebagai ibu tidak boleh berucap tidak baik walau sedang jengkel. Maka waktu itu yang keluar dari ucapanku adalah : Ya Allah… Mas, mas… Semoga kamu nanti jadi orang kaya….... setiap saat bisa jajan apa saja  ...... Nah, ucapanku dulu itu sekarang menjadi kenyataan. Jajan apa saja mampu......

Dandy bersekolah di SD Negeri 01 Pancoran. Setiap hari ikut jemputan, Pak Safrin yang membawa mobil jemputannya. Teman satu kelas dari Komplek yang satu sekolah di SD itu adalah Yasmin, putrinya Ibu Rasidi. Jika karena sesuatu hal tidak ada jemputan, Pak Gurunya yang namanya Pak Nurdin akan memboncengkannya pulang. 

Saat di SD itu, ada temannya yang nakal namanya Salim. Uang jajan Dandy sering dipalak. Akhirnya aku laporkan Salim ke Pak Guru.

Di sekitar Komplek, Dandy lebih dikenal dari pada kami orang tuanya. Jika ada yang mencari rumah Pak Djoko Darmono, belum tentu orang tahu. Tapi jika mencari rumah Dandy, langsung ditunjukkan ke rumah kami. 

Ketika duduk kelas 6 SD, Dandy minta disunat. Pada waktu itu disunat oleh Dr. Dedi Subandrio, yang berpraktek di Jalan Duren Tiga Raya dekat lampu merah Buncit. Perawatan selanjutnya di rumah dibantu oleh Mbak Endang yang sedang berpraktek sebagai Dokter di Klinik 24 Jam Tebet, dan tinggal di rumah kami. Hadiah sunat dikumpulkannya untuk membeli bola basket.

Setelah lulus dari SD 01 Pancoran, seharusnya bisa masuk ke SMP 43 di Mampang Prapatan. Tetapi waktu itu SMP 43 sedang dibangun, dan untuk sementara dipindahkan ke lokasi agak jauh yang transportasinya sulit.

Aku sudah melihat lokasinya, dan tidak ingin Dandy sekolah di sana. Atas bantuan Pak Suroto (suami Ibu Taty adiknya Ibu Yadi) yang bekerja di Bank Indonesia, maka Dandy akhirnya masuk ke SMP Yasporbi, sebuah sekolah swasta milik Yayasan Bank Indonesia.

Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang senantiasa melimpahkan nikmat kepadaku.  Setelah mendapat karunia anak laki-laki, aku dianugerahi anak perempuan. Adik Hesty (Anglianti Urania Nurvesta Hestia) juga lahir di hari Jumat tanggal 24 Juli 1981 saat bulan Ramadhan. Sama dengan saat melahirkan Dandy, Adik juga lahir di RS Panti Nugraha, dengan bantuan Dr. Sudibyo Sumantri. Alhamdulillah ....…

Saat itu Dandy sudah sekolah di TK Rigatrik. Melihat mamanya sakit perut mau melahirkan adiknya, dia minta ikut ke rumah sakit. Dandy dan Papanya menunggu hingga adiknya lahir. 



Berbeda dengan saat melahirkan Dandy, waktu Adik lahir ada Ibu di rumah, tapi Yu Pi sudah pulang kampung karena saat itu sudah menjelang Lebaran. Nah, tanpa Yu Pi aku harus sering-sering bangun mengurus bayi, mencuci popok dan wira-wiri. Padahal bekas jahitanku saat melahirkan belum kering. Akhirnya bengkak. Agak lama bekas kehamilan benar-benar sembuh.

Bayi Adik lahir cantik, kulitnya putih sekali, dan rambutnya tebal. Kulit yang putih itu menurun dari Ibuku, karena Mas Djoko dan aku berkulit sawo matang. Garis wajah Adik lebih banyak ke Mas Djoko, bahkan ketika kecil wajahnya sangat mirip Mbak Nus, putri bungsunya Mas Darwanto. 

Baik Mas Dandy maupun Adik, setiap aku menyusukannya selalu aku iringi dengan memanjatkan doa, semoga Allah menjadikan anakku sebagai anak sholeh-sholeha yang taat patuh dan berbakti kepadaNya.

Ketika melahirkan Adik, aku sudah punya pengalaman bagaimana seharusnya  agar bisa tetap menyusukan anak walaupun bekerja dikantor.. Aku mencoba untuk memompa mengeluarkan air susu di saat istirahat di kantor, kemudian air susu itu dibuang. Aku berusaha agar payudara tidak bengkak, sehingga sorenya bisa menyusui. Namun ini hanya bertahan beberapa minggu saja. Karena selama siang hari minum Susu Formula, akhirnya Adik lebih suka minum SGM dari pada ASI.

Di saat kontrol ke rumah sakit yang pertama, Adik disunat. Aku tidak begitu memperhatikan dengan jelas, takut-takut untuk melihatnya, pastinya juga sakit karena bayinya menangis. Pada kontrol selanjutnya, Adik ditindik. Aku belikan anting-anting emas kecil hanya sebagai penahan supaya setelah ditindik lubang telinganya nggak rapet lagi. Baik Dandy maupun Adik, kami selalu memeriksakan dan vaksinasi ke Dr. Sutarto, dokter anak yang berpraktek tak jauh dari rumah kami.

Bayi Adik Hesty diasuh oleh Yu Parini, adik sepupunya Yu Pi. Yu Parini juga putih dan cantik. Jika nggendong Adik, sering dikira anaknya sendiri. Pernah juga Adik diasuh oleh Dik Wiwik, adik sepupuku putranya Bu Tin untuk beberapa bulan hingga dia menikah.

Di saat anak-anak masih kecil, jika mereka tidak mau makan, aku punya langganan Yu Jamu yang biasa membawakan jamu cekok. Entah berisi herbal apa ya, setelah dicekok menjadi mudah makan. Kadang tidak dicekok beneran, hanya diberitahukan kalau nggak mau makan mau dicekok. Itu saja, sudah pada menurut. Pastinya jamu cekok itu nggak enak, rasanya pahit.

Adik Hesty kecil lucu. Ketika belum bisa ngomong yang benar, kalau menyebut sedotan: sodotan, dan kalau menyebut kopi mama nescafe: wescafe. Karena lucunya itu,  Bapak memberi nama panggilan sayang : Unul. Diambil dari kata unal-unul yang dalam bahasa Jawa artinya lincah, lari kesana kemari.

Dia juga punya pantangan. Kalau Mama mengupaskan jeruk, harus tetap utuh, nanti dia sendiri yang akan membelah. Jika mama tak sengaja sambil ngobrol membelah jeruk itu, Adik pasti menangis, nggak mau makan jeruk yang sudah dibelah itu. Minta dikupaskan jeruk yang baru.

Menjelang lebaran adalah saat-saat sulit, karena para Asisten Rumah Tangga sudah pada pulang kampung. Waktu itu Adik Hesty masih sekitar 3 tahun, aku ajak ke kantor BKKBN, dan Mas Dandy yang sudah agak besar, ikut ke kantor Papanya.

Barangkali kantorku merupakan suatu tempat yang asing bagi dia, ke manapun aku bergerak Adik memegangi rok ku. Kadang ia main ketak-ketik di mesin ketik IBM, tapi sama sekali tidak menangis. Di saat-saat menjelang Lebaran itu, biasanya kami katering masakan ke Ibu Hadi, tetangga di Komplek. Kami minta Bapak rawuh ke Jakarta untuk menunggu rumah, sementara kami berdua dengan anak-anak ke kantor masing-masing.

Ketika mulai masuk sekolah Taman Kanak-kanak Rigatrik, pengasuh Adik bukan lagi Yu Parini. Yu Ni pulang kampung mau menikah, digantikan Yu Yem. Yu Yem juga masih ada hubungan keluarga dengan Yu Pi.

Di awal-awal masuk sekolah, Adik nggak mau ditinggal. Kalau Yu Yem nggak kelihatan dia menangis. Bu Gurunya, Bu Kis dan Bu Wiwid membolehkan Yu Yem tetap menunggu di tempat yang Adik Hesty bisa melihat dari jendela kelas. Bu Kis dan Bu Wiwid adalah tetangga kami yang tinggalnya di Komplek Polri di belakang Komplek Pertambangan.  

Pada tahun 1985 aku mengambil Cuti di Luar Tanggungan Negara dari kantor BKKBN karena mengambil kuliah di Notariat Fakultas Hukum UI. Saat itulah aku bisa nunggu di TK Rigatrik hingga sebulan lamanya.

Sambil menunggu Adik, biasanya aku ngobrol dengan ibu-ibu yang sama-sama nunggu putranya. Teman ngobrolku antara lain Ibu Asngadi mamanya Asti. Kadang juga dengan mamanya Wiki. Mereka semua tinggal di Komplek PLN Duren Tiga, tetangga Komplek Pertambangan.

Adik kecil juga aku ikutkan les belajar menari Jawa. Lokasi Sanggar Tarinya di Komplek PLN Duren Tiga. Ketika sudah pandai menari, dari Sanggar menyelenggarakan pentas di Ancol dan Adik bersama teman-temannya menari Gambyong. Wah, keren..... boleh juga ya. Sayangnya entah mengapa les menari itu nggak diteruskan.

Baik ketika Mas Dandy ulang tahun atau Adik yang ulang tahun, kami merayakannya dengan mengundang teman-teman sekolah yang dekat rumahnya dan teman-teman sebayanya di Komplek. Teteh Desy atau Mbak Sih memimpin acara ulang tahun itu. Teman akrab Adik di komplek saat itu adalah Isti, putri bungsunya Ibu Yadi tetangga depan rumah, dan Kodrat, putra bungsunya Ibu Darman tetangga sebelah rumah. Goody bag ulang tahun di jaman itu biasanya berisi kue, permen dan mainan anak-anak.

Untuk pertama kalinya kami liburan berempat ke tempat yang agak jauh, yaitu ke Bali di bulan Juni 1986, ketika Mas Dandy sudah duduk di SD dan Adik masih sekitar 5 tahun. Kami menginap di Hotel Bali Sol. Saat itu Bali belum seramai sekarang. Pantai Kuta menjelang sun-set di senja hari masih tampak sepi.  




Masih takut dengan deburan ombak di pantai, Adik Hesty kecil selalu memegangi rokku.  Traveling kami sekeluarga yang pertama itu kemudian diikuti dengan wisata jalan-jalan ke luar negeri, yaitu ke Singapura, Taiwan dan Jepang.

Di Singapura, Adik dibelikan Papanya boneka Minnie Mouse yang besar. Minnie kemudian menjadi boneka kesayangan yang menemaninya belajar. Walaupun belum bisa menggeser kedudukan Si Nyuk-Nyuk, boneka kecil dari kain beludru berwarna hijau, yang selalu menjadi teman tidurnya. Tanpa Si Nyuk-Nyuk, Adik akan sulit memejamkan mata.



Di tahun-tahun 1986-an, TVRI sedang memutar film seri Oshin yang selalu aku tonton, sebuah film cerita berlatar belakang Jepang di masa lalu. Oshin, adalah seorang anak perempuan dari keluarga miskin yang gigih berjuang meningkatkan taraf hidupnya. Film ini sarat dengan nilai-nilai kebaikan, memberi edukasi bagi penonton. Karena wajah Adik begitu mirip dengan Oshin, di Komplek ia sering dipanggil Oshin.

Kami sekeluarga sempat tinggal di Cikampek karena Rumah Komplek direnovasi.  Adik pagi-pagi bersama Mas dan Papanya berangkat menuju Jakarta. Sampai di pintu tol Jatibening, sudah tampak kemacetan dengan banyaknya mobil yang berderet mengular, Adik mulai menangis, khawatir terlambat masuk sekolah.

Untuk menghindari situasi seperti itu, aku mengurus kepindahannya ke SD Negeri di daerah Saraswati Cikampek. Tetapi ternyata bagi anak kecil, lingkungan yang asing membuatnya tidak nyaman. Apalagi di sekolah barunya itu ada pelajaran bahasa Sunda, yang sama sekali belum pernah dikenalnya. 

Apa boleh buat, dengan dibantu Ibu Guru Agustin aku mengurus kepindahannya kembali  ke SD Pancoran 01  Untunglah pihak sekolah memahami kesulitan kami.

Setelah Dik Pri dan Dik Dib, bergantian banyak kerabat yang tinggal di rumah kami. Membahasakan anak-anak, aku menyebut mereka Om Pri, Om Dib, Mas Andy, Mbak Rini, Mbak Endang, dan terakhir Dik Anggi. 



Saat itu mas Andy sedang kuliah di Universitas Trisakti. Mbak Endang yang telah lulus sebagai dokter, ketika itu mencari pengalaman dengan berpraktek di Klinik 24 Jam Tebet.  Dik Anggi ketika tinggal di Rumah Komplek masih duduk di bangku SMA 28 Pasar Minggu. Dengan mengenal kehidupan saudara-saudaranya, anak-anak bisa belajar bersosialisasi dan menambah wawasan. 

Adik punya binatang peliharaan kucing kesayangan, namanya Si Kempling. Semula aku juga suka dengan si Kempling ini. Kalau kita makan-makan ke rumah makan, seperti ke Ayam Goreng Berkah, sering tulang-tulangnya kami masukkan ke kantong plastik dibawa pulang buat si Kempling.

Tetapi akhirnya, aku menjadi tidak suka kucing ketika menemukan si Kempling buang kotoran sembarangan termasuk di bawah sofa di kamar tamu. Mungkin juga karena aku sebenarnya sensitif terhadap bau-bauan. Ingat kan, cerita tentang kuliahku di Undip yang akhirnya drop out karena tidak tahan bau-bauan di laboratorium.  

Suatu hari, tangan Adik gatal-gatal di tempat bekas tali jam tangan. Kata dokter, Adik alergi terhadap bulu binatang yang ada di rumah. Binatang apa yang ada? Ya hanya Si Kempling. Akhirnya Kempling diungsikan ke rumah Yu Pi sampai dia tua dan meninggal di sana.

Setelah menyelesaikan SD nya di Pancoran 01, Adik mengikuti jejak kakaknya masuk sekolah SMP Yasporbi. Di Yasporbi, teman-teman akrab Adik adalah Galuh, Agy, Arya, Ridwan dan yang lainnya. Adik sering bercerita tentang kelucuan-kelucuan yang terjadi di sekolah. Ada Bapak gurunya yang kalau mengajar di kelas saking semangatnya, air ludahnya nyemprot. Padahal, Bapak guru itu juga mengajar Dandy, tapi Masnya kok ya nggak pernah cerita ya? ........ Iya, karena Mas memang tidak banyak ngomong.

  

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar