Rabu, 01 Juni 2016

Bali yang eksotis


Assalamu’alaikum ww.

Di hari pertama ketika pesawat saya mendarat, suasana Bandara Ngurah Rai sudah berubah dari setahun yang lalu kami kesini. Sebenarnya kondisi Bandara yang baru ini semakin bagus, tetapi karena jumlah wisatawan yang datang juga semakin banyak, tetap terasa sesak. Memang dibeberapa bagian Bandara masih belum selesai direnovasi. Bagaimana suasana liburan lebaran kemaren ya..... pasti lebih penuh....

Kami memang merencanakan pergi ke Bali sesudah libur Lebaran, supaya tiket dan lain-lain sudah tidak sulit lagi. Tetapi rupanya banyak yang berpikir sama, sehingga rasanya Bali masih padat. Tak lama segera saya berdua suami meluncur menuju sebuah hotel di kawasan Kuta yang sudah di book sebelumnya, diantar dengan mobil Kijang Innova dan pengemudinya yang sudah dipesan oleh anakku, mas Dandy. Sambil menunggu mereka datang dengan penerbangan Garuda berikutnya, kami santai di kamar hotel.


Sore hari ketika sudah berkumpul semua, Aisha, ayah dan mamanya berenang di kolam renang, dan kami berdua menunggui sambil ngopi dengan ditemani pisang goreng keju. Hotel ini punya acara yang unik untuk menghibur tamu-tamunya. Di pinggir kolam renang beberapa stafnya mengajak tamu berolahraga senam dengan diiringi musik yang asyik. Dan para tamu bule pun sambil masih mengenakan baju renang mengikuti senam. Tak ketinggalan Aisha yang sudah terbiasa menari balet ikut bergabung disana.

Ketika hari mulai senja, saya teringat untuk turun melihat sun set di pantai Kuta. Dari hotel kami, berjalan sedikit dan menyeberang, sampailah ke pantai. Suasana pantai masih ramai. Pengunjung asyik menikmati ombak yang bergulung-gulung dan pecah di kaki mereka. Beberapa wisatawan masih berselancar naik turun mengikuti gulungan ombak, dan menepi bersama habisnya air. Teringat kenangan bertahun-tahun yang lalu ketika baru pertama kali mengunjungi Bali. Dandy Antares masih 8 tahun dan adiknya, Ade Hestia 3 tahun. Berada di pantai ini, suasana masih sunyi. Ketika itu matahari hampir tenggelam, sehingga foto-foto kami hanya tampak silhuet saja. Ade sesekali masih minta gendong, takut dengan deburan ombak jika aku ajak ke tengah ..... kenangan manis masa lalu yang indah ........

Pantai Kuta yang sekarang ini tak pernah sepi. Hingga matahari tenggelam pun tetap banyak pengunjung yang masih duduk-duduk atau berjalan-jalan ditepi pantai. Terangnya lampu membuat suasana seperti siang hari saja. Beberapa layang-layang berukuran besar masih menghiasi udara. Suasana mulai terasa romantis di keremangan senja.

Acara makan malam kami rencanakan sambil berjalan-jalan disepanjang Kuta Square. Setelah berputar-putar melihat-lihat resto, jadilah kami mampir ke sebuah Resto bernama Dulang yang mudah-mudahan aman bagi kami yang ingin makanan halal. Resto ini menjual hidangan masakan Indonesia yang umum, ada Sop Buntut, Ayam goreng dan lain-lain. Bali, sebagaimana kota-kota internasional lainnya, agak sulit mendapatkan makanan dengan label halal. Bagaimanapun sulitnya, kami berusaha untuk mencarinya.

Hari Kedua. Ubud.... sebuah wilayah kecil dari kabupaten Gianyar. Namun nama itu sudah mendunia, sebagaimana wilayah lain di Bali yang namanya Gang Poppies di Kuta. Kalau Gang Poppies dikenal karena merupakan tempat tinggal murah bagi para Backpacker, maka Ubud dikenal sebagai tempat tinggal atau tempatnya para seniman lukis dunia berkarya, terinspirasi oleh keindahan Bali.
Sejak jaman dulu seniman Barat seperti Walter Spies, Antonio Blanco, Le Mayeur telah memilih Bali sebagai tempat tinggal, dan ada diantaranya yang menetap di Ubud. Demikian pula seniman asli Balipun banyak yang bertempat tinggal disini. Baru saja I Gusti Nyoman Lempad, seniman serba bisa yang menghabiskan sisa umurnya di Ubud telah dinobatkan oleh para Peneliti Seni sebagai Seniman Genius, kebanyakan seniman asing menyebutkan Lempad sejajar dengan Leonardo Da Vinchi pelukis Monalisa yang mistis dan mendunia. Lempad dikenal sebagai seorang Undagi, Pematung dan Pembuat Topeng yang piawai. Sebuah buku yang menuliskan tentang seniman ini baru saja diluncurkan dalam Bahasa Inggris dan akan diterbitkan dalam edisi beberapa bahasa termasuk Bahasa Indonesia.



Ketika dulu pertama kali saya mengunjungi Bali tahun 1984 an, Ubud masih sepi. Bertebaran Musium di Ubud, tetapi rata-rata sedikit pengunjungnya. Sekarang ini, padatnya wisatawan maupun penduduk setempat, sehingga kemacetan sering terjadi di sekitar perempatan depan Puri Ubud. Parkir kendaraanpun sulit. Siapa saja sebenarnya Turis Mancanegara yang datang ke Bali? Kalau dulu turis Australia, Jepang dan Eropa mendominasi, sekarang sedikit bergeser. Turis Korea, Tiongkok dan Timur Tengah tampak diantara mereka. Namun di hari-hari libur nasional seperti Hari Lebaran dan setelahnya ini, turis domestik ikut memenuhi Bali.

Ubud yang cantik ternyata berada di lokasi agak ke dalam. Pohon-pohon yang rindang, sawah yang menguning dan sungai yang berkelok-kelok, ada disana. Kami makan siang disebuah Rumah Makan Pulau Kelapa yang bagian belakangnya adalah kebun dan sawah. Diantaranya mengalir sungai kecil yang memperindah pemandangan. Rumah makan ini menunya masakan Jawa dan kepunyaan seorang Pengusaha dari kota Malang. Seperti biasa, perhatian saya kepada alam lingkungan mengajak untuk mencermati suasana di kebun itu. Berkenalan dengan pak Wahyu, petugas pengelola kebun yang asli dari Bantul, saya mendapat banyak pelajaran. Beberapa pohon kelengkeng sedang memamerkan buahnya, dan Aisha yang menemaniku berada di kebun itu, dipersilakan mencicipi buahnya yang mulai matang. Beberapa pohon sawo dan jambu biji yang pendek-pendek juga sudah berbuah. Tak lupa sebuah cabai Afrika matang pohon, dimana bijinya bisa ditanam diberikannya sebagai kenang-kenangan. Menurutnya cabai ini adalah cabai terpedas didunia. Selain pohon buah, disana juga ditanam tanaman obat "sambung nyowo" yang dipetik untuk bahan sayuran yang disajikan seperti pecel dan urap.

Saya benar-benar menikmati semilirnya angin di tengah kebun dan sawah yang menyejukkan. Ketika telah masuk waktu zuhur, ternyata dengan mudah ditunjukkan tempat sholat di ruangan kantor, bahkan telah tersedia sajadahnya. Alhamdulillah. Kami bersantai menikmati suasana Ubud dan sekitarnya hingga sore. Ketika mau meninggalkan restoran, tiba-tiba Aisha menanyakan pisang goreng yang tadi ada dimeja, “aku kan mau”, katanya. “Wah, pisang goreng terlanjur Yangkung habiskan”. Untung di restoran masih tersedia pisang dan menunggu kira-kira 20 menit di take away untuk dimakan dijalan. Tak terjadi ngambeg…….he he he….


Malam turun di pantai Jimbaran. Debur ombak terdengar keras, walaupun akhirnya air laut tak sampai ke meja kami. Dan angin malam yang sejuk itu membuat lilin-lilin di meja meliuk-liuk, sebagian ada yang padam. Dari jauh tampak pesawat terbang take off dan landing di Pelabuhan Udara Ngurah Rai. Di wilayah Jimbaran inilah, tempat dulu pernah dibom oleh Imam Samudera dan kawan-kawan, terorist yang telah dihukum mati pada peristiwa Bom Bali. Resto Menega dan resto-resto lain berderet sepanjang pantai, dan rata-rata dipenuhi pengunjung yang hendak bersantap malam. Semuanya menyediakan masakan Ikan laut bakar dan goreng serta sayuran Ca kangkung yang sama. Walaupun barangkali rasa masakan seafood diantara mereka tak jauh berbeda, tetapi suasana bersantap malam diantara deburan ombak dan angin laut itulah yang tidak ditemukan ditempat lain. Inilah kunjungan ketiga saya di Jimbaran, di Resto Menega setelah peristiwa Bom Bali itu. Yang terakhir ini rasanya lebih indah, karena pergi bersama keluarga tercinta, walaupun tidak lengkap karena anak kedua kami dan keluarganya tidak dapat pergi bersama-sama. Mereka juga sedang memanfaatkan sisa liburan ke tempat wisata yang bersalju……

Kebetulan di tempat kami makan, ada 5 orang pemusik yang menghibur para tamu. Seperti biasa, suamiku yang pecinta musik memesan beberapa lagu. Favoritnya adalah lagu-lagu Amerika Latin dan lagu-lagu Bimbo. Mengalunlah lagu-lagu Besame Mucho, Its now or never dan Marlina ……tak ketinggalan lagu gembira dari Tapanuli ......... Situmorang…situmorang ….

Malam ini kami pindah hotel. Hotel yang didekat Kuta kemaren hanya dipesan untuk semalam saja. Hotel kedua ini berlokasi di Seminyak. Daerah yang belum pernah saya kunjungi. Petugas Hotel dengan ramah menunjukkan kamar kami, di lantai 2. Hotel berbintang 3 yang masih lumayan baru ini kecil, tetapi cukup lengkap.

Hari Ketiga. Hari menjelang siang ketika kami meninggalkan hotel utk menjelajahi Bali bagian selatan. Aisha dan Ayah-mamanya mau ke Water Boom, tempat permainan anak-anak. Kami berdua menuju Nusa Dua, wilayah Hotel-hotel Bintang lima berlokasi, tempat berlangsungnya berbagai Konferensi dan Seminar Internasional. Menuju Nusa Dua, melewati jalan tol diatas laut, Bali Mandara, yang menghubungkan Nusa Dua, Ngurah Rai dan Benoa. Ketika itu kebetulan Suami berasa hendak ke toilet, maka masuklah kami ke salah satu hotel paling baru di Nusa Dua, Sofitel. Dengan berlagak sebagaimana tamu hotel ….. kami langsung duduk-duduk di lobynya. Wah, bagus sekali hotel ini, gedungnya gagah dan tamannya indah. Petugasnya pun tampan dan cantik. Interior di Loby didominasi warna hitam. Duduk disana, kita dapat langsung menatap pemandangan laut lepas. Kemudian kami bergantian ke toilet. Saya agak khawatir ketika tidak menemukan shower cebok. Tengok sana tengok sini, tidak ada juga. Kemudian saya mencari tisu. Barangkali ini model toilet yang tanpa air …..... rupanya disamping kanan ada panel kecil utk dipencet, dan keluarlah air seperti biasa, he he he....

Meninggalkan Sofitel, kami menuju ke Hotel Ayodya, sebuah hotel yang sudah agak tua. Tamannya kurang terawat. Aneh juga ya, ketika masuk loby hotel, yang terdengar adalah Degung gamelan Sunda ……. Beberapa lama kami berada disana, kemudian kami menuju ke pantai. Dari pantai berjarak kira- kira 50 meter, jalan mulai menanjak dan sampailah kami ke sebuah lahan kosong. Inilah Pulau Nusa Dua. Jadi, sebenarnya nama Nusa Dua itu adalah nama dua buah pulau kecil, tapi sekarang sudah menyambung menjadi satu. Di pulau kecil ini ada Pura yang terawat dengan baik. Karena Bali sedang memasuki musim panas, matahari terik membuat sebagian rumputnya kering menguning. Demikian pula pepohonan yang tumbuh tegak disana cabang dan daunnya meranggas.


Dari daerah Nusa Dua, kami menyusuri jalan menuju Sanur. Sanur merupakan daerah wisata yang berkembang di era 80 an. Disinilah turis Eropa yang sudah mapan terkonsentrasi. Dan biasanya mereka tinggal lumayan lama. Ketika waktu makan siang tiba, kami mencari tempat makan yang memenuhi selera. Banyak hotel dan restoran yang menyediakan masakan Eropa dan Jepang tetapi rupanya kami meragukan kehalalannya sehingga tiga kali keluar masuk Resto dan akhirnya masuk ke rumah makan Indonesia, pesan nasi soto......

Bli Komang, demikian nama Petugas dari Travel yang mengantarkan kami berjalan-jalan, akhirnya membawa kami ke sebuah tempat bersantai di Uluwatu. Tempat ini sangat luas, semula adalah vila-vila milik orang-orang Jepang yang sekarang sudah rusak tak ditempati. Di ujung pinggirnya, berupa tebing-tebing dimana kita dapat melihat laut lepas. Dengan membayar Rp. 25 ribu saja, disediakan kopi atau teh dan pisang goreng. Bergantian bus-bus wisata membawa turis Korea keluar masuk tempat ini. Bergantian mereka selfi-selfi dengan background pemandangan laut yang indah.





Sesuai janji, kami akan ketemu Aisha dan Ayah-mamanya di Discovery Mall, dimana dibelakang Mall itu terdapat pantai lepas. Sambil menunggu mereka datang, kami menikmati kopi sore di sebuah Café dipinggir pantai sambil memesan pisang goreng dan irisan buah dingin. Seorang turis Timur Tengah bersama isteri dan anak-anaknya menghampiri kami menanyakan, apakah kami muslim? Barangkali menanyakan itu karena saya mengenakan busana muslim. Kami jawab, iya. Kemudian bertanya lagi, apakah makanan di café ini halal? Kami jawab, Inshaallah. Kan saya hanya makan buah dan pisang goreng.... Nah, itulah pentingnya label halal, karena wisatawan yang berkunjung memerlukan kepastian kehalalan suatu makanan. Mudah-mudahan Pemda Bali memperhatikan hal-hal semacam ini.

Menjelang senja, kami masih bermain air dengan Aisha di pantai. Yangkungnya Aisha sangat menikmati kebersamaan dengan cucu pertamanya. Pantai ini makin malam makin ramai. Berderet restoran dibelakang Mall ini pasti menjaring tamu-tamu yang menikmati indahnya malam ditepi pantai.
 


Hari Keempat. Hari ini adalah hari terakhir kami berada di Bali. Rencana ingin melihat-lihat daerah Seminyak kami wujudkan dengan pagi-pagi keluar dari hotel berjalan kaki menuju jalan raya. Toko-toko masih belum buka. Kemudian menuju Pasar untuk melihat barangkali ada yang menarik untuk dijadikan oleh-oleh. Dalam perjalanan menuju Bandara, kami menyempatkan mampir ke Hutan Mangrove yang merupakan satu-satunya di Bali, sekaligus memberi tambahan wawasan bagi Aisha untuk mencintai lingkungan. Hutan bakau seluas 3,5 hektar ini cukup terawat, meskipun ada beberapa bagian yang botak harus ditanami lagi. Sebelum ke airport, kami makan siang di sebuah tempat makan dengan menu masakan Jawa, Plengkung namanya.
 

Selamat tinggal Bali, sampai nanti jika ada kesempatan, inshaallah mengunjungimu kembali ……….
Wassalamu’alaikum ww.
 

Jakarta, 9 Agustus 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar