Rabu, 25 Mei 2016

Pulau Belitung nan indah.

Assalamu'alikum ww.

Sejak lama terbetik keinginan di hati untuk mengunjungi pulau-pulau di tanah air, yang konon jumlahnya puluhan ribu, tepatnya 17.504 pulau. Lebih tertarik lagi ketika membaca buku Tepian Tanah Air,  sebuah buku yang menceritakan hasil ekspedisi “Wanadri” mengunjungi pulau-pulau terluar Indonesia. Bagaikan tersihir membaca buku itu, menjadikan dada ini semakin dipenuhi rasa cinta tanah air yang membuncah.


Kesempatan itu akhirnya tiba, dalam suatu tour mengunjungi pulau Belitung di bulan April 2014. Bahagia sekali mengetahui bahwa didalamnya terdapat acara mengunjungi Pulau Lengkuas, salah satu pulau yang dapat menggambarkan apa yang disebutkan dalam buku itu.

Berjarak hanya sekitar 40 menit perjalanan perahu kayu bermesin dari Tanjung Kelayang, yaitu pelabuhan tempat berawalnya perjalanan laut menuju Pulau Langkuas. Pemandangan cantik di sepanjang perjalanan membuat mata tak berkedip. Batu-batu granit yang besar-besar itu bertebaran, bergandengan, bersusunan disana-sini di sepanjang pantai dan di pulau2 kecil disekitar Tanjung Kelayang. Bagaimanapun susunannya, tetap elok dipandang mata. Subhanallah..... Sungguh, Allah telah menganugerahi keindahan yang tiada terkira. Kecintaan terhadap karunia Illahi menyergap masuk ke sanubari.



 






Dari jauh sudah tampak Mercu Suar tegak berdiri di Pulau Lengkuas, Terbayang bagaimana kesetiaannya akan tugas dan fungsinya memberi petunjuk bagi kapal-kapal yang lalu lalang di sekitarnya. Kapal kayu yang kami tumpangi berayun-ayun mengendarai ombak. Hingga beberapa saat diantaranya, penumpang kapal ada yang mabuk. Air laut menampar muka meninggalkan rasa asin di bibir.
 
Ketika kapal merapat sandar, pulau masih sepi. Pohon nyiur mendesah bergoyang terkena angin pagi menyambut kedatangan kami. Pulau tampak bersih dengan banyak tempat sampah berwarna biru. Setelah kedatangan kami, kemudian berturut-turut kapal-kapal rombongan lain mendarat. Seperti kami, mereka juga wisatawan domestik yang ingin menikmati keindahan tanah air. Kapal mereka juga membawa makanan untuk santap siang, bahkan ada yg membawa duren untuk dinikmati bersama rombongan.

Mercu Suar yang dari jauh tampak kecil itu ternyata gagah menjulang tinggi lebih kurang 50 meter. Dibangun oleh pemerintah Belanda di tahun 1882 sebagaimana tertera pada tembok pagarnya, sekarang berada dalam lingkup Kementerian Perhubungan RI. Menaiki tangga demi tangga sampai ke puncaknya, mengarahkan pandangan ke sekeliling pulau hingga jauh. Berkeliling di pulau itu bersama keluarga, sahabat dan teman-teman terasa kehangatan dan kegembiraan yang luar biasa, meninggalkan kejenuhan dan rutinitas kerja yang tiada habisnya.





 

Ketika matahari mulai condong, kami menuju pulau lainnya, yaitu Pulau Kepayang. Sebenarnya banyak pulau-pulau kecil disekitar Pulau Belitung, seperti pulau Babi, pulau Burung, pulau KB dan lainnya. Pantas saja jika disebutkan jumlah pulau-pulau kita itu mencapai puluhan ribu. Pulau-pulau lainnya itu tidak berpenghuni, meskipun cukup mudah dijangkau dari Tanjung Pandan, ibukota Belitung. Pulau Kepayang masih perawan. Sebagian besar masih hutan, dan kami menapaki jalan ditengah hutan itu menuju suatu lokasi dengan pemandangan yang menawan, dan sekaligus menikmati kopi di sore hari.

Ketika saatnya kembali menuju Tanjung Kelayang, kapal melewati sebuah gundukan pasir di tengah laut, yang luasnya tidak lebih dari 100 m. Rupanya ini adalah Pulau Pasir. Pulau pasir ini berpindah-pindah mengikuti ombak laut. Dari dulu, tempat itu merupakan habitat binatang laut yaitu bintang laut “si Patrick” yang warna tubuhnya pink berbenjol-benjol hitam, dan ukuran garis tengahnya sekitar 20 - 25 cm. Penumpang kapal yang turun dapat melihat dari dekat bahkan mengambil binatang yang sedang berada di sekitar pasir, tetapi tidak boleh lebih dari 5 menit harus dilepas kembali. Jika tidak, dia akan mati.




Hari selanjutnya kami menyambangi ujung timur Pulau Belitung. Jalan mulus yang membelah pulau Belitung dari kota Tanjung Pandan menuju Kota Manggar, ibukota Kaupaten Belitung Timur ini selalu lengang. Jarang sekali bus kami berpapasan dengan kendaraan lain, kecuali satu dua di kota kecamatan. Mengapa demikian? Tentu saja, karena jumlah penduduk pulau Belitung menurut Guide kami hanya sekitar 400 – 600 ribu orang saja dan mereka itu kebanyakan berprofesi sebagai nelayan, setelah masa keemasan timah berakhir.
Syukurlah, kehidupan mereka terlihat cukup sejahtera. Rumah-rumah sepanjang jalan yang kami lalui rapi, tidak ada yang reyot. Demikian pula pohon-pohon hutan di sepanjang jalan masih kelihatan hijau, walaupun disana-sini tampak bekas galian yang telah terisi air. Sesekali kami lihat deretan kebun kelapa sawit dan kebun lada tertata rapi dengan buah-buahnya yang masih muda. Bumi pulau Belitung selain menghasilkan barang tambang seperti timah dan kaolin, juga bagus untuk pertumbuhan tanaman lada, yang banyak dikebunkan di desa Simpang Belitung Timur. Ada yang baru kami ketahui, bahwa ternyata Lada Hitam dan Lada Putih itu adalah sama, berbeda hanya karena proses pengerjaannya. Untuk Lada Putih, begitu dipetik kemudian direndam di air yg mengalir, dengan demikian kulitnya terkelupas. Yang hitam, begitu dipetik terus dijemur.

Tujuan kami adalah kota-kota di Kabupaten Belitung Timur. Di Kabupaten ini telah dilahirkan 3 orang tokoh nasional yang dikenal luas, bahkan salah seorang diantaranya namanya telah mendunia. Prof Yusril Ihza Mahendra, seorang Calon Presiden yang diajukan oleh sebuah partai politik, Basuki Cahaya Purnama atau Ahok, sebelum terpilih sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta adalah Bupati Belitung Timur, dan Andrea Hirata, seorang seniman penulis buku Laskar Pelangi, sebuah buku yang luar biasa inspiratif yang telah diterjemahkan ke berbagai bahasa di dunia.

Sebelum ke kota Manggar, terlebih dahulu kami mengunjungi kecamatan Damar, dimana terdapat sebuah Vihara agama Budha bernama Vihara Dewi Kwan Im, yang dibangun di tahun 1700 an dan direnovasi di tahun 1998. Agak aneh, vihara itu didirikan di suatu daerah yang seluruh penduduknya muslim, siapa yang akan berdoa disana? Ternyata berdasarkan penelitian sejarah, vihara di ujung timur selatan pulau Belitung ini dibangun oleh para penganut agama Budha dari China yang sedang dalam perjalanan menuntut ilmu ke kerajaan Sriwijaya di Palembang, yang dahulu dikenal sebagai pusat kerajaan Budha.
Memasuki kota Manggar yang terik, suasana kota cukup ramai. Mungkin lebih ramai dari Tanjung Pandan. Kota Manggar juga dikenal sebagai “kota seribu warung kopi” dimana di setiap sudut ada warung kopinya. Di kota ini banyak tempat-tempat yang disebutkan di buku Lasykar Pelangi. Toko ayahnya A Ling dimana si Ikal biasa membeli kapur, berada di daerah pasar. Rupanya sekarang kota Manggar bukan lagi kota kecil sebagaimana gambaran yang saya dapat dari buku itu. 

Kami menuju Museum Kata, dimana terdapat segala hal yang telah dilakukan oleh Andrea Hirata, khususnya buku dan filmnya. Terpampang pajangan potongon-potongan kalimat dari buku Lasykar Pelangi dan buku-buku lainnya seperti Sang Pemimpi. Ada juga contoh buku-buku yang telah diterjemahkan ke bahasa lain, foto-foto dan promosi film-film nya. Dibelakang museum, tersedia Cafe “kupi kuli” yang menyediakan kopi panas langsung diseduh dari api dan penganan-penganan kecil lainnya. Kopi Manggar terkenal enak, sehingga kesempatan mencicipinya tidak akan dilewatkan. Kupi Kuli, maksudnya kopi yang diminum oleh para kuli di zaman Timah menghidupi Belitung. Di seberang museum ini, terdapat sebuah Masjid dan 3 rumah sebelah kiri masjid itulah Andrea Hirata tinggal. Sayang saat itu sedang tidak di Belitung. (Hallo Andrea Hirata.... sekarang saya ganti mengunjungi Museum anda, sebagai balasan kunjungan anda ke Sekolah Alam Bekasi ya....)

Perjalanan dilanjutkan ke Rumah Bekas Bupati Belitung Timur pak Basuki Cahaya Purnama. Di rumahnya yang besar itu dikembangkan “Batik Simpor“ batik Belitung yang dikerjakan oleh ibu-ibu setempat, dan pengunjung dapat langsung membeli kain batik yang sudah jadi.
Berada di daerah pusat kantor pemerintahan di Kecamatan Gantong, kantor-kantor tampak sepi walaupun saat itu hari kerja. Barangkali karena udara yang panas menyengat atau karena memang sangat sedikitnya penduduk. 


Selanjutnya yang tak kalah menarik adalah kunjungan ke Sekolah Muhammadiyah bekas shooting film Laskar Pelangi. Replika bangunan sekolah yang semula berada di tempat aslinya telah dipindahkan. Bangunan itu ditempatkan di suatu lahan di pinggir jalan utama Gantong, cukup luas, yang halamannya berpasir putih. Yang semula saya kira pasir pantai itu rupanya pasir kaca, lapis ketiga sebelum dihasilkan timah. Memang di sebelah kiri lahan Sekolah itu tampak bekas galian yang sekarang merupakan kolam.
Di kota Manggar yang terik ini, terdapat sebuah rumah makan yang sangat teduh, menghadap laut, tempat kami bersantap siang. Sebagai kota pantai, hidangannya tentulah sea food. Kuliner yang terkenal di Belitung adalah masakan Gangan yaitu gulai kepala ikan ketarap yang berlemak, dengan bumbu kuning. Belum ke Belitung jika belum mencicipinya. Selain itu, ada makanan khas Mi Atep, mi dengan kuah dan acar timun.

Wassalamu'alaikum ww. 


 

1 komentar: