Rabu, 25 Mei 2016

Tour ke Tana Toraja dan Makasar


Assalamu’alaikum ww.

Hari pertama. Alhamdulillah pesawat mendarat tepat waktu di Bandara Sultan Hasanudin. Program yang telah jauh-jauh hari direncanakan, akhirnya terlaksana hari ini. Mengapa Tana Toraja? Saya memiliki ketertarikan pada sesuatu yang unik. Budaya suku Toraja demikian khas, eksotis, berbeda dengan budaya suku-suku lain di Indonesia. Makin tertantang setelah mengetahui begitu banyak orang asing datang mengunjungi dan mengaguminya, lalu mengapa kita sendiri tidak hirau?

Rombongan kami yang berjumlah 14 orang, sempat berfoto ria sebelum keluar dari Bandara. Pihak Travel Bintang Wisata yang dipimpin ibu Rita memperkenalkan Guide bernama Pak Udin dan Crew Pengemudi serta Kenek yang akan menemani kami selama 4 hari ke depan. Selanjutnya kami menuju bus wisata dan berangkat ke tujuan utama, Tana Toraja. 

Sepanjang perjalanan menuju ke utara, udara di musim kemarau terasa panas menyengat. Di kiri kanan tampak sawah yang telah dipanen dan tambak. Berturut-turut kami melewati wilayah Kabupaten Maros, Pangkajene, Barru, dan Kota Pare-pare, tempat kelahiran Pak Habibi, salah seorang Idola saya.

Kami beristirahat makan siang dan sholat di Resto Kuta Beach, yang berada di tepi pantai dengan nyiurnya yang melambai. Seketika siang yang panas terasa sejuk. Sebelum kedatangan kami sudah berada di sana serombongan turis Itali. Setelah cukup beristirahat segera kami melanjutkan perjalanan, mengingat jarak yang kami tempuh masih cukup jauh. Makassar – Tana Toraja biasa ditempuh dalam waktu 7 jam. 

Perjalanan lanjut ke arah utara, melewati wilayah Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap) dan Enrekang. Disela-sela perjalanan, kami saling berkenalan, karena rombongan ini terdiri dari dua komunitas. Grup saya adalah Keluarga dan Staf Kantor Notaris, ada 8 orang, sedang yang lainnya adalah para Ibu Isteri Pensiunan Akabri Udara, ada 6 orang. Mereka itu adalah teman-teman adik saya. Jadi kami kebanyakan seumuran, sudah eyang-eyang tapi tetap semangat ’45 lho ...........

Diantara 14 orang Peserta Tour, terdapat 6 orang Eyang-eyang, 6 orang Ibu-ibu, seorang Bapak dan seorang “Brondong” ........ Rupanya si “Brondong” ini laris manis menjadi penolong bagi yang memerlukan bantuan apa saja, khususnya untuk yang 6 orang itu ... Dan mereka semua adalah teman-teman yang asyik.......

Guide kami mulai bercerita tentang kehidupan masyarakat Sulawesi pada umumnya. Terdapat 4 suku asli di Pulau Sulawesi yaitu Suku Bugis, Suku Mandar, Suku Toraja dan Suku Bajo. Suku Bugis adalah Pelaut yang tangguh dan pembuat perahu Phinisi. Hidup tersebar di seluruh Indonesia, bahkan juga di Malaysia. Suku Mandar, selain Pelaut, mereka banyak bekerja sebagai petani dan penenun. Tenun mandar Sengkang sangat terkenal khususnya tenun sutera yang hingga kini terus berkembang, memiliki motif-motif yang indah. Suku Bajo hidup dan ber rumah di laut, tersebar didaerah Gorontalo, Labuan Bajo dan pulau-pulau kecil di perairan Indonesia Timur.

Suku Toraja yang akan kami kunjungi ini memiliki budaya yang tinggi, terbukti dengan sistem kekerabatan, upacara-upacara, rumah adat, seni tari dan seni lukis mereka. Dahulu mereka mendiami dataran tinggi Tana Toraja, (sekarang Kabupaten Tana Toraja yang beribukota di Makale dan Kabupaten Toraja Utara dengan ibukotanya Rantepao), namun kini mereka telah tersebar di kota-kota besar Indonesia, dan bahkan banyak diantaranya menjadi orang-orang penting. Mereka akan pulang ke Toraja pada saat diselenggarakan pesta adat dan akan pulang ke tanah leluhur setelah pensiun untuk membangun rumah Tongkonan.

Perjalanan yang meliuk-liuk mengitari punggung gunung telah membuat 2 orang teman kami sempat mabok. Wah, lumayan juga ...... yang lain jadi takut ketularan mabok nih ...... Untuk meredakannya, bus beristirahat sejenak di sebuah Warung Kopi di Bambapuang, Enrekang. Sambil menikmati Kopi Toraja yang terkenal itu, persis di depan kami terhampar pemandangan indah, deretan puncak-puncak Pegunungan. Pegunungan apa ya namanya (saya lupa mencatat, Sesean apa Rante Mario?). Salah satunya adalah Buntu Kabobon atau Gunung Kabobon. Kabobon artinya kemaluan. Maaf, jadi malu (lihat foto), bentuknya memang seperti kemaluan wanita.......


Kami sampai di Hotel ketika waktu magrib tiba. Terdapat selisih waktu satu jam dengan Jakarta. Saatnya untuk beristirahat dan makan malam sambil menikmati sejuk dan dinginnya udara Negeri diatas Awan, sebutan dari Tana Toraja. 
Hari ke dua. Pagi yang dingin menyelimuti Tana Toraja. Matahari mulai menampakkan cahayanya. Mengingat hanya sehari kami akan berpetualang di Tana Toraja, maka setelah breakfast segera rombongan berangkat. Di perjalanan Guide kami menjelaskan beberapa hal tentang Ajaran Aluk Todolo yang berperan penting dalam sistem sosial, pemerintahan hingga kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Toraja. Menurut kepercayaan mereka kehidupan setelah kematian sangat penting. Seseorang yang meninggal dunia belum sampai derajad yang tinggi sebelum digelar upacara kematian. Demikian pula mereka meletakkan makam leluhur di tempat yang tinggi, karena semakin tinggi akan semakin mudah mencapai kesempurnaan.

Tujuan pertama yang akan kami kunjungi adalah Kambira, dimana kami akan melihat Kuburan Bayi. Bayi yang belum tumbuh gigi yang meninggal dunia, dikubur di batang pohon. Mula-mula pohon dilubangi, kemudian Ayah dan Ibu meletakkan jenazah bayinya di lubang itu dengan posisi seperti dalam rahim ibu, dan selanjutnya menutup lubang dengan ijuk. Jika tempat tinggal orang tuanya berada di wilayah sebelah barat pohon, maka lubang dibuat arah sebaliknya yaitu di bagian timur pohon, dengan tujuan agar orang tua tersebut tidak mendengar tangisan bayinya. Menurut kepercayaan masyarakat Suku Toraja, arwah bayi itu akan naik ke pohon dan akan menyatu dengan pohon kehidupan.

Tujuan selanjutnya adalah Suaya, sebuah komplek kuburan batu untuk para Raja dan Bangsawan Toraja, yang sudah ada sejak abad ke 17. Lokasinya tidak jauh dari jalan raya. Di sebuah Gunung Batu yang berdiri tegak dihadapan kami, terdapat pahatan lubang berderet yang ditutup dengan patung-patung yang disebut Tau-tau. 

Menurut penjelasan pak Udin, jumlah penghuni di satu lubang tidak hanya satu orang, melainkan satu keluarga. Diantara Tao-tao disana, yang berbaju putih memegang tongkat itu adalah Puang Sangalla, Raja Toraja yang terakhir. Untuk melihat dengan jelas, kami harus mendongak keatas. Tidak semua orang Toraja dimakamkan di Kubur Batu seperti di Suaya, ada juga yang dimakamkan di tanah, yaitu mereka yang telah memeluk agama Islam. Dan ada juga yang bentuk makamnya seperti Tongkonan, ditengahnya ditempatkan tempat jenazah yang dihias dengan ukiran. Yang seperti ini adalah makam untuk satu keluarga.


Ketika bus kami sedang menuju arah Rantepao, tiba-tiba Guide kami Pak Udin meminta Pengemudi memperlambat kendaraan, dan akhirnya kami berhenti di suatu tempat dimana sedang dipersiapkan Upacara Kematian yang disebut Rambu Solo. Tampak mobil-mobil berderet diparkir di pinggir jalan. Pak Udin mencari informasi, dan ternyata benar, esok hari akan diselenggarakan Upacara untuk Nenek Loto' yang meninggal 2 tahun lalu dan anaknya bernama Ibu Marampa' yang meninggal 2 bulan lalu. 
Kami bersama rombongan wisatawan manca negara bule-bule diijinkan mengikuti dari dekat acara pesta duka tersebut. Pak Udin menyarankan supaya kami membeli satu kotak rokok untuk diserahkan kepada keluarga. Keluarga atau putra-putri dari yang meninggal mengenakan pakaian yang sama, kain sarung dan baju berwarna putih krem. Demikian pula cucu-cucu, mereka mengenakan baju tradisional tenun bergaris berwarna merah kuning, dengan hiasan kepala manik-manik. 



Hari H nya masih besok, tetapi hari ini sudah berkumpul banyak tamu dan sudah menerima kiriman 14 ekor kerbau yang terpancang dipinggir lapangan dan beberapa ekor babi hitam yang diikat dengan bambu, diletakkan di tanah. Rupanya kedua Almarhumah termasuk golongan bangsawan, terbukti dari banyaknya jumlah kerbau yang akan disembelih. Untuk keluarga bangsawan, minimal memotong 24 ekor kerbau. Hewan tersebut merupakan sumbangan dari sanak kerabat, yang suatu ketika jika sanak kerabat itu menyelenggarakan upacara yang sama, akan dikembalikan sebagai sumbangan. Kerbau dan babi merupakan binatang ternak yang dipotong dalam ritual ini, selain sebagai simbol kehormatan juga sekaligus berbagi kepada masyarakat sekitar.






Banyak tarian digelar dalam Upacara Kematian. Tarian-tarian itu menunjukkan rasa duka cita sekaligus memberikan doa kepada Arwah supaya dimudahkan dalam perjalanan menuju akherat. Hari ini adalah hari pertama upacara, esok hari akan dilakukan prosesi yang sesungguhnya, dimana pemotongan kerbau dilakukan dengan menggunakan tombak sebagaimana di zaman dahulu nenek moyang mereka melakukan hal yang sama. 
Di pinggir lapangan, kami menyaksikan tarian menumbuk padi di lesung oleh ibu-ibu dengan baju warna pink, yang menurut penjelasan Pak Udin adalah tarian simbol kesuburan, artinya berapapun tamu yang datang mereka sanggup menerima dan menjamunya. Kemudian disusul dengan tarian Badong. Tarian ini tanpa diiringi instrumen musik, dibawakan oleh sekitar 30 orang laki-laki yang mengenakan sarung hitam dan baju batik coklat. Mereka menyanyikan ho ho ho........... yang menggambarkan kesedihan mereka.



Di tengah lapangan terdapat sebuah Patung Wanita duduk di kursi/tandu. Patung itu menggambarkan Nenek Loto’. Selain itu juga terdapat dua tempat jenazah, seperti guling berukuran besar dengan hiasan warna merah, yang diletakkan di tandu. Hari ini kedua jenazah belum dibawa ke tempat upacara. Pada saatnya nanti, setelah dilaksanakan upacara, maka jenazah akan dimakamkan di kubur Gunung Batu sebagaimana masyarakat Toraja lainnya.





Sementara itu, di bedeng-bedeng bangunan bambu di pinggir lapangan telah dipenuhi tamu, diantaranya wisatawan bule yang sedang menikmati hidangan makan siang. Kami juga ditawari makan, tetapi tidak ikut makan karena hidangannya selain daging kerbau, juga babi bakar. Setelah beberapa lama kami berkeliling mengambil foto, mengikuti acara dan sedikit mewawancarai keluarga, akhirnya kami harus meninggalkan lokasi. Masih ada tempat-tempat lain yang akan kami kunjungi.

Pesta Rambu Solo terbesar yang pernah ada adalah Upacara Pemakaman Puang Sangalla di tahun 1972, yang makamnya telah kami saksikan di Suaya. Pada saat itu, National Geographic mendokumentasikannya, sehingga menjadikan Tana Toraja mulai terkenal di dunia. Semenjak itu, banyak wisatawan asing datang ke Toraja untuk menyaksikan upacara Rambu Solo.

Petualangan kami lanjutkan ke Kete Kesu, yaitu sebuah komplek perkampungan tradisional dengan Rumah Adat suku Toraja yang disebut Tongkonan. Tampak Tongkonan berjejer, indah dan eksotis. Tongkonan mengambil bentuk perahu dari nenek moyang suku Toraja yang menurut para ahli berasal dari Vietnam dan China Selatan. Mereka datang secara bertahap dan sampai di pesisir pulau Sulawesi sekitar tahun 1.500 sampai 3.000 Sebelum Masehi.

Di bagian atap dan di depan Tongkonan, terdapat hiasan ukiran berwarna dengan motif-motif lukisan. Ciri umum ukiran masyarakat Toraja adalah abstrak dan geometris. Lukisan itu memiliki arti atau melambangkan sesuatu. Motif tanaman melambangkan kebajikan, motif simpul dan kotak melambangkan harapan akan kedamaian, demikian seterusnya. Ada 44 motif ukiran Toraja, dengan 4 warna yaitu hitam, merah kuning dan putih. Hitam adalah simbul kematian, merah simbul kehidupan, kuning melambangkan anugerah serta kekuasaan Tuhan, dan putih adalah kesucian. Filosofi warna ini merupakan bagian dari ajaran Aluk Todolo.

Pada tiang didepan dan disamping Tongkonan banyak dipasang tanduk kerbau. Perlu diketahui, bahwa kerbau, atau bahasa setempat Tedong, merupakan hewan istimewa bagi masyarakat suku Toraja. Hewan itu adalah lambang kehormatan, kekuasaan dan kekayaan. Semakin banyak tanduk kerbau yang dipasang di Tongkonan, menunjukkan semakin tinggi derajat pemiliknya. Di Tana Toraja, kerbau hanya khusus untuk dimakan, bukan untuk dipekerjakan, membajak sawah misalnya. Kerbau dengan ciri-ciri tertentu, seperti berkulit belang, bisa berharga sampai satu milyar rupiah. Sungguh bagi kita seperti tak masuk akal. Begitulah, lain ladang lain ilalang, lain lubuk lain ikannya.





Saya tidak cukup puas melihat Tongkonan dari luar, saya masuk ke dalam dan naik tangga kayu menuju ruangan atas. Di lantai atas terdapat tiga ruangan. Di depan, ruangan yang ada jendelanya berfungsi untuk menerima tamu dan untuk anak-anak. Ruang tengah sebelah kiri untuk memasak makanan, sebelah kanan untuk duduk-duduk makan dan tempat meletakkan Orang Tua yang sudah meninggal. Sedang ruang belakang untuk tempat tidur orang tua. Dahulu kala, Tongkonan berfungsi sebagai tempat pertemuan para bangsawan untuk membahas masalah adat atau sebagai pusat pemerintahan.

Apabila ada Orang Tua yang meninggal, maka setelah disuntik formalin, ditempatkan di ruang tengah Tongkonan hingga saatnya di selenggarakan Pesta Kematian. Yang meninggal itu hanya dianggap sakit saja, setiap hari tetap disediakan makanan untuknya. Karena Upacara Kematian atau Rambu Solo itu memerlukan dana yang besar, ada yang hingga 15 tahun setelah meninggal baru diselenggarakan upacaranya.

Tongkonan dibuat dari kayu, dan atapnya dibuat dari bambu. Di tempat-tempat lain kami temukan bentuk bangunan seperti Tongkonan yang berukuran kecil, itulah Lumbung padi yang disebut Alang. Ada juga alang yang lantainya dikeramik hingga tampak lebih bersih.

Hari telah cukup siang, ketika matahari mulai turun kearah barat. Kami makan siang dan sholat di sebuah rumah makan setempat dengan hidangan ayam yang dibakar di dalam bambu, kuliner ala Toraja, ditemani ikan asin, bakwan jagung serta sayur kangkung. Nikmat sekali.....

Setelah makan siang, kami dibawa ke Toko Tondi, sebuah Toko yang menjual hasil tenun ibu-ibu suku Toraja. Di Toko ini terdapat 2 orang Penenun yang memperagakan cara menenun dengan peralatannya sehingga kita bisa melihat dari dekat bagaimana pekerjaan itu dilakukan. Harga hiasan dari tenun itu lumayan mahal, karena dikerjakan dalam waktu yang cukup lama.

Tempat terakhir yang kami kunjungi adalah Londa, sebuah kuburan batu yang sudah dibuat bagus setelah terakhir Presiden SBY berkunjung kesini. Jalan kendaraan diperlebar dan untuk turun kebawah telah dibuat tangga yang rapi. Kuburan batu Londa, menurut pengamatan saya lebih mistis dari kuburan batu di Suaya. Di dalamnya terdapat banyak tengkorak manusia yang tergeletak begitu saja. Disitu juga banyak peti-peti jenazah, bahkan ada yang masih baru diletakkan. Untuk masuk ke Londa, kita harus merunduk dan merangkak.



Walaupun sebenarnya masih ada banyak lokasi yang bagus untuk dikunjungi seperti Lemo, Batutumonga dan lainnya, namun hari telah sore sehingga hanya ini yang bisa kami kunjungi. Tempat-tempat wisata tersebut semua terletak di Kabupaten Toraja Utara yang beribukota Rantepao dan di Kabupaten Tana Toraja yang beribukota di Makale.

Hari Ke tiga. Hari ini kami menuju Ujung Pandang. Selamat tinggal Tana Toraja.... Meskipun hanya sehari mengunjungimu, sudah cukup menumbuhkan kebanggaan akan kekayaan budaya tanah air Indonesia tercinta. Menambah wawasan dan pengalaman, bahwa begitu indah karunia Allah SWT kepada bangsa ini yang harus disyukuri, dan selayaknya dipelihara dan dilestarikan.

Perjalanan menuju Makassar melalui jalan yang sama dengan yang kami lalui kemaren. Diingatkan kepada teman-teman yang mabok kendaraan, untuk mempersiapkan diri dengan meminum obat anti mabuk. 

Memasuki kota Pare Pare, kami diajak makan siang dan sholat di sebuah Restoran di tengah kota yang lumayan ramai. Setelah Pare Pare, kami meneruskan perjalanan melalui Kabupaten Sidrap, Kabupaten Barru dan Kabupaten Pangkep. Saat ini Kabupaten Sidrap merupakan gudang beras terbesar di Sulawesi Selatan. Di waktu yang akan datang, akan menyusul Manokwari, bersama-sama Sidrap memenuhi kebutuhan beras di Indonesia Timur.

Melihat disepanjang jalan berjejer warung-warung bertuliskan Dangke, saya meminta pak Udin membelikan untuk sekedar mencicipi apa itu dangke. Ternyata kue dengan bahan tepung beras ketan dicampur dengan kelapa parut dan gula merah. Bahan-bahan itu dicetak di cetakan kue rangin. Ada juga yang sudah dimodifikasi, tidak lagi gula merah melainkan coklat dan keju. Cukup enak. .....

Karena kami akan menuju Taman Nasional Bantimurung, maka untuk menyingkat waktu bus mengambil jalan belok kekiri melalui Pabrik Semen Bosowa. Taman Nasional Bantimurung berada dalam 2 wilayah Kabupaten yaitu Maros dan Pangkep. 

Sepanjang jalan, di sebelah kiri terdapat jalur bukit-bukit karst Bulusaraung. Kawasan Karst Maros Pangkep merupakan yang terbesar kedua di dunia setelah kawasan karst di Cina, luasnya membentang 43.750 ha. Di dalam kawasan ini terdapat ratusan gua, diantaranya Situs purba Leang Leang, dimana terdapat lukisan manusia purba.

Suasana di Taman Nasional Bantimurung sejuk dan teduh. Di Taman Nasional ini terkenal dengan berbagai jenis kupu-kupu dan air terjun yang tak pernah surut. Sayang tidak tampak kupu-kupu beterbangan seperti ketika saya pertama kali mengunjungi Taman ini beberapa tahun lalu. Karena bukan hari libur, pengunjung tidak banyak. Saya tertarik pada sebatang pohon dengan buah yang menempel penuh disekitar batangnya. Menurut Petugas Taman Nasional, pohon itu bernama Pohon Buraeng, yang digunakan untuk makanan ikan emas. Benarkah?

Menjelang memasuki kota Makassar, lalu lintas mulai padat. Kota Makassar pernah bernama Ujung Pandang. Nama itu digunakan selama 28 tahun, yaitu tahun 1971 hingga 1999. Sebenarnya masyarakat Makassar tidak setuju dengan nama Ujung Pandang, karena Ujung Pandang adalah nama sebuah kampung di Makasar, bagian kecil saja dari Makassar.

Ketika memasuki pintu tol dalam kota Makassar, tiba-tiba ban kiri depan bus kami kempes. Perlu sekitar 20 menit untuk pak Sopir mengganti ban. Untunglah bus dalam kondisi melambat, sehingga tidak terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Suasana kota Makassar meriah, menyambut acara Pertemuan para Walikota se Asean. Di berbagai tempat dipasang baliho ucapan selamat datang, "Wellcome Asean Majors". 

Sebelum menuju hotel, kami makan malam di Restoran Ratu Gurih, restoran yang menghidangkan sea food. Memang gurih masakannya. ...... Di resto ini ibu Rita dari Travel Bintang Wisata menemui kami, menanyakan bagaimana pelayanan di perjalanan, memuaskankah? Atau ada yang kurang? Seperti inilah contoh Pengusaha Jasa yang commit terhadap kliennya.

Rencana semula, setelah tiba di hotel, kami akan keluar lagi menikmati hembusan angin laut di Pantai Losari sambil berfoto ria. Tetapi rupanya hari sudah malam, sebaiknya ditunda esok pagi saja supaya lebih fresh setelah semalam beristirahat.

Hari keempat. Jam 6 pagi kami sudah berada di Plaza Pantai Losari. Udara pagi diiringi hembusan angin sepoi-sepoi menyegarkan badan. Ternyata sudah banyak orang. Ada banyak spot untuk berfoto ria. Dibawah cahaya matahari yang masih malu-malu, dengan back ground huruf besar-besar bertuliskan Pantai Losari, Mandar dan Toraja, kami mejeng bersama dengan pose-pose lucu. Kapan lagi, inilah saatnya........





Kembali ke Hotel Losari Beach yang hanya beberapa langkah dari pantai, selanjutnya kami breakfast bersama. Sesuai dengan jadwal yang ada, kami akan meninggalkan hotel sekaligus cek out, karena sore nanti akan kembali ke Jakarta. 

Tujuan pertama dari City Tour ini adalah mengunjungi Balla Lampoa, yang artinya Rumah Besar. Disini terdapat barang-barang perlengkapan Kerajaan Goa. Tentu hanya duplikatnya, karena yang asli sangat berharga dan disimpan di tempat lain. Dahulu Makassar termasuk dalam wilayah Kerajaan Gowa. Kesempatan mengenakan pakaian adat menjadi suatu keharusan, agar kita bisa berfoto bersama seakan-akan menjadi Putri-putri Bangsawan Gowa.

Tujuan selanjutnya adalah membeli oleh-oleh khas Makassar di Jalan Somba Opu. Disini banyak dijual berbagai Barang Kerajinan, Kaos, Kue-kue tradisional dan Kopi Toraja. 

Yang pertama-tama terpikir adalah oleh-oleh coklat untuk ketiga gadis kecilku. Sekalipun Pulau Sulawesi adalah penghasil coklat (mentah) terbesar di Indonesia, dan Indonesia adalah penghasil ketiga terbesar dunia, tetapi coklat yang dijual di Jalan Somba Opu berkwalitas rendah. Ini dikarenakan kwalitas coklat sangat tergantung pada proses pengolahannya. Pabrik coklat disini belum dapat memproduksi coklat dengan kwalitas tinggi sebagaimana coklat impor merk-merk tertentu, yang jika dimasukkan mulut langsung nikmatnya meleleh di lidah.

Waktu Zuhur tiba, kami akan sholat di Masjid Amirul Mukminin, yang bentuknya seperti miniatur Masjid Terapung Arrahmah di Jedah, Arab Saudi. Lokasi masjid berada di Pantai Losari. 

Makan siang terakhir kami di Makassar adalah menikmati Konro, salah satu kekayaan kuliner Makassar. Sering mendengar nama masakan itu, tetapi belum pernah mencobanya. Saya hanya mengikuti saja teman-teman yang kebanyakan memesan Konro Bakar. Ternyata menu itu berupa 3 potong besar Iga Sapi yang dihidangkan di piring dengan bumbu berwarna coklat dan kuah hitam seperti rawon. Lumayan....

Kemudian kami mengunjungi salah satu ikon kota Makassar yaitu Fort Rotterdam. Benteng yang luasnya hampir 3 ha ini sudah berdiri sejak tahun 1545, dibangun oleh Raja Gowa ke 9 Daeng Bonto Karaeng. Nama semula adalah Benteng Ujung Pandang. Dinamakan Fort Rotterdam setelah diserahkan oleh Kerajaan Gowa kepada Belanda sesuai Perjanjian Bungayya. 

Bentuk benteng seperti kura-kura, dengan bagian kepala dan empat kaki di ujung-ujungnya. Dengan pemeliharaan yang baik, bangunannya masih tampak kokoh. Di masa lalu, bangunan ditengah digunakan untuk Gereja, dan dibawah gereja terdapat penjara. Di benteng inilah Pangeran Diponegoro ditahan, dan akhirnya wafat, dimakamkan di kota Makassar. 

Saat sekarang Benteng ini digunakan sebagai musium, namanya Musium La Galigo. Nama La Galigo diambil dari Sureq La Galigo yang menceritakan awal mula kerajaan bumi, kisah dewa-dewi dari kerajaan langit dan kerajaan bawah air, kisah percintaan abadi, serta kearifan lokal yang terkandung dalam kebudayaan Bugis klasik. Naskah kuno La Galigo tersebut sudah diakui oleh Unesco dan tahun lalu dipentaskan di Benteng ini..

Masih ada sedikit waktu untuk menengok Trans Studio Makasar yang terkenal itu, sangat sayang jika kesempatan dilewatkan. Untuk kenang-kenangan kami berfoto ria bersama disini.


Demikianlah perjalanan Tour kami selama 3 malam 4 hari yang sangat berkesan. Pertemanan diantara Peserta Tour akan dilanjutkan di media sosial agar silaturahmi tetap terjaga. Kami sepakat untuk bersama-sama merencanakan perjalanan lagi di kesempatan yang akan datang.

Inshaallah. .......

Wassalamu'alaikum ww.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar