Hari pertama. Alhamdulillah pesawat mendarat tepat waktu di Bandara Sultan
Hasanudin. Program yang telah jauh-jauh hari direncanakan, akhirnya terlaksana
hari ini. Mengapa Tana Toraja? Saya memiliki ketertarikan pada sesuatu yang
unik. Budaya suku Toraja demikian khas, eksotis, berbeda dengan budaya
suku-suku lain di Indonesia. Makin tertantang setelah mengetahui begitu banyak
orang asing datang mengunjungi dan mengaguminya, lalu mengapa kita sendiri
tidak hirau?
Rombongan kami yang berjumlah 14 orang, sempat berfoto ria sebelum
keluar dari Bandara. Pihak Travel Bintang Wisata yang dipimpin
ibu Rita memperkenalkan Guide bernama Pak Udin dan Crew Pengemudi serta
Kenek yang akan menemani kami selama 4 hari ke depan. Selanjutnya kami menuju
bus wisata dan berangkat ke tujuan utama, Tana Toraja.
Sepanjang perjalanan
menuju ke utara, udara di musim kemarau terasa panas menyengat. Di kiri kanan
tampak sawah yang telah dipanen dan tambak. Berturut-turut kami melewati
wilayah Kabupaten Maros, Pangkajene, Barru, dan Kota Pare-pare, tempat
kelahiran Pak Habibi, salah seorang Idola saya.
Kami beristirahat makan siang dan sholat di Resto Kuta Beach, yang
berada di tepi pantai dengan nyiurnya yang melambai. Seketika siang yang panas
terasa sejuk. Sebelum kedatangan kami sudah berada di sana serombongan turis
Itali. Setelah cukup beristirahat segera kami melanjutkan perjalanan, mengingat
jarak yang kami tempuh masih cukup jauh. Makassar – Tana Toraja biasa ditempuh
dalam waktu 7 jam.
Perjalanan lanjut ke arah utara, melewati wilayah Kabupaten
Sidenreng Rappang (Sidrap) dan Enrekang. Disela-sela perjalanan, kami saling
berkenalan, karena rombongan ini terdiri dari dua komunitas. Grup saya adalah
Keluarga dan Staf Kantor Notaris, ada 8 orang, sedang yang lainnya adalah para
Ibu Isteri Pensiunan Akabri Udara, ada 6 orang. Mereka itu adalah teman-teman
adik saya. Jadi kami kebanyakan seumuran, sudah eyang-eyang tapi tetap semangat
’45 lho ...........
Diantara 14 orang Peserta Tour, terdapat 6 orang Eyang-eyang, 6 orang Ibu-ibu,
seorang Bapak dan seorang “Brondong” ........ Rupanya si “Brondong” ini laris
manis menjadi penolong bagi yang memerlukan bantuan apa saja, khususnya untuk
yang 6 orang itu ... Dan mereka semua adalah teman-teman yang asyik.......
Guide kami mulai bercerita tentang kehidupan masyarakat Sulawesi pada umumnya.
Terdapat 4 suku asli di Pulau Sulawesi yaitu Suku Bugis, Suku Mandar, Suku
Toraja dan Suku Bajo. Suku Bugis adalah Pelaut yang tangguh dan pembuat
perahu Phinisi. Hidup tersebar di seluruh Indonesia, bahkan juga di Malaysia.
Suku Mandar, selain Pelaut, mereka banyak bekerja sebagai petani dan penenun.
Tenun mandar Sengkang sangat terkenal khususnya tenun sutera yang hingga kini
terus berkembang, memiliki motif-motif yang indah. Suku Bajo hidup dan ber
rumah di laut, tersebar didaerah Gorontalo, Labuan Bajo dan pulau-pulau kecil
di perairan Indonesia Timur.
Suku Toraja yang akan kami kunjungi ini memiliki budaya yang tinggi, terbukti
dengan sistem kekerabatan, upacara-upacara, rumah adat, seni tari dan seni
lukis mereka. Dahulu mereka mendiami dataran tinggi Tana Toraja, (sekarang
Kabupaten Tana Toraja yang beribukota di Makale dan Kabupaten Toraja Utara
dengan ibukotanya Rantepao), namun kini mereka telah tersebar di kota-kota
besar Indonesia, dan bahkan banyak diantaranya menjadi orang-orang penting.
Mereka akan pulang ke Toraja pada saat diselenggarakan pesta adat dan akan
pulang ke tanah leluhur setelah pensiun untuk membangun rumah Tongkonan.
Perjalanan yang meliuk-liuk mengitari punggung gunung telah membuat 2 orang
teman kami sempat mabok. Wah, lumayan juga ...... yang lain jadi takut
ketularan mabok nih ...... Untuk meredakannya, bus beristirahat sejenak di
sebuah Warung Kopi di Bambapuang, Enrekang. Sambil
menikmati Kopi Toraja yang terkenal itu, persis di depan kami terhampar
pemandangan indah, deretan puncak-puncak Pegunungan. Pegunungan apa ya namanya
(saya lupa mencatat, Sesean apa Rante Mario?). Salah satunya adalah
Buntu Kabobon atau Gunung Kabobon. Kabobon artinya kemaluan. Maaf, jadi
malu (lihat foto), bentuknya memang seperti kemaluan wanita.......
Kami sampai di Hotel
ketika waktu magrib tiba. Terdapat selisih waktu satu jam dengan Jakarta.
Saatnya untuk beristirahat dan makan malam sambil menikmati sejuk dan dinginnya
udara Negeri diatas Awan, sebutan dari Tana Toraja.
Hari ke dua. Pagi yang
dingin menyelimuti Tana Toraja. Matahari mulai menampakkan cahayanya. Mengingat
hanya sehari kami akan berpetualang di Tana Toraja, maka setelah breakfast
segera rombongan berangkat. Di perjalanan Guide kami menjelaskan beberapa hal
tentang Ajaran Aluk Todolo yang berperan penting dalam sistem sosial,
pemerintahan hingga kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Toraja. Menurut
kepercayaan mereka kehidupan setelah kematian sangat penting. Seseorang yang
meninggal dunia belum sampai derajad yang tinggi sebelum digelar upacara
kematian. Demikian pula mereka meletakkan makam leluhur di tempat yang tinggi,
karena semakin tinggi akan semakin mudah mencapai kesempurnaan.
Tujuan pertama yang akan kami kunjungi adalah Kambira, dimana kami akan
melihat Kuburan Bayi. Bayi yang belum tumbuh gigi yang meninggal dunia, dikubur
di batang pohon. Mula-mula pohon dilubangi, kemudian Ayah dan Ibu meletakkan
jenazah bayinya di lubang itu dengan posisi seperti dalam rahim ibu, dan
selanjutnya menutup lubang dengan ijuk. Jika tempat tinggal orang tuanya berada
di wilayah sebelah barat pohon, maka lubang dibuat arah sebaliknya yaitu di
bagian timur pohon, dengan tujuan agar orang tua tersebut tidak mendengar
tangisan bayinya. Menurut kepercayaan masyarakat Suku Toraja, arwah bayi itu
akan naik ke pohon dan akan menyatu dengan pohon kehidupan.
Tujuan selanjutnya adalah Suaya, sebuah komplek kuburan batu untuk para Raja
dan Bangsawan Toraja, yang sudah ada sejak abad ke 17. Lokasinya tidak jauh
dari jalan raya. Di sebuah Gunung Batu yang berdiri tegak dihadapan kami,
terdapat pahatan lubang berderet yang ditutup dengan patung-patung yang disebut
Tau-tau.
Menurut penjelasan pak Udin, jumlah penghuni di satu lubang tidak hanya satu
orang, melainkan satu keluarga. Diantara Tao-tao disana, yang berbaju putih
memegang tongkat itu adalah Puang Sangalla, Raja
Toraja yang terakhir. Untuk melihat dengan jelas, kami harus mendongak
keatas. Tidak semua orang Toraja dimakamkan di Kubur Batu seperti di Suaya, ada
juga yang dimakamkan di tanah, yaitu mereka yang telah memeluk agama Islam. Dan
ada juga yang bentuk makamnya seperti Tongkonan, ditengahnya ditempatkan tempat
jenazah yang dihias dengan ukiran. Yang seperti ini adalah makam untuk satu
keluarga.
Ketika bus kami sedang
menuju arah Rantepao, tiba-tiba Guide kami Pak Udin meminta Pengemudi
memperlambat kendaraan, dan akhirnya kami berhenti di suatu tempat dimana
sedang dipersiapkan Upacara Kematian yang disebut Rambu Solo. Tampak
mobil-mobil berderet diparkir di pinggir jalan. Pak Udin mencari informasi, dan
ternyata benar, esok hari akan diselenggarakan Upacara untuk Nenek
Loto' yang meninggal 2 tahun lalu dan anaknya bernama Ibu
Marampa' yang meninggal 2 bulan lalu.
Kami bersama rombongan wisatawan
manca negara bule-bule diijinkan mengikuti dari dekat acara pesta duka
tersebut. Pak Udin menyarankan supaya kami membeli satu kotak rokok untuk
diserahkan kepada keluarga. Keluarga atau putra-putri dari yang meninggal
mengenakan pakaian yang sama, kain sarung dan baju berwarna putih krem.
Demikian pula cucu-cucu, mereka mengenakan baju tradisional tenun bergaris
berwarna merah kuning, dengan hiasan kepala manik-manik.
Hari H nya masih
besok, tetapi hari ini sudah berkumpul banyak tamu dan sudah menerima kiriman
14 ekor kerbau yang terpancang dipinggir lapangan dan beberapa ekor babi hitam
yang diikat dengan bambu, diletakkan di tanah. Rupanya kedua Almarhumah
termasuk golongan bangsawan, terbukti dari banyaknya jumlah kerbau yang akan
disembelih. Untuk keluarga bangsawan, minimal memotong 24 ekor kerbau. Hewan
tersebut merupakan sumbangan dari sanak kerabat, yang suatu ketika jika sanak
kerabat itu menyelenggarakan upacara yang sama, akan dikembalikan sebagai
sumbangan. Kerbau dan babi merupakan binatang ternak yang dipotong dalam ritual
ini, selain sebagai simbol kehormatan juga sekaligus berbagi kepada masyarakat
sekitar.
Banyak tarian digelar
dalam Upacara Kematian. Tarian-tarian itu menunjukkan rasa duka cita sekaligus
memberikan doa kepada Arwah supaya dimudahkan dalam perjalanan menuju akherat.
Hari ini adalah hari pertama upacara, esok hari akan dilakukan prosesi yang
sesungguhnya, dimana pemotongan kerbau dilakukan dengan menggunakan tombak
sebagaimana di zaman dahulu nenek moyang mereka melakukan hal yang sama.
Di
pinggir lapangan, kami menyaksikan tarian menumbuk padi di lesung oleh ibu-ibu
dengan baju warna pink, yang menurut penjelasan Pak Udin adalah tarian simbol
kesuburan, artinya berapapun tamu yang datang mereka sanggup menerima dan
menjamunya. Kemudian disusul dengan tarian Badong. Tarian ini tanpa
diiringi instrumen musik, dibawakan oleh sekitar 30 orang laki-laki yang
mengenakan sarung hitam dan baju batik coklat. Mereka menyanyikan ho ho
ho........... yang menggambarkan kesedihan mereka.
Di tengah lapangan terdapat sebuah Patung Wanita duduk di kursi/tandu.
Patung itu menggambarkan Nenek Loto’. Selain itu juga terdapat dua tempat jenazah,
seperti guling berukuran besar dengan hiasan warna merah, yang diletakkan di
tandu. Hari ini kedua jenazah belum dibawa ke tempat upacara. Pada saatnya
nanti, setelah dilaksanakan upacara, maka jenazah akan dimakamkan di kubur
Gunung Batu sebagaimana masyarakat Toraja lainnya.
Sementara itu, di
bedeng-bedeng bangunan bambu di pinggir lapangan telah dipenuhi tamu,
diantaranya wisatawan bule yang sedang menikmati hidangan makan siang. Kami
juga ditawari makan, tetapi tidak ikut makan karena hidangannya selain daging
kerbau, juga babi bakar. Setelah beberapa lama kami berkeliling mengambil foto,
mengikuti acara dan sedikit mewawancarai keluarga, akhirnya kami harus
meninggalkan lokasi. Masih ada tempat-tempat lain yang akan kami
kunjungi.
Pesta Rambu Solo terbesar yang pernah ada adalah Upacara Pemakaman Puang
Sangalla di tahun 1972, yang makamnya telah kami saksikan di Suaya. Pada saat
itu,
National Geographic mendokumentasikannya, sehingga menjadikan Tana
Toraja mulai terkenal di dunia. Semenjak itu, banyak wisatawan asing datang ke
Toraja untuk menyaksikan upacara Rambu Solo.
Petualangan kami lanjutkan ke Kete Kesu, yaitu sebuah komplek
perkampungan tradisional dengan Rumah Adat suku Toraja yang disebut Tongkonan.
Tampak Tongkonan berjejer, indah dan eksotis. Tongkonan mengambil bentuk perahu
dari nenek moyang suku Toraja yang menurut para ahli berasal dari Vietnam dan
China Selatan. Mereka datang secara bertahap dan sampai di pesisir pulau
Sulawesi sekitar tahun 1.500 sampai 3.000 Sebelum Masehi.
Di bagian atap dan di depan Tongkonan, terdapat hiasan ukiran berwarna dengan
motif-motif lukisan. Ciri umum ukiran masyarakat Toraja adalah abstrak dan
geometris. Lukisan itu memiliki arti atau melambangkan sesuatu. Motif tanaman
melambangkan kebajikan, motif simpul dan kotak melambangkan harapan akan
kedamaian, demikian seterusnya. Ada 44 motif ukiran Toraja, dengan 4 warna
yaitu hitam, merah kuning dan putih. Hitam adalah simbul kematian, merah simbul
kehidupan, kuning melambangkan anugerah serta kekuasaan Tuhan, dan putih adalah
kesucian. Filosofi warna ini merupakan bagian dari ajaran Aluk Todolo.
Pada tiang didepan dan disamping Tongkonan banyak dipasang tanduk kerbau. Perlu
diketahui, bahwa kerbau, atau bahasa setempat Tedong, merupakan hewan
istimewa bagi masyarakat suku Toraja. Hewan itu adalah lambang kehormatan,
kekuasaan dan kekayaan. Semakin banyak tanduk kerbau yang dipasang di
Tongkonan, menunjukkan semakin tinggi derajat pemiliknya. Di Tana Toraja,
kerbau hanya khusus untuk dimakan, bukan untuk dipekerjakan, membajak sawah
misalnya. Kerbau dengan ciri-ciri tertentu, seperti berkulit belang, bisa
berharga sampai satu milyar rupiah. Sungguh bagi kita seperti tak masuk akal.
Begitulah, lain ladang lain ilalang, lain lubuk lain ikannya.
Saya tidak cukup puas melihat Tongkonan dari luar, saya masuk ke dalam dan naik
tangga kayu menuju ruangan atas. Di lantai atas terdapat tiga ruangan. Di
depan, ruangan yang ada jendelanya berfungsi untuk menerima tamu dan untuk
anak-anak. Ruang tengah sebelah kiri untuk memasak makanan, sebelah kanan untuk
duduk-duduk makan dan tempat meletakkan Orang Tua yang sudah meninggal. Sedang
ruang belakang untuk tempat tidur orang tua. Dahulu kala, Tongkonan berfungsi
sebagai tempat pertemuan para bangsawan untuk membahas masalah adat atau
sebagai pusat pemerintahan.
Apabila ada Orang Tua yang meninggal, maka setelah disuntik formalin,
ditempatkan di ruang tengah Tongkonan hingga saatnya di selenggarakan Pesta
Kematian. Yang meninggal itu hanya dianggap sakit saja, setiap hari tetap
disediakan makanan untuknya. Karena Upacara Kematian atau Rambu Solo itu
memerlukan dana yang besar, ada yang hingga 15 tahun setelah meninggal baru
diselenggarakan upacaranya.
Tongkonan dibuat dari kayu, dan atapnya dibuat dari bambu. Di tempat-tempat
lain kami temukan bentuk bangunan seperti Tongkonan yang berukuran kecil, itulah Lumbung
padi yang disebut Alang. Ada juga alang yang lantainya dikeramik hingga tampak
lebih bersih.
Hari telah cukup siang, ketika matahari mulai turun kearah barat. Kami makan
siang dan sholat di sebuah rumah makan setempat dengan hidangan ayam yang
dibakar di dalam bambu, kuliner ala Toraja, ditemani ikan asin, bakwan jagung
serta sayur kangkung. Nikmat sekali.....
Setelah makan siang, kami dibawa ke Toko Tondi, sebuah Toko yang
menjual hasil tenun ibu-ibu suku Toraja. Di Toko ini terdapat 2 orang Penenun
yang memperagakan cara menenun dengan peralatannya sehingga kita bisa melihat
dari dekat bagaimana pekerjaan itu dilakukan. Harga hiasan dari tenun itu
lumayan mahal, karena dikerjakan dalam waktu yang cukup lama.
Tempat terakhir yang kami kunjungi adalah Londa, sebuah kuburan batu yang sudah
dibuat bagus setelah terakhir Presiden SBY berkunjung kesini. Jalan kendaraan diperlebar
dan untuk turun kebawah telah dibuat tangga yang rapi. Kuburan batu Londa,
menurut pengamatan saya lebih mistis dari kuburan batu di Suaya. Di dalamnya
terdapat banyak tengkorak manusia yang tergeletak begitu saja. Disitu juga
banyak peti-peti jenazah, bahkan ada yang masih baru diletakkan. Untuk masuk ke
Londa, kita harus merunduk dan merangkak.
Walaupun sebenarnya masih ada banyak lokasi yang bagus untuk dikunjungi
seperti Lemo, Batutumonga dan lainnya, namun hari telah sore sehingga hanya ini
yang bisa kami kunjungi. Tempat-tempat wisata tersebut semua terletak di
Kabupaten Toraja Utara yang beribukota Rantepao dan di Kabupaten Tana Toraja
yang beribukota di Makale.
Hari
Ke tiga. Hari ini kami menuju Ujung Pandang. Selamat tinggal Tana
Toraja.... Meskipun hanya sehari mengunjungimu, sudah cukup menumbuhkan
kebanggaan akan kekayaan budaya tanah air Indonesia tercinta. Menambah wawasan
dan pengalaman, bahwa begitu indah karunia Allah SWT kepada bangsa ini yang
harus disyukuri, dan selayaknya dipelihara dan dilestarikan.
Perjalanan menuju Makassar melalui jalan yang sama dengan yang kami lalui
kemaren. Diingatkan kepada teman-teman yang mabok kendaraan, untuk
mempersiapkan diri dengan meminum obat anti mabuk.
Memasuki kota Pare Pare,
kami diajak makan siang dan sholat di sebuah Restoran di tengah kota yang
lumayan ramai. Setelah Pare Pare, kami meneruskan perjalanan melalui Kabupaten
Sidrap, Kabupaten Barru dan Kabupaten Pangkep. Saat ini Kabupaten Sidrap
merupakan gudang beras terbesar di Sulawesi Selatan. Di waktu yang akan datang,
akan menyusul Manokwari, bersama-sama Sidrap memenuhi kebutuhan beras di Indonesia
Timur.
Melihat disepanjang jalan berjejer warung-warung bertuliskan Dangke,
saya meminta pak Udin membelikan untuk sekedar mencicipi apa itu
dangke. Ternyata kue dengan bahan tepung beras ketan dicampur dengan kelapa
parut dan gula merah. Bahan-bahan itu dicetak di cetakan kue rangin. Ada juga
yang sudah dimodifikasi, tidak lagi gula merah melainkan coklat dan keju. Cukup
enak. .....
Karena kami akan menuju Taman Nasional Bantimurung, maka
untuk menyingkat waktu bus mengambil jalan belok kekiri melalui Pabrik Semen
Bosowa. Taman Nasional Bantimurung berada dalam 2 wilayah Kabupaten yaitu
Maros dan Pangkep.
Sepanjang jalan, di sebelah kiri terdapat jalur bukit-bukit
karst Bulusaraung. Kawasan Karst Maros Pangkep merupakan yang terbesar kedua di dunia
setelah kawasan karst di Cina, luasnya membentang 43.750 ha. Di dalam kawasan
ini terdapat ratusan gua, diantaranya Situs purba Leang Leang, dimana
terdapat lukisan manusia purba.
Suasana di Taman Nasional Bantimurung sejuk dan teduh. Di Taman Nasional ini
terkenal dengan berbagai jenis kupu-kupu dan air terjun yang tak pernah surut.
Sayang tidak tampak kupu-kupu beterbangan seperti ketika saya pertama kali
mengunjungi Taman ini beberapa tahun lalu. Karena bukan hari libur, pengunjung
tidak banyak. Saya tertarik pada sebatang pohon dengan buah yang menempel penuh
disekitar batangnya. Menurut Petugas Taman Nasional, pohon itu bernama Pohon
Buraeng, yang digunakan untuk makanan ikan emas. Benarkah?
Menjelang memasuki kota Makassar, lalu lintas mulai padat. Kota Makassar pernah
bernama Ujung Pandang. Nama itu digunakan selama 28 tahun, yaitu tahun 1971
hingga 1999. Sebenarnya masyarakat Makassar tidak setuju dengan nama Ujung
Pandang, karena Ujung Pandang adalah nama sebuah kampung di Makasar, bagian kecil
saja dari Makassar.
Ketika memasuki pintu tol dalam kota Makassar, tiba-tiba ban kiri depan bus
kami kempes. Perlu sekitar 20 menit untuk pak Sopir mengganti ban. Untunglah
bus dalam kondisi melambat, sehingga tidak terjadi hal-hal yang tak diinginkan.
Suasana kota Makassar meriah, menyambut acara Pertemuan para Walikota se Asean.
Di berbagai tempat dipasang baliho ucapan selamat datang, "Wellcome Asean
Majors".
Sebelum menuju hotel, kami makan malam di Restoran Ratu Gurih,
restoran yang menghidangkan sea food. Memang gurih masakannya. ...... Di resto
ini ibu Rita dari Travel Bintang Wisata menemui kami, menanyakan bagaimana
pelayanan di perjalanan, memuaskankah? Atau ada yang kurang? Seperti inilah
contoh Pengusaha Jasa yang commit terhadap kliennya.
Rencana semula, setelah tiba di hotel, kami akan keluar lagi menikmati hembusan
angin laut di Pantai Losari sambil berfoto ria. Tetapi rupanya hari sudah
malam, sebaiknya ditunda esok pagi saja supaya lebih fresh setelah semalam
beristirahat.
Hari keempat. Jam 6 pagi kami sudah berada di Plaza Pantai Losari. Udara pagi
diiringi hembusan angin sepoi-sepoi menyegarkan badan. Ternyata sudah banyak
orang. Ada banyak spot untuk berfoto ria. Dibawah cahaya matahari yang masih
malu-malu, dengan back ground huruf besar-besar bertuliskan Pantai Losari,
Mandar dan Toraja, kami mejeng bersama dengan pose-pose lucu. Kapan lagi,
inilah saatnya........
Kembali ke Hotel Losari Beach yang hanya beberapa langkah dari pantai,
selanjutnya kami breakfast bersama. Sesuai dengan jadwal yang ada, kami akan
meninggalkan hotel sekaligus cek out, karena sore nanti akan kembali ke
Jakarta.
Tujuan pertama dari City Tour ini adalah mengunjungi Balla
Lampoa, yang artinya Rumah Besar. Disini terdapat barang-barang
perlengkapan Kerajaan Goa. Tentu hanya duplikatnya, karena yang asli sangat
berharga dan disimpan di tempat lain. Dahulu Makassar termasuk dalam wilayah
Kerajaan Gowa. Kesempatan mengenakan pakaian adat menjadi suatu keharusan, agar
kita bisa berfoto bersama seakan-akan menjadi Putri-putri Bangsawan Gowa.
Tujuan selanjutnya adalah membeli oleh-oleh khas Makassar di
Jalan Somba Opu. Disini banyak dijual berbagai Barang Kerajinan, Kaos,
Kue-kue tradisional dan Kopi Toraja.
Yang pertama-tama terpikir adalah
oleh-oleh coklat untuk ketiga gadis kecilku. Sekalipun Pulau Sulawesi adalah
penghasil coklat (mentah) terbesar di Indonesia, dan Indonesia adalah penghasil
ketiga terbesar dunia, tetapi coklat yang dijual di Jalan Somba Opu berkwalitas
rendah. Ini dikarenakan kwalitas coklat sangat tergantung pada proses
pengolahannya. Pabrik coklat disini belum dapat memproduksi coklat dengan
kwalitas tinggi sebagaimana coklat impor merk-merk tertentu, yang jika
dimasukkan mulut langsung nikmatnya meleleh di lidah.
Waktu Zuhur tiba, kami akan sholat di Masjid Amirul Mukminin, yang
bentuknya seperti miniatur Masjid Terapung Arrahmah di Jedah, Arab Saudi.
Lokasi masjid berada di Pantai Losari.
Makan siang terakhir kami di Makassar
adalah menikmati Konro, salah satu kekayaan kuliner Makassar. Sering mendengar
nama masakan itu, tetapi belum pernah mencobanya. Saya hanya mengikuti saja
teman-teman yang kebanyakan memesan Konro Bakar. Ternyata menu itu berupa 3
potong besar Iga Sapi yang dihidangkan di piring dengan bumbu berwarna coklat
dan kuah hitam seperti rawon. Lumayan....
Kemudian kami mengunjungi salah satu ikon kota Makassar yaitu Fort
Rotterdam. Benteng yang luasnya hampir 3 ha ini sudah berdiri sejak
tahun 1545, dibangun oleh Raja Gowa ke 9 Daeng Bonto Karaeng.
Nama semula adalah Benteng Ujung Pandang. Dinamakan Fort Rotterdam setelah
diserahkan oleh Kerajaan Gowa kepada Belanda sesuai Perjanjian Bungayya.
Bentuk
benteng seperti kura-kura, dengan bagian kepala dan empat kaki di
ujung-ujungnya. Dengan pemeliharaan yang baik, bangunannya masih tampak kokoh.
Di masa lalu, bangunan ditengah digunakan untuk Gereja, dan dibawah gereja
terdapat penjara. Di benteng inilah Pangeran Diponegoro ditahan, dan akhirnya
wafat, dimakamkan di kota Makassar.
Saat sekarang Benteng ini digunakan sebagai musium,
namanya Musium La Galigo. Nama La Galigo diambil dari Sureq La Galigo
yang menceritakan awal mula kerajaan bumi, kisah dewa-dewi dari kerajaan langit
dan kerajaan bawah air, kisah percintaan abadi, serta kearifan lokal yang
terkandung dalam kebudayaan Bugis klasik. Naskah kuno La Galigo tersebut sudah
diakui oleh Unesco dan tahun lalu dipentaskan di Benteng ini..
Masih ada sedikit waktu untuk menengok Trans Studio Makasar yang terkenal itu,
sangat sayang jika kesempatan dilewatkan. Untuk kenang-kenangan kami berfoto
ria bersama disini.
Demikianlah perjalanan
Tour kami selama 3 malam 4 hari yang sangat berkesan. Pertemanan diantara
Peserta Tour akan dilanjutkan di media sosial agar silaturahmi tetap terjaga.
Kami sepakat untuk bersama-sama merencanakan perjalanan lagi di kesempatan yang
akan datang.
Inshaallah. .......
Wassalamu'alaikum ww.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar