Rencana untuk jalan-jalan sebelum bulan
Ramadhan dengan teman-teman seperjuangan kelihatannya akan terwujud. Teman-teman
seperjuangan itu adalah orang-orang terdekatku ketika aku masih bekerja. Berita
bahwa Covid 19 Varian Omicron sudah mereda, ternyata terbukti dengan pengumuman
Pak Jokowi sendiri. Masyarakat sudah boleh beribadah di Masjid dan sudah boleh
Mudik Lebaran. Maka segera aku putuskan setelah ada kepastian dari teman-teman bahwa
mereka bisa minta ijin ke kantornya di hari Jum’at, dan telah vaksin maupun
boster. Kita akan pergi selama 3 hari 2 malam, berangkat pada hari Jum’at
tanggal 25 Maret 2022. Wisata kemana ya, yang tidak terlalu jauh dan dapat
ditempuh dengan jalan darat? Tak lama berpikir, ke sekitar Semarang, Jawa
Tengah saja.
Mengingat saat ini kita masih berada di musim hujan, aku pesankan kepada teman-teman untuk ikhlas seandainya karena kondisi hujan tujuan wisata yang kita inginkan tidak tercapai maksimal. Yang penting kita sudah Reuni gembira sambil jalan-jalan.
Inilah Itinerary kami : Jakarta – Semarang – Ambarawa – Jakarta.
Kendaraan : Sewa Toyota Hi Ace dengan Driver
Pak Ipin Mardipin.
Peserta : 11 orang, yaitu :
-
Aku (Ibu Weni) berdua Mas Suami (Bapak Djoko Darmono)
-
Mbak Ela berdua Mas Aen
-
Mbak Ina berdua Mas Sam
-
Mbak Ida berdua Mas Nano
-
Agus, masih sendiri, belum punya pasangan
(nantinya akan satu
kamar dengan Driver)
-
Bu Rita berdua Bu Nur
(menggantikan mas
Sukatno dan mbak Rahma)
Setelah selesai semua
tujuan wisata sampai Ambarawa, Peserta yang empat : Aku, Mas Suami, Bu Rita dan
Bu Nur lanjut ke Solo. Dua malam di Solo, Peserta yang dua : Bu Rita dan Bu Nur
lanjut ke Yogya.
Hari Pertama, tanggal 25 Maret 2022.
Ketemuan kembali dengan teman-teman yang cukup
lama tak berjumpa merupakan momen yang seru. Jika saat dulu kita masih
bersama-sama kondisi fisik kami masih langsing-langsing, sekarang mah langsung-langsung
……
tandanya sudah makmur ya ……
Peserta yang lain, Bu Rita dan Bu Nur adalah
temanku dari Bandung. Bu Rita teman pergi haji di tahun 2003, yang selanjutnya
sangat akrab sudah seperti adikku sendiri.
Setelah mengatur bagasi, jam 07.00 tepat kami berangkat dari rumah Duren Tiga Buntu menuju Semarang. Terlebih dahulu menjemput Mbak Ela dan Mas Aen yang tinggal di Karawang, di Rest Area Km 57. Keluar dari rumah langsung masuk tol dalam kota, dilanjutkan dengan tol layang MBZ (Sheik Mohammed Bin Zayed). Alhamdulillah lancar di perjalanan. Makan siang di Rest Area yaitu Rumah Makan Padang Simpang Raya yang saat itu masih tutup karena waktu Shalat Jum’at. Tak lama kemudian dibuka dan kami menikmati makan siang bersama dilanjutkan shalat di Masjid Rest Area.
Perjalanan Jakarta Semarang biasanya perlu waktu 8 jam. Masuk ke kota Semarang sekitar jam 3 sore, langsung menuju Lawang Sewu. Sebenarnya aku sudah pernah ke tempat ini di tahun 2018, tetapi mungkin saja yang lain belum pernah. Harga tiket masuknya per orang Rp. 10.000. Tempat ini dibangun tahun 1904 di jaman Belanda untuk Kantor Maskapai Kereta Api Swasta yaitu Indische Spoorweg Maatscappij. Kemudian setelah Indonesia merdeka menjadi Kantor Militer. Baru di tahun 2011 setelah direnovasi menjadi tempat wisata bersejarah. Disebut Lawang Sewu, artinya ada 1.000 pintu. Tapi tidak sejumlah itu lho, yang ada sebenarnya hanya 429 pintu. Lokasi ini cukup bagus jika pandai memilih sudut-sudutnya. Tapi tahukah teman-teman, bahwa di basement Gedung Lawang Sewu ini pada jamannya pernah difungsikan sebagai Penjara? Kita juga bisa jika mau melihat-lihat, ditemani Guide dari Lawang Sewu. Aku mencoba untuk berfoto di tempat yang sama dengan lokasi foto saat aku kesini dulu..
Setelah cukup puas mengelilingi Lawang Sewu (paling tidak sebagiannya) rombongan menuju Kota Lama. Kota Lama merupakan lokasi perkantoran di jaman Belanda. Setelah di rapikan lagi, maka suasananya menjadi seperti di luar negeri. Gedung-gedung yang ada di Kota Lama ini sebagian masih dipergunakan sebagai Kantor dan sebagian lagi kelihatannya kosong. Gedung Jiwasraya, Gabungan Koperasi Batik, Pelni, Starbuck dll sempat aku lewati. Karena masih jam kantor, jalanan masih macet. Kendaraan ramai berlalu lalang di jalan besar yang searah.
Sementara matahari di sore hari bersinar terang menjadikan udara terasa panas walau di musim hujan. Sebagian teman-teman ada yang ke Masjid untuk shalat Ashar, sehingga rombongan terpisah. Aku dan Mas Suami berjalan duluan, dan ketika itu pas didepan kami, tampak sebuah Café yang berada di dalam sebuah Gedung Kuno. Langsung saja Mas Suami yang sudah ketagihan kopi kepengin masuk. Inilah Spiegel Bar & Bistro. Ternyata di dalam Cafe sudah ada bu Rita dan Bu Nur. Berempat kami menikmati kopi sore di Kota Lama.
Menjadi tugas Mbak Ela untuk urusan Hotel. Seminggu sebelumnya aku telah memesan Hotel ini untuk 6 kamar, dan ketika di perjalanan tadi, Petugas Hotel Amaris mengirim WA untuk minta kepastian kedatangan kami jam berapa dan minta 50 % pembayaran. Sudah aku penuhi dengan transfer lewat mobile banking. Untunglah masalah Hotel sudah rapi sebelumnya, karena ternyata di hari-hari week end Hotel dengan lokasi strategis dekat Simpang Lima seperti ini sudah full booked. Di depan Resepsionis Mbak Ela antri beberapa saat untuk cek in. Sampai di hotel ini perasaanku sudah lega. Sambil duduk-duduk, kami ngobrol. Ternyata kami mendapat kamar di satu lantai, aku di 707.
Masuk kamar, aku segera beberes koper dan mau membuat minuman panas. Ternyata di kamar tidak disediakan peralatan untuk membuat teh atau kopi, tapi ada Dispenser yang diletakkan di koridor jalan. Setelah semua beres aku mau ngecas Hp. Baru sadar, tasku yang berisi Hp dan lain-lain tidak ada. Aku mulai panik. Segera menelpon Mbak Ela dan kami turun ke Resepsionis. Alhamdulillah tas memang ketinggalan di loby, disimpan oleh Mas Petugas Resepsionis. Terima kasih ya Mas, Hotel Amaris memang dapat dipercaya….
Aku jadi ingat pengalaman seperti ini di saat
pergi Haji tahun 1991. Tas kecil berisi paspor dan dompet yang seharusnya
dikalungkan di leher, mungkin aku lepas dan ketinggalan di Masjidil Haram.
Perlu waktu lama mencari dan mengurus kehilangan itu hingga akhirnya aku harus
mengambilnya di tempat yang jauh, di sebuah Rumah di bukit-bukit batu di Mekah.
Itulah salah satu dari sifat slebor aku
…..
Mas Suami sudah capai, jadi aku memutuskan nggak ikut jalan-jalan cari makan malam di Simpang Lima. Menurut Bu Rita yang malam itu ikut pergi jalan, suasana cukup ramai. Bu Rita dan Bu Nur mencicipi Nasi Gandul, kuliner khas dari Pati yang ternyata sangat enak.
Hari Kedua, tanggal 26 Maret 2022.
Pagi setelah sarapan kami langsung cek out
dari Hotel, menuju Eling Bening,
sebuah tempat wisata yang sedang viral di media sosial. Karena masih pagi,
lokasi wisata ini masih sepi. Tiket masuk per orang Rp. 30.000 dan untuk mobil
Rp. 10.000. Tampak dihadapanku Gedung bercat putih dengan banyak bunga Kana berwarna
kuning merah tertanam rapi di pinggir halamannya yang sangat luas. Meja-kursi
warna putih tersedia untuk para tamu menikmati keindahan alam berupa lembah
hijau dengan view Rawa Pening nun jauh disana. Diatas gedung dibuat teras-teras untuk spot
foto. Terdapat juga Kolam Renang dengan airnya yang biru.
Sebagai Ikon tempat wisata Eling Bening adalah Kapal Naga Putih yang cantik. Siapapun yang sudah pernah kesini pasti akan berfoto di kapal itu. Karena mulai berdatangan pengunjung-pengunjung lain yang akan berfoto disitu, maka harus bergantian. Spot-spot foto lainnya masih cukup banyak, Pengunjung bisa naik ke teras yang bertingkat-tingkat, bisa di pinggir kolam renang atau di taman bunga. Teman-teman tak ketinggalan foto berdua dengan pasangan mencari spot terindah. Semoga foto-foto itu akan menjadi kenangan manis kelak jika sudah seusia aku dan Mas Suami.
Pagi itu suasana menjadi ramai setelah banyak bus yang datang membawa pengunjung, kebanyakan adalah ibu-ibu dari kota-kota sekitar Jawa Tengah. Mas Suami duduk bersantai menikmati pemandangan sambil menunggu kami puas berkeliling. Rasanya suasana tempat wisata yang ramai begini menunjukkan telah pulih kembali seperti sebelum Pandemi. Namun kami tetap memakai masker dan sering mencuci tangan. Semoga kerumunan ini tidak menjadikan kami terpapar Covid lagi setelah nanti kembali ke Jakarta. Setelah puas melihat pemandangan dan foto-foto, kami menuju mobil dan keluar dari Eling Bening, diiringi hujan rintik-rintik.
Tujuan kedua hari ini adalah Dusun Semilir yang lokasinya masih disekitar Eling Bening. Tiket masuknya Rp. 40.000 per orang. Menurutku Dusun Semilir lebih diperuntukkan anak-anak, karena ikonnya adalah Perosotan yang hanya bisa dinaiki anak-anak saja. Pastinya anak-anak kesini dengan orang tuanya. Permainan lain rasanya tidak menarik. Dari ujung ke ujung yang tampak hanya kios-kios makanan saja. Barangkali yang demikian ini memang diaksudkan untuk membantu UMKM di sekitar dimasa Pandemi, dengan berjualan di lokasi wisata Dusun Semilir.
Tidak banyak yang bisa dijadikan spot foto. Kami mengambil foto di jalan masuk yang dihiasi rumbai-rumbai berwarna-warni. Dibagian tengah terdapat semacam danau buatan, dipinggirnya ada tribun bertingkat yang dilapisi karpet rumput hijau dan bantal warna-warni. Pengunjung bisa duduk santai dibawah payungnya. Rombongan berkumpul di area ini, duduk-duduk santai sambil jajan makanan yang bisa dipesan dibelakang tempat duduk karpet hijau itu. Kami pesan Es Kelapa, Kopi dan Gorengan yang harganya relative murah.
Jam makan siang tiba. Saat itu hujan mulai deras. Kami kembali ke mobil untuk menuju Kampung Rawa, tempat makan siang kami sesuai rencana. Tempat makan yang kami tuju adalah Restoran Kampung Rawa, sebuah restoran yang dibuat seperti mengapung diatas air. Untuk sampai ke tempat makan tamu harus naik getek dengan ditarik atau berpegangan pada tali. Resto ini menghidangkan masakan ikan air tawar hasil budi daya setempat seperti ikan emas, gurame dan sayur-sayuran. Kami memesan makanan untuk 2 meja, dan ternyata makanannya terlalu banyak, sehingga diminta Pak Ipin untuk dibungkus agar dapat diberikan kepada orang yang memerlukan diperjalanan nanti. Hujan sangat deras, sambil menunggu reda, kami bergantian shalat di mushalanya.
Kampung Rawa sudah sangat dekat dengan Rawa Pening, yaitu sebuah Rawa atau danau seluas kurang lebih 2.760 hektar, berada di cekungan dari 3 gunung yang berdekatan yaitu Gunung Merbabu, Gunung Telomoyo dan Gunung Ungaran. Rawa Pening terkenal karena legendanya. Pernah mendengar ceritanya? Bisa browsing di Google ya….
Dulu ketika aku masih kecil, legenda Rawa
Pening ada dalam buku bacaan sekolah di
Solo. Yang masih aku ingat adalah Ular Naga bernama Baru Klinting, yang sebenarnya adalah seorang manusia.
Sesuai rencana, rombongan lanjut ke Susan Spa yang berlokasi di daerah Bandungan. Susan Spa adalah sebuah Hotel dan tempat Spa, berada di sebuah Resort yang memiliki spot-spot f oto indah. Sayang sekali pada hari itu sedang digunakan untuk Pesta Pernikahan, sehingga tidak dibuka untuk umum.
Bandungan merupakan salah satu Kecamatan di Kabupaten Semarang. Kota kecil ini merupakan tempat peristirahatan dan juga tempat wisata untuk masyarakat Jawa Tengah. Gagal ke Susan Spa, kami menuju Taman Bunga Celosia yang masih berada di daerah Bandungan. Jika dari sini terus naik keatas, kita akan sampai ke Ayanas dan Candi Gedhong Songo yang menjadi tujuan kami besuk pagi.
Sebelum Pandemi di 2018 aku sudah melihat Taman Bunga ini. Rupanya sekarang sudah sangat berbeda setelah direnovasi besar-besaran. Namanya menjadi New Celosia. Sebagian Taman dibuat indoor, dimana bergelantungan berbagai jenis tanaman yang ditata dengan cantik, membuat siapapun tergoda untuk berfoto. Taman yang diluar juga ditata dengan bagus. Ditengah-tengah taman banyak terdapat rumah-rumah kecil seperti Pos Jaga, cantik berwarna putih dengan beraneka bentuk, menjadi tempat kita berteduh jika sewaktu-waktu hujan turun. Sedang dipinggir agak jauh nun disana, tampak berderet bangunan seperti gedung-gedung dengan warna menyala, yang sebenarnya hanya dekorasi saja.
Suasana sangat ramai, di tengah arena terdengar suara musik berdentam-dentam mendendangkan lagu-lagu gembira. Sepertinya sedang di booked untuk acara ulang tahun. Tapi keramaian itu tidak mengganggu pengunjung lain yang sedang menikmati indahnya taman sambil bergoyang mengikuti irama lagunya. 2 orang anak muda mendekatiku menawarkan untuk difoto dan nantinya setelah jadi akan berupa video, dimana orang yang difoto sedang berputar memandang ke seluruh taman. Yang sesungguhnya, kameranyalah yang berputar. Untuk foto tersebut hanya diminta membayar Rp. 20.000. Kesempatan yang jarang ada tidak boleh disia-siakan. Segera saja Mbak Ida, Mbak Ela, Mbak Ina masing-masing dengan pasangan serta Bu Rita dan Bu Nur berturut-turut beraction, naik ke panggung kecil yang telah disiapkan. Aku berdua Mas Suami malahan enggak ikutan.
Hari itu merupakan hari minggu, New Celosia begitu banyak pengunjungnya. Suasana tempat wisata sudah pulih seperti dulu sebelum Pandemi. Tampak bus-bus memadati lokasi parkir. Setelah puas mengelilingi taman bunga, rombongan menuju hotel kecil yang sudah aku pesan yaitu Hotel Griya Wijaya yang beralamat di Jalan Tentara Pelajar nomor 90, Kerep, Panjang, Kecamatan Ambarawa. Untuk mencari lokasi hotel ini, mobil terus naik di jalan yang berbelok-belok dan menanjak hingga sampai dilokasi. Ternyata kamar-kamar yang bagus yang bisa melihat pemandangan dari lantai atasnya, sudah terisi penuh. Kami mendapat kamar didepan, dipinggir jalan masuk dan tempat parkir. Padahal dari kemaren sudah aku bayar DP nya. Jadi kecewa……
Tapi ya sudahlah, hanya semalam saja. Untunglah aku lihat kamarnya bersih dan rapi. Walaupun Hotel ini bukan berada dipinggir jalan besar, tetapi jalan ini adalah jalan menuju Gua Maria Kerep, tujuan wisata rohani bagi umat Kristiani. Jadi hotel selalu penuh di hari-hari libur.
Setelah istirahat dan mandi teman-teman aku persilahkan mencari makan malam keluar karena di sekitar hotel tidak ada rumah makan yang buka di malam hari. Hanya ada warung bakmi dan angkringan sederhana yang ada di seberang hotel. Aku dan Mas Suami ingin bersantai di hotel sambil melihat-lihat isi Hp.. Untuk menghangatkan perut di malam yang dingin aku memilih menikmati bakmi goreng dan bakmi godog di kamar saja. Di malam itu teman-teman jalan ke sebuah Rumah Makan Soto yang cukup terkenal dan enak di kota Ambarawa. Syukurlah, mereka bisa menikmati jalan-jalan ini dengan gembira. Kami berdua sudah merasa puas, selama ini Allah SWT telah memberi banyak kesempatan merasakan jalan-jalan ke berbagai daerah.
Hari Ketiga, tanggal 27 Maret 2022.
Pagi-pagi sekali, aku bangun dengan segar,
merasakan dinginnya kota kecil Ambarawa. Setelah shalat subuh, aku membuat kopi
dengan mengambil air panas dari dispenser depan. Sambil menikmati kopi pagi,
aku duduk-duduk di teras di belakang kamar. Teras belakang difungsikan sebagai
tempat untuk berkumpul, karena dibelakang setiap kamar disediakan sebuah meja
dengan 2 kursi. Petugas Hotel mengantarkan sarapan berupa 2 piring berisi nasi
liwet. Nasi gurih di bungkus daun pisang dengan sayur labu siam, suwiran ayam
bumbu opor, dan setengah potong telur. Cukuplah mengenyangkan.
Setelah mandi, aku beberes koper. Hari ini kami berdua dengan Bu Rita dan Bu Nur tidak ikut kembali ke Jakarta bersama rombongan, melainkan melanjutkan perjalanan ke Solo. Kami mau nyekar, sedang Bu Rita dan Bu Nur dari Solo mau terus ke Jogyakarta. Dengan demikian, satu koper berisi baju kotor aku titipkan ke Mas Agus untuk diserahkan ke rumah. Kemaren aku juga sudah mendapat kepastian, akan dijemput Pak Kimin, Driver yang sudah kami kenal baik, dengan menggunakan mobil sewaan dari Solo. Hasil diskusi dengan teman-teman semalam, hari ini mereka hanya memilih satu tujuan wisata saja, mengingat di hari Minggu malam, untuk masuk Jakarta biasanya sangat macet. Kami berfoto bersama di depan Hotel Griya Wijaya sebelum menuju Candi Gedhong Songo.
Candi Gedhong Songo adalah nama sebuah kompleks bangunan candi yang merupakan Cagar Budaya Indonesia Peringkat Nasional. Kompleks Candi terletak di Desa Candi, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang. Tepatnya di lereng Gunung Ungaran yang sejuk, pada ketinggian sekitar 1.200 m diatas permukaan laut. Di kompleks candi ini terdapat 9 candi, yang dahulu ditemukan oleh Raffles pada tahun 1804. Ini adalah peninggalan budaya Hindu dari zaman Wangsa Syailendra pada abad ke-9 yaitu tahun 927 Masehi. Dalam bahasa Jawa, Gedhong berarti Bangunan, Songo artinya Sembilan.
Kompleks Candi Gedhong Songo memiliki
persamaan dengan Kompleks Candi Dieng di Wonosobo. Lokasi ini
memiliki pemandangan alam indah. Selain itu, objek wisata ini
juga dilengkapi dengan Pemandian Air Panas dari mata air yang
mengandung belerang, Area Perkemahan, dan Wisata Berkuda. Dari Kota
Ambarawa diperlukan waktu tempuh perjalanan sekitar 40 menit, dengan kondisi
jalanan yang naik, dan kemiringannya tajam.
Tiba disana hari masih pagi, belum banyak
Pengunjung yang akan naik ke Candi. Harga tiket masuknya Rp. 15.000 per orang. Jika ingin naik kuda, untuk
sampai ke semua lokasi Candi ongkosnya Rp. 120.000. Menurutku ini cukup mahal.
Padahal jika tidak semahal itu, pasti akan lebih banyak yang ingin naik kuda.
Berjalan pelan-pelan, tiba juga di Candi Pertama. Kami foto bersama lengkap seluruh peserta. Karena Mas Suami tidak ingin melanjutkan naik, aku bertiga dengan Bu Rita dan Bu Nur, ditemani Mas Fotographer pelan-pelan bisa mencapai Candi Kedua. Agar bisa berjalan lancar di jalan yang menanjak, sandal aku lepas, aku tenteng, hanya menggunakan alas kaos kaki. Di Candi Kedua ini masih banyak Pengunjung yang bisa mencapainya. Bentuk Candi Pertama dan Kedua berbeda.
Beranjak menuju Candi Ketiga. Dari rombongan kami rupanya hanya aku bertiga yang sampai ke Candi Ketiga. Mudah-mudahan ini berkat senam dan olah raga jalan kaki yang aku tekuni selama ini. Yang lain kok nggak sampai keatas ya, apa karena nggak kuat atau karena ingin jalan-jalan sekitar candi dibawah saja?
Pemandangan di sekitar Candi tampak hijau segar walaupun tidak seindah taman. Jika saat ini jalan menuju Candi yang menanjak ini sudah enak dan nyaman untuk didaki, bagaimana kondisinya berabad-abad yang lalu? Terbayang betapa religiusnya nenek moyang kita di masa itu, membangun tempat khusus untuk mendekatkan diri kepada Tuhan di puncak-puncak gunung, di tempat-tempat yang sunyi. Perhatikan lokasi candi-candi yang hingga saat ini masih bisa kita kunjungi. Di Puncak Pegunungan Dieng terdapat Kompleks Candi Dieng. Di Puncak Gunung Lawu terdapat Candi Sukuh dan Candi Ceto. Demikian pula di Bali, lokasi Pura berada di puncak-puncak gunung.
Mengingat waktu tidak mengijinkan untuk berlama-lama di Candi Gedhong Songo ini, kami putuskan untuk turun. Terima kasih Mas Fotographer yang telah menemani kami bertiga hingga ke Candi Ketiga. Hanya dengan biaya Rp. 100.000 untuk 5 kali foto, kami sudah dapat foto-foto bagus.
Turun dari Candi Gedhong Songo, kami menuju tempat parkir New Celosia, dimana kami berempat telah dijemput mobil dari Solo. Disini kami berpisah dengan teman-teman yang akan kembali ke Karawang dan Jakarta. Saling berpamitan dan mendoakan agar semuanya selamat diperjalanan hingga sampai rumah. Alhamdulillah menurut info dari teman-teman, mereka mendarat di rumah Duren Tiga Buntu malam jam 12.10, sementara hujan deras mengguyur Jakarta.
Wassalamualaikum ww.
#bersambung ke Wisata Semarang Ambarawa Solo
(II)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar