Minggu, 04 Desember 2016

Dua anak cukup


Assalamu’alaiku ww.
“Dua anak cukup”. Itulah kalimat yang begitu sering kudengar ketika aku menjadi Karyawati BKKBN Pusat di tahun 1973 hingga 1984. Dan kalimat itu memang benar-benar aku dan semua teman-teman Karyawan dan Karyawati BKKBN laksanakan. Tentu dengan kesadaran penuh untuk mendukung program yang dijalankan Pemerintah melalui kantor kami dan memberi contoh kepada masyarakat diluar BKKBN. Bukan hanya jumlahnya yang dibatasi, jarak antara  kelahiran pertama dan kedua pun diusahakan jauh, untuk memberi waktu Ibu memulihkan kesehatannya. 

Anak  pertamaku laki-laki, lahir di tahun 1976. Lima tahun kemudian, baru adiknya perempuan lahir di tahun 1981. Seandainya anak keduaku juga laki-laki, akupun akan tetap mengatakan “Dua anak cukup”. Keyakinanku untuk hanya memiliki dua anak didasari pada dukungan dari berbagai Institusi keagamaan yang menjadi Unit Pelaksana Keluarga Berencana, seperti NU dan Muhamadiyah untuk agama Islam dan Dewan Gereja Indonesia untuk agama Kristen.  

Disamping karena hal-hal yang telah kusebutkan diatas, pengalaman masa kecil juga membuatku memilih mengikuti program tersebut. Aku dibesarkan oleh orang tua dengan lima orang bersaudara,  dimana jarak usia masing-masing hanya 1 tahun. Sebagai anak perempuan kedua, aku harus membimbing adik-adikku, satu perempuan dan dua lelaki yang lumayan merepotkan. Ayahku seorang ABRI yang dinasnya selalu jauh dari rumah. Karena ibu juga bekerja di kantor, aku berdua kakaklah yang harus siap menyelenggarakan urusan rumah tangga. Sering terjadi jika salah seorang dari kami sakit misalnya kena flu, maka pastilah yang lain ketularan sehingga kami berlima sakit semua, berjejer ditempat tidur seperti ikan panggang. 

Di jaman itu (tahun 60 -70) kehidupan serba susah. Dalam kesederhanaan, tak jarang baju yang ada dipakai bergantian bertiga. Aku ingat, untuk lauk makan kami sehari-hari, sebutir telur dibelah empat. Membelahnya bukan menggunakan pisau, melainkan dengan benang. Itu kalau pas ada telur. Sering kali hanya tempe tahu saja. Kami baru merasakan makan dengan lauk daging ayam, ketika Hari Raya Lebaran. Dan baru mendapatkan minuman susu atau roti, jika sedang sakit. (Karenanya hingga saat ini aku tak henti bersyukur, jika menghadapi makanan di meja lengkap). Demikian pula mengenai  pendidikan, cukuplah sampai SMA. Jika telah bekerja dan mempunyai gaji  sendiri, baru bisa kuliah dengan biaya sendiri. Aku merasa sangat tidak puas dengan pendidikan yang hanya sampai SMA. Untunglah setelah menikah, dengan bantuan suami akhirnya dapat melanjutkan kuliah. Akankah apa yang aku rasakan di masa kecil itu terulang pada anak-anakku kelak? 

Dengan pengalaman yang demikian,  aku memilih mengikuti program "dua anak cukup". Syukur Alhamdulillah, Allah memberi yang terbaik untuk keluargaku. Sekarang tugasku telah selesai. Dalam hal ekonomi, kami tidak kekurangan. Dalam hal pendidikan, anak-anak sudah meraih apa yang mereka cita-citakan. Anak pertama menekuni dunia arsitek dan berwiraswasta sendiri. Dan anakku yang kedua, setelah menikah memilih berhenti dari pekerjaannya untuk berwiraswasta dirumah sambil mengasuh kedua putrinya.
   
Timbul pertanyaan, mengapa sekarang “dua anak cukup” ini tidak lagi diminati oleh generasi baru sesudah kami? Diminati saja tidak, apa lagi dijalankan ya. Padahal kehidupan semakin sulit karena  jumlah penduduk semakin banyak. Segala sesuatu harus bersaing ketat. Dari penyediaan lapangan kerja, sarana perumahan, pendidikan, kesehatan hingga kebutuhan sehari-hari semakin diperebutkan. Belum lagi iming-iming gaya hidup yang selalu menggoda iman. Bagaimana jika memiliki anak banyak? Bagamana jika salah satu dari kita, suami atau isteri karena sesuatu hal tidak bekerja (PHK), atau sakit, atau bahkan meninggal dunia? Siapkah melanjutkan kehidupan dengan beban anak banyak? Bukankan agama kita mengajarkan, untuk tidak meninggalkan keturunan yang lemah?.

Luasnya jangkauan media saat ini, informasi mengenai Kesehatan dan Keluarga Berencana tentu sudah sampai ke masyarakat. Hanya, memang ada pihak-pihak yang merasa bahwa urusan berapa jumlah anak dalam suatu keluarga adalah hak asasi, tidak boleh dipaksa. Mengapa merasa dipaksa? Sesuatu yang bermanfaat tanpa dipaksapun pasti akan kita laksanakan. Lagi pula, urusan jumlah penduduk dalam suatu Negara, pasti juga urusan Negara untuk mengaturnya. Bahkan sangat penting. 

Coba kita lihat potret masyarakat di level bawah. Dengan jumlah anak begitu banyak, mereka tak memikirkan bagaimana pada akhirnya anak-anak hidup di jalanan. Lalu, bagaimana masa depan Indonesia, jika generasi baru tidak mendapatkan kesejahteraan dan pendidikan selayaknya?  
Wassalamu’alaikum ww.


Jakarta, 28 September 2016.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar