Kamis, 25 Agustus 2016

Travelling ke Borneo : Tenggarong.



Assalamu'alaikum ww.  

Sebagian besar dari grup kami belum pernah menginjakkan kaki di Pulau Kalimantan, oleh karena itu kali ini Grup Travelling Not & Friends mencoba menjelajahi sebagian kecil dari wilayah Indonesia tanah air yang kita cintai ini. Mungkin ada sedikit pertanyaan teman-teman, apa dan siapa itu Not & Friends? Bermula dari niatku untuk mengajak Staf Kantor Notaris berwisata setahun sekali, akhirnya setiap tahun selalu ada rekan, saudara, kerabat atau teman yang ingin ikut. Jadilah kami namakan Not & Friends. Kantor Notaris dengan anggota tetap, Friends boleh berganti-ganti. 


Perjalanan wisata Not & Friends itu sebenarnya sudah dimulai dari tahun 1998. Ke Gunung Bromo, selanjutnya ke Bali dan sekitarnya,  ke Padang dan sekitarnya, ke Danau Toba dan sekitarnya, Ke Solo dan sekitarnya,ke Pulau Belitung, Ke Pulau Lombok, dan terakhir tahun 2015 kami ke Tana Toraja. Perjalanan tersebut selalu aku buatkan catatan untuk dokumentasi, Sayang sekali beberapa tidak dapat lagi diketemukan. Dan kalaupun diketemukan, tentu saja jika ditulispun sudah berbeda kondisinya dengan saat ini. 

Kali ini Goup Not & Friends berjumlah seluruhnya 20 orang, dimana lebih dari setengahnya berusia lebih dari sweet.... dak. Tetapi jangan dilihat usianya, Lihatlah semangatnya. 

Kami mendarat di Bandara Sepinggan yang bagus, karena memang masih baru, yang resminya bernama Bandara Sultan Aji Muhammad Sulaiman Sepinggan Balikpapan. Jika disingkat menjadi Bandara SAMSULSEBAL. Kok jadi jelek ya..... Aku berdua suami, mendahului sehari dari rombongan lain, karena hari ini akan kami gunakan untuk besilaturahmi dengan keluarga kakak ipar yang telah menetap di kota Balikpapan. Esok harinya, kami menjemput rombongan di  Bandara dan segera memulai aktifitas

Perjalanan ini ingin aku bagi dalam empat cerita agar tidak terlalu panjang.

Pertama      : Tenggarong
Kedua         : Suku Dayak di Desa Pampang
Ketiga         : Bukit Bangkiray
Keempat     : Hutan Mangrove di Balikpapan
 
Hari pertama kami menuju Kota Tenggarong, ibukota dari Kabupaten Kutai Kartanegara. Sebelum bus berjalan, Petugas yang menjemput kami   memperkenalkan diri. Pak Sugeng adalah Guide kami dari Perusahaan Travel Trans Borneo yang kami pilih untuk mengatur perjalanan kami. Adapun Pak Sopir ditemani Keneknya bernama Ari. Dari kota Balikpapan menuju Tenggarong itu cukup jauh, perjalanan ditempuh dalam waktu sekitar 3,5 jam. Begitu keluar dari kota Balikpapan akan melewati Bukit Suharto.   
      
Dari pinggir jalan tampak seperti hutan yang hijau penuh pepohonan, tetapi jika didatangi ketengah, sudah berubah menjadi lokasi penambangan emas hitam atau batubara. Saat ini harga batubara sangat rendah sehingga hiruk pikuk penambangannya berkurang. Menurut penjelasan Guide kami, dari 6 Perusahaan Tambang yang beroperasi  di Bukit Suharto, tinggal setengahnya yang masih aktif, yaitu mereka yang sudah memiliki kontrak jangka panjang dengan Pembeli.

Mengapa disebut Bukit Suharto? Mantan Presiden Suharto yang member nama. Bukit dengan luas lebih kurang 61.000 hektar ini meliputi wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Penajam Paser Utara, ditunjuk sebagai kawasan yang berfungsi sebagai hutan untuk wisata alam. 

Tujuan Penunjukan wilayah ini adalah untuk melindungi, menjaga kelestarian dan menjamin pemanfaatan potensi kawasan dan berfungsi sebagai wilayah untuk koleksi tumbuhan dan satwa yang alami atau bukan alami, jenis asli dan atau bukan asli yang dapat dipergunakan untuk kepentingan penelitian, pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Namun Bukit Suharto juga dikenal sebagai tempat yang angker, bekas tempat Romusha yang meninggal atau dibunuh Tentara Jepang.

Di perjalanan menjelang kota Tenggarong, sungai Mahakam yang sangat luas/lebar itu berada di sisi kanan kami. Di pinggir-pinggir sungai terdapat tronton dengan tumpukan batu bara yang siap ditarik Tug Boat menuju laut untuk selanjutnya dikirim kepada Pembeli diluar Kalimantan. Tumpukan batu bara itu dicurahkan dari jembatan-jembatan khusus dengan sistim ban berjalan.

Namanya saja emas hitam, jadi harganya cukup mahal, milyaran rupiah. Dengan kegiatan seperti itu, pinggir sungai sebelah kanan jalan itu jadi tampak kumuh, tidak tertata. Sayang sekali ya, rumah, warung dan tempat usaha seadanya, padahal Kabupaten Kutai Kartanegara adalah salah satu Kabupaten dengan PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang sangat tinggi di Indonesia. Selain Batubara,wilayah ini juga merupakan penghasil minyak, yang dialirkan dan diolah di kilang-kilang di kota Balikpapan.

Sebenarnya hari ini ada Festival Erau, yang diselenggarakan dari tanggal 20 - 28 Agustus 2016. Pembukaannya dilakukan pada jam 9.00 pagi tadi. Informasi ini aku dengar dari keponakanku yang bekerja di Kota Balikpapan. Tetapi karena kami baru sampai Tenggarong jam 12 siang, jadi sudah tidak mungkin mengikuti acara tersebut. Apa saja yang dilaksanakan di Festival Erau? Berbagai upacara adat yang dulu biasa dilakukan di Kerajaan Kutai Kartanegara, performance tarian adat Kutai, adat Dayak maupun negara lain, lomba perahu naga, festival kuliner dan sebagainya. Tentu ramai sekali dan ini telah menjadi agenda wisata yang diketahui secara luas di luar negeri.

Kami langsung menuju Restoran Tepian Pandan, sekaligus sholat disana. Kesempatan ibu-ibu berfoto ria dengan pemandangan sungai Mahakam tak disia-siakan. Restoran Tepian Pandan  ini menurut Guide kami adalah satu-satunya yang terbesar di Tenggarong. Terkenal dengan masakan sate daging rusa. Hidangan lainnya juga banyak, seperti ikan lais goreng, ikan patin bakar, sayur ubi/talas dan lain-lainnya. Lumayan enak....

Setelah makan dan shalat, kami menuju Musium Mulawarman, sayang hari ini ditutup sehubungan acara festival tersebut. Kemudian kami menuju Makam Raja-raja Kutai. Makam mereka itu terbuat dari Kayu Ulin berwarna hitam yang sangat bagus, dan tampak terawat dengan baik. 

Kerajaan Kutai (Periode I) adalah Kerajaan Hindu tertua di Indonesia, tercatat di abad ke 4 dibawah Maharaja Kudungga, dengan Raja Mulawarman Nala Dewa yang namanya digunakan sebagai Nama Universitas Mulawarman di Samarinda Kalimantan Timur. Erau pada mulanya adalah perayaan pesta adat penobatan seorang raja. Terakhir dilaksanakan di tahun 1965, dimana ketika itu diadakan upacara pengangkatan Putra Mahkota Kesultanan Kutai Kartanegara Aji Pangeran Adipati Praboe Anoem Soerya Adiningrat yang hingga kini masih menjabat sebagai Raja. 




Kerajaan Kutai Hindu itu pada akhirnya berubah menjadi Islam di abad ke 16 dengan nama Kutai Kartanegara ing Mardipura (Periode II). Kerajaan tersebut bersama-sama dengan kerajaan-kerajaan lain di Kalimantan telah menjadi Wilayah Republik Indonesia sejak masa kemerdekaan. Namun di tahun ketika Bupati Kutai Kartanegara dijabat oleh Bapak Syaukani Hasan Rais, diusulkan agar Kerajaan Kutai Kartanegara dihidupkan kembali dengan melantik Raja terakhirnya yaitu Aji Pangeran Adipati Praboe Anoem Soerya Adiningrat, guna melestarikan budaya dan membuka potensi wisata. 

Sayang sekali Bupati tersebut pada akhirnya masuk penjara karena korupsi lahan Bandara. Dan ternyata Bupati yang sekarang menjabat, RITA WIDYASARI adalah putri dari Pak Syaukani Hasan Rais................ 

Kami sempat berfoto bersama didepan Makam Raja-raja Kutai. Diantara Raja-raja Kutai, di masa pemerintahan Raja ke 17 Sultan Aji Muhammad Sulaiman, Kutai memasuki jaman keemasannya.  Kekayaan sumber daya alamnya yang melimpah berupa minyak memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya. Itulah mengapa namanya disematkan pada nama Bandara Sepinggan Balikpapan. 

Meskipun kami berada di Makam, tetapi tidak terasa adanya suasana mistis seperti pada makam pada umumnya, karena lokasi makam ini berada di area perkantoran. Kami berkesempatan membeli pernik-pernik suvenir Kalimantan Timur seperti tas mote-mote, kalung, sarung dan lain-lain yang dijual di kios-kios dekat Makam tersebut. 


Kegiatan selanjutnya adalah jalan-jalan ke Pulau Kumala, sebuah pulau yang berada ditengah aliran Sungai Mahakam yang lebar itu. Diawali dari Jembatan Rewo-rewo, nama  jembatan yang baru saja diresmikan 3 bulan yang lalu, yang menghubungkan daratan dengan Pulau Kumala. Di jembatan ini banyak disangkutkan gembok cinta, meniru Jembatan Gembok Cinta di Paris. 

Pulau Kumala semula direncanakan sebagai lokasi wisata, tetapi pada kenyataannya mangkrak tak terawat. Heli Pad, Saung Penginapan, Sky lift, Air Mancur dan Taman-taman sudah rusak. Yang masih bisa dinikmati hanyalah menyewa sepeda, berfoto di bawah Patung Lembuswana dan berfoto di depan tulisan Pantai Kumala. Fasilitas lainnya sudah tidak dapat dinikmati lagi. Rumputnya tinggi, Tanaman Perdu tumbuh tidak beraturan dan terdapat banyak Rumah Semut yang menggunung. Rasanya jika pinjam Lasykar Baju Orange nya Pak Ahok, dalam waktu seminggu pasti sudah rapi..........

Di Pulau Kumala terdapat Patung Lembuswana, yang adalah ikon kota Tenggarong. Lembuswana merupakan lambang kesempurnaan. Bentuk badannya lembu, berbelalai seperti gajah, bersayap seperti burung, bermahkota seperti naga dan bersisik seperti ular. 

Kami kembali menaiki Jembatan Rewo-rewo untuk meninggalkan kota Tenggarong menuju kota Samarinda. Senja mulai turun. Mega-mega berwarna jingga menggantung di langit sebelah barat, tampak indah dipandang dari jembatan. Kami menikmati sejenak, Sun Set diatas Sungai Mahakam. Dan nun dibawah sana, air mengalir dengan tenang seolah tak mempedulikan kami yang berada di atas jembatan.

Wassalamu’alaikum ww.
Jakarta, 25 Agustus 2016.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar