Assalamu'alaikum ww.
Sebagian besar dari grup
kami belum pernah menginjakkan kaki di Pulau Kalimantan, oleh karena itu kali ini Grup
Travelling Not & Friends mencoba menjelajahi sebagian kecil dari wilayah
Indonesia tanah air yang kita cintai ini. Mungkin ada sedikit pertanyaan
teman-teman, apa dan siapa itu Not & Friends? Bermula dari niatku untuk
mengajak Staf Kantor Notaris berwisata setahun sekali, akhirnya setiap tahun
selalu ada rekan, saudara, kerabat atau teman yang ingin ikut. Jadilah kami
namakan Not & Friends. Kantor Notaris dengan anggota tetap, Friends boleh berganti-ganti.
Perjalanan wisata Not & Friends itu sebenarnya sudah dimulai dari tahun
1998. Ke Gunung Bromo, selanjutnya ke Bali dan sekitarnya, ke Padang dan
sekitarnya, ke Danau Toba dan sekitarnya, Ke Solo dan sekitarnya,ke Pulau
Belitung, Ke Pulau Lombok, dan terakhir tahun 2015 kami ke Tana Toraja.
Perjalanan tersebut selalu aku buatkan catatan untuk dokumentasi, Sayang sekali
beberapa tidak dapat lagi diketemukan. Dan kalaupun diketemukan, tentu saja
jika ditulispun sudah berbeda kondisinya dengan saat ini.
Kali ini Goup Not
& Friends berjumlah seluruhnya 20 orang, dimana lebih dari setengahnya
berusia lebih dari sweet.... dak. Tetapi jangan dilihat usianya, Lihatlah
semangatnya.
Kami mendarat di Bandara Sepinggan
yang bagus, karena memang masih baru, yang resminya bernama Bandara Sultan Aji
Muhammad Sulaiman Sepinggan Balikpapan. Jika disingkat menjadi Bandara
SAMSULSEBAL. Kok jadi jelek ya..... Aku berdua suami, mendahului sehari dari
rombongan lain, karena hari ini akan kami gunakan untuk besilaturahmi dengan
keluarga kakak ipar yang telah menetap di kota Balikpapan. Esok harinya, kami
menjemput rombongan di Bandara dan segera memulai aktifitas
Perjalanan ini ingin aku bagi dalam empat cerita agar tidak terlalu
panjang.
Pertama : Tenggarong
Kedua : Suku Dayak di Desa
Pampang
Ketiga : Bukit Bangkiray
Keempat : Hutan Mangrove di Balikpapan
Hari pertama kami menuju Kota
Tenggarong, ibukota dari Kabupaten Kutai Kartanegara. Sebelum bus berjalan,
Petugas yang menjemput kami memperkenalkan diri. Pak Sugeng adalah
Guide kami dari Perusahaan Travel Trans Borneo yang kami pilih untuk mengatur
perjalanan kami. Adapun Pak Sopir ditemani Keneknya bernama Ari. Dari kota
Balikpapan menuju Tenggarong itu cukup jauh, perjalanan ditempuh dalam waktu
sekitar 3,5 jam. Begitu keluar dari kota Balikpapan akan melewati Bukit
Suharto.
Dari pinggir jalan tampak seperti
hutan yang hijau penuh pepohonan, tetapi jika didatangi ketengah, sudah berubah
menjadi lokasi penambangan emas hitam atau batubara. Saat ini harga batubara
sangat rendah sehingga hiruk pikuk penambangannya berkurang. Menurut penjelasan
Guide kami, dari 6 Perusahaan Tambang yang beroperasi di Bukit Suharto,
tinggal setengahnya yang masih aktif, yaitu mereka yang sudah memiliki kontrak
jangka panjang dengan Pembeli.
Mengapa disebut Bukit Suharto? Mantan Presiden Suharto yang member nama. Bukit
dengan luas lebih kurang 61.000 hektar ini meliputi wilayah Kabupaten Kutai
Kartanegara dan Kabupaten Penajam Paser Utara, ditunjuk sebagai kawasan yang
berfungsi sebagai hutan untuk wisata alam.
Tujuan Penunjukan wilayah ini adalah
untuk melindungi, menjaga kelestarian dan menjamin pemanfaatan potensi kawasan
dan berfungsi sebagai wilayah untuk koleksi tumbuhan dan satwa yang alami atau
bukan alami, jenis asli dan atau bukan asli yang dapat dipergunakan untuk
kepentingan penelitian, pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata
dan rekreasi. Namun Bukit Suharto juga dikenal sebagai tempat yang angker,
bekas tempat Romusha yang meninggal atau dibunuh Tentara Jepang.
Di perjalanan menjelang kota
Tenggarong, sungai Mahakam yang sangat luas/lebar itu berada di sisi kanan
kami. Di pinggir-pinggir sungai terdapat tronton dengan tumpukan batu bara yang
siap ditarik Tug Boat menuju laut untuk selanjutnya dikirim kepada Pembeli
diluar Kalimantan. Tumpukan batu bara itu dicurahkan dari jembatan-jembatan
khusus dengan sistim ban berjalan.
Namanya saja emas hitam, jadi harganya cukup
mahal, milyaran rupiah. Dengan kegiatan seperti itu, pinggir sungai sebelah
kanan jalan itu jadi tampak kumuh, tidak tertata. Sayang sekali ya, rumah,
warung dan tempat usaha seadanya, padahal Kabupaten Kutai Kartanegara adalah
salah satu Kabupaten dengan PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang sangat tinggi di
Indonesia. Selain Batubara,wilayah ini juga merupakan penghasil minyak, yang
dialirkan dan diolah di kilang-kilang di kota Balikpapan.
Sebenarnya hari ini ada Festival
Erau, yang diselenggarakan dari tanggal 20 - 28 Agustus 2016. Pembukaannya
dilakukan pada jam 9.00 pagi tadi. Informasi ini aku dengar dari keponakanku
yang bekerja di Kota Balikpapan. Tetapi karena kami baru sampai Tenggarong jam
12 siang, jadi sudah tidak mungkin mengikuti acara tersebut. Apa saja yang
dilaksanakan di Festival Erau? Berbagai upacara adat yang dulu biasa dilakukan
di Kerajaan Kutai Kartanegara, performance tarian adat Kutai, adat Dayak maupun
negara lain, lomba perahu naga, festival kuliner dan sebagainya. Tentu ramai sekali
dan ini telah menjadi agenda wisata yang diketahui secara luas di luar negeri.
Kami langsung menuju Restoran Tepian
Pandan, sekaligus sholat disana. Kesempatan ibu-ibu berfoto ria dengan
pemandangan sungai Mahakam tak disia-siakan. Restoran Tepian Pandan ini
menurut Guide kami adalah satu-satunya yang terbesar di Tenggarong. Terkenal
dengan masakan sate daging rusa. Hidangan lainnya juga banyak, seperti ikan
lais goreng, ikan patin bakar, sayur ubi/talas dan lain-lainnya. Lumayan
enak....
Setelah makan dan shalat, kami menuju Musium
Mulawarman, sayang hari ini ditutup sehubungan acara festival tersebut.
Kemudian kami menuju Makam Raja-raja Kutai. Makam mereka itu terbuat dari Kayu
Ulin berwarna hitam yang sangat bagus, dan tampak terawat dengan baik.
Kerajaan
Kutai (Periode I) adalah Kerajaan Hindu tertua di Indonesia, tercatat di abad
ke 4 dibawah Maharaja Kudungga, dengan Raja Mulawarman Nala Dewa yang namanya
digunakan sebagai Nama Universitas Mulawarman di Samarinda Kalimantan Timur.
Erau pada mulanya adalah perayaan pesta adat penobatan seorang raja. Terakhir
dilaksanakan di tahun 1965, dimana ketika itu diadakan upacara pengangkatan
Putra Mahkota Kesultanan Kutai Kartanegara Aji Pangeran Adipati Praboe Anoem
Soerya Adiningrat yang hingga kini masih menjabat sebagai Raja.
Kerajaan Kutai Hindu itu pada akhirnya berubah menjadi
Islam di abad ke 16 dengan nama Kutai Kartanegara ing Mardipura (Periode II).
Kerajaan tersebut bersama-sama dengan kerajaan-kerajaan lain di Kalimantan
telah menjadi Wilayah Republik Indonesia sejak masa kemerdekaan. Namun di tahun
ketika Bupati Kutai Kartanegara dijabat oleh Bapak Syaukani Hasan Rais,
diusulkan agar Kerajaan Kutai Kartanegara dihidupkan kembali dengan melantik
Raja terakhirnya yaitu Aji Pangeran Adipati Praboe Anoem Soerya Adiningrat,
guna melestarikan budaya dan membuka potensi wisata.
Sayang sekali Bupati
tersebut pada akhirnya masuk penjara karena korupsi lahan Bandara. Dan ternyata
Bupati yang sekarang menjabat, RITA WIDYASARI adalah putri dari Pak Syaukani
Hasan Rais................
Kami sempat berfoto bersama didepan Makam Raja-raja
Kutai. Diantara Raja-raja Kutai, di masa pemerintahan Raja ke 17 Sultan Aji
Muhammad Sulaiman, Kutai memasuki jaman keemasannya. Kekayaan sumber daya
alamnya yang melimpah berupa minyak memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya.
Itulah mengapa namanya disematkan pada nama Bandara Sepinggan Balikpapan.
Meskipun kami berada di Makam, tetapi tidak terasa adanya suasana mistis
seperti pada makam pada umumnya, karena lokasi makam ini berada di area
perkantoran. Kami berkesempatan membeli pernik-pernik suvenir Kalimantan Timur
seperti tas mote-mote, kalung, sarung dan lain-lain yang dijual di kios-kios
dekat Makam tersebut.
Kegiatan selanjutnya adalah
jalan-jalan ke Pulau Kumala, sebuah pulau yang berada ditengah aliran Sungai
Mahakam yang lebar itu. Diawali dari Jembatan Rewo-rewo, nama jembatan
yang baru saja diresmikan 3 bulan yang lalu, yang menghubungkan daratan dengan
Pulau Kumala. Di jembatan ini banyak disangkutkan gembok cinta, meniru Jembatan
Gembok Cinta di Paris.
Pulau Kumala semula direncanakan sebagai lokasi wisata,
tetapi pada kenyataannya mangkrak tak terawat. Heli Pad, Saung Penginapan, Sky
lift, Air Mancur dan Taman-taman sudah rusak. Yang masih bisa dinikmati
hanyalah menyewa sepeda, berfoto di bawah Patung Lembuswana dan berfoto di
depan tulisan Pantai Kumala. Fasilitas lainnya sudah tidak dapat dinikmati
lagi. Rumputnya tinggi, Tanaman Perdu tumbuh tidak beraturan dan terdapat
banyak Rumah Semut yang menggunung. Rasanya jika pinjam Lasykar Baju Orange nya
Pak Ahok, dalam waktu seminggu pasti sudah rapi..........
Di Pulau Kumala terdapat Patung
Lembuswana, yang adalah ikon kota Tenggarong. Lembuswana merupakan lambang
kesempurnaan. Bentuk badannya lembu, berbelalai seperti gajah, bersayap seperti
burung, bermahkota seperti naga dan bersisik seperti ular.
Kami kembali menaiki
Jembatan Rewo-rewo untuk meninggalkan kota Tenggarong menuju kota Samarinda.
Senja mulai turun. Mega-mega berwarna jingga menggantung di langit sebelah
barat, tampak indah dipandang dari jembatan. Kami menikmati sejenak, Sun Set
diatas Sungai Mahakam. Dan nun dibawah sana, air mengalir dengan tenang seolah tak
mempedulikan kami yang berada di atas jembatan.
Wassalamu’alaikum ww.
Jakarta, 25 Agustus 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar