Assalamu’alaikum ww.
Hari Pertama, Selasa 4 Juli 2017.
Mendarat di Bandara Lombok International Airport di Praya,
ibu kota Kabupaten,Lombok Tengah, tampak masih suasana libur lebaran. Ramai
sekali. Teringat terakhir ke Lombok bersama suami, adik-adik dan staf Kantor
Notaris di bulan Mei tahun 2012, lima tahun yang lalu, Ketika itu Bandara masih
baru, masih kosong. Sekarang sudah
banyak toko dan restorannya.
Putriku Hesty, bundanya Lila dan Allura, telah memesan
mobil rental tanpa sopir, untuk kami gunakan jalan-jalan selama berada di
Lombok. Ia berdua suaminya Boby, memang suka travelling, jadi sudah biasa pergi
kemana-mana hanya mengandalkan Google Maps. Berbeda dengan aku, yang biasanya menggunakan Travel Agent setempat untuk
memudahkan perjalanan ke tujuan wisata. Tujuan utamanya adalah memanfaatkan
waktu yang sedikit, supaya bisa melihat banyak tempat. Ini karena aku sering pergi membawa rombongan
Di loby Airport, Petugas dari Rental Mobil
telah menunggu dan setelah serah terima kunci dan cek kondisi mobil seperlunya,
kami langsung jalan dengan menggunakan mobil itu. Kami menuju hotel, untuk cek
in. Jarak antara Bandara Lombok International Airport yang berada di Lombok Tengah ke hotel yang sudah
kami pesan di Senggigi lumayan jauh. Sampai hotel, ternyata belum bisa cek in, perlu
menunggu beberapa waktu lagi karena waktu untuk cek-in jam 14.00.
Rupanya Hotel KILA Senggigi Beach ini adalah hotel dimana dulu kami pernah
menginap. Seingatku, dulu namanya Senggigi Beach Hotel, tanpa nama KILA. Inilah hotel besar pertama yang dibangun di Lombok. Dengan luas lebih dari 12
hektar, hotel ini dipenuhi pepohonan yang tertata cantik. Pohon kelapa berdiri
tegak, miring, atau condong, dengan tanaman bunga-bunga disana sini dan dikelilingi laut yang ombaknya tenang menuju
pantai, sungguh menjadikan lokasi ini seperti sepotong surga di bumi.
Subhanallah ….....
Kami menitipkan koper dan kemudian makan siang dulu di sebuah Resto di Mataram. Kembali ke hotel, sudah bisa cek-in dan kemudian mengikuti Lila dan Allura menuju pantai. Sekalipun panas matahari cukup menyengat, mereka tetap keukeuh mau nyebur ke laut. Kami menuju Pantai yang berada di depan Restoran yang tidak di pagar, tetapi dijaga Satpam dan Petugas Restoran yang wira-wiri melayani tamu. Pantainya cukup luas. Disinilah para tamu Bule menggelar handuk, berjemur di terik matahari. Tentunya dengan pakaian mereka yang minimalis seadanya ………
Lila dan Lura bermain sepuasnya
bersama ayah bundanya, hingga matahari hampir tenggelam. Kami bersama-sama
pengunjung/para tamu hotel duduk di hangatnya pasir menunggu detik-detik Sunset di Pantai Senggigi. Alangkah indahnya,
mengamati terjadinya perubahan alam sambil menikmati riak-riak ombak di
pantai. Warna langit
yang semula tampak semburat pink jingga perlahan mulai meredup, bersamaan dengan
turunnya gelap.. Aku masih duduk menikmati keheningan yang sesekali terdengar debur ombak menepi ke pantai. Bayangan
anak-anak yang bermain dipinggir pantai menjadi hitam. Namun itu tak lama. Sebentar
kemudian lampu-lampu restoran sudah menyala terang, ditambah nyala lilin di
meja-meja restoran yang menari meliuk-liuk ditiup angin menjadikan suasana malam mulai terasa. Dari jauh musikpun mulai
mendendangkan lagu-lagu manis. Aku sudah berjalan jauh menuju kamar memenuhi
panggilan azan magrib yang telah
berlalu. Senjapun berganti malam………
Kehidupan malam di Pulau Lombok ini
sudah seperti di Pulau Bali. Sepanjang Jalan Raya Pantai Senggigi, berderet
Hotel, Rumah Makan dan Café, menyemarakkan suasana malam. Pulau Lombok dengan pantai-pantainya yang indah memang
merupakan destinasi wisata kedua setelah Bali yang telah lama dikembangkan, sehingga
sudah mendunia. Tak heran jika segala sesuatunya telah tertata bagus termasuk
sarana dan prasarana wisatanya. Bertebaran Restoran Sea Food di Senggigi ini,
salah satunya adalah Blue Ocean yang
kami datangi untuk menikmati makan malam. Walaupun dari pinggir jalan tidak
tampak restorannya, karena harus masuk melalui gang kecil, tetapi ternyata
lokasinya cukup bagus. Hidangan yang dipesan dimasak saat pemesanan, sehingga terasa segar. Tak
apa harus menunggu cukup lama, karena
ternyata apa yang dihidangkan sangat memuaskan. Lila suka sekali dengan masakan kepitingnya.
Hari kedua. Rabu 5 Juli 2017.
Penuh dengan rasa syukur aku dapat menghirup
udara pagi yang segar dan bersih. Puji syukur pula atas kesempatan yang Allah SWT karuniakan kepadaku, dengan tubuh
yang masih sehat dan dalam suasana
gembira di usia yang tidak muda lagi. Alhamdulillah…….
Kebiasaan bangun pagi di rumah tetap terbawa
kemanapun aku berada. Kesempatan menikmati keindahan alam di pagi hari tak kan
kulewatkan. Menapaki joging track perlahan sambil menikmati kicauan burung dan
suara air laut yang berdebur menghempas beton pembatas pantai. Dari tadi yang
kutemui kebanyakan turis bule sedang berlari pagi. Mereka yang berasal dari
belahan dunia yang jauh, tentu memanfaatkan sebaik-baiknya liburan yang sudah
mereka rencanakan. Sedangkan wisatawan dalam negeri, biasanya masih memeluk
guling, menikmati kebersamaan dengan keluarga tercinta.
Sambil memungut buah-buah Asam Jawa yang berjatuhan
dari pohonnya yang tinggi, aku bertanya dalam hati, tidak adakah yang
mengumpulkan buah-buah ini? Di Solo kota kelahiranku, buah asam ini dibuat sirup
yang rasanya sangat khas, nikmat sekali. Mereka yang pernah merasakannya,
pastilah akan ketagihan dengan minuman es
gula asem. Dari Bapak Petugas Kebersihan aku mendapat info, rupanya
di Pulau Lombok ini, belum banyak yang mengetahui, sehingga mungkin saja
buah-buah Asam disini terbuang sia-sia.
Setelah menikmati sarapan di hotel,
kami menuju Musium Negeri Nusa Tenggara Barat, sebuah museum yang
menggambarkan sejarah dan budaya di wilayah propinsi ini. Ke museum adalah
salah satu cara untuk memberikan wawasan kepada Lila dan adiknya, tentang tempat
yang kami kunjungi kini.Terletak di tengah kota Mataram, di Jalan Panji Tilar Negara No.6, Taman Sari, lokasi yang mudah dicari. Jarak tempuh dari Senggigi ke Musium lumayan
jauh. Museum tampak sepi, mungkin karena sekolah masih libur. Kami masuk hanya
membayar 10 ribu rupiah saja.
Memasuki
museum, di bagian atas jalan masuk terdapat lukisan berderet yang menggambarkan tarian tarian dari
suku-suku yang mendiami Propinsi Nusa
Tenggara Barat. Propinsi Nusa Tenggara Barat terdiri dari 2 pulau besar yaitu Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa, dimana penghuniya
adalah masyarakat Suku Sasak dan Suku
Bayan di Pulau Lombok serta Suku Bima, Suku Sumbawa dan Suku Dompu di
Pulau Sumbawa. Sebagian penghuni Pulau Lombok ini juga adalah
orang-orang dari Suku Bali, yang datang sejak lama, dari Kerajaan Karang Asem,
di Pulau Bali bagian Timur. Mereka juga mewarnai budaya di Pulau Lombok
dengan adat istiadat Bali, baik berupa bangunan Pura, Taman-taman, Tarian serta kulinernya. Sedangkan
di Pulau Sumbawa, suku Bima banyak dipengaruhi budaya suku Bugis dari Sulawesi.Selatan.
Begitu
masuk di ruangan utama, diperlihatkan kondisi geografi dari wilayah Propinsi
Nusa Tenggara Barat. Di Pulau Lombok terdapat Gunung
Rinjani yang merupakan Gunung tertinggi kedua di Indonesia yang menjadi
incaran para pendaki gunung untuk menaklukkannya, Di puncaknya, Danau Segara Anakan adalah kawah Gunung Rinjani, disana ada anak dari Gunung Rinjani yang disebut
Gunung Baru Jari. Selain merupakan impian
para Pendaki Gunung, kawasan Puncak Gunung Rinjani juga merupakan tempat yang
disucikan bagi masyarakat Lombok.
Pulau
Sumbawa juga memiliki sebuah gunung yang sangat legendaris, yaitu Gunung Tambora, dimana letusannya
pernah mengguncang dunia. Demikian pula di sebuah pulau di timur Sumbawa,
terdapat Pulau berupa Gunung berapi yaitu Pulau Sangiang dengan Gunung Sangiang. Ketiga Gunung tersebut
merupakan kekayaan alam Propinsi Nusa Tenggara Barat yang sangat berharga.
Di
museum inilah, untuk pertama kalinya aku melihat naskah kuno yang dituliskan di daun lontar. Tulisannya adalah
aksara dalam bahasa Sasak, berwarna coklat, sedangkan daun lontarnya berwarna kuning kecoklatan. Seperti inilah daun lontar atau daun pohon siwalan,
yang dijadikan media untuk menuliskan suatu naskah di masa lalu. Untuk bisa
digunakan sebagai media tulis, daun lontar itu harus melalui proses tertentu.
Potongan-potongan daun lontar dengan ukuran yang sama kemudian disusun, lalu dihubungkan dengan benang,
sehingga tulisan yang terdapat pada lembar daun itu dapat terbaca berurutan.
Dan ternyata, huruf-huruf atau aksara tradisional dari Bahasa Jawa, Bali dan Sasak,
sangat mirip, bahkan hampir sama. Aku melihatnya seperti huruf-huruf Ha Na Ca Ra Ka.
Selain
koleksi berupa benda-benda budaya masa lampau, Koleksi istimewa lainnya adalah Kitab Suci Al Qur an tulisan tangan
yang telah berumur ratusan tahun. Ini menandakan bahwa Islam telah masuk ke
Pulau Lombok berabad-abad lampau.
Di
Museum ini juga dipamerkan Pakaian Adat
Pengantin dari Suku-suku yang ada di Nusa Tenggara Barat ini. Demikian pula
dipamerkan motif tenun dari masing-masing suku. Suku Sasak memiliki budaya
menenun yang telah berkembang sejak dahulu hingga sekarang. Jika dahulu tenun
digunakan sebagai pakaian sehari-hari, kini tenun itu menjadi souvenir atau
buah tangan wisatawan yang mengunjungi Pulau Lombok.
Lila
dan adiknya ikut mendengarkan penjelasan Petugas Museum, dan jika ada hal-hal
yang menarik perhatiannya, tak segan untuk menanyakannya ke Petugas. Ketika
melihat Patung Kuda Putih yang lucu, maka segera saja ditanyakan. Patung Kuda Putih
itu disebut Jaran Kamput, kuda yang
dinaiki anak kecil yang akan disunat dan diarak mengelilingi kampung. Ini biasa
dilakukan di masyarakat Suku Sasak. Begitu pula ketika menemui ruangan yang
dikunci, dimana pengunjung dilarang masuk, ditanyakannya mengapa tidak boleh
masuk?. Dalam ruangan itu terdapat benda-benda bersejarah yang sangat bernilai.
Selain bernilai mahal karena terbuat dari emas, juga bernilai tinggi karena tak
tergantikan.
Ditengah-tengah ruangan yang terakhir kami kunjungi, terdapat Buaya Muara yang sangat besar yang
menarik perhatian Lila. Akhirnya Lila puas setelah mendengarkan cerita Petugas
tentang buaya tersebut. Buaya dengan ukuran panjang
4,1 meter, lebar 1,2 meter dan tinggi 0,6 meter yang diletakkan di kotak kaca
terbuka itu berasal dari sebuah sungai di Kabupaten Dompu, di Pulau Sumbawa.
Jam 11.40 kami meninggalkan Museum
menuju arah selatan ke Pantai Kuta,
yang berjarak kira-kira 70 km dari kota Mataram. Menurutku Pantai Kuta di Pulau
Lombok lebih indah dari Pantai Kuta di Bali. Pantai ini memiliki garis pantai
yang panjangnya 7,2 km dan berpasir putih lembut. Pantainya memiliki sedikit
karang. Disana terdapat sebuah bukit batu yang dapat didaki hingga ke puncaknya,
bernama Bukit Mandalika. Air lautnya
sangat biru, dan dari pinggir pantai tampak sebagian pasir dan di agak ketengah
tampak berkarang.
Ketika kami tiba disana, sebagian
pantai sedang ditutup seng, rupanya sedang dilaksanakan pembangunan sarana dan
prasarana yang merupakan kelengkapan untuk suatu destinasi wisata. Tampak
pekerja bangunan sedang merapikan lahan dan menanam pepohonan sebagai penghias
taman.yang sedang dibangun. Tentulah akan sangat bagus jika pembangunannya
telah selesai kelak.
Mobil kami menyusuri pantai ini
hingga ke ujungnya, dimana terletak sebuah Hotel berbintang 4 yaitu Hotel
Novotel. Memutar kembali kearah Bukit Mandalika, Lila dan adiknya langsung
merengek untuk nyebur ke airnya yang biru. Panas terik tak menyurutkan kemauan
mereka untuk main di laut. Tanpa payung dan tak ada pohon peneduh, jadilah kami
berpanas-panas ria menunggu di pinggir pantai. Karena masih suasana libur anak sekolah, pengunjung Pantai Kuta lumayan banyak.
Kami sempat mencicipi segarnya air kelapa muda yang dijajakan oleh beberapa
anak muda di Pantai, 4 butir kelapa dihargai 50 ribu rupiah. Sangat
murah menurut ukuran Jakarta..
.
Dengan banyaknya pengunjung yang menikmati liburan di Panti Kuta, merupakan kesempatan
baik bagi para Pedagang Asongan untuk mencari rejeki. Banyak diantara para
Pedagang Asongan itu, anak-anak usia sekolah, Mereka menawarkan barang-barang
kerajinan Lombok seperti Cincin dan Gelang Mutiara dengan berbagai model dan
Sarung Tenun Lombok.
Satu keistimewaan bagi Pantai Kuta di
Lombok ini, bahwa setahun sekali selalu dikunjungi oleh rombongan Cacing laut yang dalam bahasa setempat
disebut Nyale. Nyale ini muncul sekitar hari ke 19-20 bulan kesepuluh
dan kesebelas awal tahun Penanggalan Sasak, Jumlahnya sangat banyak, memenuhi pantai selatan
Pulau Lombok, sehingga nelayan atau siapapun sangat mudah untuk mengambilnya.
Untuk kegiatan ini diselenggarakan Festival
Bau Nyale (menangkap Nyale) yang sudah menjadi agenda tetap pariwisata
Lombok. Nyale saat itu dijadikan berbagai masakan. Rizki yang Allah limpahkan bagi masyarakat Kuta Lombok.
Masyarakat setempat mempercayai mitos
tentang Nyale, yang sebenarnya adalah penjelmaan Puteri Mandalika. Tersebutlah
dalam legenda, Puteri Mandalika yang
sangat cantik, diperebutkan oleh banyak Pangeran yang ingin mempersunting Sang Puteri. Oleh
karena tidak ingin menyakiti hati mereka yang memperebutkan dirinya dan kawatir
akan terjadi bencana jika ia memilih salah satu diantaranya, maka Sang Puteri
memilih mengakhiri hidupnya dengan terjun ke laut dan menjelma menjadi Nyale,
untuk dapat dinikmati seluruh rakyatnya. Pantai Kuta pun sekarang disebut Pantai Kuta Mandalika.
.
Hari ketiga, Kamis 6 Juli 2017.
Hari
ketiga di Lombok, kami memenuhi permintaan Lila dan adiknya untuk berenang di
laut dan main air di kolam renang saja. Lila suka sekali main air
laut sambal mencari kepiting-kepiting kecil, yang pada akhirnya dikembalikan
lagi ke laut. Sedang adiknya tidak suka main di pantai, maunya main di kolam renang karena tidak ingin kakinya berlepotan pasir
Jadilah kami menunggui mereka berdua hingga puas bermain air.
Keluar
dari hotel kami mencari tempat ngopi, kebetulan disekitar hotel banyak
kafe-kafe dengan kue-kue yang cukup enak. Namanya Café Gula Gila. Namanya aneh ya…….
Dan untuk makan malam, kami mencoba menikmati kuliner asli Lombok yang
terkenal yaitu, Ayam Taliwang. Rupanya Taliwang adalah nama sebuah tempat di
kota Mataram. Di satu jalan tersebut, ada 3 Restoran Ayam Taliwang.
Hari keempat, Jum at 7 Juli 2017.
Hari
ini adalah hari terakhir kami berada di Lombok. Setelah sarapan pagi, kami
beberes untuk cek out meninggalkan Hotel Kila Senggigi Beach menuju Bandara
Lombok International Airport. Terlebih dahulu kami mampir ke Toko Oleh-oleh
untuk mencari sekedar buah tangan bagi keluarga dan teman-teman di Jakarta.
Setelah menyerahkan kembali mobil ke Petugas Rental, segera kami cek in. Sayang
sekali, Pesawat kami GA 433 mengalami dua kali penundaan.
Selamat
tinggal Lombok yang indah, sampai jumpa di lain kesempatan…….
Wassalamu’alaikum
ww.
Jakarta, 16 Juli 2017.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus