Assalamu’alaikum ww.
Apakah yang teman-teman pikirkan
jika mendengar kata Dayak? Jangan dulu berpikir terlalu jauh, apalagi hal-hal yang
menyeramkan. Yang aku temui di Desa
Pampang, lebih kurang 20 km dari kota Samarinda, adalah Pentas Seni berupa
Tarian dan Musik yang diselenggarakan di sebuah Rumah Adat yang disebut Lamin. Lamin berupa rumah panjang, terbuat dari kayu ulin dengan
atap sirap dan dihiasi ukiran dan lukisan khas suku Dayak yang indah. Lamin disini
difungsikan sebagai panggung. Sebagai latar panggung, dindingnya dilukis dengan lukisan berupa daun-daun paku berwarna
kuning-hitam. Di dalam Lamin telah tertata kursi-kursi menghadap ke tengah.
Rupanya sudah banyak penonton yang datang, diantaranya wisatawan dari luar
negeri, dan rombongan kami segera mengisi baris kedua deretan tengah, supaya
lebih jelas untuk mengambil foto.
Tarian mereka diiring alat musik dari
kayu bersenar yang dilubangi bagian belakangnya, disebut sampeq. Musiknya sederhana, terdengar seperti musik dari Cina mengalun
tenang, teduh, dengan gerak penari yang perlahan berirama. Para penarinya cantik
dan gagah. Penari wanita mengenakan busana manik-manik dengan desain yang indah,
mengenakan kalung dengan hiasan mote-mote dan taring macan serta membawa bulu
burung di tangannya. Mereka juga mengenakan gelang kaki yang hentakannya seirama
dengan gerakan tariannya. Penari pria mengenakan busana penutup dada dari kulit
macan (imitasi lho....) dengan bulu burung Enggang di kepalanya, membawa senjata
mandau dan tameng/perisai dengan ukiran dan warna yang indah. Penari-penari
kecilnya juga manis-manis dan lucu-lucu, tak beda dengan ketiga gadis-gadis
kecilku Aisha, Lila, Allura di Jakarta.
Kami disuguhi 10 tarian, yang
rata-rata hanya beberapa menit saja. Dimulai dari Tari untuk membersihkan halaman, Tari selamat datang,
Tari persahabatan, Tari perjuangan, Tari perdamaian, Tari Perang, Tari Tali, Tari Topeng dan
lain-lain. Pada umumnya tarian mereka sangat lembut, kecuali pada Tari Perang,
para penari pria mengeluarkan pekikan dengan penuh semangat. Kemudian diakhiri
dengan Tarian yang melibatkan para penonton yang ingin mencoba ikut menari. Jangan salah, menari tarian yang
terakhir ini harus fokus. Penari pengunjung harus meloncat diantara kayu-kayu
yang digerakkan oleh para penari. Jika tidak fokus, kaki bisa kejepit kayu. Seorang
cewek muda Turis Bule dari Belanda ikut mencoba menari, untung dia sigap dan
sukses tanpa terjatuh atau terjepit hingga selesai.
Suku Dayak yang
berada di Desa Pampang ini adalah termasuk Suku Dayak Kenyah. Pada umumnya
mereka berperilaku dan bersikap halus. Demikian pula tarian dan musik yang
mereka bawakan, sangat lembut. Barangkali jika di Solo - Jogya, ini jenis tarian
ksatria, bukan tarian raksasa atau buto cakil. Seorang teman, Ibu Atiek Wirasmo membuat video salah
satu tarian yang gerakannya lemah gemulai bagaikan gerakan burung Enggang. Yuk
kita nikmati bersama penampilan mereka...
Selain para Penari yang cantik-cantik
dan gagah-gagah tadi, ada dua orang bapak yang bertelinga panjang dengan anting-anting yang berat, mengenakan
pakaian adat asli suku Dayak dengan Bulu Burung Enggang di kepalanya menyambut
kami di pintu Lamin. Penampilan seperti kedua orang tersebut sekarang sudah
sangat jarang, kalaupun ada hanya di Pedalaman. Inilah bagian dari Nusantara
kita.Mereka adalah suku asli yang mendiami bumi Borneo yang sangat luas ini. Ketika pertunjukan
usai, kami segera menghambur keluar, untuk antri berfoto dengan keduanya.
Aku
sebenarnya merasa iba kepada bapak yang berada di sebelah kiri pintu Lamin,
karena sudah demikian sepuh, usianya 93 tahun. Dia duduk sambil mengatupkan
mata, seolah sudah sangat capai. Sedang bapak yang berdiri disebelah kanan pintu lamin masih
belum terlalu tua. Mereka masing-masing ditemani oleh penari muda yang menerima
dan menyimpan uang dari para pengunjung.
Menurut sejarah, suku Dayak di abad
kedua Masehi datang dari daratan Asia, menyebar dan menjadi penghuni asli pulau
Kalimantan. Kata “Dayak”
berarti hulu. Orang Dayak berasal dan tinggal di hulu sungai di pedalaman. Baik di Malaysia maupun di
Indonesia, namanya sama, Dayak. Ada beberapa rumpun besar suku Dayak menurut
para Ahli, yaitu rumpun Iban, rumpun Apokayan, rumpun Murut, rumpun Ot Danum
Ngaju dan rumpun Punan. Mereka
memiliki beberapa ciri khas, yang tampak berbeda dengan suku-suku lain.
Ciri khas yang pertama yaitu telinganya yang bisa sangat panjang.
Bagaimana hingga bisa sepanjang itu? Ketika masih kecil, mereka mengenakan
anting kecil, semakin bertambah usia, antingnya semakin berat. Apa alasan mereka hingga harus bertelinga
panjang? Telinga panjang, erat hubungannya dengan status sosial kebangsawanan.
Antara
laki-laki dan perempuan memiliki aturan panjang telinga yang berbeda. Kaum
laki-laki tidak boleh memanjangkan telinganya sampai melebihi bahunya,
sedangkan untuk perempuan boleh memanjangkannya hingga sebatas dada.Tradisi
ini sudah mulai punah. Mereka yang masih muda enggan melakukannya, tinggal para
tetua yang masih bertelinga panjang.
Ciri
khas yang kedua adalah bertato, baik laki-laki maupun
perempuan. Tato mereka memiliki makna.
Bisa dimaksudkan untuk menghias dan
bisa juga untuk memberi identitas, misalnya menunjukkan bahwa dia seorang
bangsawan. Bagi wanita, tato adalah semacam emansipasi, mempersamakan derajad dengan pria.
Wanita tidak hanya menjadi ekor, bisa juga
menjadi kepala. Ciri khas ketiga,
adalah senjata yang mereka kenakan di pinggang bernama Mandau. Ciri khas keempat, kemahirannya
menggunakan Sumpit sebagai senjata
yang mematikan, karena sumpit itu direndam dalam larutan racun. Dan ciri khas kelima, Suku Dayak memiliki ilmu magic atau sihir.
Suku Dayak pada awalnya memiliki
kepercayaan yang disebut Kaharingan. Namun di perjalanan jaman, dengan masuknya
misionaris, mereka menganut agama Kristen dan Katolik, bahkan sudah ada yang
masuk Islam. Yang berada di Pampang ini termasuk suku Dayak Kenyah, yang awalnya berdiam di Dataran Tinggi Apo
Kayan, suatu daerah di paling utara Kalimantan Timur, dekat Serawak. Dari sana
mereka menyebar, mencari penghidupan baru dan mendekatkan diri
dengan pendidikan.
Kata
Pampang berasal dari Simpang atau Persimpangan. Sejarah kedatangan mereka ke desa Pampang ini dimulai sejak
tahun 1970, tetapi baru di tahun 1995, desa Pampang diresmikan sebagai Desa Wisata Budaya. Orang-orang Dayak yang
tinggal didesa ini bekerja di berbagai bidang pekerjaan, tetapi memang
mereka masih mempertahankan tradisi dan budaya nenek moyangnya.
Jika menikmati tarian
dan musik Dayak yang lembut ini, serta melihat kemahiran mereka dalam hal seni
seperti membuat ukiran, lukisan dan hiasan manik-manik yang cantik, timbul
pertanyaan. Benarkah cerita-cerita tentang kesaktian dan kegarangan para
Panglima Suku Dayak yang dikenal sebagai Panglima
Burung dan Panglima Kumbang yang kebal
dan memiliki kesaktian luar biasa itu?
Cerita-cerita itu tentu bukan hanya kabar bohong, karena telah
dibuktikan dengan kenyataan yang diketahui umum pada Peristiwa Sampit Februari
tahun 2001.
Pada
dasarnya orang-orang suku Dayak adalah penyabar dan baik hati. Jika sudah
sangat keterlaluan, barulah mereka menggunakan kesaktiannya. Dan salah satu
kesaktiannya itu, mereka bisa membedakan mana musuhnya dan mana yang bukan,
sehingga tidak akan salah sasaran. Di perjalanan jaman, karena pengaruh
lingkungan, pendidikan dan kemajuan teknologi, banyak hal sudah berubah.
Kecuali di daerah pedalaman, kehidupan mereka sudah seperti kita di daerah lain
di Indonesia. Senjata mereka Mandau dan Sumpit itu sekarang (tiruannya) dijual
bebas di toko-toko cinderamata sebagai barang suvenir.
Apa
yang baru saja aku lihat tentang keindahan kesenian mereka, demikian pula apa
yang pernah aku dengar tentang kesaktian dan kegarangan mereka, itulah kekayaan
budaya tanah air Indonesia. Tanpa mereka tidak lengkaplah NKRI. Aku
bersyukur, Allah SWT telah memberi kesempatan untuk melihat, mengalami
dan menikmati sesuatu yang selama ini aku ketahui hanya sebagai informasi.
Jika suatu ketika berkesempatan lagi, ingin rasanya mengenal suku Dayak yang
lain, yang juga mempunyai kekhasan dan keunikan tersendiri. Biasanya ada di
Pesta Adat Tahunan yang diselenggarakan di Rumah Betang mereka di Pontianak, Kalimantan
Barat. Inshaallah..---.....
Wassalamu’alaikum ww.
Jakarta, 30 Agustus 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar