HOCHIMINH CITY ATAU SAIGON
Rombongan
mendarat di Bandara Hochiminh City yang cukup bagus di tengah sengatan
udara panas Vietnam. Kami dijemput oleh seorang pria berambut cepak, yang
nantinya akan bertugas menemani tour leader kami Kenny, sebagai guide kami
selama di kota ini, namanya Mr. Bon. Sambil menunggu teman yang
belum selesai pemeriksaan paspor, saya mencoba menanyakan kepada Mr. Bon,
seputar urusan hand phone saya, agar lebih irit dalam berkomunikasi dengan
keluarga dan pekerjaan di tanah air. Disarankan untuk membeli nomor perdana,
dan supaya irit, cukup sms saja, jangan digunakan untuk menelpon. Rupanya dia mempersiapkan voucher-voucher
bagi anggota rombongan yang ingin membeli nomor perdana selama di negeri ini.
Setelah selesai pemeriksaan paspor,
rombongan segera bergabung dan kemudian naik bus yang telah disediakan.
Sinciau,
Wellcome to Vietnam, …... Demikian kata Mr. Bon, seraya memperkenalkan diri. Nama
marga nya Ngeak... dg pengucapan yang agak panjang sambil ditarik. Dia minta
dipanggil Bon saja, atau boleh James Bon 008 …. Umurnya 29 th, sudah berkeluarga. Bon orangnya
humoris, komunikatif dan fasih berbahasa
Indonesia. Ada saja ceritanya yang membuat kami tersenyum.
Sepintas dia menceritakan kondisi Vietnam yg sekarang. Negeri ini berpenduduk seluruhnya 85 juta orang. Kota
yang kami kunjungi ini bernama Hochiminh City, tetapi orang
Vietnam, khususnya Selatan masih suka menyebut dengan nama Saigon. Kota ini menjadi
kota terbesar di Vietnam, lebih besar dari kota Hanoi.
Dengan bercanda Bon
mengatakan, bahwa Saigon adalah Honda City, maksudnya kota dengan kendaraan
motor Honda terbanyak. Jumlah penduduk kota Saigon sendiri sekitar 8 juta jiwa.
Jumlah motor Hondanya 7 juta. Jadi setiap keluarga setidaknya memiliki 1 atau 2
motor Honda. Bon belum memiliki mobil, tetapi punya 2 motor. Ketika jam pulang
kerja tiba, memang benar jalanan Saigon disesaki dengan sepeda motor.
Demikianlah, tidak beda dengan Jakarta.
Vietnam
adalah satu dari diantara 3 negara di dunia yaitu Jerman, Korea dan Vietnam,
yang mengalami perang saudara dan terpecah menjadi 2 bagian. Seperti Jerman,
negara ini telah bersatu. Tinggal Korea yg masih belum menyelesaikan
sengketanya. Kalau Jerman dimenangkan oleh pihak kapitalis, Vietnam dimenangkan
pihak komunis.
Setelah perang selesai di tahun 1975, Vietnam mulai membangun
negaranya, dan tidak lagi tertutup. Oleh karenanya pembangunan lebih cepat menampakkan hasilnya, seperti
terlihat dari gedung-gedung pencakar langit yang mulai berdiri di kota ini. Apalagi
sebagai negara yang sebelumnya tertutup, menjadi daya tarik tersendiri bagi
negara-negara tetangga untuk mengunjungi dan berinvestasi. Indonesia termasuk negara yang menanamkan investasinya.
Konglomerat Ciputra dengan Ciputraland nya sudah lama membangun bisnisnya disini.
Berdasarkan data dari Kementerian Pariwisata Vietnam, Indonesia
mengirimkan wisatawan terbanyak ketiga setelah Rusia dan Jepang. Wah,
Indonesia hebat ya……. mungkin karena perekonomiannya membaik. Kota-kota
lain yang banyak dikunjungi wisatawan selain Saigon dan Hanoi adalah Da Nang
dan Na Thrang di Vietnam bagian tengah.
Kami
dibawa city tour di pusat kota Saigon, untuk melihat 2 tempat yang merupakan
peninggalan masa penjajahan Perancis. Di zaman itu, orang Perancis meng copy
beberapa tempat di Perancis untuk
dibangun di Saigon, diantaranya Gereja
Katedral Notredame dan Kantor Pos. Di sebelah kanan Gereja,
di seberang jalan terletak Gedung Kantor Pos. Apa istimewanya Kantor Pos itu?
Rupanya di dalamnya digunakan sebagai pasar barang-barang souvenir khas
Vietnam. Begitu melihat barang-barang itu, wouw…. bagus-bagus sekali. Walaupun
mungkin lebih mahal dari tempat lainnya, tetapi sebagai turis, kita tidak akan
salah tawar karena barang-barang itu sudah ada label harganya, dan memang lebih
berkualitas dari pada barang yang sejenis yang dijual di pasar.
Rombongan
mengambil foto group di lokasi tengah kota itu, kemudian diberi waktu 20 menit
untuk melihat-lihat sekitar atau mengambil foto-foto. Sebenarnya kurang puas
hanya 20 menit, akan tetapi sesuai jadwal, waktu kami untuk melihat Water
Puppet Show sudah tiba.
Kembali
ke bus, Bon menjelaskan kondisi negerinya. Negeri ini mulai maju setelah
berakhirnya perang, yang dimenangkan Vietnam Utara. Sekarang secara resmi
merupakan negara sosialis, namanya Republik Sosialis Vietnam. Dari
negara-negara di Indochina, Vietnamlah yang paling maju setelah Thailand. Yang ketiga Kamboja, dan
Laos yg terakhir, yang masih dalam keadaan
miskin. Mata uang Vietnam namanya Dong, Vnd (Vietnam Dong), nilainya
setengah rupiah. Harga kaos yang di Jakarta 50.000 Rupiah, maka di Saigon
25.000 Dong. Akan tetapi, di toko atau di pasar-pasar orang menuliskan harga
tidak mencantumkan ribunya. Cukup angka depannya saja. Mereka juga senang bila
menerima pembayaran dalam US Dolar.
Secara
umum penampilan fisik orang Vietnam lebih baik daripada orang Kamboja. Wajah
mereka lebih manis, kulit lebih putih, badan tegap. Karena biasa bekerja disawah, baik laki-laki
maupun perempuan penampilan tubuhnya langsing berisi. Dengan pakaian tradisional
mereka berupa celana panjang dengan blus lengan panjang selutut, makin
tampak keelokan tubuh mereka. Hampir
mirip orang China, saudaranya yang berdiam di bagian utara negeri ini. Apalagi
kalau mendengar gaya berbicaranya. Bangsa Vietnam berbahasa dan
menggunakan huruf Kanji, tapi di
Saigon ini saya tidak melihat huruf itu. Setiap papan nama ditulis dengan
huruf latin tetapi dengan tanda baca
tertentu, seperti koma diatas, ditengah atau dibawah huruf. Atau titik diatas, ditengah atau dibawah huruf. Ada pula
koma yg bertumpuk, menghadap ke kanan atau kekiri. Tanda tersebut menunjukkan
cara membacanya, dan juga membedakan arti. Mungkin seperti membaca huruf Arab,
ada yang harus dibaca biasa, pendek atau panjang. Wah, sepertinya nggak sanggup
kalau harus belajar membaca saja sesulit itu. Apa lagi menghafal artinya.
Bus
terus melaju menuju tempat pertunjukan Water Puppet Show, dimana kami akan
melihat kesenian tradisional berupa teater boneka yang telah ada di
Vietnam sejak abad 11. Bon membelikan tiket dan kami segera masuk kedalam.
Suasana di dalam gedung seperti bioskop, dimana layar lebarnya bergambar rumah
dan halamannya adalah kolam air yang
berwarna kuning-coklat seperti tercampur tanah. Di sebelah kanan
panggung, terdapat 2 orang laki-laki dan seorang perempuan, mereka itu pemain
musik, dalang yang bercerita, dan penyanyi. Demikian pula di sebelah kiri
panggung. Mereka berpakaian tradisional berwarna merah, kuning dan hijau. Tidak
lama kami duduk, segera lampu dipadamkan dan musikpun mengalun. Menurut
pendengaran saya seperti musik tradisional
China.
Pertunjukan ini memang lain dari pada yang lain. Kalau wayang
kulit, dalangnya hanya seorang, bercerita sambil menggerakkan wayang, ternyata Water Puppet Show dalangnya ada 7
orang. Mereka itulah yang menggerakkan boneka-boneka dari balik layar, sehingga
boneka-boneka itu bermain sangat bagus seperti sesungguhnya. Beberapa episode
cerita pada pertunjukan malam itu antara lain tentang anak-anak yang bermain di sungai, bercanda
ria sambil berenang, memancing ikan atau menangkap kodok. Ada lagi cerita
tentang lomba mendayung, tarian naga, tarian phoenix, dan lain-lain. Pada salah
satu episode Unicorn Bermain Bola, ternyata triknya adalah Unicorn maupun
bolanya sebenarnya ada banyak. Begitu Unicorn menangkap bola lalu dibawa masuk
tenggelam dalam air, dalam waktu yang sama Unicorn itu sudah muncul membawa
bola naik memanjat pohon. Unicorn dan bola yang terakhir itu dimainkan oleh
dalang yang lain. Pada akhir pertunjukan, para dalang yang berjumlah 7 orang
itu muncul dari dalam air menyampaikan salam hormat kepada penonton.
Mereka ternyata masih muda-muda. Tepuk
tangan penonton menutup pertunjukan kesenian tradisional ini.
Keluar
dari pertunjukan, kami menuju restoran untuk makan malam. Restoran itu berupa
Ruko, dan kami naik ke lantai 2, dimana segera dihidangkan nasi dengan lauknya
berupa sea food lengkap, ikan, cumi-cumi, kepiting dan udang. Agak istimewa,
ada sambal terasi berikut lalapan timun, selada dan kerupuk seperti di
Indonesia. Rupanya pemilik restoran ini adalah seorang warga Singapura bahkan menyediakan
Mushalla di rumah makannya. Kalau di Singapura, sambal terasi disebut
sambal belacan. Tak heran, saya lihat banyak teman-teman seperjalanan yang menambah nasi dan sambalnya, serasa makan di
rumah sendiri.
Dengan
berakhirnya makan malam, kami menuju hotel. Hotel tempat kami menginap di
Saigon ini namanya Blue Diamond, terletak di pusat kota. Hotelnya kecil, seluas 3
buah ruko yang dibangun keatas sampai 8 lantai. kalau di Jakarta mungkin
bintang 3 atau malah kelas melati. Hotel bintang 3 di Jakarta, seperti Hotel
Ibis, Neo Melawai, Jakarta Airport Hotel, jauh lebih besar dari hotel ini. Di
Saigon banyak hotel-hotel semacam ini, yang ternyata memiliki banyak langganan
seperti Dwidaya Tour dan Tour-tour lain. Kata seorang teman, harga kamarnya 50
US Dolar semalam termasuk breakfast. Sebelum beristirahat, terlebih dahulu saya
shalat dan beres-beres koper, karena akan berada di hotel ini selama 2 hari.
Hari ke lima, 29 Juni 2013.
Hari
ini, pada jam sarapan pagi saya ke Coffee Shop dan ternyata teman-teman telah
lebih dahulu breakfast. Hidangan pagi sebagaimana biasa makanan khasnya adalah
mie kuah dengan tauge, daging ayam dan bumbu daun ketumbar. Tersedia juga nasi, roti serta salad dan
buah.
Acara
kami sesuai jadwal adalah kunjungan ke Museum dan dilanjutkan ke Istana.
Sebagaimana diceriterakan oleh Bon, perang yang berlangsung sejak tahun 1957
hingga tahun 1975 telah menewaskan 280 ribu orang dari pihak Vietnam Selatan
yang dibantu Amerika dan 1 juta orang dari pihak Vietnam Utara yang dibantu Uni
Soviet dan China. Tujuan Amerika dalam perang Vietnam ini bukan untuk menguasai
suatu kekayaan, misalnya minyak bumi atau apa saja yang dapat dinikmati atau
dibawa ke negerinya. Tujuannya adalah mencegah efek domino, agar faham komunis
Vietnam yang didukung oleh Soviet dan
China, tidak merembet ke negara-negara tetangga.
Kami
dibawa ke Museum yang nama resminya adalah War Remnants Museum atau Museum Sisa-sisa
Perang, untuk melihat dokumentasi sejarah, akibat perang Vietnam.
Museum ini dibuka sejak September tahun 1975 dan setiap tahun dikunjungi tidak
kurang dari 500.000 orang tamu. Kami
langsung ke lantai 2, dimana terdapat foto-foto yang menggambarkan bagaimana tentara Amerika telah berlaku sangat kejam, membunuh
penduduk sipil Vietnam, bahkan dengan bahan kimia yang disebut Agent Orange.
Korban cacat akibat dari zat kimia ini sungguh mengerikan.
Disini
juga ditampilkan foto-foto yang diambil oleh 134 jurnalis dari 11 negara yang terbunuh
dalam perang Vietnam, koleksi dokumentasi dari 2 orang photographer Jepang
bernama Bunyo Ishikawa dan Nakamuro Goro, juga foto-foto yang
berhasil mendapatkan Penghargaan Pulitzer dan World Press.
Di
bagian lain, di ekspose pengakuan seorang Senator Amerika John Kerry yang pada
saat bertugas di Vietnam telah membunuh satu keluarga tak berdosa, mengubur
mayat-mayatnya dalam satu sumur. Saya tidak tahan melihat foto-foto yang
mempertontonkan kekejian itu, akhirnya tidak melanjutkan berkeliling ke seluruh
ruangan. Dengan demikian, pesan yang disampaikan oleh museum ini kepada publik
untuk mengatakan – no to war, yes to peace – telah sampai kepada saya.
Sementara
itu, beberapa teman berfoto di depan tank-tank dan pesawat tempur peninggalan
tentara Amerika di halaman sebelum meninggalkan museum. Selanjutnya rombongan
menuju Reunification Palace, istana tempat tinggal Presiden Vietnam
Selatan yang terakhir, sebelum perang usai. Di bawah tanah istana ini terdapat
lorong menuju Kedutaan Amerika. Sekarang menjadi tempat tujuan wisata.
Setelah
makan siang, acara selanjutnya adalah mengunjungi Chu Chi Tunnel (diucapkan
: Ku Ci), terowongan peninggalam jaman perang antara Vietnam dengan Amerika
Serikat, yang berlokasi 60 km diluar kota Saigon. Jarak tersebut kalau di Jakarta dapat ditempuh dalam 1 jam, tetapi disini
bisa 1,5 jam karena bukan jalan tol. Kami akan banyak berjalan dihutan, kemaren
Bon menyarankan agar mengenakan sepatu trepes atau sepatu oleh raga.
Bus
kami melalui jalan-jalan perkampungan dengan pemandangan yang hampir sama
dengan yang ada di tanah air. Hamparan bekas sawah yang telah dipanen, sudah
tidak ada padinya, tanah kosong yang masih hijau dan juga tanah kebun
dengan pepohonan yang hijau segar. Pohon buahnya pun sama, ada nangka, alpukat,
jambu dan sebagainya. Di bagian lain, kadang tampak sawah menghijau diairi air
dari sungai kecil. Kebanyakan penduduk di sekitar Saigon terlihat cukup berada, tampak dari penampilan
rumah-rumahnya yang cukup bagus, tidak kelihatan ada rumah yang reyot.
Lingkungan rumah dan kebun juga cukup bersih. Di bagian lain sepanjang jalan
yang kami lalui, banyak juga rumah-rumah digunakan sebagai tempat usaha,
percetakan, toko sepeda, kelontong, tempat reparasi TV dan sebagainya.
Memasuki
lokasi tujuan, dari depan kelihatannya sebagai rumah biasa. Sebelum perjalanan
di hutan dimulai, rombongan dikumpulkan untuk diberi penjelasan tentang apa
yang akan dilihat disini nanti. Cu Chi Tunnel adalah terowongan tempat tinggal
sekaligus tempat berlindung para gerilyawan Vietcong. Mereka adalah orang
Vietnam Selatan yang mengikuti komando
dari Ho Chi Minh di Vietnam Utara, melawan Amerika Serikat. Pada siang hari,
mereka adalah petani biasa, pada malam harinya mereka mempunyai tugas tertentu
sebagai gerilyawan.
Terowongan itu hanya cukup untuk dilalui oleh 1 orang saja.
Dari permukaan tanah, tidak tampak
apapun, lubang ditutup dengan kayu berukuran 40 x 40 cm. Kadang diatasnya
diletakkan daun-daun kering atau dahan-dahan kayu sebagai kamuflase. Tempat
tinggal mereka itu ada yang sampai 3 tingkat, tingkat pertama untuk tempat
tinggal, tingkat kedua dan ketiga untuk tempat menyimpan senjata dan
bersembunyi ketika di permukaan tanah diatasnya di bom. Tinggal di tingkat
pertama masih memungkinkan, masih ada oksigen dari lubang-lubang buatan. Tetapi
lubang-lubang untuk bernafas itu juga harus dibuat sedemikian rupa supaya tidak
diketahui tentara Amerika.
Terowongan Cu Chi Tunnel bila dihubung-hubungkan
memiliki panjang seluruhnya 250 km. Tentara Amerika kewalahan dengan adanya
terowongan ini. Gerilyawan Vietcong bagaikan hantu yang bisa muncul dan
menghilang dimana saja dan kapan saja.
Belum lagi jebakan ranjau yang telah dipersiapkan oleh para gerilyawan
di wilayah ini, membuat banyak tentara Amerika yang terluka. Melihat peta, lokasi hutan ini
ternyata berada sangat dekat dengan markas tentara Amerika.
Bagaimanapun juga,
motivasi perang tentara Amerika tidak sekuat gerilyawan Vietcong, sehingga
walaupun memiliki persenjataan mutakhir yang lengkap akhirnya dapat dikalahkan
dan ditarik mundur pada tahun 1975. Kajian menarik yang saya peroleh dari
internet menyebutkan, bahwa kemenangan Vietcong adalah juga berkat
Indonesia, karena mereka mempelajari dengan serius buku-buku tentang perang gerilya
yang ditulis oleh Jenderal AH Nasution, salah seorang jenderal intelektual kita yang mendalami
perang.
Pemerintah
Vietnam menjadikan Cu Chi Tunnel sebagai obyek wisata sejarah, dan apa yang
dilihat oleh wisatawan sekarang ini adalah masih sebagaimana aslinya. Hanya
beberapa meter terowongan saja yg dibuat agak sedikit longgar, sehingga
wisatawan bule yg berbadan besar bisa masuk ke dalamnya. Saya sempat berfoto di
sebuah mulut terowongan yang telah dilebarkan dan dihaluskan, didalam ruangan
dimana Bon menjelaskan sebelum kami menuju hutan.
Pada
saat rombongan kami berada disana, ada 2 orang turis bule mencoba masuk ke
lubang salah satu terowongan dan kemudian muncul di lubang tempat lain yang
panjangnya kira-kira 20 meter.
Teman-teman seperjalanan banyak juga yang mencobanya, mereka bersama-sama
masuk lubang secara beriringan. Kata mereka didalam terowongan gelap dan
pengap. Jangan coba-coba mengeluarkan bom gas beracun…….. bisa-bisa yang
berada dibelakangnya pingsan semua …..
Di
lokasi ini saya melihat bekas rumah tinggal dibawah tanah, lengkap dengan meja
kursinya, akan tetapi sekarang atapnya yang semula permukaan tanah, telah
dibuka dan diberi atap daun lontar. Bila menengok kebawah, tampak jelas isi
rumah itu. Demikian pula disini diperlihatkan bagaimana dulu gerilyawan Vietcong
membuat perlengkapan perang. Ada bermacam-macam bentuk ranjau seperti besi
runcing berputar yang dipasang dibawah lubang jebakan. yang bila terinjak pasti
melukai tubuh. Mereka juga membuat bermacam-macam senjata, antara lain ada yang
seperti bambu runcing kita.
Di
lokasi lain, diperlihatkan cara membuat sandal dari ban bekas. Lucunya sandal
mereka itu bentuk alasnya terbalik, bagian depan kecil, bagian tumit malah
lebar. Maksudnya adalah, bila sandal itu dikenakan, jejak kaki yang terlihat
ditanah terbalik. Orangnya pergi kearah barat, seolah-olah kearah timur.
Pantas saja tentara Amerika menganggap mereka hantu.
Setelah
berjalan-jalan di hutan ini selama beberapa waktu, kami beristirahat di sebuah
tenda dan dijamu teh hangat dan singkong rebus yang dicocolkan ke campuran gula
dan bubuk kacang. Lumayan ….
Terakhir,
kami dibawa ke lokasi menembak beneran, yang sasarannya berupa lereng/punggung
gunung terbuka sehingga sasaran tidak akan mengenai makhluk manusia atau
binatang ternak. Dari jauh bunyi letusan senjata api itu membahana. Rupanya
banyak anggota rombongan yang mencobanya
dengan membeli peluru, harga tiap 10 peluru adalah 800.000 Dong atau 400.000
rupiah. Sambil menunggu mereka yang sedang menembak, saya dan teman-teman
membeli minuman dingin pelepas dahaga.
Sepanjang
perjalanan kembali ke Saigon, Bon memutarkan film di bus tentang Perang
Vietnam. Sayang, tempat duduk saya di belakang sehingga tidak dapat mengikuti
ceritanya dengan jelas.
Ketika hari telah senja, rombongan
kembali ke hotel. Bon menanyakan, apakah
ada anggota rombongan yang ingin
diantar ke Ben Thanh Market. Bagi yang berminat, sesampai hotel diberi
waktu 10 menit untuk segera turun ke lobby, Bon akan mengantarnya. Sebenarnya
jarak dari hotel Blue Diamond ke Ben Thanh Market hanya sekitar 300 m sehingga pulangnya bisa
berjalan sendiri atau dengan teman masing-masing. Saya bertemu banyak turis
dari negara-negara lain, diantaranya yang pasti dari penampilan dan bahasanya
adalah turis Malaysia. Belum lama berada di pasar, hujan turun dengan derasnya.
Sambil menunggu reda, kami bersama-sama anggota rombongan duduk-duduk di
kursi-kursi kecil sambil minum kopi di pasar.
Hari ke enam, 30 Juni 2013.
Sambil
menunggu teman-teman berkumpul setelah breakfast, di lobby hotel saya bertemu dengan Crew Trans
TV. Kemudian kami ngobrol, dan saya
diperkenalkan dengan mbak Mila yang saat itu sedang bertugas mendampingi Crew
Trans TV shooting meliput beberapa tempat untuk acara-acara Trans. Mbak Mila
adalah seorang wanita Vietnam yang fasih berbahasa Indonesia, karena selama 6 tahun
belajar di perguruan tinggi di Yogyakarta atas bea siswa dari pemerintah
Arab Saudi. Sebagai gadis yang berasal dari minoritas muslim suku Champa
yang tinggal di pesisir selatan Vietnam, dia sangat bersyukur telah
berkesempatan belajar di Indonesia. Dan sekarang berkat kefasihannya, tenaganya
diperlukan sebagai pemandu ataupun penerjemah. Saya sempat mencatat nomor
teleponnya, siapa tahu suatu ketika memerlukannya.
Hari ini kami akan mengunjungi
Wilayah Muara Sungai Mekong, yaitu daerah Mytho termasuk propinsi Tien Giang
yang berjarak 70 km dari Saigon. Wilayah ini merupakan tanah pertanian yang sangat subur. Sungai Mekong memang
menjadi berkah bagi penduduk Vietnam. Sungai itu berhulu di Gunung Himalaya,
melalui 6 negara dan dari negara-negara sebelumnya membawa humus yang menjadikan bumi Vietnam subur. Bon telah mengingatkan
sebelumnya, karena kami akan lebih banyak berada diluar atau dibawah terik
matahari, supaya mengenakan topi atau
memakai sun bloc. Bus melaju menuju arah luar kota. Sepanjang jalan raya yang
berada di sisi sungai, pemandangan sungainya cukup bersih. Rupanya sungai itu
dibersihkan sebelum memasuki kota. Para petugas pembersih menggunakan sampan
dayung mengambil sampah sungai yang hanya berupa dedaunan, bukan sampah plastik
dan berbagai sampah lainnya seperti yang kita temui di sungai Ciliwung,
Jakarta.
Berada
di Saigon seperti di tanah air sendiri. Banyak pedagang berjualan apa saja di
pinggir jalan. Rokok, kopi, mie kuah dan lain-lain. Lapaknyapun seadanya, asal bisa untuk berdagang. Saya pernah melihat seorang ibu muda
berjualan kacang rebus diatas tampah. Pada umumnya mereka tampak bersemangat menjalani kehidupan dengan
berusaha bekerja apa saja. Banyak pemilik rumah di pinggir jalan menggunakan
trotoar didepannya untuk berjualan makanan dengan meletakkan meja pendek dan
kursi-kursi kecil. Para karyawan pada saat
istirahat siang bisa pulang ke rumah untuk makan siang atau jajan di
pinggir-pinggir jalan dengan duduk di kursi-kursi kecil itu. Saya belum melihat
ada pengemis baik di jalanan maupun di pasar.
Menuju Mytho, kami melewati Pagoda
dengan 3 patung Budha berwarna putih yang sangat besar, salah satu diataranya
Budha sedang tidur. Namanya Vinh Trang Pagoda. Rombongan tour
mampir di tempat ini memberi kesempatan bagi yang beragama Budha untuk berdoa.
Saya berfoto-foto sejenak, kemudian meneruskan perjalanan lagi.
Tiba di pelabuhan Mytho, Bon
membelikan tiket untuk naik kapal. Pemandangan pelabuhan cukup bersih, dan
banyak kios menjual barang-barang souvenir, khususnya kaos oleh-oleh.
Mereka menjajakan dagangannya, bahkan
dalam bahasa Indonesia. Kaosnya madam… murah, murah … Boleh, seandainya
membayar dengan uang rupiah, karena di beberapa kios harganya ditempel dengan
angka, 50 (maksudnya 50 ribu) dong dan 25 (maksudnya 25 ribu) rupiah.
Di kapal, kami mendapat minuman kelapa muda
segar. Sebelum mesin dihidupkan Pak sopir kapal mempersiapkan banyak kelapa
muda, memangkas batok bagian atasnya dan membagikan kepada seluruh penumpang yaitu
26 orang, karena penumpangnya ya hanya angggota rombongan Dwidaya. Bon
menjelaskan bahwa 60 km menuju kearah laut sudah masuk wilayah Kamboja. Baru
beberapa menit perjalanan, kapal kami sudah sampai. Rupanya tujuan kami hanya
di seberang pelabuhan. Terdapat 4 pulau di Delta sungai Mekong ini. Pulau
Unicorn, Pulau Naga, Pulau Kura-kura dan satu lagi saya lupa mencatatnya.
Sekarang kami berada di Pulau Unicorn.
Begitu mendarat langsung memasuki sebuah
pabrik/industri kecil yang membuat
permen kelapa. Ditempat ini diolah
kelapa yang dihasilkan dari wilayah sekitar menjadi dodol dan permen
dengan berbagai rasa, rasa kacang, pandan, durian dan lain-lain. Khusus permen
rasa durian, harganya 60 ribu dong per pak, beli 5 gratis 1. Sedang permen rasa
lain harganya 30 ribu dong.
Kami berjalan-jalan masuk hingga ke
tengah pulau, melalui kios-kios yang menjual barang-barang souvenir, tas-tas
dan baju-baju tradisional Vietnam. Rombongan berhenti disebuah tempat makan sederhana tetapi teduh, dengan
banyak meja dan kursi. Telah tersedia di meja-meja buah-buahan segar
seperti mangga, nangka, semangka, sawo
dan sebagainya, gratis. Kalau ingin duren,
harus membeli. Tak lama duduk sambil makan buah, terdengar musik dari
jauh dan akhirnya mendatangi meja-meja kami.
Enam orang gadis-gadis Vietnam dengan pakaian tradisionalnya yang khas
menyanyikan lagu-lagu, diantaranya lagu pop Indonesia Madu dan Racun.
Wah, surprised. Kami menghadiahkan tepuk tangan untuk memberikan apresiasi atas
lagu-lagunya. Sebelum rombongan musik meninggalkan kami, diedarkan keranjang
kecil yang dihias bunga-bunga cantik, sebagai wadah bagi yang ingin memberikan
sekedar tip.
Dari tempat ini, kemudian kami
berjalan di pematang yang agak lebar, dimana di kanan kiri nya kolam air
sungai. Melalui kebun-kebun yang berisi pohon-pohon buah antara lain rambutan
dan nangka, menuju ke ujung pulau. Disini telah menunggu kami, sampan-sampan
kecil yang hanya muat 4 orang untuk menyusuri kanal-kanal diantara pulau-pulau.
Indah sekali pemandangannya. Kanal-kanal disini cukup panjang, tetapi menjadi
terasa sempit karena banyak sampan dengan penumpang turis berseliweran
berlawanan arah dengan sampan kami.
Di pinggir kanal banyak tanaman palem yang daunnya mirip daun
kelapa, tapi tidak ada buahnya, hanya tampak bunganya yang besar dan mulai
kering. Pemandangan bersampan di kanal-kanal sungai Mekong ini sangat khas.
Berbeda dengan di Venesia, di sana sampannya lebih besar yang disebut Gondola,
pemandangannya laut dan gedung-gedung tua. Keduanya hanya bisa memuat 4 orang
penumpang, bila lebih, akan menjadi oleng.
Setelah bersampan, sekali lagi kami
dibawa Bon mampir ke suatu tempat dimana kami dijamu minuman kesehatan ala
Vietnam. Di meja telah disediakan gelas-gelas kecil, yang kemudian oleh waiter,
diisi Pollen Bee satu sendok kecil, madu satu sendok kecil dan perasan irisan
jeruk. Waiter menambah air teh panas hingga gelas kecil itu penuh. Enak
rasanya, dan hebat khasiatnya. Saya akhirnya ikut membeli Pollen Bee saja,
karena madu di Jakarta pun ada.
Rombongan kembali menuju pelabuhan
dengan kapal yang sama, dan kemudian menuju ke tempat makan siang. Restoran tempat kami makan bernama Mekong
Rest Stop. Restorannya besar sekali, dimana bus-bus wisata memenuhi
tempat parkirnya. Yang pertama saya cari adalah toilet. Ternyata berderet-deret
toilet tersedia. Toilet di Vietnam tidak menyediakan shower kecil/shower cebok.
Jadi saya selalu membawa tisu basah atau bila tidak ada, tisu kering diguyur
air. Kebiasaan khas orang Indonesia, apalagi muslim, yang mewajibkan untuk membersihkan
diri dengan baik yang artinya adalah dengan air.
Lokasi ruangan untuk rombongan kami
telah disediakan. Hidangan yang khas disini adalah lumpia basah yang dibuat
pengunjung sendiri dari bahan-bahan yang telah disediakan di meja. Waiter
memberi contoh, pertama mengambil kulit
lumpia, kemudian diberi bihun, sayuran dan sedikit daging ikan gurame goreng,
lalu digulung. Jadilah lumpia basah. Hidangan lainnya yang agak berbeda adalah
kue yang bentuknya seperti serabi dengan toping irisan bakso, dimakan dengan
kecap asin. Ada pula sayuran berupa ca kailan dan sup. Saya berhati-hati
memilih makanan, khawatir keliru yang tidak halal, jadi lebih sering makan
sayur dan ikan atau ayam goreng kering yang tidak berbumbu kuah.
Di restoran ini juga dijual barang-barang
suvenir dengan kwalitas bagus. Kesempatan mencari oleh-oleh untuk Aisha, Lila dan Lura, tiga gadis cantik
cucu-cucu saya yang sering membuat saya kangen. Setelah melihat kesetiap sudut
toko, akhirnya saya mendapatkan baju tradisional lucu-lucu buat mereka.
Mudah-mudahan bisa dikenakan saat hari Lebaran.
Selesai makan siang, saat kembali ke
bus, Bon mengingatkan bahwa kami akan segera menuju hotel, bersiap-siap mandi
dan segera berkumpul di lobby untuk mengikuti Dinner Cruise di kapal sambil menyusuri
sungai Saigon. Acara besok pagi-pagi sekali, berangkat menuju Hanoi.
Malam
hari pada jam yang telah ditentukan, kami memasuki bus menuju tepian Sungai
Saigon, anak sungai Mekong. Sebelumnya Bon menjelaskan bahwa kami akan
menikmati makan malam di kapal sambil dihibur musik. Rombongan Dwidaya telah
dipilihkan duduk di lantai 3, dimana hiburannya berupa musik yang tenang sesuai dengan usia para
pesertanya. Di lantai 2, hiburan musik keras dan pertunjukan Fire Dance. Di
lantai 1, lain lagi. Bon nanti akan memberitahukan, jika di lantai 2 pertunjukan Fire Dance sudah
dimulai, kami boleh turun melihatnya.
Di depan saya tampak kapal besar
dengan lampu-lampu di pinggirnya. Kapal ini resminya bernama Tau
Sai Gon atau Saigon Cruise Ship. Menuju kapal, gadis-gadis berseragam
putih berjajar di pinggir jalan menyambut kedatangan para tamu. Kami langsung
naik ke lantai 3. Tampak meja berjajar memanjang di tengah kapal, dikelilingi
deretan kursi-kursi. Dan dipinggir kapal, bagian kiri dan kanan masih ada banyak meja dengan 4 kursi
disekelilingnya. Rombongan mengambil
tempat duduk di deretan tengah sejumlah anggotanya, 26 kursi. Segera hidangan dibawa oleh waiter berbaju
seragam putih ke meja besar dimana kami duduk berderet, berturut-turut nasi putih, ayam goreng, ikan, tofu, sayur
kailan, sayur cap jay, dan ada kompor dengan keramik diatasnya berisi kerang
rebus. Setelah kerang habis, diganti dengan sup tomyam.
Di ujung kapal terdapat panggung
dengan 2 tempat duduk berupa kursi tinggi. Kemudian 2 orang pemusik mulai
menghibur kami dengan lagu-lagu instrumentalia berirama slow, lagu-lagu tahun 70-80 an yang sudah familiar
di telinga kami. Berturut-turut mengalun
Love is blue kemudian lagu-lagu lama, termasuk lagu-lagu tahun 60 an dari Simon
and Garfunkel. Pemusik pria memakai
kemeja putih memetik gitar, sedangkan
yang wanita bergaun panjang, sopan,
meniup seruling. Bersamaan dengan
dimainkannya musik, kapal bergerak berjalan perlahan-lahan.
Menikmati makan malam dalam suasana
begini jadi ingat suami, anak-anak dan cucu-cucu di Jakarta. Alangkah bahagianya jika sat-saat
seperti ini dinikmati bersama-sama mereka. Dulu, ketika saya masih muda dan
anak-anak belum menikah, pernah menikmati pergi bersama semacam ini, Dinner
Cruse di Sungai Nil, dengan hiburan Belly Dancing atau tari perut. Pernah juga
dinner serupa di Shanghai, hanya makan malam saja tanpa hiburan musik. Tetapi
untuk saat sekarang memang tidak mudah pergi bersama, karena mereka
masing-masing mempunyai kesibukan yang berbeda, dan juga harus menyesuaikan
dengan kegiatan pasangan maupun waktu liburan sekolah anak-anaknya. Tour ini pun, yang semula rencana pergi
bersama suami, pada akhirnya suami tidak bisa berangkat. Mungkin suatu ketika
jika direncanakan lebih matang, bisa pergi bersama lagi. Kapan ya? Masihkah lutut kaki ini bersedia
menunggu?
Setelah usai makan, saya masih
menikmati musik yang dimainkan di panggung. Bon mengatakan bahwa di lantai 2
Fire Dance sudah dimulai. Terdengar dari atas musik yang mengiringi tarian itu
berdentam-dentam. Sambil tertawa Bon mengingatkan supaya ibu-ibu menjaga bapak/suaminya, hati-hati, jangan
sampai tergoda.
Beberapa teman mulai meninggalkan
kursinya, turun ke lantai 2. Sayapun mengikutinya, Ternyata benar, pertunjukan
tarian dibawakan oleh seorang gadis muda
dengan pakaian minim sedang mempermainkan obor. Menurut saya, show ini masih
tergolong biasa, karena di suatu tour lain
saya pernah melihat yang lebih menyeramkan dan lebih vulgar. Sebagai
muslim saya memiliki standar
sikap/perbuatan yang seharusnya. Tentu saja tidak mungkin mengharapkan standar
saya berlaku bagi mereka yang agama dan budayanya berbeda. Sayapun hanya
sebentar berada disana, kemudian berjalan-jalan mengelilingi kapal menikmati
kesejukan udara malam diatas sungai Saigon.
Tak
lama kemudian rupanya acara sudah berganti. Terdengar hiburan musik pop, diantaranya lagu pop Indonesia Madu dan Racun, yang
sangat terkenal di masa lalu dibawakan oleh Ari Wibowo itu. Kemudian lagu Jamilah, lagunya Jamal Mirdad...... Wah, ternyata lagu-lagu Indonesia dengan
irama gembira sudah dikenal di Vietnam.
Barangkali sudah saatnya Indonesia mengekspor budayanya sebagaimana Korea.
Acara makan malam dan hiburan selesai pada jam 21.30. Bon mengingatkan lagi
bahwa esok pagi kami akan berangkat ke Bandara untuk penerbangan pagi,
hendaknya segera beristirahat agar tidak terlambat berkumpul.
Sampai
di hotel, lebih dahulu shalat dan kemudian beres-beres packing koper.
Mempersiapkan baju bersih untuk 3 hari lagi, terpisah dari baju-baju yang sudah
kotor. Tak lupa untuk menempatkan Paspor
dan Hand Phone di tempat yang mudah diingat atau dijangkau dan menyiapkan
sekedar tip. Tidak terasa tour ini tinggal mengunjungi satu tempat lagi,
kemudian kembali ke tanah air. Alarm saya pasang di jam 03.30, yaitu dua jam sebelum
waktu keberangkatan meninggalkan hotel besok.
Hari ke tujuh, 1 Juli 2013.
Saigon
yg biasanya panas, masih terasa dingin ketika bus meninggalkan hotel. Taman-taman kota yang
biasanya ramai masih sepi, dan kendaraan
hanya satu-dua yang lewat dijalanan. Jauh berbeda dengan Jakarta di
waktu subuh. Di bus, kepada kami dibagikan makanan berupa roti tawar dan pisang
karena tidak mungkin breakfast di hotel. Bus menuju Bandara Hochiminh City yang
telah ramai. Penerbangan kami menggunakan Vietnam Air.
Selamat tinggal Saigon ……
HANOI
- HALONG
Pesawat
mendarat pada jam 8.30, tepat 2 jam seperti diperkirakan. Pada penerbangan dari
Singapura ke Kamboja kami menggunakan Silk Air, anak perusahaan Singapore
Airlines. Kemudian dari Siem Riep ke
Saigon dan Saigon ke Hanoi kami menggunakan penerbangan domestik Vietnam. Yang
baru kami naiki tadi adalah Maskapai Penerbangan Vietnam yang
bernama VietJet, dengan pesawat Airbus 320- 200, tanpa hidangan makanan
maupun minuman. Kalau saya ingin minum kopi, tersedia white coffee, harganya 20
ribu Vnd atau 10 ribu rupiah. Rasanya
cukup murah untuk satu sachet kopi di angkasa. Saya memesan 1cangkir white coffee.
Guide
yang menjemput kami kali ini bernama Khan, fasih berbahasa Inggris, tetapi tidak dapat berbahasa Indonesia.
Saat pesawat mendarat, kota Hanoi baru
diguyur hujan deras. Terlihat dari pelataran parkir yang sangat basah.
Sebenarnya saat ini adalah saat terpanas untuk wilayah Vietnam, tapi sebagaimana di Jakarta, hujan masih turun setiap harinya. Pemandangan di sepanjang jalan yang kami lalui lebih sepi
dari pada Saigon. Memang Hanoi tidak sepadat Saigon. Kota ini adalah kota
pemerintahan, bukan kota dagang. Di kanan kiri jalan, sawah menguning siap
untuk dipanen. Tidak seperti di Saigon yang bisa bertanam padi 3 kali dalam
setahun, di Hanoi hanya 2 kali karena
ada musim dinginnya.
Khan
menceritakan bahwa Hanoi sebagai ibu kota pemerintahan, dan di kota ini tidak
banyak tempat yang bisa dikunjungi. Wisata disini hanya fokus pada wisata
sejarah. Hari ini kami akan mengunjungi Hochiminh Mausoleum dan beberapa
Pagoda, kemudian akan menuju Halong Bay, tempat wisata cantik
yang menjadi ikonnya Vietnam.
Bus
membawa kami ke restoran untuk makan siang, walaupun jam baru menunjukkan pukul
10.30. Ini karena tadi pagi banyak anggota rombongan yang tidak makan roti dan
pisangnya, terburu-buru ke airport.
Restoran tempat makan kami berupa rumah
bertingkat di pinggir jalan, dimana untuk masuk ke dalamnya kami harus menuruni
tangga karena tinggi jalan dengan restoran selisih lebih kurang 1,5 meter.
Makan siang (atau pagi) ini cukup
lengkap tetapi saya hanya mengambil sayuran dan ikan saja. Kelihatannya semua
full kolesterol.
Mausoleum Hochiminh, adalah tempat jasad Presiden dan
Pemimpin Besar bangsa Vietnam Ho Chi Minh disemayamkan. Kami tidak dapat masuk
ke dalam melihatnya, karena kebetulan
rombongan datang pada hari Senen, hari dimana mausoleum ditutup. Kami hanya
berfoto bersama grup dan foto sendiri-sendiri.
Lokasinya berada dijantung
kota, dikelilingi lapangan yang sangat luas seperti Monumen Nasional di
Jakarta. Berjaga-jaga didepan pintu mausoleum, 2 orang tentara muda yang berdiri tegak
dengan disiplin tinggi, bergantian setiap 2 jam sekali. Konon disiplin ketat
yang harus dilakukan itu, bahkan bila ada lalat menempel di
wajahnyapun, tangan tidak boleh bergerak menghalaunya.
Teringat peristiwa
mengunjungi Mausoleum Chang Kai Sek di Taipe beberapa tahun silam. Ketika itu
anak saya yang masih kecil menyangka,
tentara penjaga yang tidak bergerak sama sekali itu adalah patung. Anakku
mendekatinya hingga jarak yang sangat dekat. Tiba-tiba kami kaget, ketika
tentara itu menghentakkan senjatanya dengan sangat keras ke lantai. Rupanya dia
marah atau memberitahu bahwa, “aku ini manusia lho”
Sambil
berjalan-jalan di sekitar lapangan, saya perhatikan pohon-pohon buah lengkeng
di halaman rumah-rumah mulai bergelayutan menyenangkan. Demikian pula
bunga-bunga berwarna merah menyala menghiasi rumah-rumah di sekitar lapangan.
Tour leader kami Kenny mengatakan bahwa semua gedung disini berwarna kuning, karena kuning adalah warna
simbol komunis. Memang benar, semua gedung pemerintah bercat kuning.
Tetapi seingat saya, di Indonesia, PKI dahulu menggunakan simbul warna merah.
Sedangkan warna kuning atau kuningisasi dilakukan oleh Golkar.
Tempat
yang kami kunjungi selanjutnya adalah One Pilar Pagoda. Pagoda kecil
ditengah kota yang sudah berumur ratusan tahun. Di halaman pagoda, banyak
penjual makanan dan buah menggelar
dagangannya. Tertarik buah mangga yang setelah dikupas kelihatan berwarna merah, saya mencoba membeli. Harganya 10 ribu dong
atau 5 ribu rupiah. Rasanya enak seperti mangga bangkok yang sering di jual di
super market kita.
Kunjungan
selanjutnya adalah ke Temple of
Literature. Inilah universitas pertama
yang didirikan di abad ke sebelas, mengajarkan ajaran Konfusius, ajaran
tentang bagaimana bersikap dalam
kehidupan. Tulisan berisi nama-nama para lulusan dari universitas ini
diabadikan pada lempengan batu besar yang digendong oleh patung kura-kura, yang
jumlahnya cukup banyak berjajar di sekitar halaman temple. Kalau tidak keliru,
maknanya adalah bahwa para lulusan itu diharapkan menyebarkan ilmunya sepanjang
hayat ke seluruh negeri. Kura-kura melambangkan umur panjang. Tempat ini selalu
dikunjungi anak-anak sekolah atau mahasiswa yang akan menempuh ujian. Saya
kurang begitu paham menangkap apa yang dikatakan oleh Khan, dengan bahasa
Inggrisnya yang sangat cepat itu. Selain
faktor bahasa, Khan juga sangat serius, tidak pernah bercanda. Ini menjadi
hambatan, sehingga tidak semua anggota rombongan dapat berinteraksi dengannya.
Perjalanan
dilanjutkan ke Ngecson Temple Lake dengan pagoda ditengahnya. Danau alam yang
tampak teduh dengan pepohonan disekitarnya itu berada ditengah kota Hanoi. Bus
hanya melawati saja, kami tidak turun melihat dari dekat.
Setelah beberapa saat berkeliling di sekitar
Hanoi, rombongan langsung menuju Halong. Perjalanan ke Halong diperkirakan
memerlukan waktu selama 4 jam dengan
sekali beristirahat untuk kesempatan ke toilet. Sebenarnya jaraknya tidak
terlalu jauh, akan tetapi karena jalan yang kurang bagus dan ada sebagian jalan
yang sedang diperlebar, bus berjalan sangat lambat, dengan kecepatan
sekitar 40 km per jam. Karena udara
panas, dan jalan bergelombang, debupun beterbangan. Sepanjang jalan saya
melihat pemandangan sawah dan rumah-rumah penduduk.
Yang menjadi tanda tanya
adalah, mengapa rumah-rumah penduduk itu semua sama, berbentuk ruko yang
lebarnya hanya sekitar 4 m dan bertingkat dua atau tiga, padahal tanah-tanah
disekitarnya masih luas? Apakah tidak ada yang punya ide untuk membuat rumah
dengan design yang lain? Apakah ini ada hubungannya dengan paham komunis, sama
rata, sama rasa dalam arti memperoleh bagian dengan luas yang sama. Sayang
pertanyaan-pertanyaan itu belum sempat
saya ajukan kepada Khan.
Pada saat istirahat pertama, kami dibawa ke sebuah toko besar dengan
berbagai macam barang seni berkualitas
tinggi. Ada berbagai lukisan sulaman yang dibuat oleh para pekerja yang sedang
menyulam, patung-patung marmer besar seperti patung Budha dan binatang-binatang
kuda, naga dan sebagainya. Baju-baju tradisional dari bahan sutera dan makanan
kering khas Vietnam seperti kacang biji lotus, kletikan dan lainnya. Semuanya
barang seni berharga mahal sedang harga makanan dapat dikatakan wajar.
Mendekati kota Halong, jalan mulai
menanjak dan sudah mulus. Dari jauh sudah tampak pemandangan laut. Dan ketika
benar-benar memasuki kota Halong, Subhanallah…….. saya benar-benar kagum
melihat pemandangan begitu cantik. Formasi
bukit-bukit batu karst atau batu kapur itu tampak serasi, berjajar
dengan indahnya. Lukisan Maha Karya Sang Pencipta hadir dihadapan saya.
Akhirnya kami sampai di Halong Pearl Hotel. Setelah
pembagian kunci dan menyimak pesan dari Kenny bahwa nanti malam siap jam 7
untuk bersama-sama pergi dinner, maka saya segera membawa koper ke kamar.
Begitu jendela dibuka, wouw… lukisan alam itu bisa saya nikmati dari kamar
hotel. Rupanya hotel ini menghadap ke laut.
Kenny dan Khan membawa kami makan
malam di restoran yang menghidangkan sea food. Ada hidangan yang baru pertama
kali saya temui, siput besar dibakar bersama cangkangnya sehingga cangkang
berwarna agak kehitaman. Masakan ini
dimakan dengan kecap asin. Saya mencicipi sedikit, dagingnya lembek rasanya
tawar. Kemudian kerang dengan ukuran sedang dibuka, diberi irisan daun-daun
(seperti kucai) dan ditaburi bawang
goreng. Hidangan lainnya sudah biasa, ikan tongkol besar dibumbu steam, udang
goreng tepung dan sayuran sawi. Semua anggota tour makan dengan lahap, ditutup
buah semangka.
Setelah makan malam, semua anggota
rombongan diajak ke tempat penjualan barang-barang yang terbuat dari serat bambu. Serat bambu atau Bamboo Fiber
ternyata sangat lembut dan mempunyai keistimewaan tertentu yang tidak dimiliki
oleh kapas. Di lantai atas dalam salah satu ruangan, rombongan diajak melihat
peragaan, bagaimana bila kapas dimasukkan ke dalam air akan mengambang,
sedangkan serat bambu langsung tenggelam. Jadi serat bambu sangat mudah
menyerap air, dan bahan ini sangat baik untuk digunakan sebagai handuk, baju
kaos, lap mobil, lap dapur, dan
sebagainya. Serat bambu juga
tidak sulit untuk membersihkan kotoran yang menempel. Hanya dengan kucuran air,
kotoran langsung hilang. Bila dikenakan di badan, rasanya lebih dingin. Bahan
ini juga dapat digunakan untuk menghilangkan bau, sehingga dijadikan produk
penghilang bau kulkas. Barang-barang
yang dihasilkan dari serat bambu ini dijual di toko, lantai bawah. Ada
satu syal warna hitam dari serat bambu yang saya beli sebagai kenang-kenangan.
Mengingat bambu begitu banyak ditanam di tanah air, mengapa tidak ada yang
berinvestasi membuat pabriknya di Indonesia ya?
Selanjutnya kami dibawa
berjalan-jalan menghabiskan waktu di sebuah pasar malam sederhana.
Barang-barangnya sama dengan yang pernah saya temui di Saigon. Tidak banyak
lagi yang berminat belanja, mengingat kami sudah hampir pulang, koper sudah
penuh dan uang sudah menipis. Kembali ke hotel dengan pesan bahwa esok pagi
menikmati perjalanan ke Halong dan langsung menuju Hanoi. Artinya, esok kami
harus cek out dengan membawa koper ke bus.
Hari ke
delapan, 2 Juli 2013.
Pelabuhan tempat kapal-kapal bersandar sudah ramai. Hari ini banyak sekali
rombongan turis yang sudah berada di pelabuhan.
Khan membagikan tiket dan peserta segera bersama-sama naik kapal. Kapal
ditata seperti rumah makan dengan meja makan segi empat dan tempat duduk
berhadapan masing-masing untuk 3 orang.
Di sebelah terdapat jendela kaca dengan korden tipis untuk memandang keluar.
Diatas meja makan di bagian atapnya diletakkan
kipas angin. Udara yang panas segera berkurang, berganti dengan hembusan
angin laut.
Kapal mulai berlayar ke tengah.
Kapal mendekati bukit-bukit batu
kapur, dari jarak dekat tampak hijau kecoklatan ditengah warna biru air lautnya.
Begitu indahnya ….., peserta tour
berhamburan keluar untuk mengambil foto-foto pemandangan maupun foto diri
dengan back ground laut dan bukit-bukit
itu. Tidak salah kalau lokasi indah ini masuk ke layar lebar melalui film
James Bond, yang ketika itu masih dibintangi oleh Roger Moore. Ketika kapal
sampai ditengah, berhenti sejenak untuk memberi kesempatan bagi yang
berminat, bersampan melihat lebih dekat,
menyusuri sela-sela bukit sekaligus mengambil foto. Meskipun saya membawa
kamera dan ipad, saya juga memanfaatkan fotografer amatir untuk mengambil
foto-foto kami berdua. Sekali foto 10 ribu dong.
Setelah puas berfoto dan
seluruh peserta masuk ke kapal lagi, hidangan makan siang disajikan. Nasi putih
dengan sea food yang cukup nikmat. Kapalpun kembali ke pelabuhan Halong.
Pemandangan sangat indah. Teluk Halong yg tenang dan adem ini menjadikan
pengalaman yang tak terlupakan. Keindahan seperti ini mirip dengan keindahan
Guilin, sebuah lokasi wisata di China Selatan. Disana, ketika itu menikmati
keindahan bukit-bukitnya dengan naik kapal di sebuah sungai yang jernih dengan
hidangan makan siang dengan ikan air tawar goreng.
Meninggalkan Halong, rombongan
dibawa mampir ke sebuah toko permata. Sebagaimana Kamboja, Vietnam juga merupakan negara
penghasil batu permata, terutama ruby. Di tempat tersebut diperagakan cara
mengetes keaslian sebuah batu permata. Pertama dengan alat yang dapat mengukur
kekerasannya. Bila alat tersebut digoreskan, maka lampu-lampu akan menunjukkan
tingkat kekerasannya. Kedua, diperiksa dengan lampu senter, akan tampak sinar
berpendar-pendar yang menunjukkan cutting (irisan) nya. Lalu ketiga dengan air.
Setetes air dijatuhkan pada batu permata
ruby, ketika batu dibalik airnya tidak menetes kebawah. Beberapa teman
seperjalanan berminat membelinya. Harga
yang ditawarkan sangat tinggi, tetapi
ternyata harga jadinya hanya 30% – 40% dari harga penawaran.
Perjalanan pulang dari Halong ke
Hanoi diiringi hujan deras menjadikan peserta tour lelap beristirahat.
Perjalanan kembali ke Hanoi teduh, kebalikan dari kemaren waktu keberangkatan,
panas dan berdebu. Perjalanan selama 2 jam pertama bus berhenti di sebuah toko
dimana kita bisa minum kopi sambil berbelanja souvenir.
Sambil menuju hotel tempat kami akan
menginap, sekalian city tour, Khan menceriterakan tentang tempat-tempat yang
kami lalui. Terdapat lukisan keramik dengan berbagai motif menempel di dinding
pembatas jalan utama kota Hanoi, yang dibuat oleh seniman-seniman Vietnam
maupun seniman dari negara lain.
Bus menuju suatu tempat makan. Malam
terakhir kami di Vietnam, rombongan dimanjakan dengan makan istimewa, di restoran yang kata Kenny paling besar dan
paling enak di Hanoi. Namanya Restoran Sen. Benar juga, restoran
ini besar sekali. Ribuan pengunjung bisa masuk, karena setiap ruangan besar
berjajar ratusan kursi. Makanannya
prasmanan, disediakan di banyak lokasi.
Menghidangkan berbagai masakan,
antara lain masakan Jepang, Eropa, Asia, Sea Food, diselingi dengan berbagai
macam buah, kudapan, dan kue-kue.
Restoran ini “All You Can Eat”. Jadi makan seberapapun bayarnya sama. Saya
tidak tahu, berapa harga tiket masuknya. Pengunjungnya adalah grup-grup wisata dari negara-negara sekitar yang datang
ke Hanoi, termasuk kami. Di restoran itu kami bertemu dengan grup Dwidaya yang
lain, yang berangkat belakangan tetapi
tidak ke Kamboja. Bertemu juga dengan
rombongan dari grup Bayu Buana. Karena
sudah mulai malam, sebenarnya saya tidak tertarik makan lagi. Saya mengambil
buah-buahan, terutama yang jarang ditemui di Jakarta, seperti buah plum kecil dan leci. Anggota rombongan
lainnya kelihatan sangat menikmati. Mereka, khususnya yang masih berusia muda
kelihatan bolak-balik mengambil makanan, antara lain daging dan sea food.
Setelah
selesai, tersedia hiburan musik band yang sedang bermain di halaman restoran.
Banyak turis Indonesia dari grup lain sempat berkenalan. Sebuah keluarga
terdiri Bapak, ibu, anak dan cucu dari Tangerang yang berjumlah 8 orang
berangkat mengikuti grup lain. Rupanya Vietnam memiliki daya tarik tersendiri
yang membuat banyak dikunjungi wisatawan termasuk dari Indonesia.
Kami
menuju hotel untuk menginap di hari terakhir. Setelah mendapatkan kunci, saya
berdua Dik Nuk segera menuju ke kamar untuk beristirahat. Besok pagi berangkat dari hotel jam 8, sampai airport jam 9, penerbangan SQ jam 11. Di hotel yang terakhir ini kami
merasakan ketidak nyamanan, karena kamarnya sangat sempit. Tapi sudahlah, kan hanya semalam ini, esok sudah meninggalkan
Hanoi.
Hari ke
sembilan, 3 Juli 2013.
Makan pagi bersama teman-teman yang terakhir
menjadi acara ngobrol yang santai. Kami cukup waktu untuk ngobrol dan mencatat
alamat masing-masing di daftar yang dibuatkan Kenny. Pada jam 9 pagi, rombongan
berangkat meninggalkan hotel menuju airport. Sampai di airport kami masih
menunggu beberapa lama. Ketika pesawat mengudara, dalam hati saya mengucapkan,
selamat tinggal Vietnam. Semoga suatu saat dapat berkunjung lagi ……..
Pesawat mendarat di Singapura untuk transit
selama satu jam dan pada akhirnya mendarat di Bandara Soekarno-Hatta jam 19.45.
Setelah melalui pemeriksaan imigrasi dan pengambilan bagasi, begitu aku keluar
airport, suamiku telah menunggu. Kami
masih menunggu dik Nuk yang akan naik bus airport menuju Bekasi, dan akan dijemput oleh putranya. Jalanan sedikit
macet. Alhamdulillah sampai rumah jam 22.00.
Jakarta, 15 Juli 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar