Kamis, 13 Oktober 2022

Bab III KEHIDUPANKU DI JAKARTA


3. PEKERJAANKU SEBAGAI PEGAWAI NEGERI SIPIL DI BKKBN.

Sebagai CPNS, aku harus mengikuti berbagai aturan dan kebiasaan di kantorku. Semua aku jalani dengan baik tanpa mengeluh. Tentu ini juga mendapat penilaian dari pimpinan.

Saat itu aku masih pegawai staf, pimpinanku adalah Bapak Harry Victor Darmokusumo, Kepala Biro Tata Usaha. Sedangkan pimpinan Kepala Bagian yang menjadi atasanku adalah Pak Bernadi, sekaligus beliau adalah orang yang selalu mempersiapkan naskah pidato Kepala BKKBN.

Selayaknya pegawai baru dan gadis muda, ada saja yang mulai naksir. Tapi aku selalu ingat nasehat Bulik Nanik di Semarang dulu, seorang gadis tidak boleh menyakiti hati laki-laki yang naksir. Hal seperti itu dikhawatirkan jika sampai sakit hati akan berbuat jahat kepada kita. Misalnya, mengirim guna-guna sehingga kelak tidak akan bisa punya suami.

Oleh karena itu aku selalu menghindar jika ada yang mau datang ke rumah, jika aku nggak ada perasaan apa-apa dengan dia. Berbagai alasan dapat aku buat, mau menginap ke rumah saudara lah atau alasan lain yang masuk akal.

Dulupun ketika masih bekerja di Ancol, ada teman sebaya yang naksir. Sebenarnya aku hanya mau berteman saja. Tapi sepertinya dia serius. Ketika itu belum apa-apa dia sudah bilang bahwa nanti jika menikah mau mengikuti agamaku. Wah, nggak banget ya .......… Itu tandanya dia nggak punya prinsip. Untuk suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan kita, mudah sekali berubah.

Di bulan Desember tahun 1975, aku menikah. Saat itu aku masih bertugas di Biro Tata Usaha. Ketika terjadi perubahan Struktur Organisasi BKKBN, aku ditempatkan sebagai Sekretaris Pimpinan. Penempatan ini berdasarkan ijazah Akademi Sekretaris yang aku miliki.

Pimpinanku adalah Pejabat Eselon I BKKBN Pusat, seorang dokter, juga seorang ibu, dan isteri dari dokter spesialis jantung terkenal. Beliau, Ibu Ida Sukaman. Cukup lama aku bertugas membantu beliau, tidak pernah diganti karena tampaknya beliau menilai baik dan puas dengan pekerjaanku.

Kadang jika aku sedang sakit atau izin tidak masuk, ada Sekretaris lain yang ditugaskan untuk menggantikanku, Dik Kusdiningsih namanya. Teman Sekretaris inilah yang memberitahuku bahwa Ibu Ida seringkali memujiku.

Tugas Sekretaris Pimpinan tidak hanya sebatas menyelesaikan pekerjaan kantor, tetapi juga meliputi urusan pribadi. Artinya, juga sebagai Sekretaris Pribadi. Kadang aku menjemput putri Ibu Ida, Dik Yanti yang bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB) Duren Tiga. Sesekali aku diminta Ibu mengurus dana pribadi beliau di City Bank.

Kadang membantu Bapak Sukaman dalam pengetikan makalah, ketika Sekretaris beliau sedang sakit. Bahkan ketika beliau mantu putrinya, aku kebagian tugas untuk urusan undangan. Karena Pak Sukaman saat itu juga menjabat sebagai Tim Dokter Kepresidenan, begitu banyak undangan yang dikirim untuk pesta mantu putrinya ini.

Di sekitar tahun-tahun itu, tidak banyak orang yang punya mobil Mercy Tiger, tapi aku sudah naik mobil Ibu Ida itu pergi wira-wiri ke mana-mana. Mercy Tiger warna hijau muda yang sangat nyaman dinaiki. Tleser....… Tleser…....

Ibu Ida juga menjadi contoh yang baik untukku dalam mengelola rumah tangga. Setiap hari Rabu beliau pulang kantor lebih awal. Beliau memintaku tidak membuatkan jadwal untuk kegiatan rapat atau acara penting lain di hari itu. Mengapa? Hari itu adalah “Hari Bapak”. Ibu ingin mendampingi Bapak yang hari itu tidak praktek sore. Waktunya bisa untuk santai berdua atau untuk keperluan lain yang mengharuskan beliau hadir berdua.  Aku lah yang ke rumah beliau jika ada hal penting yang harus segera ditindaklanjuti.

Suatu pagi di sekitar tahun 1978, aku sudah sampai kantor. Aku melihat seseorang berjalan melewati depan ruanganku menuju perpustakaan.

“Sepertinya aku kenal, tamu yang duduk di perpustakaan itu” kataku dalam hati. 

Dan benarlah, ketika keluar dari perpustakaan, aku ketemu Hasyim temanku. Hasyim adalah teman dekatku di Universitas Diponegoron dulu, dimana aku hanya bertahan setahun kuliah di sana. Hasyim berasal dari Pemalang, dulu sering membawakan telur asin. Kami mengobrol sebentar saja, karena masih jam kantor. Pertemuan itu membekas di hatiku. 

“Temanku telah lulus sebagai Insinyur dan bekerja di Perusahaan Besar”.

Lalu aku? Hanya lulusan SMA........

Ada perasaan tidak puas pada diriku. Mengapa aku tidak seperti Hasyim, menyelesaikan kuliah hingga lulus sebagai Insinyur? Padahal Allah SWT telah menganugerahkan kepadaku badan sehat dan otak encer.......

Bersyukur Mas Suami menyetujui maksudku untuk kuliah lagi. Wah, betapa gembiraku. Suamiku ini benar-benar suami idaman.......

Pilihan yang paling mungkin adalah kuliah yang bisa dilakukan setelah jam kantor. Segera saja aku mencari informasi. Saat itu di Universitas Indonesia hanya terdapat 2 fakultas yang membuka Program Extension, yaitu Fakultas Ekonomi dan Fakultas Hukum. 

Aku memilih Fakultas Hukum, yang menurutku tidak berat, bisa disambi bekerja di kantor dan mengurus rumah tangga. Tentu aku harus belajar kembali dari awal, mengingat sudah bertahun-tahun meninggalkan bangku SMA.

Aku bergegas membeli buku-buku di lapak loak di daerah Senen, khususnya buku yang berhubungan dengan tes masuk. Tahun 1978 itu aku sudah duduk sebagai Mahasiswa Universitas Indonesia dengan jaket kuningnya ....…

Tak terasa begitu cepat waktu berjalan. Semester demi semester aku lalui dengan lancar.  Masa-masa penuh perjuangan, namun juga penuh semangat.

Pulang dari kantor BKKBN, langsung aku naik Bus Mayasari Bakti menuju Rawamangun. Jarang sekali aku bisa mendapat tempat duduk, karena bus itu sudah penuh sejak dari Blok M. Bergelayutan di pintunya merupakan hal biasa.

Selesai kuliah, sekitar jam 8 malam, Mas Suami menjemput bersama Si Kecil anak pertamaku Dandy yang berusia 2 tahun, sudah tertidur miring meleyot di sampingnya. Aku ganti memangkunya sambil pulang, aku bisikkan kepadanya untuk bersabar, mama sedang meraih cita-cita ....…

Hari-hari aku jalani dengan gembira. Ternyata tugas-tugas kuliah bisa aku kerjakan dengan baik. Banyak di antaranya, tugas membuat summary dari buku-buku hasil pemikiran para Profesor UI. Bagaimana aku bisa membuat summary, kapan membaca bukunya? 

Ibu Ida sebagai Pejabat Eselon I sering dinas keluar kota. Itulah saat yang tepat bisa aku gunakan untuk membaca buku-buku yang diwajibkan. Bersyukur bahwa kewajiban kuliahku bukan merupakan beban yang berat, dan bisa aku lewati dengan baik.

Saat ujian Hukum Pidana dan Perdata, mahasiswa boleh "Open Book". Soalnya hanya satu, berupa kasus. Pertanyaannya : Bagaimana menurut pendapat Anda? Jawabannya bisa beberapa halaman. Begitulah kuliah di zamanku dulu. Entah sekarang ya ....…

Di tahun ketiga, mahasiswa sudah harus merencanakan mau mendalami jurusan apa nantinya. Aku mendapat cerita dari teman yang menjadi Asisten Pengacara yang saat itu sangat terkenal, OC Kaligis. Bagaimana ia harus bermental baja, kadang sebelum masuk ke persidangan sudah mendapat teriakan  dari supporter pihak lawan.

Wah, yang begini aku nggak sanggup. Tinggal satu pilihan, Jurusan Perdata untuk kelak menjadi Notaris atau menjadi Lawyer Perusahaan.

Di tahun ketiga kuliahku itu aku melahirkan anak keduaku, yaitu sehari setelah mengikuti ujian Sarjana Muda. Ibu sudah datang dari Solo, untuk menemani aku mau melahirkan. Waktu itu kita sedang makan malam sepulang dari ujian. Ibu bilang bahwa besok aku akan melahirkan karena ketubannya sudah pecah. Aku malah nggak merasa ada ketuban pecah? Ternyata kursi tempat aku duduk basah. Besuk paginya benar, Adik Hesty lahir dan kelahirannya sangat lancar.  Alhamdulillah ....…

Wisuda Sarjana Hukum UI tahun 1983 dilaksanakan di Balai Sidang Senayan. Selain aku berdua Mas Djoko, Bapak khusus rawuh dari Solo untuk hadir. Aku melihat Bapak begitu bangga dan bahagia menyaksikan anaknya lulus menjadi Sarjana Hukum Universitas Indonesia. Di foto saat itu, Bapak ngagem jas warna gelap, tampak keren. Bahagia sekali, barangkali karena saat itu dari 5 orang anaknya, baru aku yang lulus sarjana.

Begitu dinyatakan lulus Sarjana Hukum, terpikir olehku untuk beralih profesi. Pembimbing skripsiku Ibu Ari Sukanti (saat sekarang beliau sudah Profesor) menawariku untuk menjadi asistennya.

Ibu Ari mengajar Hukum Agraria, menggantikan Prof. Budi Harsono pakar Hukum Agraria di UI yang sudah sepuh. Skripsiku mengenai PRONA (Proyek Nasional Agraria, pensertifikatan tanah secara massal) yang dilaksanakan di Jakarta Selatan.

Aku menyanggupi tawaran beliau, tetapi aku minta agar ditunda dulu karena saat itu aku sedang dalam proses menyusul Mas Djoko yang sudah berada di Australia dalam rangka tugas belajar dari kantornya.  

Karena alasan kesehatan, Mas Djoko tidak meneruskan tugas belajarnya di Wollongong University Sidney, kembali ke Jakarta. Padahal aku sudah mngurus persyaratan untuk ke Australia.

Kemudian aku mencoba menghubungi kembali Ibu Ari Sukanti. Kata beliau:  “Banyak yang berminat jadi Asisten Dosen”.

 “Aku nggak bisa menunggu kamu”.

Yah, begitulah, belum rejeki. Berarti aku tetap harus berada di BKKBN sebagai PNS. Tak lama dari wisudaku, kemudian dilaksanakan penyesuaian ijazah di kantor dan aku dipromosikan mendapat tugas baru, sebagai Kepala Sub Bagian di Biro Kepegawaian BKKBN Pusat. Alhamdulillah .....…

Sebagai ibu yang bekerja, pastilah ada kerikil-kerikil sandungan dalam menjalani karirnya. Jika ingin sukses dalam pekerjaan atau sibuk mengejar karier, biasanya keluarga dan rumah tangga akan keteteran.

Aku punya prinsip, bahwa keduanya tetap berjalan, namun dimana perlu aku akan lebih mengutamakan keluarga dan rumah tangga. Bagiku kesuksesanku dalam bekerja adalah untuk keluargaku, bukan untuk diriku sendiri.

Segala sesuatu yang aku peroleh dari kantor, selalu aku sampaikan kepada Mas Suami. Jika Mas Suami tidak menyetujui, aku pasti tidak akan mengambilnya. Ketika itu aku berkesempatan memperoleh rumah dinas di daerah Klender Jakarta Timur. Aku sudah tahu, bahwa kesempatan itu tidak mungkin aku ambil. Namun demikian, adalah suatu kebanggaan bahwa ada penghargaan dari kantor atas pekerjaanku.

Apa kata Mas Suami ketika aku sampaikan hal tersebut?

“Memangnya mau rumah tangga dua ...…???”

Kesempatan yang tidak aku ambil, oleh kantor diberikan kepada Pak Suganda, Kepala Sub Bagian lainnya di Biro Kepegawaian.

Ketika aku bertugas di Biro Kepegawaian, pimpinanku Kepala Biro Kepegawaian adalah Bapak Slamet Tjiptorahardjo. Struktur Organisasi Biro Kepegawaian berada di bawah Deputy Pembinaan yang dijabat oleh Prof. Santoso Hamijoyo. Beliau Pejabat dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pada masa kepemimpinan beliau inilah, banyak karyawan BKKBN mendapat kesempatan tugas belajar ke luar negeri.

Beliau mengirimku untuk tugas belajar ke Lembaga Administrasi Negara (LAN) selama 6 bulan. Pengajar program ini adalah dua orang bule dari Inggris, aku lupa namanya. 

Setelah program berakhir, LAN mengirimkan hasilnya ke BKKBN, ternyata aku salah satu di antara tiga peserta terbaik yang akan dikirim belajar ke RIPA (Royal International Publuc Administration) di London.

Tanpa bertanya kepada suamipun, aku sendiri sudah tidak ingin menggunakan kesempatan itu. Tentu akan lama meninggalkan keluarga, sedangkan putriku belum 3 tahun, sangat tidak mungkin untuk ditinggal.

Dalam suatu rapat, masalah ini sempat dibahas, Prof. Santosa Hamijoyo mengatakan :

“Ada lho, seorang Kepala Sub Bagian yang tidak bersedia dikirim untuk tugas belajar ke luar negeri.”

Aku tahu, akulah yang beliau maksudkan. Aku menjadi tak enak hati mendengar kata beliau. Barangkali beliau kecewa, sudah mengirim orang yang salah.

Rupanya tidak hanya sekali beliau mempermasalahkan hal ini. Pada kesempatan lain, ketika aku menghadap beliau di ruangannya untuk masalah pekerjaan, aku diminta memperlihatkan telapak tanganku.

“Inilah garis tangan bukan pemimpin,” kata beliau.

Aku diam saja.

“Tidak menjadi pemimpin tak apa, asalkan menjadi orang baik,” kataku dalam hati.

Suatu ketika Prof Santoso Hamijoyo hajatan mantu. Dari BKKBN, Pejabat Eselon IV ke atas mendapat undangan untuk hadir di acara resepsi. Aku dan Mas Suami datang memenuhi undangan.

Sebagai pejabat tinggi yang pernah menduduki jabatan di beberapa Instansi Pemerintah, begitu banyak tamu undangan yang hadir. Ketika tiba saat giliran kami berdua memberikan ucapan selamat, beliau menahan suamiku sejenak dan bertanya.

“Benar, isterinya nggak diizinkan sekolah ke luar negeri?”

Wah, benar-benar beliau penasaran .....…

Aku lupa apa jawaban suamiku. Pasti dia tidak nyaman dengan situasi ini. Sampai di rumah Mas Suami mengatakan:

“Mama mau mengambil S2 jurusan apa saja boleh, tapi di Jakarta”.

Itulah pada akhirnya aku memilih untuk melanjutkan Studi Notariat di Fakultas Hukum UI dan mengambil Cuti di Luar Tanggungan Negara selama 2 tahun.

Aku tidak kembali bekerja di BKKBN setelah cuti berakhir. Tujuanku sudah bulat, menjadi Notaris dan PPAT. Untuk menduduki jabatan tersebut tidak diperbolehkan merangkap jabatan apapun, termasuk Pegawai Negeri Sipil.

Sekalipun aku sudah tidak berada di BKKBN, sahabat-sahabatku masih sering kontak denganku. Beberapa orang sahabat dekat saat di BKKBN antara lain: Mbak Winarti, adalah atasan langsung pada waktu aku di Biro Kepegawaian.



Nanan, adalah teman sesama Kepala Sub Bagian. Dik Kusdiningsih, yang biasanya menggantikan aku ketika duduk sebagai sekretaris Ibu Ida Sukaman. Dik Endang Purwani, Chafsah dan Mbak Yaya adalah sesama sekretaris pimpinan Eselon I BKKBN.

Hingga sekarang mereka masih sering kontak baik di WA maupun di Facebook. Sekali-sekali kami ketemuan makan di mall. Dan pernah juga kami berdua Mas Suami diajak Pak Slamet Tjiptorahardjo, pimpinanku di Biro Kepegawaian, jalan-jalan bersama dengan teman-teman eks Biro Kepegawaian ke Cirebon menginap semalam.  




Tidak ada komentar:

Posting Komentar