Setelah sebelumnya ke Mangrove Center, di hari ketiga travelling kami sekarang ini
akan mengunjungi Kawasan Wisata Alam Bukit
Bangkirai, yang terletak di Kecamatan
Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara. Kawasan ini masuk dalam Taman Hutan
Raya Bukit Soeharto. Bagaimana jalan menuju kesana? Kami menggunakan kendaraan bus
dari Balikpapan ke arah Kutai Kartanegara, dan ketika sampai km 38
kemudian berbelok kearah kiri hingga kira-kira sejauh 27 km. Jalan menuju
kesana tidak bagus karena juga digunakan oleh truk-truk pengangkut batubara. Perlu
waktu 1,5 sampai 2 jam untuk sampai di area wisata ini.
Kawasan
wisata alam Bukit Bangkirai yang luasnya mencapai 510 hektar ini dibangun pada
tahun 1998, dikelola oleh Inhutani Balikpapan, dan dimaksudkan untuk berbagai
tujuan, antara lain untuk Konservasi
Alam, Wisata Alam, Penelitian Hutan Hujan Tropis, Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan.
Salah satu daya tarik utama dari Kawasan Wisata ini adalah adanya “Canopy Bridge” yang merupakaan
satu-satunya di Indonesia.
Kita tidak perlu khawatir dengan kekuatannya karena
dikerjakan oleh kontraktor Amerika yang tergabung dalam CCA (Canopy
Constraction Asosiated). Konstruksi jembatan tersebut dari kayu, dan baja tahan
karat atau Galvanized dari Amerika. Umur jembatan ini diperkirakan mampu
bertahan selama 15-20 tahun sesuai dengan umur dan ketahanan bahannya.
Dari
tempat parkir, dimana terdapat Restoran dan Lamin untuk tempat pertemuan, kami
berjalan dengan santai mengikuti Track Pertama
sepanjang 200 m. Kemudian dilanjutkan Track
Kedua sepanjang 300 m. Lumayan berkeringat. Di dalam hutan aku temui
berbagai jenis pohon asli Kalimantan, banyak diantaranya pohon-pohon langka
yang sudah sangat tinggi dan besar, mungkin garis tengahnya 2 atau 3 pelukan
manusia.
Selain Pohon Bangkirai, ada
pohon Meranti, Pohon Kayu Batu, dan yang paling terkenal dan
bernilai tinggi tentulah Ulin.
Banyak jenis lainnya, tetapi memang didominasi oleh pohon Bangkirai. Itulah
mengapa disebut Bukit Bangkirai.
Yang jelas, tidak ada jenis pohon Jati. Pohon-pohon
besar itu biasanya diadopsi oleh
mereka yang menaruh perhatian kepada pohon dan hutan. Dengan mengadopsi pohon, berarti membayar sejumlah uang setiap bulan untuk memeliharanya hingga pohon itu mati karena tua atau tumbang.
Di perjalanan aku melihat
pohon besar yang tumbang, tetapi tetap
dibiarkan berada ditempatnya padahal menghalangi jalan. Itulah pohon yang telah
diadopsi oleh seseorang. Walaupun telah tumbang tidak akan di apa-apakan.
Padahal barangkali kayunya bisa menjadi bahan bangunan untuk sebuah rumah,
pastilah berharga mahal. Seingatku ketika membeli kayu Ulin untuk Sekolah Alam Bekasi,
per kubik harganya Rp. 17 juta rupiah. Mungkin tidak sesuai dengan biaya untuk
menurunkannya hingga kebawah, atau alasan lain yang aku belum tahu.
Ingin juga
mengadopsi salah satu pohon disini agar tidak ditebang tanpa ijinku, tetapi yang
riskan adalah bagaimana nanti kalau aku sudah tidak ada, pastilah akan
membebani anak-anakku.
Karena
kami ini ibu-ibu dari perkotaan, baru sekali ini melihat seperti apa "rotan" di hutan. Rupanya
Tanaman itu menjalar hingga sangat panjang dan berduri halus. Ada jenis yang
batangnya cukup besar, ada yang kecil. Kulit luarnya untuk lampit, dan batangnya
yang besar untuk pinggiran kursi, meja dan sebagainya. Berada
di Track Kedua, ada peringatan untuk tidak mendekati salah satu pohon yang
berlubang. Ada ular yang berdiam disitu. Alhamdulillah, kami tidak sampai
melihat sang ular.
Ketika seluruh rombongan tiba di area Canopy Bridge, sebelum naik ke Menara berupa tangga kayu ulin yang tingginya 30 m, terlebih dahulu berfoto bersama ditangga. Aku sebenarnya ingin sekali naik, tetapi kemudian ingat pesan Dokter Kiki, untuk menyayangi lututku jika tidak ingin diganti dengan lutut palsu.
Ketika seluruh rombongan tiba di area Canopy Bridge, sebelum naik ke Menara berupa tangga kayu ulin yang tingginya 30 m, terlebih dahulu berfoto bersama ditangga. Aku sebenarnya ingin sekali naik, tetapi kemudian ingat pesan Dokter Kiki, untuk menyayangi lututku jika tidak ingin diganti dengan lutut palsu.
Tadi
sudah berjalan menaiki Track Pertama dan Kedua, yang lumayan menanjak. Kalau
ditambah dengan naik tangga kayu hingga nanti turun kembali, jangan-jangan terjadi
sesuatu, sehingga aku harus merepotkan teman-teman. Akhirnya aku putuskan hanya
naik sampai anak tangga ketiga, berfoto dan kemudian turun menunggu
teman-teman yang terus menuju Canopy Bridge. Demikian pula ketika teman-teman
turun, ikut berfoto di Menara satunya dimana terdapat tangga turun yang
bertiliskan "Exit", biar seolah-olah sudah merasakan Uji Nyali di Canopy Bridge, he
he he ..........
Menurut cerita teman-teman, pemandangan di atas sangat bagus. Mereka merasakan adanya sensasi yang tak terkatakan berada di ketinggian dalam hutan, dimana dapat melihat seluruh hutan dari atas pohon. Ngeri hingga lutut bergetar, begitu melihat kebawah. Dan tentu saja senang saling berfoto-ria dengan gaya masing-masing diatas Canopy Bridge. Ketinggian Canopy itu 30 m, dan panjang jembatannya 64 m menghubungkan 5 pohon yang sangat tinggi.
Alhamdulillah tidak terjadi suatu halangan
apapun dan mereka turun dengan gembira. Dengan semangat ‘45, dari jumlah
peserta 20 orang itu, yang ikut naik sampai
lokasi Canopy Bridge 17 orang, dan yang berhasil naik hingga turun lagi, ada 14
orang. Mereka itu adalah Eyang-eyang yang penuh semangat. Luar biasa, benar-benar
hebat........... Aku, yang biasa berkecimpung di lingkungan Sekolah Alam,
merasakan kepuasan, bahwa ibu-ibu yang sudah lansiapun bisa survive dalam
petualangan yang biasa dilakukan oleh anak-anak Sekolah Alam.
Ketika turun
dari Canopy Bridge, salah seorang anggota rombongan disuguhi kejutan yang
membahagiakan. Telah tersedia kue ulang tahun untuk ibu Conny yang disiapkan secara rahasia oleh teman-teman. Happy
birthday Ibu Conny, happy selalu ya.... Wah, pasti jadi kenangan yang tak
terlupakan. Potong kue dan tiup lilin ulang tahun di tengah hutan..
..........
Diperjalanan
turun dari Canopy Bridge, kami berpapasan dengan beberapa anak muda yang
akan naik. Menurut Guide kami dari Trans
Borneo Travel, jika hari Sabtu dan Minggu, banyak pengunjung berwisata di
Bukit Bangkirai ini. Mereka adalah para Pecinta Alam dan Pemerhati Lingkungan. Sampai
di bawah kami tetap bersama-sama hingga tiba di area Lamin. Teman-teman segera antri untuk berfoto dengan
mengenakan Busana Adat Dayak dengan
biaya Rp. 20 ribu. Kapan lagi ada kesempatan seperti ini? Pengalaman yang tak
terlupakan. Sebagian yang lain, ibu-ibu menggunakan kesempatan untuk sholat.
Kalau kami ibu-ibu excited dengan
apa yang telah kami lihat, berbeda dengan suamiku. Beliau memilih menunggu di
restoran, ngopi bersama Pak Sopir. Suamiku dibesarkan di Kalimantan Selatan
tepatnya di Peleihari dan Martapura, yang sejak kecil telah akrab dengan hutan
dan pepohonan. Di masa kecilnya, Kalimantan Selatan masih benar-benar sepi.
Jarak antara satu rumah dengan lainnya lebih dari 100 m. Mencari buah-buahan, memancing
ikan di sungai dan bermain di hutan adalah kesibukannya sehari-hari setelah
pulang Sekolah. Dan kemudian beliau dinas di suatu Instansi yang membidangi Tambang.
Salah satu tugasnya adalah mengunjungi daerah-daerah pertambangan di seluruh
Indonesia, yang tentu berlokasi di hutan-hutan. Itu dulu, sebelum pensiun.
Sekarang giliran beliau menemani aku melihat sudut-sudut lain tanah air Indonesia
yang belum pernah aku lihat. Alhamdulillah, aku merasa cukup puas meski baru
sebagian kecil menikmati indahnya Indonesia.
Wassalamu’alaikum ww.
Jakarta, 5 September 2016.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus